• Tidak ada hasil yang ditemukan

Minimnya Pendidikan Seksual Tingkatkan Angka Pernikahan Usia Anak

N/A
N/A
Raif Rafi'i

Academic year: 2023

Membagikan "Minimnya Pendidikan Seksual Tingkatkan Angka Pernikahan Usia Anak"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Bacaan Berikut untuk menjawab soal nomor 1-5

Minimnya Pendidikan Seksual Tingkatkan Angka Pernikahan Usia Anak

Namanya Istigomah. Istigomah adalah anak perempuan dari sebuah desa kecil di Rembang, Jawa Tengah. Impiannya sama seperti kebanyakan remaja seusianya. Memupuk pengalaman, melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, memberdayakan diri, sebelum memutuskan untuk berumah tangga. Namun, ia pernah harus lebih dulu bertarung melawan ego bapaknya untuk mempertahankan prinsipnya yang tidak akan menikah di usia muda. Demi menjaga nama baik keluarga di mata masyarakat, bapaknya, seorang ketua RT yang disegani di desa, hendak menikahkan Istigomah saat ia belum menginjak usia 17 tahun. “Supaya tidak malu diomongin tetangga, karena di sini, umur kurang dari 17 tahun sudah umum buat nikah,” ceritanya. Didukung oleh sang ibu, Naimunah, mereka berjuang memberi pemahaman bapaknya. Berbeda dengan suaminya, Naimunah berpengetahuan cukup soal kesehatan reproduksi. Ia rutin mengikuti diskusi komunitas soal kesehatan reproduksi yang diadakan oleh sebuah LSM di desa. Ia tak mau hak anaknya melanjutkan pendidikan dan mendapatkan kehidupan layak terenggut karena harus mengurus rumah tangga dan keluarga barunya. Singkat cerita, Naimunah berhasil membujuk sang suami untuk tidak menikahkan anaknya di usia belia. Gadis feminim itu pun bisa kembali bersekolah meski harus pindah ke pesantren.

Kisah Istigomah kemudian dirilis dalam laporan yang dikeluarkan oleh Rutgers WPF Indonesia (2017- 2018), sebuah lembaga yang aktif menangani masalah seksualitas dan kesehatan reproduksi. “Ya di Rembang ini kehamilan remaja cukup tinggi dan alami, masalahnya kompleks,” papar Nur Jannah Koordinator Program Rutgers WPF Indonesia, dalam sebuah Konferensi Internasional Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (ICIFPRH), beberapa waktu lalu.Terdapat 54 kasus pernikahan anak terjadi di kota ini, dan hal itu terjadi pada tahun 2016. Remaja perempuan di sana pada umumnya dinikahkan pada umur kurang dari 16 tahun, berbeda dengan remaja laki-laki yang biasanya menikah pada usia tiga tahun lebih tua. Selain karena kebiasaan adat, banyak orang tua di Rembang belum memiliki pengetahuan cukup mengenai isu kesehatan reproduksi dan edukasi seksual. Kasus Istigomah jelas tidak disebabkan oleh masalah ekonomi, melainkan karena adanya tekanan sosial di lingkungan rumah oleh tetangganya. Keluarganya bahkan mampu membiayai Istigomah untuk berkuliah. Karena ada kungkungan norma inilah, UNICEF menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki kasus pernikahan anak di urutan ketujuh.

Dilihat dari usia kawin pertama, ada sekitar 37,91 persen anak usia kurang dari 16 tahun yang telah menikah. Sebanyak 39,17 persen setara 2 dari 5 anak perempuan usia 10-17 tahun menikah sebelum usia 15 tahun. Tak hanya itu, diperkirakan ada satu dari setiap tujuh anak yang sudah menikah saat belum menginjak usia 18 tahun (2016). Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017 (hlm. 43) menjabarkan lebih detail angka pernikahan anak di Indonesia. Ada sekitar 37,91 persen dari mereka yang berstatus menikah di usia 16 tahun, dan 22,92 persen lainnya kawin saat berusia satu tahun lebih tua. Data tambahan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 (hlm. 18), menyebutkan bahwa sebanyak 33.5 persen remaja perempuan berusia 15-19 tahun sudah hamil dan berisiko mengalami kurang energy kronis. “Faktor pemicu pernikahan anak ada banyak, mulai dari soal konstruksi seksualitas di masyarakat, pendidikan rendah, harga diri dan nama baik keluarga, hierarki patrilineal, serta hukum agama,” papar Jannah.

Beberapa alasan orang tua jarang membicarakan soal kesehatan reproduksi kepada anak karena menganggap hal tersebut tak pantas atau tabu dibicarakan. Ada juga yang tidak tahu atau bingung cara menyampaikannya. Sementara yang lain merasa enggan lantaran takut mendapat pertanyaan aneh atau justru dianggap mengajarkan 'seks bebas'. “Sayangnya banyak orang tua menganggap isu kesehatan reproduksi bisa diselesaikan di sekolah,” ungkap Dinar Pandan Sari, Demand Generation Officer di Johns Hopkins Center for Communication Program (JHCCP), organisasi non profit yang bergerak di bidang kesehatan. Padahal menurut studi yang tertuang dalam Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia (2017) dijelaskan bahwa menunda dan menyembunyikan pendidikan seks dari anak justru

(2)

membuat mereka lebih rentan, karena anak dan rernaja sedang berada dalam fase mencari dan memiliki rasa penasaran tinggi.

Penelitian lain yang dimuat dalam African Health Science (2008) mengatakan anak yang diberi edukasi kesehatan reproduksi melaporkan perilaku seksual kurang berisiko, dibanding teman sebaya mereka yang tidak diberi edukasi. Dari penelitian tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa edukasi seks yang baik dan benar justru mencegah pernikahan anak maupun perilaku seksual berisiko.

Dengan informasi memadai, anak dapat terhindar dari perilaku berisiko dan kehamilan di usia muda.

Dengan pengetahuan memadai soal kesehatan reproduksi, mereka jadi paham, bahwa angka kematian tinggi baik pada ibu maupun anak memiliki hubungan dengan tingkat kehamilan dan kelahiran pada usia dini.

(Disadur dan diadaptasi dari artikel "Minimnya Pendidikan Seksual Tingkatkan Angka Pernikahan Usia Anak", https://tirto.id/ejL8)

1. Menurut bacaan di atas, pernyataan yang PALING TIDAK SESUAI adalah ....

A. Dinar Pandan Sari, Demand Generation Officer di John Hopkins Center for Communication Program mengatakan bahwa sebagian besar orang tua menganggap isu pendidikan kesehatan reproduksi bisa diselesaikan di sekolah.

B. Terenggutnya kesempatan melanjutkan pendidikan bagi perempuan yang menikah di usia anak tak lain disebabkan oleh beban yang ditanggung untuk merawat anak dan mengurus keluarga.

C. Perilaku seksual berisiko di kalangan anak dapat dikurangi dengan edukasi isu kesehatan reproduksi yang cukup.

D. Banyak sekolah yang enggan menampung siswa yang sudah tidak berstatus belum kawin.

E. Isu kehamilan usia remaja terhitung tinggi di kota asal Istigomah.

2. Menurut bacaan di atas, yang PALING MUNGKIN salah adalah ....

A. Pandangan tabu masih menyelimuti mengenai pentingnya pendidikan reproduksi untuk anak di kalangan orang tua.

B. Kisah Istigomah dipaparkan kembali dalam Konferensi Internasional Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi yang diinisiasi oleh Nur Jannah Koordinator Program Rutgers WPF Indonesia.

C. Pendidikan kesehatan yang baik dapat membantu anak agar tidak melakukan perilaku seksual berisiko dan kehamilan di usia muda.

D. Angka pernikahan dan kehamilan di usia muda di kota Rembang merupakan masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan mudah

E. Istigomah berhasil melanjutkan pendidikannya setelah melawan kehendak ketua RT di lingkungannya.

3. Berdasarkan bacaan di atas, manakah yang merupakan alasan PALING TEPAT Naimunah mendukung keputusan anaknya untuk tidak menikah di usia muda?

A. Naimunah sudah pernah menjadi korban pernikahan di usia anak dan ia tak ingin anaknya ikut tergadai masa depannya.

B. Impian Istigomah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi akan menjadi sebuah kebanggaan bagi keluarga.

C. Istigomah belum siap secara usia dan mental, ditunjukkan oleh usia Istigomah yang berusia kurang dari 17 tahun saat akan dinikahkan, yang mana akan menyebabkan kehamilan dan kekurangan energi kronis.

D. Pembekalan dan pemberian materi mengenai isu kesehatan reproduksi yang cukup dari diskusi komunitas yang diadakan oleh LSM di desanya.

E. Beban berat yang akan ditanggung oleh Istigomah untuk merawat keluarga barunya akan menggadaikan masa depan keluarganya.

4. Manakah statistik terkait pernikahan usia anak di Indonesia yang BENAR menurut bacaan di atas?

A. Sebanyak 37,19 persen anak pertama kali menikah di usia kurang dari 16 tahun.

(3)

B. Apabila ada lima perempuan berusia 10-17 tahun, sebanyak dua di antara mereka sudah menikah sebelum usia 15 tahun.

C. Tak hanya itu, diperkirakan ada dua puluh persen anak dari sepuluh anak yang sudah menikah saat belum menginjak usia 18 tahun.

D. 22,92 persen dari anak laki-laki kawin pertama kali saat berusia satu tahun lebih tua daripada perempuan, yakni di usia delapan belas tahun.

E. Data tambahan sebanyak 33.5 persen remaja perempuan berusia 15-19 tahun sudah hamil dan berisiko mengalami kurang energi kronis dilontarkan oleh studi pada Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia pada tahun 2017.

5. Menurut bacaan di atas, faktor manakah yang BUKAN menjadi pemicu pernikahan anak?

A. Hierarki yang patriarkis.

B. Pendidikan rendah.

C. Misogini

D. Harga diri dan nama baik keluarga.

E. Konstruksi seksualitas di masyarakat.

6. Sementara penyanyi ada pada kedudukan utama. Semua yang ada pada kedudukan utama mendatangkan uang. Simpulan yang tepat adalah ...

A. Sebagian penyanyi tidak pada kedudukan utama.

B. Sebagian yang mendatangkan uang adalah penyanyi.

C. Sebagian yang berada pada kedudukan utama adalah penyanyi.

D. Sebagian penyanyi tidak mendatangkan uang.

E. Semua penyanyi berada pada kedudukan utama.

7. Semua nelayan adalah perenang. Sebagian nelayan adalah pelaut. Simpulan yang tepat adalah ...

A. Sebagian pelaut adalah perenang.

B. Sebagian perenang adalah bukan penyelam.

C. Semua pelaut adalah perenang.

D. Sebagian penyelam bukan pelaut.

E. Sebagian penyelam bukan perenang.

8. Perhatikan pola bilangan di bawah ini!

7, 12, 12, X, Y, 27, 37

Angka yang tepat untuk mengisi X dan Y secara berturut-turut adalah…

A. 17, 22 B. 22, 25 C. 21, 28 D. 22, 25 E. 25, 33

9. erhatikan gambar di bawah ini!

Berapa bilangan yang tepat untuk mengisi tanda tanya dalam gambar tersebut?

A. 36 B. 30 C. 40 D. 26 E. 32

10. Perhatikan tabel di bawah!

(4)

A B

( 13 )

4 dibagi

( 12 )

2

( 12 )

4 dibagi

( 13)

2

A. A>B B. A<B C. A=B

D. Hubungan antar kuantitas tidak dapat ditentukan

Referensi

Dokumen terkait