• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mitigasi Risiko Manajemen Rantai Pasok Kelapa Non Edible Yang Berkelanjutan Sebagai Bahan Baku Bioavtur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Mitigasi Risiko Manajemen Rantai Pasok Kelapa Non Edible Yang Berkelanjutan Sebagai Bahan Baku Bioavtur"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Mitigasi Risiko Manajemen Rantai Pasok Kelapa Non Edible Yang Berkelanjutan Sebagai Bahan Baku Bioavtur

Rahid Pambengkas1*, Dana Nasihardani2, Ridwan Abdurahman3, Renno Satrio4, M. Fikri Khairullah5

12345Magister Teknik Industri, Universitas Mercu Buana, Jakarta, Indonesia

*Email korespondensi: pambengkas@gmail.com

Abstrak

Produksi kelapa di provinsi Riau, khususnya Kabupaten Indragiri Hilir sangat melimpah namun tidak semua bisa dikonsumsi manusia karena berbagai sebab, baik itu akibat pengelolaan, busuk jatuh dari pohon, jamur aflatoxin dan sebagainya. Penelitian ini bertujuan untuk Mitigasi Risiko Manajemen Supply Chain yang dihadapi bila kelapa non standar dikelola menjadi SAF khususnya di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Selanjutnya menggunakan model manajemen risiko yaitu House of Risk (HOR) dengan prinsip FMEA (Failure Mode and Error Analysis). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka risiko terbesar berdasarakan perhitungan FMEA adalah belum ada UU yang mengatur secara khusus terkait perkelapaan. Kendati demikian, solusi yang bisa diambil sesuai prioritas adalah dengan Pemerintah dapat melakukan program penyuluhan dan pendidikan kepada petani tentang metode pengeringan yang baik dan aman untuk kopra. Hal ini dikarenakan solusi yang bisa diselesaikan dalam waktu dekat adalah permasalahn terkait dengan kopra.

Kata Kunci: Mitigasi Risiko, Manajemen Rantai Pasok, Kelapa Non Edible, FMEA, AHP

Abstract

Coconut production in Riau province, especially Indragiri Hilir Regency is very abundant, but not all of it can be consumed by humans due to various reasons, whether it's due to management, falling rot from trees, aflatoxin fungus and so on. This study aims to Mitigate Supply Chain Management Risks faced when non-standard coconuts are managed into SAF, especially in Indragiri Hilir Regency, Riau.

The data analysis technique used in this study uses the Analytical Hierarchy Process (AHP).

Furthermore, using a risk management model, namely the House of Risk (HOR) with the principle of FMEA (Failure Mode and Error Analysis). Based on the results of the research that has been done, the biggest risk based on FMEA calculations is that there is no law that specifically regulates coconut.

However, the solution that can be taken according to priorities is for the Government to conduct outreach and education programs for farmers about good and safe drying methods for copra. This is because the solution that can be resolved in the near future is a problem related to copra.

Keywords: Risk Mitigation, Supply Chain Management, Non Edible Coconut, FMEA, AHP 1. Pendahuluan

Perkembangan ekonomi dunia yang bergerak cepat membawa berbagai persoalan lingkungan yang mengancam kesehatan, mengacu kepada Paris Agreement, sektor aviasi termasuk ke dalam top ten global CO2 emitter, dimana diperkirakan emisi dari sektor ini akan meningkat tajam di pertengahan abad. Emisi CO2 dari sektor penerbangan diperkirakan menyumbang sebesar 2,1% dari kontribusi global. Sektor penerbangan internasional di bawah naungan International Civil Aviation Organization (ICAO) telah mengeluarkan target aspirasional yaitu efisiensi bahan bakar sebesar 2% per tahun hingga 2050 dan mencapai Carbon Neutral Growth dari tahun 2020.

(2)

Indonesia memproduksi 17,13 juta ton kelapa pada 2019. Berdasarkan laporan World Atlas, produksi kelapa di Indonesia tersebut menjadi yang terbesar di dunia. Riau adalah provinsi terbesar penghasil kelapa dengan produksi 395,00 ribu ton dengan luas lahan 432,30 ribu ha pada tahun 2021. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, produksi kelapa di provinsi Riau, khususnya Kabupaten Indragiri Hilir sangat melimpah namun tidak semua bisa dikonsumsi manusia karena berbagai sebab, baik itu akibat pengelolaan, busuk jatuh dari pohon, jamur aflatoxin dan sebagainya (Rizaty, 2021).

Kelapa jenis ini sebenarnya dapat dikelompokkan sebagai limbah, atau Kelapa Non-standar yang didefinisikan sebagai kelapa yang ditolak oleh pabrik pangan dan pasar umum dimana di Indonesia biasa disebut dengan terminologi “Rejected Coconut” atau “BS/Barang Sisa” dalam bahasa di masyarakat umum yang mudah dimengerti dikenal dengan istilah “Limbah”. Empat karakteristik dari Kelapa Non- standar adalah sebagai berikut: Kecil; Terlalu tua; Berkecambah; Retak dan berkorosi. Kelapa dengan kondisi diatas tidak dijual secara mentah, namun biasanya dijual setelah diproses menjadi kopra. Para peneliti melihat potensi besar bila kelapa jenis ini tidak layak konsumsi (non Edible/non standar) di konversi menjadi SAF. Mahalnya harga SAF, lingkungan/kesehatan terganggu, potensi pasokan bahan melimpah sangat memungkinkan dikembangkan SAF lebih massif. Kendati demikian, terdapat pula hambatan diantaranya belum adanya aturan yang mengijinkan secara spesifik kelapa Non Edible untuk energi yang merupakan risiko tersendiri apabila kelapa non edible ini dikelola menjadi SAF tanpa izin dari otoritas pembuat kebijakan.

Menurut Ferreira et al., (2018) sebuah perusahaan seharusnya memiliki Supply Chain Risk Management (SCRM) yang tepat agar dapat bertahan dilingkungan bisnis yang rentan terhadap risiko untuk mencegah potensi kerugian. Penelitian Oliveira et al., (2019) tentang manajemen risiko rantai pasokan pada lingkungan dengan metode Systematic Literature Review (SLR) yang terdiri dari delapan tahapan untuk mengevaluasi dan mensintesis risiko pada rantai pasok. Kemudian penelitian oleh Vilko et al., (2019) mengenai kemampuan manajemen risiko dalam rantai pasokan maritim multimoda dengan Failure Mode Effect of Analysis (FMEA) untuk menganalisis risiko. Penelitian Dadsena et al., (2019); Toppel &

Trankler, (2019); Thons & Stewart, (2019); Ceres et al., (2019) mengatakan bahwa strategi mitigasi risiko menggunakan 3 karakteristik utama dalam merancang strategi mitigasi yaitu biaya implementasi, strategi serta probabilitas terjadinya risiko dan langkah-langkah mitigasi risiko berdasarkan 3 indikator mitigasi yaitu 1. Risiko dan optimasi berbasis biaya 2. Mengukur dan memastikan signifikansi dalam mengurangi risiko, 3. Mengukur dan memastikan kemungkinan efisiensi biaya yang tinggi. Hasibuan et al (2021) dalam penelitiannya melakukan analisa data dengan memanfaatkan pendekatan House of Risk.

Evaluasi risiko pada rantai pasok industri memadukan metode SCOR-FMEA. Risiko yang tergolong Tinggi dan Prioritas selanjutnya dianalisis dengan Fishbone Diagram dan 5W1H sebagai acuan penyusunan strategi mitigasi risiko untuk keberlanjutan rantai pasok industri. Yunia et al (2022) memberikan hasil penelitian berupa model hubungan antara kecepatan berpindah dan keberlanjutan pada rantai pasok industri unggas nasional terintegrasi. Variabel kecepatan berpindah menjadi pendorong keberlangsungan rantai pasok industri unggas nasional yang terintegrasi dengan customer sensitivity menjadi faktor kunci yang penting untuk meningkatkan keberlanjutan rantai pasok industri unggas. Thaheer dan Hasibuan (2019) menunjukkan hasil penelitian yaitu teridentifikasi ada 16 resiko terhadap rantai pasok TBS. Resiko dikelompokkan menjadi: 1) resiko yang segera ditangani; 2) resiko yang dipertimbangkan untuk ditangani; dan 3) resiko yang sementara menjadi catatan (dokumentasi).

Resiko dengan karakter segera ditangani dan dipertimbangkan untuk ditangani adalah resiko yang dalam waktu dekat diperhitungkan mempengaruhi pasokan bahan baku TBS untuk industri. Dalam kurun waktu lima tahun ke depan, berhasil disusun mitigasi terhadap resiko-resiko tersebut. Dengan pengelolaan resiko tersebut, diperhitungkan pasokan TBS ke pabrik pada distrik Rokan Tandun dapat diamankan. Penelitian ini bertujuan untuk Mitigasi Risiko Manajemen Supply Chain yang dihadapi bila kelapa non standar dikelola menjadi SAF khususnya di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.

2. Landasan Teori

2.1. Industri Perkebunan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan menyebutkan bahwa Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media

(3)

tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu. Sementara itu Industri pengolahan hasil perkebunan adalah kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil tanaman perkebunan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi.

2.2. Rantai Pasok

Rantai pasok adalah proses terpadu di mana beberapa pihak bekerja sama untuk memperoleh bahan baku, bahan baku yang bervariasi (Haudi et al., 2022). Rantai pasok adalah sebuah jalinan pada perusahaan yang bekerja sama agar menciptakan dan mengirimkan suatu produk kepada pengguna akhir (Yusuf, 2022). Rantai pasokan adalah serangkaian aktivitas jaringan fasilitas dan opsi distribusi yang meliputi seluruh interaksi antara pemasok, distributor, perusahaan, produsen dan konsumen. Dalam sebuah rantai pasok, secara umum ada tiga jenis arus, yaitu arus barang, arus kas, dan arus informasi (Fatorachian et al., 2021).

2.3. FMEA

FMEA adalah sebuah metode evaluasi kemungkinan terjadinya sebuah kegagalan dari sebuah sistem, desain, proses atau servis untuk dibuat langkah penanganannya (Yumaida. 2011). Dalam FMEA, setiap kemungkinan kegagalan yang terjadi dikuantifikasi untuk dibuat prioritas penanganan (Andiyanto et al, 2020). FMEA adalah suatu alat yang secara sistemastis mengidentifikasi akibat atau konsekuensi dari kegagalan atau proses, serta mengurangi atau mengeleminasi peluang terjadinya kegagalan, FMEA. Risk Priority Number (RPN) adalah hasil dari S x O x D dimana akan terdapat angka RPN yang berlainan pada setiap alat yang telah melalui proses analisa sebab akibat kesalahan , pada alat yang memiliki angka RPN tertinggi tim harus memberikan prioritas pada faktor tersebut untuk melakukan tindakan atau upaya untuk mengurangi angka resiko melalui tindakan perawatan korektif. Nilai RPN dari setiap masalah yang potensial kemudian digunakan untuk membandingkan penyebab-penyebab yang teridentifikasi selama dilakukan analisis. Pada umumnya RPN jatuh diantara batas yang ditentukan. Tindakan perbaikan dapat diusulkan atau dilakukan untuk mengurangi resiko.

2.4. Peraturan Pemerintah Terkait Industri Perkebunan dan Pertanian

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22tahun 2019 Tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan menyebutkan bahwa Pertanian adalah kegiatan mengelola sumber daya alam hayati dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk menghasilkan komoditas pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan dalam suatu agroekosistem. Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya alam hayati dalam memproduksi komoditas pertanian guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik dan berkesinambungan dengan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian menyebutkan bahwa Perusahaan Perkebunan adalah bada:I usaha yang berbadan frukum, didirrkan menunit.hrikum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Indonesia, yang mengelola Usaha Perkebunan dengan skala tertentu. Sementara itu, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2015 Tentang Penghimpunan Dana Perkebunan juga mengatur tentang berjalannya industry perkebunan.

3. Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus atau case study merupakan bagian dari metode kualitatif yang hendak mendalami suatu kasus tertentu secara lebih mendalam dengan melibatkan pengumpulan beraneka sumber informasi. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian campuran (mix methodology). Mix methodology digunakan dengan tujuan untuk menghasilkan fakta yang lebih komprehensif dalam meneliti masalah penelitian karena peneliti memiliki keabsahan untuk menggunakan semua alat pengumpul data sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan.

(4)

Pada penelitian ini data diambil dari pengamatan langsung supply chain. Adapun sumber informasi dari penelitian ini yaitu pegawai Dinas Perkebunan Kabupaten Indragiri hilir dan tim ahli yang expert di bidang pengelolaan limbah untuk menyusun strategi. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik dokumentasi, teknik wawancara, dan teknik kuesioner. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pegawai yang berkaitan langsung dengan supply chain. Wawancara dilakukan kepada 1 orang Dinas Perkebunan Kabupaten Indragiri hilir dan 1 orang tim ahli yang expert di bidang pengelolaan limbah. Sedangkan kuesioner diberikan kepada industry pengelolaan limbah kelapa. Adapun untuk indikator kuesioner yaitu terdiri dari:

1. Instrumental input 2. Environmental input 3. Raw input

4. Output 5. Outcome

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Selanjutnya menggunakan model manajemen risiko yaitu House of Risk (HOR) dengan prinsip Failure Mode and Error Analysis (FMEA). Adapun pemetaan aktivitas metode SCRM pada pengelolaan limbah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Aktivitas Pemetaan Pengelolaan Limbah

Proses Aktivitas

Plan Perencanaan dengan melakukan panen kelapa Perhitungan kebutuhan

Source Pembelian bahan baku

Menerima dan menyimpan bahan baku Memeriksa bahan baku yang diterima Menerima pesanan dari customer

Make Pengolahan kelapa menjadi produk makanan Melakukan packaging hasil produksi

Menyerahkan barang jadi kepada retail Deliver Update ketersediaan produk jadi

Pengiriman produk ke pelanggan Return Pengembalian produk kepada supplier

Penanganan pengembalian produk jadi dari pelanggan 4. Hasil dan Pembahasan

FMEA digunakan sebagai perbandingan alat ukur dalam menganalisi variabel-variabel dalam penelitian ini dilakukan terhadap variabel resiko yaitu Occurance, Saverity dan Detection, dimana pengukuran variabel atau skala pengukuran pada variabel ini melalui pendekatan skala ordinal yaitu membedakan katagori variabel resiko berdasarkan tingkat atau urutannya. Secara rinci faktor-faktor ini akan diuraikan melalui metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA).

Tabel 1. Analisis FMEA sebelum di urutkan Failure Mode Cause of failure Severity

Rating

Occurance Rating

Detection Rating

Risk Priority Number Instrumental

input

Belum ada UU yang mengatur secara khusus terkait

perkelapaan

8 8 2 128

Environmental input

Pasokan dari petani masih tercampur, belum ada pemilahan

7 6 2 84

Raw input 1 Belum adanya alat untuk sortir

kelapa 7 7 2 98

(5)

Failure Mode Cause of failure Severity Rating

Occurance Rating

Detection Rating

Risk Priority Number

Raw Input 2

Terdapat kopra dengan kondisi yang jelek karena

pengeringannya menggunakan belerang

6 6 3 108

Output

Ketidakpastian kondisi yang menyebabkan risiko muncul pada aktivitas rantai pasok

8 6 2 96

Outcome

Belum adanya aturan yang mengijinkan secara spesifik kelapa Non Edible untuk energi

8 5 2 80

Tabel 2. Analisa FMEA setelah diurutkan Failure Mode Cause of failure Severity

Rating

Occurance Rating

Detection Rating

Risk Priority Number Instrumental

input

Belum ada UU yang mengatur secara khusus terkait

perkelapaan

8 8 2 128

Raw Input 2

Terdapat kopra dengan kondisi yang jelek karena pengeringannya menggunakan belerang

6 6 3 108

Raw input 1 Belum adanya alat untuk sortir

kelapa 7 7 2 98

Output

Ketidakpastian kondisi yang menyebabkan risiko muncul pada aktivitas rantai pasok

8 6 2 96

Environmental input

Pasokan dari petani masih tercampur, belum ada pemilahan

7 6 2 84

Outcome

Belum adanya aturan yang mengijinkan secara spesifik kelapa Non Edible untuk energi

8 5 2 80

Dari data hasil analisa FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) tersebut didapatkan nilai RPN (Risk Priority Number) dari mulai yang terbesar sampai yang terkecil. Nilai RPN terbesar didapatkan pada cause of failure “Belum ada UU yang mengatur secara khusus terkait perkelapaan” dengan nilai 128.

Maka, dari hasil nilai RPN (Risk Priority Number) terbesar tersebut kemudian dilakukan perbaikan dengan tujuan untuk mengurangi permasalahan tersebut.

Tabel 3. Solusi dari permasalahan yang ada

Failure Mode Cause of failure Solusi

Instrumental input

Belum ada UU yang mengatur secara khusus terkait

perkelapaan

Pemerintah dapat membentuk tim kerja yang terdiri dari ahli, akademisi, dan pemangku kepentingan terkait perkelapaan

Environmental input

Pasokan dari petani masih tercampur, belum ada pemilahan

Pemerintah dapat bekerja sama dengan para petani, pakar, dan asosiasi industri untuk mengembangkan pedoman dan standar yang jelas tentang pemilahan dan penilaian kualitas kelapa

Raw input 1 Belum adanya alat untuk sortir kelapa

Pemerintah dapat menjalin kemitraan dengan perusahaan swasta dan perguruan tinggi yang memiliki keahlian dalam pengembangan teknologi pertanian

Raw Input 2 Terdapat kopra dengan kondisi yang jelek karena

Pemerintah dapat melakukan program penyuluhan dan pendidikan kepada petani tentang metode pengeringan yang baik dan aman untuk kopra

(6)

Failure Mode Cause of failure Solusi pengeringannya menggunakan

belerang Output

Ketidakpastian kondisi yang menyebabkan risiko muncul pada aktivitas rantai pasok

Kerja sama yang kuat antara perusahaan dan pemasok merupakan kunci dalam mengatasi risiko dalam rantai pasok

Outcome

Belum adanya aturan yang mengijinkan secara spesifik kelapa Non Edible untuk energi

Pemerintah dapat mengembangkan kebijakan dan regulasi yang khusus mengatur penggunaan kelapa non edible sebagai sumber energi melalui proses konsultasi dengan para pemangku kepentingan, termasuk petani, produsen kelapa, industri energi, dan ahli terkait Berdasarkan perhitungan AHP maka didapatkan bahwa nilai prioritas sebagai berikut:

Tabel 3. Solusi dari Permasalahan

Failure Mode Solusi Prioritas Rangking

Instrumental input

Pemerintah dapat membentuk tim kerja yang terdiri dari ahli,

akademisi, dan pemangku kepentingan terkait perkelapaan 0,095 6 Environmental

input

Pemerintah dapat bekerja sama dengan para petani, pakar, dan asosiasi industri untuk mengembangkan pedoman dan standar yang jelas tentang pemilahan dan penilaian kualitas kelapa

0,167 3

Raw input 1

Pemerintah dapat menjalin kemitraan dengan perusahaan swasta dan perguruan tinggi yang memiliki keahlian dalam pengembangan teknologi pertanian

0,157 4

Raw Input 2

Pemerintah dapat melakukan program penyuluhan dan pendidikan kepada petani tentang metode pengeringan yang baik dan aman untuk kopra

0,238 1

Output Kerja sama yang kuat antara perusahaan dan pemasok

merupakan kunci dalam mengatasi risiko dalam rantai pasok 0,234 2

Outcome

Pemerintah dapat mengembangkan kebijakan dan regulasi yang khusus mengatur penggunaan kelapa non edible sebagai sumber energi melalui proses konsultasi dengan para

pemangku kepentingan, termasuk petani, produsen kelapa, industri energi, dan ahli terkait

0,152 5

Berdasarkan hasil perhitungan AHP maka didapatkan rangking untuk solusi penyelesaian masalah sebagai berikut:

1. Pemerintah dapat melakukan program penyuluhan dan pendidikan kepada petani tentang metode pengeringan yang baik dan aman untuk kopra

2. Kerja sama yang kuat antara perusahaan dan pemasok merupakan kunci dalam mengatasi risiko dalam rantai pasok

3. Pemerintah dapat bekerja sama dengan para petani, pakar, dan asosiasi industri untuk mengembangkan pedoman dan standar yang jelas tentang pemilahan dan penilaian kualitas kelapa 4. Pemerintah dapat menjalin kemitraan dengan perusahaan swasta dan perguruan tinggi yang

memiliki keahlian dalam pengembangan teknologi pertanian

5. Pemerintah dapat mengembangkan kebijakan dan regulasi yang khusus mengatur penggunaan kelapa non edible sebagai sumber energi melalui proses konsultasi dengan para pemangku kepentingan, termasuk petani, produsen kelapa, industri energi, dan ahli terkait

6. Pemerintah dapat membentuk tim kerja yang terdiri dari ahli, akademisi, dan pemangku kepentingan terkait perkelapaan

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka nilai RPN tertinggi sebesar 128 dengan Failure mode “instrumental input” yakni risiko terbesar berdasarakan perhitungan FMEA adalah belum ada UU

(7)

yang mengatur secara khusus terkait perkelapaan. Kendati demikian, solusi yang bisa diambil sesuai prioritas dengan peringkat 1 yakni pada “raw input 2” yaitu Pemerintah dapat melakukan program penyuluhan dan pendidikan kepada petani tentang metode pengeringan yang baik dan aman untuk kopra.

Hal ini dikarenakan solusi yang bisa diselesaikan dalam waktu dekat adalah permasalahn terkait dengan kopra.

Daftar Pustaka

Andiyanto, Surya., Sutrisno, Agung., Punuhsingon, Charles. (2020). Penerapan Metode FMEA (Failure Mode And Effect Analysis) Untuk Kuantifikasi Dan Pencegahan Resiko Akibat Terjadinya Lean Waste. Jurnal Online Poros Teknik Mesin Volume 6 Nomor 1.

Ceres, R. L., Forest, C. E., Keller, K. 2019. Optimization of multiple storm surge risk mitigation strategies for an island City on a Wedge. Environmental Modelling & Software, Vol. 119, pp.

341-353.

Dadsena, K. K., Sarmah, S. P., Naikan, V. N. A., Jena, S. K. 2019. Optimal budget allocation for risk mitigation strategy in trucking industry: an integrated approach. Transportation Research Part A:

Policy and Practice, Vol. 121, pp. 37-55.

Ferreira, F. D. A. L., Scavarda, L. F., Ceryno, P. S., Leiras, A. 2018. Supply chain risk analysis: a shipbuilding industry case. A Leading Journal of Supply Chain Management, Vol. 21, No.5, pp.

542-556.

Hasibuan, Sawarni., Thaheer, Hermawan., Supono, Joko., dan Irhamni. (2021). Analisis Risiko Pada Rantai Pasok Industri Minuman Siap Saji Jus Buah Dengan Pendekatan SCOR-FMEA.

Operations Excellence: Journal of Applied Industrial Engineering 2021, 13(1), 73-85

Oliveira , M. Jin , R.S. Lima , J.E. Kobza , J.A.B. Montevechi. 2018. The Role of Simulation and Optimization Methods in Supply Chain Risk Management: Performance and Review Standpoints, Simulation Modelling Practice and Theory. doi: https://doi.org/10.1016/j.simpat.2018.11.007 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2015 Tentang Penghimpunan Dana

Perkebunan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian

Rizaty, Monavia Ayu. 2021. Indonesia, Produsen Kelapa Terbesar di Dunia.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/08/indonesia-produsen-kelapa-terbesar-di- dunia

Thaheer Hermawan dan Hasibuan, Sawarni. (2019). Strategi Mitigasi Resiko Keamanan Rantai Pasokan Tandan Buah Segar Pabrik Kelapa Sawit Menggunakan Pendekatan Fuzzy dan ISO 28001. Jurnal Ilmiah Teknik Industri ISSN: 1412-6869 e-ISSN: 2480-4038

Thons, S, & Stewart, M. G. 2019. On decision optimality of terrorism risk mitigation measures for iconic bridges. Reliability Engineering & System Safety, Vol. 188, pp. 574-583.

Toppel, J., & Trankler, T. 2019. Modeling energy efficiency insurances and energy performance contracts for a quantitative comparison of risk mitigation potential. Energy Economics, Vol. 80, pp. 842-859

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22tahun 2019 Tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan

Vilko, J., Ritala, P., Halilkas, J. 2019. Risk management abilities in multimodal maritime supply chains:

visibility and control perspectives. Accident Analysis & Preventation, Vol. 123, pp. 469-481.

Yunita, Ika., Hasibuan, Sawarni., dan Thaheer Hermawan. (2022). Identification of Key Agility Variables to Improve Poultry Supply Chain Sustainability: Indonesian Case. Industria: Jurnal Teknologi dan Manajemen Agroindustri Volume 11 No 2: 117-127 (2022)

Referensi

Dokumen terkait

Microwave-assisted extraction (MAE), ultrasound-assisted extraction (UAE), enzyme-assisted ex- traction (EAE), supercritical fluid extraction (SFE), pressurized solvent