• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENYOAL PANDANGAN BINAR MENGENAI HUKUM ADAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "MENYOAL PANDANGAN BINAR MENGENAI HUKUM ADAT"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

MENYOAL PENDEKATAN BINAR DALAM STUDI ADAT

Rikardo Simarmata

(Ph.D researcher Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden, the Netherlands)

Seperti keyakinan umum yang tidak terbantahkan bahwa pemerintah kolonial berkontribusi besar pada konstruksi hukum adat dan customary law di negara-negara bekas jajahan, demikian juga keyakinan bahwa ‘adat’ atau ‘hukum adat’ bersifat dinamis dan fleksibel. Dalam pengertian ini adat atau hukum adat dilihat memiliki kemampuan beradaptasi dengan perubahan yang berasal dari internal maupun eksternal. Namun, ada perbedaan dalam melihat adat atau hukum adat setelah melalui proses adaptasi tersebut. Para ilmuan hukum adat, pegiat Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) dan komunitas masyarakat adat, umumnya memahami adat atau hukum adat hasil adaptasi tersebut sebagai masih berupa adat dan hukum adat. Dengan demikian adaptasi tersebut dipahami sebagai proses di mana institusi adat atau hukum adat mengintegrasikan pengaruh atau elemen-elemen dari luar ke dalam institusi adat. Oleh karena itu tidak mungkin akan lahir normative system yang baru dari hasil pertemuan antara norma adat dengan norma lain tersebut.

Pandangan yang lain mengemukakan bahwa adaptasi tersebut memang bisa berujung pada pengintegrasian namun menyebabkan norma-norma pada setiap sistem hukum sudah bercampur (hybrid). Bahkan pada situasi tertentu proses adaptasi tersebut dapat melahirkan sistem norma yang baru karena norma baru hasil pencampuran tersebut tidak lagi dengan mudah bisa diidentifikasi ke dalam salah satu normative system yang ada.

Tulisan ini bermaksud mengangkat kembali tema diskusi di atas dengan menguatkan pandangan yang kedua. Tulisan ini berargumen bahwa pandangan bipolar atau binar untuk memahami hukum adat dalam hubungannya dengan norma lain, tidak lagi memadai untuk menjelaskan realitas kekinian adat atau hukum adat. Selaku media modern untuk mengajarkan dan membahas norma-norma hukum adat, pengajaran

(2)

2 mata kuliah hukum adat di fakultas-fakultas hukum di Indonesia, semestinya terkena dampak dari adanya perbedaan cara pandang di atas.

Dinamis dalam Bipolar

Sekalipun secara retorik mengakui adat dan hukum adat bersifat dinamis namun banyak pekerja Ornop dan kelompok masyarakat adat meyakini bahwa hukum adat melakukan strategi resistensi setiap kali berinteraksi dengan norma lain, terutama yang bermaksud melakukan dominasi. Berbagai motif melatari resistensi ini, dari mulai untuk mempertahankan hak atau kedaulatan maupun demi mempertahankan orginalitas hukum adat. Dari situasi inilah, sejumlah pegiat Ornop, komunitas adat atau pemerhati budaya meng-claim masih bisa ‘menemukan’ hukum adat yang tidak bercampur atau terpengaruhi dengan dan oleh elemen norma lain. Konsekuensinya hukum adat masih bisa dikontraskan dengan sistem norma lain terutama hukum negara. Keyakinan ini kemudian melandasi pemikiran yang mengusulkan hukum adat sebagai alternatif terhadap hukum negara. Atas dasar keyakinan ini pada sejumlah tempat, era reformasi dianggap sebagai saatnya bagi hukum adat berdiri setara atau bahkan lebih menentukan ketimbang hukum negara (Barr et al. 2001; Potter 2005; Barr et al. 2006).

Di kalangan akademik, jalan berpikir serupa di atas juga memiliki pengikut. Fase awal konsep pluralisme hukum yang melihat norma tradisional dan norma negara beroperasi terpisah dan selalu berkonfrontasi, merupakan salah satu contoh pengikut jalan berpikir di atas. Kedua sistem norma tersebut selalu dalam relasi konfliktual karena sistem negara selalu bermaksud mendominasi dan karena itu norma tradisional melakukan resistensi (Irianto 2003). Literatur-literatur mengenai perbandingan hukum juga dalam sejumlah hal mengikuti logika di atas. Sekalipun melihat antar sistem hukum saling mempengaruhi namun masing-masing masih mempertahankan eksistensinya sebagai sebuah sistem. Studi-studi mengenai hukum antar golongan memandang tindakan individu, ketika berhadapan dengan lebih dari satu sistem hukum, hanya memilih satu dari antara berbagai sistem hukum. Pada taraf tertentu konsep forum shopping juga memakai pengandaian ini (K. Benda-Beckmann 1981).

(3)

3 Dalam diskursus akademik, terutama diskusi mengenai hubungan norma lokal dengan norma negara, pandangan-pandangan di atas dianggap menggunakan pendekatan binar atau bipolar. Pendekatan bipolar selalu mengkontraskan antara norma lokal dengan norma negara dan melihat keduanya berada dalam relasi dominasi dan resistensi (McCarthy 2006). Konsekuensi dari penggunaan pendekatan ini bahwa realitas bentuk dan jaringan norma yang kompleks dirangkakan secara sederhana ke dalam bipolar tersebut. Norma-norma baru dianggap selalu bisa diidentifikasi ke dalam sistem norma yang sudah ada (Fitzpatrick 2007).

Norma Baru di Luar Bipolar

Lewat pengedepanan pendekatan interaksionis, kajian-kajian yang melihat bagaimana ragam norma beroperasi untuk mengendalikan perilaku sosial, mempertanyakan kehandalan pendekatan yang mengkontraskan berbagai sistem tersebut karena dianggap berlebihan mengedepankan determinasi struktur. Dengan menjadikan aktor sebagai basis analisis (actor-oriented approach) kajian-kajian ini melihat bahwa hubungan antar sistem norma tidak selalu saling menegasikan melainkan saling beradaptasi atau mengakomodasi. Oleh sebab itu karakter dinamis adat atau hukum adat difahami sebagai kemampuan adat atau hukum adat beradaptasi dengan sistem norma lain, terutama dengan hukum negara. Tindakan melakukan adaptasi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa hukum adat tidak selalu resisten bila berhadapan dengan sistem hukum lain. Adaptasi tersebut bahkan tetap dilakukan sekalipun adat atau hukum adat menganggap norma lain sebagai pesaing (McCarthy 2006).

Dari segi metode, ada berbagai cara adat atau hukum adat melakukan adaptasi dengan sistem norma lain. Pertama, menjadikan norma yang bukan norma adat menjadi bagian dari norma adat (Kurnia Warman 2010). Kedua, memakai format sistem norma lain untuk memberi kerangka pada substansi hukum adat (Kurnia Warman 2010). Ketiga, mengundang otoritas norma hukum lain dalam rangka menegakan hukum adat (McCarthy 2006).

Sementara itu, dari segi motif ada berbagai alasan spesifik mengapa adaptasi tersebut dilakukan. Secara umum, motifnya adalah membuat otoritas adat tetap mampu

(4)

4 mengendalikan aktivitas-aktivitas sosial anggotanya maupun orang luar. Pada sejumlah tempat dan berbagai era, penegakan hukum adat banyak mengandalkan otoritas dan legitimasi dari sistem formal untuk mengendalikan berbagai aktivitas sosial anggota komunitas adat (Hoekema 2005; McCarthy 2006). Tindakan pemimpin kelompok Kalderash Roma, sebuah komunitas Gypsy di Amerika Serikat, dan komunitas- komunitas Muslim yang tinggal di Inggris dan Perancis yang mengubah norma-norma mereka mengikuti norma negara, merupakan dua contoh untuk menunjuk fenomena di atas.Adaptasi norma lokal terhadap norma luar dapat juga terjadi karena munculnya kesadaran di kalangan komunitas adat/komunitas lokal yang mengakui rasionalitas norma-norma luar. Sekedar menyebut contoh, pada tahun 1999, sebuah organ tinggi masyarakat adat di distrik Jambalo, Colombia, membatalkan putusan desa yang menghukum mati seorang wanita atas tuduhan menggunakan ilmu hitam. Organ tinggi ini menggunakan norma-norma hak asasi manusia sebagai dasar argumen (Assies 2003).

Urano (2010) menunjukan praktek penggunaan bukti tertulis dalam transaksi jual beli tanah adat oleh masyarakat Dayak Kenyah di Kalimantan Timur. Bukti tertulis dipakai ketika tanah adat dijual kepada orang bukan Kenyah. Dalam kasus ini, penggunaan norma luar (bukti tertulis) didasarkan untuk keperluan meyakinkan calon pembeli (orang luar) atas kesahihan kepemilikan hak atas tanah. Dengan motif untuk mengendalikan perilaku orang luar dalam pemanfaatan hutan cadangan (tana ulen), masyarakat Kenyah merekam aturan adatnya ke dalam bentuk tertulis (Egenther 2000).

Dalam perkembangannya, literatur-literatur yang menggunakan pendekatan interaksionis dengan aktor sebagai titik berangkat, mendapatkan bahwa adaptasi tersebut tidak hanya berlangsung satu arah, yaitu norma-norma lokal meminjam elemen norma nasional dan internasional. Dalam kenyataannya normal nasional dan internasional juga meminjam elemen-elemen norma lokal (Hoekema 2005; Hoekema 2008; Michaels 2009). Jadi dikonstatasikan bahwa antar sistem norma saling meminjam atau mengakomodasi. Oleh karena itu, sekedar menegaskan, berbagai sistem norma tersebut tidak bisa dikontraskan satu sama lain.

(5)

5 Konsep interlegality dapat membantu kita untuk melihat dengan jelas hubungan akomodatif atau interpenetrasi antar sistem norma. Oleh pengusungnya konsep ini dianggap sebagai counterpart bagi konsep legal pluralism (Santos 1987; Hoekema 2003;

Hoekema 2008). Menurut konsep ini hukum nasional maupun hukum lokal tidaklah otonom dalam pengertian masing-masing bisa memenuhi kebutuhannya sendiri (self- contained). Dalam bahasa Santos (1987) kedua sistem hukum tersebut bukanlah eksistensi yang terpisah di mana satu sama saling mengurung diri. Dalam kenyataannya kedua sistem norma tersebut saling melakukan penetrasi yang dapat berujung pada pengakuan maupun negasi. Proses saling penetrasi tersebut dilakukan dengan mengambil alih elemen tertentu dari sistem norma lain dan mengembangkannya berdasarkan cara pandang norma tersebut (Santos 1987; Hoekema 2005; Hoekema 2008). Dalam kajian ilmu sosial, tindakan meminjam elemen-elemen luar untuk dimaknai menurut cara pandang lokal dilihat sebagai upaya untuk menegaskan ulang identitas lokal dalam rangka merespons perkembangan di tingkat nasional dan global.

Selain menemukan bahwa antar berbagai sistem norma tidak bisa dikontraskan, konsep-konsep yang menemukan interaksi akomodatif antar sistem norma juga mendapati bahwa proses tersebut memproduksi sesuatu, yaitu sebuah kategori norma yang dapat disebut norma yang bercampur (hybrid). Istilah norma hybrid digunakan juga untuk menjelaskan norma-norma yang tidak bisa lagi dikualifikasi sebagai norma formal ataupun norma informal (Irianto 2003). Dari sisi sebab, norma hybrid ini lahir karena penetrasi antar sistem norma hanya berujung pada tumpang tindih yang tidak sampai pada hubungan saling meniadakan atau saling menegasikan (Santos 2006;

Michaels 2009). Istilah lain yang serupa dengan istilah norma hybrid adalah semi-formal rule. Fitzpatrict (2007) misalnya menemukan bahwa puluhan juta hektar tanah-tanah garapan di Indonesia dalam realitasnya tidak lagi diatur oleh hukum adat dan pada saat yang sama hukum formal belum mengaturnya secara tegas. Penggunaan dan pemanfaatan atas tanah-tanah tersebut saat ini diatur oleh semi-formal rule yang rentan dari kekuasaan diskresionir. Dalam konteks hukum tanah yang lebih luas Fitzpatrict mengatakan bahwa relasi-relasi mengenai tanah dalam Indonesia modern tidak lagi mudah dicocokan dengan pendekatan binar: hak formal atas tanah dan hak tanah adat.

(6)

6 Perlu disampaikan bahwa sekalipun dianggap sebagai kategori norma baru karena tidak bisa diidentifikasi sebagai norma formal ataupun norma informal, istilah norma hybrid atau semi-formal rule tidak dipakai untuk menunjuk adanya sistem norma tersendiri. Jadi norma hybrid atau semi-formal rule bukanlah sebuah sistem norma sendiri yang memisah dari sistem norma yang ada. Norma-norma hybrid tersebut menyebar di antara sistem yang sudah ada (lokal, nasional dan internasional). Bahkan sekalipun berbeda dan dalam beberapa hal menyebabkan inkonsistensi dan inkoherensi pada masing-masing sistem norma, norma-norma hybrid tersebut masih bisa diidentifikasi sebagai bagian dari sistem norma tertentu. Oleh beberapa penulis, situasi demikian dimungkinkan karena keteraturan justru terlahir dari suatu situasi dimana antar normative system berkontestasi secara terus-menerus. Dengan kata lain keteraturan bukan merupakan hasil dari pelaksanaan aturan-aturan normatif (Nuijten 2003).

Di mata para penulis yang menggunakan perspektif internal, norma hybrid yang dalam fase- dan situasi tertentu mendatangkan kontradiksi dalam sistem norma yang ada tidak bisa dikatakan sebagai bagian dari sistem norma tersebut. Ini terjadi karena norma hybrid tersebut tidak cocok dengan prinsip, institusi dan kaedah-kaedah sehingga tidak mungkin untuk dipadukan (Fuller 1964; Ehrlich and Posner 1974; Siems 2008). Dalam konteks ini menarik untuk menyimak usulan konseptual Gessner (dalam Michaels 2009) yang membagi hukum ke dalam tiga kelompok yaitu hukum negara, hukum non-negara dan hukum hybrid. Pengkategorian ini sudah mulai menempatkan norma hybrid sebagai salah satu sistem norma.

Pengajaran Hukum Adat

Selaku institusi pendidikan modern yang menyajikan pengetahuan mengenai hukum, fakultas-fakultas hukum tentu saja harus memberi respons pada perkembangan scientifiec discourse di atas. Sejauh ini, mata kuliah-mata kuliah yang orientasinya mengajarkan dan membahas hukum-hukum negara, sudah merespons perkembangan di atas dengan cara menggunakan pendekatan-pendekatan yang mengkaitkan hukum dengan konteksnya. Di berbagai tempat pendekatan ini diberi nama berbeda seperti law and society atau empirical study of law di Amerika Serikat dan socio-legal studies di

(7)

7 Inggris Raya dan Eropa Daratan. Dengan menggunakan pendekatan ini, bukan saja mengenali kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi beroperasinya hukum negara, tetapi juga mengenali keberadaan berbagai sistem norma yang lain. Pertanyaannya sekarang, respons apa yang seharusnya dilakukan oleh pengajaran hukum adat terhadap perkembangan tersebut? Apakah bisa menggunakan socio-legal studies seperti yang dilakukan oleh mata kuliah lain?

Menyimak gambaran koneksi dinamis antar sistem norma di atas, ada sejumlah respons yang harus diberikan oleh pengajaran hukum adat di fakultas-fakultas hukum. Pertama, sudah barang tentu memutakhirkan pengetahuan mengenai hukum adat yang berkembang adalah respon utama dan pertama. Sifat hukum adat yang dinamis dan bentuknya yang tidak dikodifikasi memungkinkannya berubah dengan cepat. Oleh sebab itu diperlukan ketelatenan para pengampu mimbar hukum adat untuk mengikuti perkembangan ini baik dengan melakukan penelitian sendiri maupun membaca penelitian-penelitian orang dan institusi lain. Saat ini para pengampu hukum adat sebenarnya diuntungkan karena materi-materi mengenai gambaran hukum adat kontemporer banyak tersedia dalam laporan-laporan pegiat Ornop. Seperti situasi pada saat Van Vollenhoven bersama koleganya di Universitas Leiden membangun studi adat sebagai ilmu pengetahuan, saat ini para pengampu dan pakar hukum adat sebenarnya sudah terbantu dengan telah tersedianya hasil-hasil penelitian para antropolog dan ilmuan politik yang menggambarkan dinamika adat pasca reformasi.

Namun selain respon pertama di atas, hal terpenting yang perlu dilakukan oleh para pengampu mata kuliah hukum adat adalah meninjau ulang penggunaan istilah ‘hukum adat’ beserta cakupan materi perkuliahan. Apakah istilah ‘hukum adat’ masih tepat bila yang diajarkan sebagian adalah norma-norma hybrid yang nota bene tidak bisa lagi diidentifikasi sebagai hukum adat? Apakah diperlukan istilah baru untuk nama perkuliahan yang diikuti dengan cakupan materi perkuliahan? Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya bisa juga diajukan kepada mata kuliah-mata kuliah yang berorientasi mengajarkan dan membahas hukum-hukum negara. Namun apabila didapati bahwa pada norma-norma hybrid atau semi-formal tersebut elemen-elemen hukum (sanksi) dalam adat semakin menguat, apakah ini memerlukan perubahan aspek ontologis pada pengetahuan hukum adat? Perlu diingat bahwa sekalipun menekankan aspek

(8)

8 konsekuensi hukum (sanksi) untuk membedakan adat dengan hukum adat namun Van Vollenhoven tidak melihat ada garis pemisah yang tajam antara unsur hukum dan unsur non-hukum dalam adat (Holleman 1981; F dan K Benda-Beckmann 2011). Apakah dalam hybrid law garis pemisah itu sekarang sudah tajam?

Pertanyaan-pertanyaan di atas harus dilihat sebagai bahan untuk mendiskusikan lebih lanjut design pengembangan mata kuliah hukum adat. Untuk keperluan konkret, pertanyaan-pertanyaan di atas perlu segera ditemukan jawabannya agar citra mata kuliah hukum adat sebagai sesuatu yang ‘kuno’ dan ‘membosankan’ bisa hilang.

Referensi

Assies, Willem (2003) ‘Indian justice in the Andes, re-rooting or re-routing’, pp. 167-186 in T. Salman and A. Zoomers (eds.), Imagining the Andes: Shifting Margins of a Marginal World. Amsterdam: Aksant Academic Publishers.

Benda-Beckmann, Keebet von (1981) ‘Forum Shopping and Forum Shopping: Disputes Processing in a Minangkabau Village in West Sumatera’. Journal of Legal Pluralism 19:

117-159.

Benda-Beckmann, Franz dan Keebet von (2011) ‘ Myths and Stereothypes about Adat Law A Reassesment of Van Vollenhoven in the Light of Current Struggles over Adat Law in Indonesia’. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 167: 167-195.

Barr, Christopher et al., (2001) ‘The Impacts of Decentralization on Forests and Forest- Dependent Communities in Malinau District, East Kalimantan’. Bogor: Center for International Forestry Research.

Barr, Christopher et al., (2006) ‘Decentralization of Forest Administration in Indonesia’.

Bogor: Center for International Forestry Research.

Egenther, Cristina (2000) ‘What is Tana Ulen Good For? Considerations on Indigenous Forest Management, Conservation, and Research in the Interior of Indonesian Borneo’.

Human Ecology 28(3): 331-357.

(9)

9 Fitzpatrick, Daniel (2007) ‘Land, Custom, and the State in Post-Suharto Indonesia. A Foreign Lawyer Perspective, in Jamie S. Davidson dan David Henley, ‘The Revival of Tradition in Indonesian Politics. The Development of Adat from Colonialism to Indigenism’.

London and New York: Routledge.

Fuller, Lon L (1964) ‘The Morality of Law’. New Haven and London: Yale University Press.

Hoekema, Andre J., (2005) ‘European Legal Encounters Between Minority and Majority Culture: Cases of Interlegality. Journal of Legal Pluralism 51: 1-28.

_________________(2008) ‘Multicultural Conflicts and National Judges: A General Approach’.

LGD 2: 1-14.

Holleman, J.F., (1981) ‘Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law’. The Hague: Martinus Nijhoff.

Irianto, Sulistyowati (2003) ‘Perempuan di antara Berbagai Pilihan Hukum’. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Mathias, M. Siems (2008) ‘Legal Originality’. Oxford Journal of Legal Studies 28(1): 147- 164).

McCarthy, John F (2006) ‘The Fourth Circle A Political Ecology of Sumatra’s Rainforest Frontier’. Stanford: Stanford University Press.

Mommers, Laurens (2002) ‘Applied Legal Epistemology. Building a Knowledge-Based Ontology of the Legal Domain’. A PhD thesis at Leiden University.

Nuijten, Monique (2003) ‘Illegal Practices and the Re-enchanment of Governmental Techniques. Land and the Law in Mexico’. Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law 48: 168-183.

Ralf, Michaels (2009) ’Global Legal Pluralism’. Duke Law School Faculty Scholarship Series.

(10)

10 Santos, Boaventura DeSausa (1987) ‘Law: A Map of Misreading. Toward A Postmodern Conception of Law’. Journal of Law and Society 14(3): 279-302.

________________________ (2006) ‘The Heterogeneous State and Legal Pluralism in Mozambique’. Law&Society Review 40(1): 39-75.

Urano, Mariko (2010) ‘The Limits of Tradition. Peasants and Land Conflict in Indonesia’.

Kyoto University Press dan Trans Pacific Press.

Warman, Kurnia (2010) ‘Hukum Agraria dalam Masyarakat Majemuk: Dinamika Interaksi Hukum Adat Dan Hukum Negara Di Sumatra Barat’. Jakarta: HuMA.

Referensi

Dokumen terkait

5.6 Conclusion In this chapter it was seen that when we regard nodes as discrete switches having either an “on” or “off” state using a definition appropriate for each activation

Specification : Brand : Worldwide reputed brand to be supported by Original catalogue/Brochure/Manual, Model : To be mention by the tenderer, Brand of Origin : USA/Japan, Country of