• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Belajar Perilaku 2.1 Teori Belajar (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori Belajar Perilaku 2.1 Teori Belajar (1)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Teori Belajar Perilaku

2.1 Teori Belajar Perilaku (Behavioristik)

Menurut teori ini, belajar dipandang sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi berdasarkan paradigma Stimulus – Respon (S-R), yaitu suatu proses yang memberikan respon tertentu terhadap stimulus yang datang dari luar. Proses S-R terdiri dari empat unsur.

Pertama, dorongan (drive) yaitu siswa merasakan adanya kebutuhan terhadap sesuatu yang kemudian terdorong untuk berupaya memenuhi kebutuhan tersebut.

Kedua, rangsangan (stimulus) yaitu sesuatu yang diberikan atau diperhadapkan kepada siswa.

Ketiga, respon yaitu suatu reaksi yang muncul pada diri siswa sebagai akibat adanya (diberikannya) stimulus.

Keempat, penguatan (reinforcement) yaitu tindakan yang perlu diberikan kepada siswa agar ia merasakan adanya kebutuhan untuk memberikan respon lagi. Behaviorisme menekankan pada hasil belajar (berupa perubahan tingkah laku) dan tidak memperhatikan pada proses berpikir siswa (karena tidak dapat dilihat), Oleh karena itu, Galloway (1967), menganggap proses belajar menurut behaviorisme sebagai suatu proses yang bersifat mekanistik dan otomatik tanpa membicarakan apa yang terjadi di dalam diri siswa selama belajar berlangsung.

2.2 Teori-Teori yang Terkandung di Dalam Teori Belajar Perilaku (Behavioristik)

Tokoh-tokoh behaviorisme yang sangat terkemuka adalah Ivan Petrovitch Pavlov, Edward Thorndike, dan B.F Skinner. Berikut ini adalah ide-ide mereka secara garis besar.

2.2.1 Teori Pengkondisian Klasikal (Classical Conditioning Theory) dari Pavlov Ivan Petrovitch Pavlov (1849-1936), memperkenalkan teorinya yang dikenal dengan nama Pengkondisian Klasikal (Classical Conditioning). Teori ini

(2)

(RT). Terjadinya respon ini bukan karena proses belajar tetapi karena insting anjing.

Tahap berikutnya sebelum memberikan serbuk daging, lampu dinyalakan. Dengan mengulangi kondisi ini berulang kali, terlihat bahwa pada saat lampu dinyalakan dan dilanjutkan dengan pemberian serbuk daging, air liur anjing tetap keluar. Selanjutnya, pada percobaan berikutnya lampu dinyalakan tetapi serbuk daging tidak diberikan. Ternyata bahwa air liur anjing juga tetap keluar. Cahaya yang semula merupakan stimulus netral, sekarang berubah menjadi stimulus terkondisi (SD), dan respon yang ditimbulkan disebut respon terkondisi (RD).

Melalui eksperimen ini Pavlov, dkk menunjukkan bagaimana belajar dapat mempengaruhi perilaku. Suatu stimulus tidak terkondisi (ST) akan

mengakibatkan munculnya respon tidak terkondisi (RT).

Beberapa hukum yang berkaitan dengan teori pengkondisian klasikal

(classical conditioning theory) dari Pavlov (Atkinson, et.al. 1997) adalah sebagai berikut.

1) Pemerolehan

Pemberian stimulus yang tidak terkondisi (ST) bersama-sama dengan

stimulus terkondisi (SD) disebut percobaan (trial) dan periode selama organisme belajar mengasosiasikan kedua stimuli disebut sebagai “pemerolehan

pengkondisian” (acquisition stage of conditioning). Interval waktu penyajian ST dan SD dapat saja berbeda. Melalui penyajian ST dan SD ini akan mengakibatkan terbentuknya respon terkondisi (RD). Dengan terbentuknya RD yang memang diharapkan maka dapat dikatakan bahwa seseorang telah belajar. Pembentukan RD ini pada umumya bersifat gradual. Makin banyak (sering) diberikan ST dan SD akan mengakibatkan RD yang dibentuk makin mantap. Sampai pada suatu saat tanpa diberikan ST, tetap akan terbentuk RD yang diharapkan.

2) Pemunahan (Extinction)

Bila perilaku terkondisi tidak diteruskan (dikuatkan) atau bila stimulus tidak terkondisi (ST) berulang-ulang tidak diberikan, maka respon terkondisi (RD) kadarnya makin menurun dan akhirnya dapat menghilang sama sekali. Pengulangan stimulus terkondisi (SD) tanpa penguatan (ST) ini disebut

pemunahan (extinction), yakni proses hilangnya respon yang diharapkan. Jika diberikan ST kembali maka RD yang telah hilang dapat muncul kembali

(spontaneous recovery) dalam waktu yang relatif singkat.

3) Generalisasi

Bila respon terkondisi (RD) diperoleh sebagai tanggapan atas suatu stimulus tertentu, maka stimulus lain yang sejenis (serupa), akan menyebabkan

(3)

disebut sebagai generalisasi (generalization). Prinsip ini menerangkan akan adanya kemampuan untuk bereaksi pada situasi baru sepanjang stimulus serupa dengan stimulus yang dikenal.

4) Diskriminasi

Diskriminasi merupakan reaksi terhadap stimulus yang berbeda. Menurut Morgan, et.al (1986), diskriminasi stimuli merupakan suatu proses belajar untuk memberikan respon terhadap suatu stimuli tertentu atau tidak memberikan respon sama sekali terhadap stimulus lain. Hal ini dapat diperoleh dengan cara memberikan ST lain.

Generalisasi dan diskriminasi muncul dalam perilaku sehari-hari. Anak kecil yang telah merasa takut pada anjing (generalisasi). Lambat laun melalui proses penguatan dan peniadaan diferensial, rentang stimulus rasa takut semakin menyempit, hanya pada anjing yang berperilaku galak (diskriminasi).

2.2.2 Teori Koneksionisme (Connectionism Theory) dari Thorndike

Edward Lee Thorndike (1874-1949) merupakan guru besar pertama di dunia dalam bidang psikologi pendidikan. Dalam sejumlah eksperimen, Thorndike menempatkan kucing-kucing dalam kotak teka-teki atau kotak masalah (problem box). Kucing yang beberapa hari lamanya tidak diberi makanan ditempatkan dalam problem box. Kotak tersebut diberikan pintu yang memungkinkan kucing tersebut dapat melihat sesuatu di luar kotak dan dapat keluar melalui pintu yang telah disediakan tersebut. Makanan diletakkan di luar kotak agar setiap kucing berusaha dari kotaknya untuk memperoleh makanan. Segera setelah kucing melihat makanan tersebut, ia mulai mencoba-coba berlari kesana kemari, memanjat kurungan, mencakar, menggigit kotak, menjulur kaki dan kepala melalui ruji-ruji kotak, dan sebagainya. Thorndike mengamati bahwa setelah selang waktu tertentu, kucing-kucing tersebut dapat mempelajari cara

mengeluarkan diri lebih cepat dari kotaknya. Mereka mengulangi perilaku yang efektif dan tidak mengulangi perilaku yang tidak efektif.

Thorndike juga melakukan eksperimen dengan menggunakan kera. Thorndike meletakkan kotak berisi pisang di dalam kurungan. Untuk dapat mengambil pisang tersebut, kera harus terlebih dulu mencabut paku penjepit kawat. Pada percobaannya yang pertama, kera membutuhkan waktu 36 menit untuk mencabut paku penjepit kawat. Tetapi pada percobaan kedua, ternyata hanya dibutuhkan waktu 2 menit 30 detik.

Thorndike menerangkan perilaku kucing dan kera tersebut secara

mekanistis. Jika suatu reaksi berhasil maka hubungan di antara reaksi tersebut dengan kondisi yang memberikan rangsangan akan diperkuat. Asosiasi-asosiasi yang berhubungan dengan reaksi-reaksi yang gagal makin lama makin lemah, yakni reaksi-reaksi yang gagal tersebut tidak muncul lagi.

(4)

menurut prinsip yang sama. Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Terjadinya asosiasi tersebut menurut Thorndike berdasarkan hukum-hukum sebagai berikut:

1) Hukum Kesiapan (Law of readiness)

Hukum ini menjelaskan kesiapan individu untuk melakukan sesuatu. Ciri-ciri berlakunya hukum kesiapan adalah sebagai berikut:

Misalkan seseorang memiliki kecenderungan bertindak. Orang tersebut bertindak, maka akan menimbulkan kepuasan dan tindakan lain yang tidak dilakukan.

Misalkan seseorang memiliki kecenderungan bertindak. Orang tersebut tidak bertindak, maka akan muncul rasa tidak puas dan ia akan melakukan tindakan-tindakan lain untuk menghapus rasa tidak puasnya.

Misalkan seseorang tidak mempunyai kecenderungan bertindak. Tetapi orang tersebut bertindak, maka akan muncul rasa tidak puas dan ia akan melakukan tindakan-tindakan lain untuk menghapus rasa tidak puasnya.

Menurut hukum ini keberhasilan individu dalam melaksanakan sesuatu sangat tergantung pada kesiapannya. Belajar akan berhasil jika siswa telah siap untuk belajar.

2) Hukum Latihan (Law of exercises)

Hukum ini menunjukkan bahwa prinsip utama belajar adalah pengulangan. Bila S (stimulus) diberikan akan terjadi R (respon). Lebih sering asosiasi S dan R digunakan akan membuat hubungan yang terjadi semakin kuat. Sebaliknya makin jarang asosiasi S dan R digunakan, akan membuat hubungan tersebut semakin lemah. Thorndike juga mengemukakan bahwa latihan yang berupa pengulangan tanpa ganjaran tidak efektif. Asosiasi antara S dan R hanya akan menjadi kuat jika diberikan ganjaran.

3) Hukum Pengaruh (Law of efect)

Menurut hukum ini, dalam suatu lingkungan, jika suatu tindakan (perilaku) menghasilkan perubahan yang memuaskan, maka terdapat kemungkinan tindakan tersebut akan diulangi lagi dalam situasi serupa dan akan semakin meningkat intensitasnya. Tetapi jika tindakan (perilaku) tersebut menghasilkan perubahan yang tidak memuaskan, maka tindakan tersebut kemungkinan tidak akan diulangi lagi.

Ganjaran dan hukuman berkaitan dengan hukum pengaruh ini. Ganjaran merupakan sesuatu yang diperoleh siswa atas keberhasilan atau usaha yang dilakukannya. Misalnya, nilai balik (tinggi) yang diperoleh pada hasil tesnya. Sedangkan, hukuman berkaitan dengan sesuatu yang diperoleh siswa sebagai akibat dari kegagalan atau pelanggaran yang dilakukan. Misalnya, nilai jelek atau teguran kepada siswa atas hasil tesnya. Menurut Thorndike, hukuman tidak selalu melemahkan hubungan S-R dan juga tidak mempunyai akibat yang

(5)

2.2.3 Teori Pengkondisian Operan (Operant Conditioning Theory) dari B.F. Skinner

Burhus Frederic Skinner (1904-1990) memulai karyanya dengan menerima asumsi-asumsi metode almiah sebagai pedoman berpikir mengenai perilaku manusia. Hal ini mengkristalisasikan ”behaviorisme radikal” menjadi gerakan sadar diri. McLeish (1986) mendeskripsikan prinsip-prinsip fundamental pandangan ini sebagai berikut:

Perilaku harus dipandang berketeraturan dan ditentukan oleh hukum kausalitas. Objek pengkajian ilmiah ialah memahami sebab dan akibat sehingga perilaku dapat diramalkan dan diubah jika perubahan itu diperlukan.

Perilaku tidak mempunyai hakikat khusus atau tersendiri yang menuntut penggunaan metode unik atau pengetahuan khusus berbeda dari prosedur-prosedur ilmiah yang telah diterima untuk memahaminya. Kita harus

menganggap bahwa hubungan-hubungan kausal yang telah ditemukan dalam ilmu-ilmu lain dapat diterapkan untuk mengkaji manusia, kecuali terdapat bukti yang bertentangan.

variabel yang dipilih untuk pengkajian haruslah dapat diamati. Variabel-variabel itu haruslah berkedudukan seperti metode dan teknik-teknik yang dipakai dalam sains (eksperimen dan observasi). Variabel-variabel tersebut tersedia untuk analisis ilmiah dan terdapat di luar organisme. Variabel-variabel berada di lingkungan terdekat atau dalam lingkungan historis organisme.

Keadaan internal harus dipandang di bawah kontrol kekuatan-kekuatan yang mengontrol perilaku yang tampak. Keadaan internal tidak menerangkan perilaku dan harus dinyatakan tidak relevan sampai keadaan internal tersebut berada di bawah kontrol metode ilmiah.

Skinner mengakui eksistensi Classical Conditioning dan ketergantungannya pada prinsip penguatan, tetapi ia kurang meminatinya. Skinner lebih tertarik pada tipe belajar lain yang juga tergantung pada prinsip penguatan. Tipe belajar ini mula-mula diteliti secara sistematis oleh Thorndike yang kemudian

diperkenalkan oleh Skinner sebagai ”Pengkondisian Instrumental (Instrumental Conditioning)” atau ”Pengkondisian Operan (Operant Conditioning)”.

Skinner memperkenalkan konsep ”Pengkondisian Operan (Operant

(6)

(reinforce)” terhadap penekanan jeruji dan kecepatan penekanan jeruji meningkat drastis. Bila tempat makanan tidak dihubungkan dengan jeruji sehingga penekanan jeruji tidak lagi mengeluarkan makanan, maka kecepatan penekanan jeruji akan berkurang.Pada percobaan dengan tikus di atas, jika setiap kali tikus menekan jeruji akan diikuti dengan jatuhnya makanan, maka tikus akan semakin cepat menekan jeruji. Kondisi ini disebut sebagai ”penguatan berkesinambungan (continuous reinforcement)”. Akan tetapi, bila makanan tidak lagi jatuh (pemberian makanan dihentikan) ketika jeruji ditekan, maka kecepatan penekanan jeruji akan semakin berkurang, bahkan mungkin tidak lagi terjadi. Respon yang sebelumnya diperkuat kini telah dihapuskan.

Apabila tempat makanan dihubungkan dengan jeruji hanya pada interval waktu tertentu misalnya setiap lima menit, sehingga makanan baru jatuh ketika jeruji ditekan setelah interval waktu lima menit. Maka penguatan yang dilakukan disebut sebagai ”penguatan interval (interval reinforcement)”. Jika interval waktu tersebut bersifat tetap, maka kita menghadapi suatu ”jadwal penguatan interval tetap (fxed interval reinforcement schedule)”.

Skinner mengemukakan bahwa setiap kali memperoleh stimulus, maka seseorang akan memberikan respon berdasarkan hubungan S-R. Respon yang diberikan ini dapat sesuai (benar) atau tidak sesuai (salah) dengan apa yang diharapkan. Respon yang benar perlu diberi penguatan (reinforcement) agar orang tersebut ingin melakukannya kembali.Skinner membagi penguatan atas penguatan positif (positive reinforcement) dan penguatan negatif (negative reinforcement). Penguatan positif sebagai stimulus, bila pemberiannya mengiringi suatu tingkah laku seseorang yang cenderung meningkatkan pengulangan tingkah laku tersebut. Ini berarti bahwa tingkah laku tadi telah diperkuat. Ganjaran seperti pujian misalnya, merupakan penguatan positif. Sedangkan, penguatan yang negatif adalah stimulus yang dihapuskan yang cenderung menguatkan tingkah laku. Misalkan, perhatian serius siswa dapat ditingkatkan dengan menghilangkan stimulus yang mengganggu seperti suara gaduh atau sikap guru yang sering marah-marah. Istilah ”penguatan negatif” sering salah diartikan sebagai ”hukuman”. Dua istilah ini jelas berbeda,

penguatan negatif cenderung memperkuat perilaku dengan cara mencabut atau menghilangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan, sedangkan hukuman cenderung memperlemah perilaku dengan cara memberikan konsekuensi yang tidak diinginkan. Slavin (1997) memberikan contoh hal ini melalui tabel berikut. Memperkuat Perilaku Memperlemah Perilaku

Penguatan positif

Contoh: memberi hadiah atau pujian Penguatan negatif

Contoh: membebaskan dari situasi yang tidak diinginkan, Tidak ada penguatan Contoh: mengabaikan siswa

Hukuman larangan

(7)

Contoh: memaksa melakukan tugas atau situasi yang tidak diinginkan.

Dalam classical conditioning respon yang diharapkan dapat dimunculkan dengan memberikan stimulus tertentu (ST dan SD). Fleksibilitas situasi hampir seluruhnya terbatas pada pemindahan hubungan asosiatif dari ST ke SD. Proses belajar semacam ini disebut Skinner sebagai ”respondent conditioning” untuk membedakannya dengan proses belajar yang lebih feksibel yaitu ”operant conditioning”. Skinner membedakan adanya 2 (dua) macam respon, yakni: Respondent respone yaitu respon yang terjadi karena proses ”respondent conditioning” seperti dalam prosedur classical conditioning dari Pavlov. Respon ini juga disebut sebagai ”refexive respone”. Menurut Hal & Lindzey (1993), Skinner menggunakan istilah respondent untuk menekankan peranan penyebab yang kuat yang dimainkan oleh stimulus yang mendahului.

Operant respone yaitu respon yang terjadi karena proses ”operant conditioning”. Dapat juga dikatakan bahwa operant respone adalah respon yang timbul karena adanya hadiah (reward) atau penguatan (reinforcement).

Respondent respone pada kenyataannya sangat terbatas adanya dan kemungkinan modifkasinya sangat kecil. Sebagian besar tingkah laku manusia masuk dalam kategori operant respone. Karenanya teori Skinner lebih

menitikberatkan perhatiannya pada tingkah laku operant respone.

2.3 Implementasi dari Teori-Teori yang Terkandung di Dalam Teori Belajar Perilaku (Behavioristik)

2.3.1 Teori Pengkondisian Klasikal (Classical Conditioning Theory) dari Pavlov

Dalam lingkup pemerolehan bahasa pertama, classical conditioning ini dapat menjelaskan bagaimana kita belajar makna kata. Seperti diketahui dalam

lingkungan banyak rangsangan yang dapat menimbulkan emosi positif atau negatif. Jika rangsangan-rangsangan bahasa, misalnya kata, frasa, atau kalimat, sering terjadi bersamaan dengan rangsangan-rangsangan lingkungan, maka pada akhirnya rangsangan bahasa tersebut dapat menimbulkan respon emosional walaupun tidak ada rangsangan lingkungan.

Contohnya, Yudi yang berumur sekitar 15 bulan akan menarik taplak meja makan. Ibunya segera mengatakan, “Tidak! Tidak!” sambil menepis tangannya dengan harapan Yudi akan menghubungkan sakit di tangannya dengan kata “Tidak! Tidak!” akan menimbulkan respon makna yang tidak menyenangkan bagi Yudi. Jika hal ini terjadi berulang kali dan respon emosional sudah

(8)

2.3.2 Teori Koneksionisme (Connectionism Theory) dari Thorndike

Menurut Thorndike, perubahan tingkah laku dapat berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bisa diamati). Di dalam belajar praktik misalnya, perubahan tingkah laku seseorang dapat dilihat secara konkret atau dapat diamati. Pengamatan ini dapat diwujudkan dalam bentuk gerakan yang dilakukan terhadap suatu objek yang dikerjaakannya. Seorang guru memberikan perintah kepada siswa untuk melakukan kegiatan praktik merupakan ”stimulus” dan siswa dengan menggunakan pemikirannya,

melakukan kegiatan praktik merupakan ”respon” yang hasilnya langsung dapat diamati. Dengan demikian, kegiatan belajar yang tampak dalam teori belajar tingkah laku dalam pandangan Thorndike mengarah pada hasil langsung belajar, atau tingkah laku yang ditampilkan.

Sebagai contoh lain, siswa yang tidak mau mendengarkan pelajaran, stimulus yang diberikan oleh guru berupa latihan dengan titik fokus pada anak tersebut secara berulang-ulang dengan memberikan tugas secara klasikal dan anak tersebut mengerjakan di depan kelas dalam keadaan siap. Hasil

memuaskan dapat diperoleh dengan reward pujian dari guru dapat

menghasilkan respon yang baik dari anak tersebut, sedangkan untuk siswa yang hanya ingin bermain di kelas, guru dapat membuat pembelajaran matematika sebagai arena bermain dengan melibatkan operasi hitung penjumlahan

menggunakan benda konkrit sebagai bahan penjumlahan dan pengurangan, guru dapat mencoba berbagai cara untuk melakukan penghitungan secara klasikal sampai akhirnya anak tersebut mampu melakukan operasi hitung secara teori.

2.3.3 Teori Pengkondisian Operan (Operant Conditioning Theory) dari B.F. Skinner

Skinner berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responnya menurun.

Guru dapat menyusun program pembelajaran berdasarkan pandangan Skinner. Dalam menerapkan teori Skinner, guru perlu memperhatikan dua hal yang penting, yaitu pemilihan stimulus yang diskriminatif dan penggunaan penguatan. Langkah-langkah pembelajaran berdasarkan teori pengkondisian operan sebagai berikut:

Kesatu, mempelajari keadaan kelas. Guru mencari dan menemukan perilaku siswa yang positif atau negatif. Perilaku positif akan diperkuat dan perilaku negatif diperlemah atau dikurangi.

Kedua, membuat daftar penguat positif. Guru mencari perilaku yang lebih

disukai oleh siswa, perilaku yang kena hukuman, dan kegiatan luar sekolah yang dapat jadi penguat.

(9)

Keempat, membuat program pembelajaran. Program pembelajaran ini berisi urutan perilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari perilaku dan penguat yang berhasil dan tidak berhasil. Ketidakberhasilan tersebut menjadi catatan penting bagi modifkasi perilaku selanjutny.

DAFTAR PUSTAKA

Dahar, Ratna Wilis.1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Dimyati & Mudjiono.2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta. Ratumanan, Tanwey Gerson.2002. Belajar dan Pembelajaran. Ambon: Unesa University Press.

Slameto.2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

e) Berikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk mendiskusikan berdasarkan berbagai macam data dan fakta yang ada. Selanjutnya minta setiap kelompok untuk memasukkan biji-biji

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian terdapat pengaruh pendidikan seks terhadap tingkat pengetahuan dan sikap remaja dalam pencegahan seks pranikah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan penelitian adalah mengetahui jenis, fungsi dan peran mekanisme sosial budaya atau kelembagaan spesifik yang ada pada masyarakat

Hasil penelitian ini dapat membantu karyawan dalam meningkatkan produktivitas kerjanya dengan terlibat aktif dalam pengelolaan stres yang dilakukan perusahaan..

Hukum Waris adalah hukum yang mengatur proses pemindahan hak dan kewajiban, baik dalam bentuk harta kekayaan yang dapat dilihat maupun harta kekayaan yang tidak

Numerical representations are also often used for degrees of belief related to numerical or symbolic knowledge and for degrees of consistency or inconsistency (or conflict) between

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan ( field research ), yaitu penelitian yang data-datanya diperoleh dari lapangan