1 A. Latar Belakang
Seiring pertumbuhan dan perkembangan manusia, mulai dari bayi, remaja, dewasa, hingga lanjut usia. Manusia terus mengalami perubahan seiring waktu, terutama pada lanjut usia (lansia). Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Menurut Sari et al.
(2020) dalam waktu lima dekade presentase lansia di Indonesia meningkat dua kali lipat (1971-2020), yakni menjadi 9,92% (26 juta-an). Lansia perempuan lebih banyak satu persen dibanding lansia laki-laki dengan perbandingan 10,43% dengan 9,42%. Separuh lansia mengalami masalah kesehatan selama sebulan terakhir. Karena, semakin bertambahnya usia semakin berkurangnya fungsi pada organ-organ tubuh (Surnayo et al., 2015).
Menurut Noviestasari et al. (2020) sering ditemukan perubahan fisiologis pada lansia, perubahan tersebut membuat lansia rentan terhadap beberapa kondisi klinis dan penyakit pada umumnya. Tubuh akan terus menerus mengalami perubahan seiring bertambahnya usia dan dampak perubahan pada lansia tertentu bergantung pada gaya hidup, kesehatan, stres, dan kondisi lingkungan. Permasalahan khusus yang sering terjadi pada lansia adalah proses
penuaan yang terjadi secara alami dengan konsekuensi timbulnya masalah fisik, mental, dan sosial (Surnayo et al., 2015). Beberapa masalah fisik pada proses penuaan, diantaranya sistem integumen, sistem pernapasan, sistem pendengaran, sistem pengaturan tubuh, sistem penglihatan, sistem gastrointestinal, sistem muskuloskeletal, sistem endokrin, dan sistem genitalia urinaria (Siti Bandiyah, 2009 dalam Muhith & Siyoto, 2016).
WHO (2012) menyatakan bahwa masalah kesehatan lansia di negara- negara berpenghasilan rendah atau menengah berasal dari penyakit jantung, stroke, gangguan penglihatan, dan gangguan pendengaran (Sari et al., 2020).
Penyakit terbanyak pada lansia yang tidak menular antara lain hipertensi, masalah gigi, penyakit sendi, masalah mulut, diabetes melitus, penyakit jantung dan stroke (Riskesdas, 2019). Hipertensi adalah penyebab utama kematian dini di seluruh dunia, dengan 1 dari 4 pria dan 1 dari 5 wanita atau lebih dari satu miliar orang di dunia mengalami hal tersebut (WHO, 2019). Hipertensi merupakan suatu keadaan ketika seseorang mengalami peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg setelah dilakukan pengukuran sebanyak dua kali secara terpisah (Sidabutar, dalam Nuraini, 2015).
Berdasarkan data WHO (2019), sekitar 1,13 miliar orang di dunia menderita hipertensi. Di Indonesia hipertensi merupakan penyakit tertinggi yang dialami lansia, dengan prevalensi penduduk dengan hipertensi usia > 18 tahun berdasarkan pengukuran secara nasional sebesar 34,11%. Prevalensi ini
lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2013 yaitu 25,8%. Prevalensi tertinggi di Kalimantan Selatan sebesar 44,13%, Jawa Barat sebesar 39,60%, dan Kalimantan Timur sebesar 39,30%. Temuan ini menunjukkan bahwa kasus hipertensi di Indonesia masih tinggi (Riskesdas, 2019). Di provinsi Jawa Barat ditemukan 790.382 orang dengan hipertensi, dengan jumlah kasus yang diperiksa sebanyak 8.029.245 orang yang tersebar di 26 Kabupaten atau Kota, dan hanya 1 Kabupaten atau Kota (Kab. Bandung Barat) yang tidak melaporkan kasus hipertensi (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2017). Prevalensi hipertensi di Jawa Barat berdasarkan kelompok umur 18-24 sebanyak 16,65%, umur 25-34 sebanyak 25,67%, umur 35-44 sebanyak 37,48%, umur 45-54 sebanyak 52,27%, umur 55-64 sebanyak 62,15%, umur 65-74 sebanyak 71,085 dan umur 75+ sebanyak 77,77 % (Riskesdas, 2019). Sedangkan penemuan kasus hipertensi yang berobat ke puskesmas di kota Cimahi pada tahun 2019 sebanyak 76.511. Temuan kasus meningkat dibandingkan tahun sebelumnya 36,99%, jumlah kasus di Cimahi melebihi data dari Riskesdas tahun 2018 yaitu 34,1%. Jumlah pasien hipertensi yang telah mendapatkan pelayanan sebesar 73% (Dinas Kesehatan Kota Cimahi, 2020).
Hipertensi menjadi ancaman bagi penderita apabila tidak dikontrol, sebab mampu mengakibatkan komplikasi seperti stroke, penyakit jantung koroner, dan gagal ginjal (Pangribowo, 2019). Menurut Wade (2016), penyebab tingginya kasus hipertensi di Indonesia antara lain adanya perubahan gaya hidup seperti mengkonsumsi makan dengan kandungan garam yang tinggi,
makan dengan kadar kolesterol yang tinggi, kurang olahraga, dan faktor genetik. Pernyataan tersebut didukung berdasarkan hasil penelitian (Raihan &
Dewi, 2014) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menjadi penyebab hipertensi di puskesmas rumbai pesisir, antara lain riwayat keluarga, kebiasaan merokok, pola asupan garam, dan stress.
Menurut Muhammadun (2010) dalam Dalyoko (2010), terdapat cara farmakologis dan non farmakologis dalam pengendalian hipertensi. Cara farmakologi yang dimaksud adalah patuh mengkonsumsi obat-obatan antihipertensi. Kepatuhan adalah kunci keberhasilan terapi dan perhatian khusus pada hipertensi (Vrijens, 2008 dalam Ramawat et al., 2020). Menurut WHO, kepatuhan adalah sejauh mana perilaku seseorang (minum obat, mengikuti diet yang direkomendasikan dan/ atau melaksanakan perubahan gaya hidup) sesuai dengan rekomendasi yang disepakati dari para profesional kesehatan (Alikari & Zyga, 2014). Salah satu faktor risiko peningkatan morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh hipertensi adalah kepatuhan yang buruk terhadap obat hipertensi yang diresepkan oleh dokter, kepatuhan terhadap terapi merupakan masalah penting dalam pengelolaan penyakit kronis.
Oleh karena itu, evaluasi kepatuhan pasien diperlukan untuk memastikan manajemen yang efektif (Ramah & Kartika Sari, 2018).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat antara lain faktor predisposisi meliputi kepercayaan, pengetahuan, nilai, persepsi yang berkaitan dengan motivasi seseorang untuk bertindak; faktor
pendukung meliputi fasilitas kesehatan, sumber dana, sarana; dan faktor pendorong meliputi dukungan keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama dan sikap petugas kesehatan (Dhewi et al., 2012). Menurut Al-Ramahi (2015), adapun faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan penderita terhadap terapi yaitu keyakinan tentang penyakit dan pengobatan, kurang pengetahuan tentang hipertensi dan pengobatannya, kesulitan keuangan, kurangnya dukungan sosial (keluarga). Pada penelitian CM, Hughes (2004) dalam Lee et al. (2013), kepatuhan terhadap obat yang diresepkan pada pasien lanjut usia merupakan fenomena kompleks yang bergantung pada faktor sosio-demografis, pengobatan, dan psikologis. Baru-baru ini, beberapa penelitian mulai mengeksplorasi faktor-faktor kepatuhan yang lebih dapat dimodifikasi, seperti depresi, pengetahuan pengobatan, literasi kesehatan, dan self-efficacy. Dhewi et al. (2012) menyatakan bahwa keberhasilan kepatuhan minum orang seorang pasien adalah jika spasien tersebut memiliki keyakinan untuk sembuh, keyakinan tersebut adalah self-efficacy.
Self-efficacy merupakan pengembangan teori kognitif yang dilakukan oleh Albert Bandura (1997). Self-efficacy merupakan keyakinan individu dalam kapasitasnya untuk melaksanakan sesuatu atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil sesuai yang diharapkan. Self-efficacy mempengaruhi cara berfikir seseorang, memotivasi diri serta bertindak (Lenz & Shortridge-Bugget, 2002). Self-effiicacy merupakan salah satu komponen dalam perubahan gaya hidup pada penderita penyakit kronis termasuk hipertensi, yang mampu
meningkatkan perbaikan. Jika seseorang memiliki self-efficacy yang tinggi maka mereka percaya akan adanya perubahan yang spesifik terkait kesehatan mereka, begitu juga sebaliknya jika seseorang memiliki self-efficacy yang rendah maka mereka memiliki kepercayaan yang rendah akan adanya perubahan spesifik terkait kesehatan mereka (Bandura, 2004 dalam Adiyasa &
Cruz, 2020).
Berdasarkan hasil penelitian Yasaratna & Wijesinghe (2019), pada lansia tingkat self-efficacy terkait dengan karakteristik penyakit penyerta serta sosial dan ekonomi. Selanjutnya, dalam penelitian ini juga menemukan bahwa dengan jumlah komorbiditas yang lebih tinggi, self-efficacy yang dirasakan dinilai rendah. Hasil penelitian Susanto et al. (2019), mengatakan bahwa terdapat lima faktor yang berhubungan dengan self-efficacy lansia penderita hipertensi sistolik, antara lain pendidikan, pekerjaan sebelum masuk panti rehabilitasi, aktivitas spiritual, lama tinggal, dan demensia. Sedangkan self-efficacy lansia dengan hipertensi diastolik berhubungan dengan aktivitas sehari-hari, risiko jatuh, nyeri, depresi, kecemasan. Sehingga self-efficacy merupakan salah satu hal penting yang harus dimiliki oleh lansia yang perlu ditingkatkan seiring dengan penyakit kronis atau komorbiditas yang dimiliki agar lansia mampu mengendalikan dan mencegah komplikasi terkait dengan penyakitnya.
Pernyataan diatas sejalan dengan penelitian (Fintiya & Wulandari, 2020), self-efficacy dapat memberikan pengaruh positif pada perilaku kepatuhan minum obat pada pasien yang menjalankan pengobatan. Hal tersebut didukung
oleh pernyataan Sukmaningsih et al. (2020), seseorang memiliki keyakinan terhadap pengobatan yang dijalani jika memiliki self-efficacy yang tinggi.
Sebab hal tersebut meningkatkan harapan dan motivasi untuk mencapai kesembuhan yang pada akhirnya seseorang berperilaku patuh menjalani mengobatan. Hubungan self-efficacy dengan kepatuhan minum obat pada penderita hipertensi dibuktikan oleh penelitian Kawulusan et al. (2019), sebanyak 66 responden (77,6%) dari 100 responden memiliki self-efficacy yang tinggi. Hal tersebut sesuai dengan 67 responden (78,8%) yang patuh minum obat hipertensi. Selain itu, hasil penelitian Sukmaningsih et al. (2020) menunjukkan adanya hubungan antara self-efficacy dengan kepatuhan minum obat pada penderita hipertensi, sebanyak 31 reponden (55,4%) memiliki self- efficacy yang tinggi. Hal terserbut sesuai dengan tingkat kepatuhan minum obat 32 responden (57,1%) yaitu memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 29 Maret tahun 2021, jumlah lansia yang mendapat pelayanan Puskesmas Cibeureum tahun 2020 sebanyak 3197 orang. Sedangkan jumlah lansia penderita hipertensi yang mendapat pelayanan di Puskesmas Cibeureum tahun 2020 sebanyak 397 orang, dengan jumlah lansia laki-laki sebanyak 194 orang dan lansia perempuan 203 orang. Selain itu, dilakukan wawancara kepada 5 responden yang dipilih secara acak. Didapatkan hasil bahwa 4 responden tidak rutin mengkonsumsi obat antihipertensi dan 1 responden mengkonsumsi obat antihipertensi secara rutin. Alasan responden tidak mengkonsumsi secara rutin
adalah merasa dirinya sehat, tidak memiliki keluhan yang menggangu, lupa, dan tidak suka dengan efek samping obat. Adapun alasan responden yang rutin mengkonsumsi obat secara rutin karena responden yakin dengan mengkonsumsi obat secara rutin dapat mengontrol penyakitnya (hipertensi) agar tidak kambuh.
Berdasarkan paparan diatas, peniliti tertarik melakukan penelitian tentang hubungan self-efficacy dengan kepatuhan minum obat pada lansia yang menderita hipertensi di Puskesmas Cibeureum kota Cimahi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “apakah ada hubungan self-efficacy dengan kepatuhan minum obat pada lansia yang menderita hipertensi di Puskesmas Cibeureum kota Cimahi.”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis hubungan self- efficacy dengan kepatuhan minum obat pada lansia yang menderita hipertensi di Puskesmas Cibeureum kota Cimahi.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi self-efficacy pada lansia yang menderita hipertensi di Puskesmas Cibeureum kota Cimahi.
b. Mengidentifikasi kepatuhan minum obat pada lansia yang menderita hipertensi di Puskesmas Cibeureum kota Cimahi.
c. Mengidentifikasi hubungan self-efficacy dengan kepatuhan minum obat pada lansia yang menderita hipertensi di Puskesmas Cibeureum kota Cimahi.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan serta pengetahuan bagi bidang keperawatan mengenai hubungan self-efficacy dengan kepatuhan minum obat pada lansia yang menderita hipertensi.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat Bagi Perawat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi sehingga perawat dapat memberikan dukungan pada pasien untuk meningkatkan self-efficacy sehingga pasien dapat meningkatkan kepatuhan minum obat.
b. Manfaat Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai self-efficacy dan kepatuhan minum obat pada lansia yang menderita hipertensi serta hubungan antara self-efficacy dengan kepatuhan minum obat pada lansia yang menderita
hipertensi di Puskesmas Cibeureum Kota Cimahi. Serta sebagai sumber informasi dalam menyusun rencana berdasarkan hasil yang didapatkan.
c. Manfaat Bagi Lansia
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi lansia akan pentingnya self-efficacy dalam kepatuhan minum obat untuk mengendalikan hipertensi dan mencegah kekambuhan serta komplikasi.
d. Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai referensi untuk dapat digunakan sebagai bahan penelitian lebih lanjut.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah keperawatan medikal bedah dan gerontik, tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan self-efficacy dengan kepatuhan minum obat pada lansia yang menderita hipertensi di Puskesmas Cibeureum kota Cimahi. Desain penelitian ini deskriptif kuantitatif.
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik accidental sampling. Responden pada peneltian ini adalah lansia dengan menderita hipertensi yang mendapat pelayanan di Puskesmas Cibeureum Kota Cimahi. Instrumen penelitian untuk self-efficacy (efikasi diri) menggunakan kuesioner Medication Adherence Self- Efficacy Scale Revised (MASES-R). Sedangkan untuk mengukur tingkat
kepatuhan minum obat menggunakan kuesioner Modified Morisky Adherence Scale (MMAS-8). Pengambilan data menggunakan kuesioner. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli tahun 2021.