Saat ini, media sosial merupakan media yang dapat diakses oleh hampir seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Permasalahan ini berkembang pesat di kalangan masyarakat Indonesia mengingat minimnya sikap selektif dan kritis masyarakat Indonesia dalam menerima informasi di media sosial. Dampak negatif yang diyakini timbul dari sikap selektif dan kritis dalam menerima informasi di media sosial adalah terkikisnya nilai-nilai ketahanan nasional.
Majalah ini diharapkan mampu mendorong masyarakat Indonesia untuk lebih selektif dan kritis terhadap informasi yang tersebar melalui berbagai media sosial. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ningrum, dimana sensitivitas sosial siswa SLTPN 1 Demak tampak rendah ketika menggunakan media sosial (Facebook) untuk memberikan review negatif terhadap teman yang menggunakan kata-kata kasar. Dukungan masyarakat yang sangat diperlukan dalam membasmi informasi palsu di media sosial adalah bersikap kritis dan selektif dalam membaca dan menyikapi informasi yang beredar di media sosial.
Meluasnya penggunaan media sosial di berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dan banyaknya berita palsu yang tersebar menimbulkan pertanyaan bagi semua orang. Pendidikan formal, informal, dan nonformal berperan besar dalam menciptakan masyarakat yang kritis dan selektif dalam menyaring informasi yang beredar di media sosial. Budaya berpikir sistematis, artinya ketika masyarakat berpikir dan meneliti informasi di media sosial, mereka harus rutin menggabungkan ide sesuai sistem yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan seluruh lapisan masyarakat berperan penting dalam meminimalisir informasi di media sosial. Dukungan seluruh lapisan masyarakat dapat berupa sikap kritis dan selektif dalam menerima dan menyebarkan informasi di media sosial. Selain itu, budaya berpikir kritis, metodis, dan sistematis terhadap informasi di media sosial dinilai mampu.
TAUHID SEBAGAI PARADIGMA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
- Pendahuluan
- Pembahasan
- Kajian Paradigma Tauhid dari Konsep Ta’lim
- Tauhid Sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu dan Pembelajaran
- Kesimpulan
Namun kecenderungan yang bersifat destruktif terhadap manusia dan kemanusiaan ini menimbulkan dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Sardar melihat hubungan antara tokoh-tokoh Islam dengan umat Islam belum mampu memahami dan menjelaskan teks Al-Quran dan Hadits serta bagaimana konsep tersebut diimplementasikan di dunia nyata. Untuk mengembangkan urgensi pengembangan tauhid dalam integrasi nilai1, Kartanegara menggagas dikotomi ilmu umum dan ilmu agama.
Kebenaran yang menunjang kewibawaan sumber yang digunakan untuk memperoleh kebenaran ilmu agama adalah Al-Qur'an dan Hadits. Maka Rabb memberikan dua sumber utama pembelajaran ini yaitu Al Qur'an (sumber wahyu) dan al Bayani/. Kuntowijoyo menawarkan paradigma Al-Qur'an yang dapat mengkonstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al-Qur'an memahaminya.
Dengan pendekatan ini, Al-Qur’an terbagi menjadi dua konsep, yaitu cerita dan peribahasa (perumpamaan). Sedangkan pendekatan analitis adalah memandang ayat-ayat Al-Qur’an sebagai pernyataan normatif yang perlu diterjemahkan, dianalisis, dan diterjemahkan dari sudut pandang obyektif. Struktur yang terkandung dalam Al-Qur'an adalah tentang membangun gagasan-gagasan sempurna bagi kehidupan.Al-Qur'an sebenarnya menawarkan peluang yang besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir transendental agar dapat menemukan alam melalui penelitian dan eksperimen yang dapat dijadikan sebagai landasan filosofis.
Struktur transendental Al-Qur'an merupakan gagasan normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Kita yakin dapat menemukan mekanisme islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana mengkonversi dan mengintegrasikan seluruh pemikiran dan warisan intelektual dari manapun ke dalam teori-teori yang tercakup dalam paradigma Al-Quran6. Yang dimaksud dengan ummah di sini adalah pelaksanaan pesan ilahi yang terkandung dalam Al-Qur'an.
Tidak banyak perbedaan antara paradigma tauhid, paradigma Al-Qur'an, dan paradigma ummat, yang hakikatnya diperlakukan sama dalam misinya. Selanjutnya paradigma ini dikaji secara sintetik-analitis dari Al-Qur'an sebagaimana disebutkan Kuntowijoyo. Paradigma ini akan mampu menata kembali status keilmuan antara ilmu umum dan ilmu agama, sumber keilmuan, objek keilmuan, klasifikasi keilmuan, metodologi keilmuan serta langkah mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum.
Sumber keilmuan dan objek keilmuan, klasifikasi keilmuan, metodologi keilmuan serta langkah integrasi antara ilmu umum dan ilmu agama dapat sinkron dalam kehidupan. Abbs Mahmud, (1986) Filsafat Al-Qur'an: Filsafat, Spiritual dan Sosial dalam Tanda-tanda Al-Qur'an, Jakarta: Pustaka Firdaus.
BULLYING PADA ANAK USIA DINI
Hal ini berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan otak anak yang sudah mencapai 80% pada usia 6 tahun. Munculnya permasalahan dalam perkembangan sosial emosional anak diwujudkan dalam munculnya perilaku anak yang tidak pantas, baik di rumah maupun di sekolah. Bullying adalah masalah sosial yang terjadi di sekolah-sekolah di seluruh dunia (Smith, Cousin, & Stewart, 2005).
Olweus (1993) mengungkapkan bahwa perilaku bullying terjadi sejak usia prasekolah dan puncak masalahnya adalah pada usia sekolah menengah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih sering menunjukkan perilaku bullying dibandingkan anak perempuan (Olweus, 1993; Smith & Sharp 1994; dalam Rigby, 2003). Selain itu, anak perempuan lebih besar kemungkinannya menjadi korban perundungan dibandingkan anak laki-laki (Cassidy, 2009).
Biasanya anak laki-laki melakukan perundungan secara fisik sedangkan anak perempuan biasanya melakukan perundungan dalam bentuk verbal, mental, dan sosial. Olweus (Safe School Center, 1999) menyebutkan tiga kondisi utama yang membedakan perilaku bullying dengan bentuk perilaku agresif lainnya, yaitu kekuasaan: anak yang melakukan intimidasi memperoleh kekuasaannya melalui ukuran fisik dan status kelompok teman sebaya serta dukungan kelompok teman sebaya. , frekuensi: intimidasi bukanlah tindakan acak. Perilaku bullying dibagi menjadi dua kategori, yaitu bullying langsung dan tidak langsung (Smith et.al, 2005).
Sullivan (2000) menyatakan bahwa bullying melibatkan 3 hal yaitu pelaku, korban dan orang yang menyaksikan perilaku bullying. Anak yang sering menjadi korban bullying (korban) adalah seseorang atau kelompok yang merasa tersakiti atas perilaku orang lain dan tidak mempunyai kekuatan, kemampuan atau kemungkinan untuk melawan atau menghentikan perilaku menyakitkan tersebut (Robinson & Maines, 2008). Perilaku bullying yang sering terjadi kurang mendapat perhatian dari orang tua dan guru, sehingga dampaknya terhadap korban dan pelaku terlambat diketahui oleh lingkungan sekitarnya.
Anak-anak yang mengalami perundungan mungkin terlihat mampu mengatasi dampak perundungan yang terjadi pada dirinya. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat anak menimba ilmu dan membantu membentuk karakter pribadi positif, namun ternyata menjadi tempat mempraktikkan perilaku bullying (Surilena, 2016). Oleh karena itu, guru hendaknya dilatih untuk mengenali perilaku bullying secara sensitif dan konsisten (Siswati & Widayanti, 2009), sehingga guru dapat mengidentifikasi dan menyikapi perilaku bullying dengan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Psikoedukasi bagi guru akan menjadi bagian penting dari program anti-bullying di sekolah.