• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Bogan dan Taylor (1975:5) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Menurut Bogan dan Taylor (1975:5) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan atau Paradigma Penelitian.

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan kualitatif. Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk and Miller (1986:9) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan penelitian kuantitatif.

Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk penelitian kualitatif, yaitu penelitian taau alamiah, etnografi, intraksionis simbolik, perspektif ke dalam, etnomenologi, the Chicago school, fenomenolois, studi kasus, interpretatif, ekologis dan deskriptif.

(Bogdan dan Biklen,1982:3)

Pengertian mengenai pendekatan kualitatif dijelaskan Moleong bahwa,

“Kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang mengahasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati” (Moleong,2006:3). Adapun istilah penelitian kualitatif perlu kiranya dikemukakan beberapa definisi. Menurut Bogan dan Taylor (1975:5) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sedangkan menurut Kirk dan Miller (1986:9) mendefinisikan bahwa penelitian kualitaif adalah tradisi tertentu dalam ilmu

(2)

pengetahuan sosial secara fundamental bergabung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya. (dalam Moleong.2009:4)

Penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan dan perilaku individu atau suatu kelompok orang. Dimana penelitian kualitatif untu mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar yang berkonteks khusus. Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut dapatlah disitensiskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami frnomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dll. Secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. (Moleong.2009:6)

Paradigm penelitian kualaittif pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menentukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Paradigma, menurut Bogdan dan Biklen (1982:32 dalam Moleong,2009:49), adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berfikir dan penelitian. Paradigm merupakan pola atau model tentang bagaimana suatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagiannya berfungsi (perilaku yang didalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu). (Moleong,2009:49)

(3)

3.1.1 Pendekatan Semioika.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.

Tanda-tanda adalah perangkat yang kta pakai dalm upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.

Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).

Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampurkan dengan mengkomunikasikan (to communivate). Memaknai berarti bahwa objek objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi system struktur dari tanda.

(Kurniawan,2001:53)

Dengan semiotoka, kita lantas berurusan dengan tanda. Semiotika, seperti kata Lechte (2001:191), adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelasnya lagi semiotika adalag suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs ‘tanda-tanda’ dan berdasarkan pada sign system (code) ‘sistem tanda’ yang perlu kita garis bawahi dari berbagai definisi adalah bahwa para ahli melihat semiotika atau semiosis itu sebagai ilmu atau proses yang berhubungan dengan tanda. (Segers,2004:4)

Kata “semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti tanda atau seme, yang berarti penafsiran tanda. Semiotika berakar dari

(4)

studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika (Kurniawan,2001:49). Analisis semiotika dipahami sebagai satu metode penelitian yang bertujuan mempelajari relasi tanda dengan penafsirannya, seperti yang diungkapkan Van Zoestse bagaimana dikutip Alex Sobur, bahwa

“Semiotika adalah ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya:

cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya” (Sobur, 2004: 95).

Kutipan di atas memberikan penjelasan bahwa penggunaan analisis semiotika akan memberikan keleluasan bagi peneliti untuk dapat memaknai beragam tanda yang ada dalam film dan keterkaitannya dengan pemaknaan pada nilai keislaman. Keterkaitan antar tanda berupa objek dan symbol-simbol komunikasi akan memberikan suatu bentuk gambar antar sendiri mengenai hal- hal yang digambarkan dalam tanda komunikasi pada film-film sebagai produk budaya dan hasil dari kebudayaan ada dan berkembang sebegai fenomena sosial yang dikomunikasikan secara kreatif melalui serangkaian objek yang rumit untuk dimaknai secara sepihak. Metode semiotika akan memberikan pemahaman yang baik dalam menemukan makna dari fenomena film sebagai bagian dari kebudayaan yang ada di sekitar kita.

(5)

3.1.2 Komponen Tanda.

Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita, tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga bisa disebut tanda. Peirce (dan, Ogden dan Richards) melihat tanda, acuannya dan penggunaanya sebagai tiga titik dalam segi tiga. Masing-masing terkait erat pada dua yang lainnya, dan dapat dipahami hanya dalam artian pihak lain. Saussure mengambil cara yang sedikit berbeda. Saussure menyatakan bahwa tanda terdiri atas bentuk fisik plus konsep mentai yang terkait, dan konsep ini merupakan pemahaman atau realitas eksternal. Tanda terkait pada realitas hanya melalui konsep orang yang menggunakannya. (Fiske,2004:61-62)

Dalam konteks semiotika ada hal yang paling penting menurut pemikiran Ferdinand de Sausure yaitu mengenai tanda. Pada teori Saussure adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu sistem tanda dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified (petanda).

Tanda merupakan kesatuan dari suatu bentuk penandaan (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa. Petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bartens,2001:180).

(6)

3.1.3 Tigkatan Tanda.

Roland Barthes memaparka dua tingkatan pertandaan atau yang disebut sebagai two order of significations. Dua tingkatan pertandaan tersebut adalah denotasi dan konotasi. Konotasi merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secar panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai system pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sedangkan sistem pemaknaan tataran ke-satu disebut denotasi (Sobur,2003:69)

Denotasi sebagai tahapan tatanan pertandaan pertama ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda dengan referencenya dalam realitas eksternal. Hal ini mengacu pada anggapan umum, makna jelaslah tentang tanda. Dan konotasi sebagai tahapan tatanan kedua ini menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai cultural. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Cara kedua dari ketiga cara Barthes mengenai cara bekerjanya tanda dalam tatanan kedua adalah melaui mitos. Bagi Barthes mitos merupakan cara berfikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Barthes memikirkan mitos sebagai mata rantai dari konsep-konsep terkait.

(Fiske,2004:118-121).

(7)

3.1.4 Semiotika Roland Barthes.

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama, eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Barthes juga mengemukakan dan mengacu pada suatu tataran signifikasi yang disebut sebagai tahap two order of significations.

Roland Barthes, membentuk gagasan tentang signifikasi dua tahap ( two order of significations)

Gambar : Signifikasi dua tahap Barthes.

Sumber : Jhon Fiske (1990:88 dalam Sobur,2001:127)

(8)

Bartehes menjelaskan, signifikasi tahapan pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal.

Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda.

Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pemerhati serta nilai-niali kebudayaan. Konotasi mempunyai makna subjektif atau paling tidak intersubjektif. Pemilihan kata-kata kandang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan” dengan member uang pelican”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. (Fiske.1990:88 dalam Sobur,2001:128)

Tatanan pertandaan pertama adalah denotasi, denotasi merupakan makna paling nyata dari tanda. Sedangkan tatanan tahapan kedua adalah konotasi dimana makna yang terbentuk dikaitkan dengan perasaan, emosi atau keyakinan. Bagi barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penandaan dalam tatanan pertama. Penandaan tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Denotasi merupakan reproduksi mekanis di atas film tentang objek yang di tangkap kamera. Konotasi adalah bagian manusiawi dari proses ini.

Denotasi adalah apa yang difoto, sedangkan konotasi adalah bagaimana memfotonya. (Fiske,2004:117)

(9)

Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (mytos). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam.

Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi.

Mitos primitif misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, baik dan buruk dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai femininitas, mskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan (Fiske,1990:88 dalam Sobur,2001:128).

Melalui film “99 Cahaya di Langit Eropa” kontruksi tanda-tanda yang saling berhubungan satu sama lain. Dimana hubungan diantara penanda dan petanda itu disebut signification yang memiliki dua tahapan tatanan tanda yaitu signifikasi tahap pertama denotasi dan signifikasi tahapan kedua konotasi yang dapat menciptakan makna konotasi dan mitos.

Melanjutkan studi Hjelmsev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (Cobley&Jansz,1999 dalam Sobur:2004:69)

1. Signifier (Penanda)

2. Signified (Petanda) 3. Denotative sign ( tanda denotative ) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

(10)

Sumber : Paul Cobley & Litza Jansz (1999:51 dalam Sobur,2004:69) Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsure material, hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley dan Jansz,1999:51 dalam Sobur.2004:69)

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif. (Sobur,2004:69)

Secara lebih rinci, linguistik pada dasarnya membedakan tingkat ekspresi (E) dan tingkat isi (C) yang keduanya dihubungkan oleh sebuah relasi (R). Kesatuan dari tingkatan-tingkatan dan relasinya ini membentuk sebuah sistem (ERC). Sistem demikian ini dapat – di dalam dirinya sendiri – menjadi unsur sederhana dari sebuah sistem kedua yang akibatnya memperluasnya. Mengacu pada Hjelmslev, Barthes sependapat bahwa bahasa dapat dipilih menjadi dua sudut artikulasi demikian (Barthes,1983, dalam Kurniawan, 2007:67)

(11)

Dua Sudut Artikulasi Barthes

1. Konotasi Metabahasa

2. Denotasi Objek Bahasa

Sumber : Barthes (1983:28 dalam kurniawan,2001:67)

Pada artikulasi pertama (sebelah kiri), sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem kedua: (ERC)RC. Di sistem 1 berkorespondensi dengan tingkat denotasi dan sistem 2 dengan tingkat konotasi. Pada artikulasi keduam (sebelah kanan), sistem primer(ERC) mengkonstitusi tingkat isi untuk sistem kedua: (ERC)RC. Disini sistem 1 berkorespondensi dengan objek bahkan dan sistem 2 dengan metabahasa (metalanguage) (Kurniawan.2001:67, dalam Sobur:2004:70)

3.2.3 Denotasi, Konotasi dan Mitos.

Gagasan Barthes tentang dua tatanan pertandaan (two order of signification). Tatanan pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure.

Tatanan ini menggambarkan relasi antara penandaan dan petanda di dalam tanda dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. Hal ini mengacu pada anggapan umum, makna jelaslah tentang tanda (Fiske.2004:118). Makna denotasi adalah makna yang digunakan untuk mendeskripsikan makna desisional, literal, gamblang dan atau common sence dari sebuah tanda. Denotasi adalah

E C

E C

E C

C E

(12)

interaksi antar signifier (penanda) dengan signified (petanda) dalam tanda, dan antara sign dengan referensi dalam realitas eksternal. Denotasi dijelaskan sebagai makna sebuah tanda yang defesional, literal, jelas (mudah dilihat dan dipahami) atau commonsense. Dalam kasus tanda linguistik, makna denotasi adalah apa yang dijelaskan dalam kamus. (Elvinaro.2011:81) Di dalam semiologi Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua.

Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna.

Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa makna “harfiah”

merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999:22).

Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Makna konotatif mengacu pada asosiasi-asosiasi budaya sosial dan personal berupa ideologis, emosional dan lain sebagainya. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya (Fiske,2004;118). Konotasi adalah interaksi yang mucul ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi pembacaan / penggunaan dan nilai-nilai budaya mereka. Maknanya menjadi subjektif atau intersubjektif.Istilah konotasi merujuk pada tanda yang memiliki asosiasi sosiokultural dan personal.Tanda

(13)

lebih terbuka dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi.

(Elvinaro.2011:81-82)

Cara kedua dari cara Barthes mengenai bekerjannya tanda dalam tatanan kedua dalah melalui mitos. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (mytos). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, baik dan buruk dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminimitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan (Fiske,1990:88 dalam Sobur,2001:128). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.

Berdasarkan semiologi Roland Barthes, dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk menguraikan makna-makna denotasi, konotasi dan secara mitos untu merepresentasikan nilai-nilai keislaman dalam film ”99 Cahaya Di Langit Eropa”.

(14)

3.2 Subjek Objek dan Wilayah Penelitian dan Sumber Data.

3.2.1 Subjek Dan Objek Penelitian.

Subjek penelitian yang dilakukan yakni menelaah film “99 Cahaya di Langit Eropa”. “99 Cahaya di Langit Eropa” adalah 2013 dari Pictures yang termahal kala dirilis, dengan anggaran melebihi Rp 15 Miliar.

Film ini mendapat pujian dari seorang jurnalis asal Indonesia yang sedang menemani suaminya menjalani kuliah beradaptasi, bertemu dengan berbagai sahabat hingga akhirnya menuntun mereka kepada jejak-jejak agama Islam di benua Eropa yang dibawa oleh bangsa

Banyak sekali pengetahuan dan pesan mengenai nilai-nilai keislaman yang terkandung dalm film “99 Cahaya di Langit Eropa” ini. Dimana sejarah islam di eropa pada zaman dahulu berkembang dan meninggalkan sejarah- sejarah islam yang mengagumkan di dataran eropa. Selain dapat berbagai macam pengetahuan mengenai sejarah islam di eropa, melalui film ini

(15)

masyarakat dapat mengetahui perbedaan yang dapat bedampingan satu sama lainnya, dan sebuah pesan mengenai nilai islam yang ada dalam film.

Film “99 Cahaya di Langit Eropa” lahir dari kreativitas seorang Hanum Rais, putri dari Amien Rais ini membuat novel dengan judul “99 Cahaya Di Langit Eropa” dimana novel karya Hanum tersebut mengisahkan kisah perjalanan hidup seorang Hanum bersama sang suami ketika menjalani hidup di Wina, Austria yang mengantarkan mereka kepada sejarah peradaban islam di Eropa. Film yang digarap oleh rumah produksi Maxima Pictures ini disutradarai oleh Guntur Soeharjanto. Kreativitas yang digarap secara apik oleh sang sutradara menggambarkan keindahan Eropa dan memberikan sajian apik mengenai tempat-tempat bersejarah islam di Eropa, seperti di Austria, Paris, Cordoba dan Turki.

Jadi bergitu banyak pesan dan pelajaran yang dapat diambil dari film ini, tentunya dalam hal toleransi beragama yang harus ditekankan ketika hidup berdampingan dengan orang lain. Karena hidup bertoleransi dapat mengarahkan kita kepad hal saling menghargai antar individu. Pada penelitian ini, penulis ingin mengetahui adegan-adegan dalam film yang menampilkan unsur keislaman. Sedangkan objek penelitian itu sendiri adalah nilai-nilai keislaman yang terdapat dalam adegan-adegan film “99 Cahaya Di Langit Eropa”. Dimana objek yang diteliti hanya terpaku pada satu titik yaitu pada adegan yang menekankan pada nilai-nilai keislaman yang ada dalam film.

(16)

3.2.2 Gambar Poster Film 99 Cahaya Di Langit Eropa.

3.2.2.1 Tokoh – tokoh dalam film 99 Cahaya Di Langit Eropa.

1. Hanum Salsabiela

Hanum adalah karakter utama dalam film “99 Cahaya di Langit Eropa” yang diperankan oleh Acha Septriasa. Karakter Hanum disini adalah seorang istri yang menyusul suaminya ke Wina untuk menyelesaikan studi doktorat di Wina Austria. Pada awalnya Hanum hanya berprofesi sebagai seorang istri atau ibu rumah tangga, tetapi karena rutinitas keseharian Hanum yang membuat ia merasa bosan, membuat ia mencari kesibukan dengan mengikuti kursus bahasa Jerman. Pada akhirnya Hanum bertemu dengan seorang teman yang berasal dari Turki bernama Fatma Pasha. Pertemanan Hanum dengan Fatma dan anaknya Ayse membawa Hanum mengenal peradaban islam yang ada di Eropa.

Melalui Fatma pulalah hanum mendapatkan pekerjaan menjadi seorang jurnalis.

Menjalani hidup sebagai orang muslim di negara yang bisa dibilang sekuler, justru membuat karakter Hanum makin memegang teguh ajaran agamanya. Dalam pencariannya di Eropa, ia menemukan jejak-jejak kebesaran Islam di masa lalu.

2. Rangga Almahendra

Rangga adalah suami Hanum yang tengah menyelesaikan studi di Wina, Austria. Karakter Rangga diperankan oleh Abimana Aryasatya.

(17)

Peran Rangga lebih mengalami pengembangan dibanding cerita di novel.

Dalam film, kegiatan Rangga di kampus juga mendapat porsi cukup besar, selain menemani Hanum menemukan cahaya-cahaya di langit Eropa.

3. Fatma Pasha.

Fatma, karakter yang diperankan oleh Raline Shah adalah wanita Turki keturunan langsung dari jenderal perang Dinasti Ottoman yang menduduki Austria lebih dari tiga ratus tahun lalu. Fatma diceritakan memiliki pengetahuan mendalam tentang sejarah Islam, khususnya di Eropa. Fatma juga menjadi sahabat sekaligus karakter yang membantu Hanum menemukan jejak-jejak Islam di Eropa. Perjalanan dan pencariannya pun menuntun Hanum lebih cinta sekaligus kagum dengan agamanya.

4. Aisye Pasha.

Aisye adalah anak Fatma yang diperankan oleh Gecchae Qheagaventa.

Ia turut hadir memeriahkan suasana dalam perjalanan Hanum dan Fatma menemukan cahaya-cahaya di langit Eropa. Seorang Aisye yang membuat Hanum memutuskan untuk berhijab sebelum Hanum pulang ke Indonesia.

(18)

3.2.2.2 Pemain dan Sutradara Film 99 Cahaya Di Langit Eropa.

Abiman Aryasatya dan Acha Septriasa

Sumber Raline Shah dan Geccha Qheagaventa

Sumber:

(19)

3.2.2.3 Sutradara dan Penulis Novel Film 99 Cahaya Di Langit Eropa.

Guntur Soeharjanto

Sumber

Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra

Sumber

(20)

3.2.2.4 Poster Film 99 Cahaya Di Langit Eropa

Sumber 3.2.3 Wilayah Penelitian.

Penelitian yang dilakukan penulis di Bandung, tetapi untuk mendapatkan data mendalam penulis melakukan wawancara mendalam kepada informan di Jakarta. Penulis akan mewawancarai pihak Maxima Pictures selaku pihak yang memproduksi film “99 Cahaya Di Langit Eropa”

serta penulis akan melakukan wawancara kepada penulis novel 99 Cahaya Di Langit Eropa Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra dan sebagai informan, untuk memperkuat ajaran nilai keislaman peneliti akan mewawancarain Ust. Miftah Zainudin. Sehingga penulis mendapatkan data lengkap mengenai film dan sumber-sumber mengenai ajaran islam dari hasil penelitian melalui wawancara.

(21)

3.2.4 Sumber Data

Struktur data yang penulis ambil yakni dari data primer dan sekunder.

Data primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara kepada informan secara mendalam mengenai objek penilitian yang dilakukan penulis. Serta data sekunder didapat melalui penelusuran kepustakaan atau literature baik melalui buku maupun internet yang berhubungan dengan penelitian tersebut.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut:

1. Wawancara.

Wawancara adalah tanya jawab yang dilakukan untuk memperoleh data atau informasi seputar penelitian yang dilakukan kepada informan.

Sifat wawancara ini dilakukan secara terstruktur, artinya sebelum melakukan wawancara pertanyaan sudah disiapkan terlebih dahulu.

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila peneliti atau pengumpulan data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh (Sugiyono,233:2012). Peneliti mewawancarai pihak produksi dari “Film 99 Cahaya di Langit Eropa” yaitu pihak Maxima Prictures. Peneliti akan melakukan wawancara kepada sutradara film “99 Cahaya di Langit Eropa” ataupun perwakilan pihak Maxima Pictures.

Serta untuk menambah data yang diperoleh peneliti akan mewawancarai

(22)

penulis novel “99 Cahaya Di Langit Eropa” yang berada di Jakarta. Serta mewawancarai informan yang memahami mengenai nilai-nilai keislaman dan ajaran islam.

2. Kepustakaan.

Kepustakaan, yaitu suatu studi untuk memperoleh data yang relevan, melalusi buku-buku referensi serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah penelitian.

3. Dokumentasi

Dalam buku Memahami Penelitian Kualitatif menjelaskan tentang dokumentasi, sebagai berikut: “Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berupa tulisan, gambar, atau karya- karya memorial dari seseorang”. Studi dokumentasi merupakan perlengkapan dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. (Sugiyono,240:2012)

3.4 Teknik Analisis Data.

Teknik pengolahan data disebut juga teknik analisis data. Menurut Sugiyono (2012:223) menyatakan bahwa analisis data adalah :

Analisis data adalah Proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, pencatatan lapangan, kategori menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipeajari, dan maupun kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri dan orang lain.

Miles dan Huberman (1984) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus

(23)

sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas analisis data yaitu data reduction, data display dan conclusion drawing/verification (Sugiyono, 2014:91). Lebih jelasnya proses analisis data kualitatif ini dijelaskan dalam gambar berikut:

Bagan 3.1 Komponen dalam analisis data (flow model)

Sumber: Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. 2014:91

Pada penelitian ini, proses pertama yakni reduksi data dilakukan dengan mencari data-data untuk bahan analisis lalu kemudian data tersebut di seleksi untuk memfokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan penilitian, seperti data yang berkaitan dengan proses pembuatan iklan dan bagaimana iklan tersebut di tayangkan di televisi. Proses kedua yakni menyajikan hasil analisis dalam bentuk tabel, yakni analisis mengenai teknik pengambilan data dan analisis pada tiga level identifikasi yakni realitas, representasi dan ideologi serta mencantumkan potongan scene yang dianalisis. Proses terakhir yakni penarikan

(24)

kesimpulan yaitu merumuskan hasil penelitian dan membandingkannya dengan data sebelum dilakukannya penelitian (data awal).

3.5 Uji Keabsahan Data.

Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi beberapa pengujian.Peneliti menggunakan uji keabsahan data atau uji kepercayaan terhadap hasil penelitian. Uji keabsahan data ini diperlukan untuk menemukan valid atau tidaknya suatu temuan atau data yang dilaporkan peneliti tentang apa yang terjadi sesungguhnya di lapangan. Untuk menjamin keabsahan data yang diperoleh, penulis menggunakan teknik triangulasi. Menurut Sugiono, teknik pengumpulan data triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat membangun dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Menurut Sugiono ada tiga macam triangulasi yaitu, triangulasi sumber, triangulasi teknik dan triangulasi waktu. Didalam penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi sumber. Dimana triangulasi sumber sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. (Sugiono:2005)

Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Sebagai contoh, untuk menguji kredibilitas data tentang gaya kepemimpinan seseorang, maka pengumpulan dan pengujian data yang telah diperoleh dilakukan ke bawahan yang dipimpin, keatasan yang menugasi, dan ke teman

(25)

kerja merupakan kelompok kerjasama. Data dari ketiga sumber tersebut, tidak bisa dirata-ratakan seperti dalam penelitian kuantitatif, tetapi dideskripsikan, dikategorikan, mana pandangan yang sama, yang berbeda, dan mana spesifik dari tiga sumber data tersebut. Data yang telah dianalisis oleh peneliti sehingga menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan (member cheek) dengan tiga data sumber tersebut. (Sugiyono.2012:274)

Referensi

Dokumen terkait

Kết luận Trong bài báo này, chúng tôi chứng minh rằng chiều dài của một đường đi tuyến tính từng khúc bất kỳ trong một không gian metric X không phụ thuộc vào các phép phân hoạch 