Berdasarkan penyataan masalah di atas, penyataan masalah dalam kajian ini ialah; Bagaimanakah konsep maslahah mursalah dalam menentukan hukum Islam mengikut pemikiran Najmuddin At-Thufi. Penyelidikan ini bertujuan menambah khazanah keilmuan dalam bidang hukum Islam khususnya maslahah mursalah dalam mendefinisikan hukum Islam menurut pemikiran Najmuddin At-Thufi. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian perpustakaan (library research), dengan sifat penelitian deskriptif analitik, yaitu penjelasan/huraian pendapat Najmuddin At-Thufi dan Imam Mazhab terhadap persoalan maslahah mursalah dalam penentuan syariat Islam.
Pandangan Najmuddin At-Thufi tentang maslahah ialah meletakkan akal lebih tinggi daripada wahyu atau hadis kerana asas hukum syarak ialah kemaslahatan, manakala kemaslahatan itu sendiri boleh diperoleh melalui akal. Dalam fenomena masyarakat dan pelbagai pandangan di atas, artikel ini secara khusus akan membincangkan pandangan Najmudin At-Thufi tentang konsep maslahah mursalah dalam penentuan syariat Islam, dengan inti huraian, riwayat hidup Najmuddin At-Thufi, pendidikan dan karyanya yang kaya, pemahaman dan pandangan tentang konsep maslahah mursalah. Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan sebelum ini, pengkaji mengajukan soalan berikut: “Bagaimanakah konsep maslahah mursalah dalam menentukan hukum syarak menurut pendapat Najmuddin At-Thufi.?”.
Berdasarkan persoalan kajian di atas, tujuan penyelidikan ini adalah untuk mengetahui apakah pendapat Najmuddin At-Thufi tentang konsep maslahah mursalah dalam penentuan hukum Islam. Faedah secara teori: Menambah kekayaan ilmu dan sumbangan pemikiran bagi menambah ilmu maslahah mursalah menurut pemikiran Najmuddin At-Thufi. Faedah amali: Diharapkan berguna sebagai bahan input umat Islam tentang kepentingan mursalah dalam menentukan hukum Islam menurut pandangan Najmuddin At-Thufi.
Peneliti lebih fokus pada bagaimana konsep maslahah mursalah dalam penentuan hukum Islam menurut pemikiran Najmuddin At-Thufi. Data yang dikumpulkan adalah topik yang membahas tentang Maslahah Mursalah, pernyataan Najmuddin At-Thufi, yang terkait sebagai pendukung dalam penelitian ini. Ketika At-Thufi sampai pada pembahasan hadits nomor 32, yang berkaitan dengan salah satu pokok persoalan al-fiqh, yaitu berkenaan dengan bagian kepentingan umum dalam hukum Islam.
Pandangan At-Thuf tentang maslehah murselah seperti yang dikemukakan dalam mukaddimah bersumberkan pembahasan hadis Syarah no 32 hadis Al-Arbein Nawawi. Untuk menyokong penegasan kebaikan atau kebaikan manusia, melalui penolakan atau larangan undang-undang terhadap tindakan berbahaya, At-Thufi memetik beberapa ayat al-Quran. Adapun prinsip keempat ini, ia merupakan prinsip terpenting yang mendasari teori At-Thuf tentang maslahah.
Namun, mengingat tudingan di atas bahwa At-Thufi adalah pengikut mazhab Syiah, ada juga yang membantah tudingan tersebut.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pertanyaan Penelitian
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian Relevan
Metode Penelitian
- Jenis dan Sifat Penelitian
- Sumber Data
- Teknik Pengumpulan Data
- Teknik Analisis Data
LANDASAN TEORI
MASLAHAH MURSALAH
- Pengertian Maslahah Mursalah
- Kedudukan Maslahah Mursalah
- Syarat Berhujjah Dengan Maslahah Mursalah
- Pemikiran Ulama Tentang Maslahah Mursalah Dalam
Selain kecenderungan umum yang ada di masyarakat saat ini, diperlukan peningkatan peran maslahah mursalah dalam berbagai pertimbangan untuk menegakkan hukum Islam. Cara ini dapat ditempuh melalui metode istislah, yaitu menjadikan maslahah mursalah sebagai bagian dari pertimbangan dasar penetapan hukum Islam. Ulama Syafi'iyyah dan ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa maslahah mursalah tidak bisa dijadikan bukti syar'iyyah dan dalil hukum Islam.
Kedudukan Maslahah mursalah sebagai hujah bermaksud menyandarkan penetapan hukum syarak kepada sesuatu yang diragui dan mengambil sesuatu antara dua pilihan (kemungkinan) tanpa dalil yang menyokong. Sikap menjadikan maslahah menjadi mursalah sebagai hujah mencemarkan kesucian syariat Islam dengan mengikut hawa nafsu dengan hujah maslahah. Menjadikan maslahah mursalah sebagai hujah dalam penetapan syariat Islam, secara tidak langsung bermaksud tidak mengenali kesempurnaan dan kesempurnaan syariat Islam.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam mazhab Syafi’i terdapat dua pendapat tentang maslahah mursalah sebagai dalil hukum Islam.
KONSEP MASLAHAH MURSALAH MENURUT
Biografi Singkat Najmuddin At-Thufi
Pemikiran Najmuddin At-Thufi Tentang Maslahah Mursalah
At-Thufi hidup dalam masa kemunduran hukum Islam, dalam masa kemunduran hukum Islam yang berlangsung lama, dari pertengahan abad keempat Hijriah hingga akhir abad ketiga belas Hijriah. Dari sembilan belas dalil tersebut, menurut At-Thufi, dalil Nas dan Ijma' lebih kuat dari dalil yang kesembilan belas, namun menurutnya nas dan ijma' kadang-kadang cocok dengan kemaslahatan, dan kadang-kadang juga kontradiktif. Menurut Najmuddin At-Thufi, maslahah adalah dalil terkuat yang dapat digunakan secara mandiri sebagai landasan hukum, ia tidak membagi maslahah seperti yang dilakukan jumhur ulama.
Karena mereka harus berpegang teguh pada kepentingan umum ketika kepentingan umum bertentangan dengan nas dan ijma.89. At-Thufi mengutamakan kepentingan umum di atas nash dan ijma dan melakukannya dengan cara bayan dan takhsis, bukan dengan mengabaikan atau meninggalkan nash sama sekali, seperti mendahulukan sunnah di atas Al-Qur'an secara bayan. At-Thufi melakukan hal tersebut karena menurutnya kepentingan umum bersumber dari sabda Nabi Muhammad SAW yang mengutamakan dan mengutamakan kepentingan umum atas teks ini, terlepas dari apakah teks tersebut qat'i dalam sanad dan matan atau zanninya. keduanya.
Dengan kata lain, At-Thufi membedakan antara dua bidang syaraa, yaitu bidang keagamaan (ibadah) dalam masyarakat madani (mu'amalah), kemudian ia menjadikan nash sebagai kerangka acuan urusan ibadah dan maslahat sebagai kerangka acuan. acuan bagi persoalan mu'amalah, sekaligus melegitimasi pemisahan keduanya. Selain itu, dasar pemikiran At-Thufi untuk lebih mengutamakan maslahah daripada nash didasarkan pada faktor-faktor berikut. Jika mencermati teori maslahat At-Thufi di atas, maka cukup tepat bahwa at-Thufi adalah salah satu pendukung liberalisme dalam hukum Islam, yang sangat bertolak belakang dengan teori-teori ulama sebelumnya, termasuk ulama dalam mazhabnya sendiri. pemikirannya, yaitu Hanbali.
Bagi At-Thufi, syara tidak boleh dikatakan lebih mengetahui kemaslahatan manusia, maka harus dijadikan hujah. Apabila diteliti satu persatu hukum-hukum yang berteraskan kepentingan umum, ternyata banyak yang mengutamakan kepentingan umum, walaupun bertentangan dengan al-Kitab as-Sunnah atau Qiyas. seperti kepentingan umum yang dikemukakan oleh at- Thufi. Jika kaedah umum yang terpakai dalam kes pemansuhan mengatakan bahawa bukti pemansuhan mestilah sama kuat atau lebih kuat daripada bukti yang dimansuhkan, dan kerana proses pemansuhan hanya berlaku semasa hayat Nabi kerana pemansuhan mesti dilakukan. dilakukan dengan wahyu sedangkan jelas tidak ada lagi wahyu seperti penglihatan Nabi, At-Thufi membuat penemuan baru dengan menganggap maslahat sebagai penyaksian syariat yang paling kuat dan paling spesifik dan sebagai pertimbangan untuk mengubah hukum.
Analisis Terhadap Pandangan Najmuddin At-Thufi
Adapun pemikiran At-Thufi, ada yang berpendapat bahwa At-Thufi adalah pengikut mazhab Syi'ah, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Rajab al-Baghdadi, dalam bukunya, Adz-Dzalil 'ala Thabaqat al-Hanbali. Sisi lain yang menjadi pijakan Ibnu Rajab adalah ungkapan At-Thufi sendiri yang menasihati bahwa ia berafiliasi dengan mazhab Hanbali, Syi'i, Rafidhi, Zahiri dan Asy'ari. Muhammad Abu Zahrah juga memperkuat pernyataan Ibnu Rajab, dalam bukunya, Ibnu Hanbal: Hayatun Wa 'Ashruhu-Ara'uhu Wa Fiqhuhu, Abu Zahrah menyimpulkan bahwa At-Thufi adalah seorang Syi'ah yang selalu mengusahakan dirinya sebagai pengikut Hanbali. sekolah.
Padahal, pendekatan dan metodologi yang digunakan At-Thufi dalam menggali teori maslahah sangat bertolak belakang dengan apa yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Mustafa Zaid menegaskan jika At-Thufi benar-benar termasuk mazhab Syiah, ia tidak akan menerima hadis-hadis dalam kitab Al-arba'in Nawawiyyah dengan begitu mudahnya. Sebaliknya, At-Thufi tidak hanya menerima 40 hadits tersebut tetapi juga mengomentarinya dalam bentuk kitab Syarah yaitu; at-Ta'yin Fi syarah al-Arba'in.
Bagi Mustafa Zeid, makna At-Thuf yang cenderung liberal dan terkesan melawan tren tersebut sebenarnya. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih lanjut apakah kasus tersebut benar-benar dikemukakan oleh At-Thufi ataukah dikemukakan oleh orang-orang yang tidak sependapat dengannya terhadap sunnah. Selain itu, benarkah menurut At-Thuf kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan akal selain dari tuntunan nash.
Tambahan pula, yang dimaksudkan oleh At-Thufi dengan mengutamakan masad daripada nas dan ijma' bukalah ialah mengabaikan dan meninggalkan nas sama sekali. Najmuddin At-Thufi yang berpegang pada idea kontroversi menyatakan apabila berlaku pertentangan antara nash dan maslahah, yang dituntut dalam konteks ini ialah maslahah dalam alam mu'alamah. Dan bagi At-Thufi sendiri, beliau tidak membahagikan tingkatan maslahah seperti maslahah Dhururiyyah, maslahah hajiyyat dan maslahah tahsiniyyat.
PENUTUP
Kesimpulan
Namun, dalam proses mendahulukan maslahah di atas nash, mekanisme yang ditempuh adalah melalui takhsis dan tabyin, bukan dengan menghapus atau meninggalkan aturan-aturan yang ada dalam nash. Menurut At-Thuf, dibutuhkan konsep yang paling mendasar dalam kehidupan manusia yaitu kemaslahatan manusia, yang juga merupakan tujuan syara atau maslahat yang artinya sesuatu yang membawa manfaat atau manfaat dan menjauhkan mudharat yang pada dasarnya untuk memelihara tujuan syara. . dalam menetapkan hukum yang baik tidak ada dalil yang membenarkan atau membatalkannya, tetapi sebenarnya cukup penting dalam merumuskan atau merekomendasikan undang-undang yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern.
Saran
Abdus Salam Ali Al-Karbuli, Priority Jurisprudence, vertaald door Andi Muhammad Syahril, uit de originele titel, Fiqhul Aulawiyyat Fi Zhilal Maqasid Asy-Syari'ah Al-Islamiyyah, Jakarta, Al-Kautsar Library, 2016. Ahmad Al Raysuni, Muhammad Jamal Barut, Ijtihad, vertaald door Ibnu Rusydi, Hayyin Muhdzar, uit de originele titel Al-Ijtihad: Al-Nas, Al-Waqi'i, Al-Maslahah, Damascus Syria: Erlanga, 2000. Amir Sarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2009, deel 2 Asmawi, vergelijking van Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.
Hasbi Umar, Contemporary Fiqh Reasoning, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007 Hamka Haq, Al-Syathibi Teološki vidiki koncepta Maslahah v knjigi Al-. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: PT Pustaka Firdaus: 1994 Najmuddin At-Thufi, Risalah Fi Ri‟ayah Al-Maslahah, Libanon: Dar Mesir,. Najmuddin At-Thufi, At-Ta‟yin Fi Syarah Al-Arba‟in, Bejrut: Muassasah Al-Rayyan, 1998.
Yusdani, Peran Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum, Kajian Konsep Hukum Islam Najmuddin At-Thufi, Yogyakarta: UII Press, 2000 Zainudin Aili, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafik, 2009 Zainuddin Ali, Pengantar Hukum Islam Islamitas basah di Indonesia,.