272 PETERNAKAN SAPI PERAH DI KABUPATEN BANYUMAS DAN PROGRAM
MAKANAN BERGIZI NASIONAL
Novie Andri Setianto*, Yusuf Subagyo1, Yusmi Nur Wakhidati1
Fakultas Peternakan, Universitas Jederal Soedirman
*email: [email protected]
Abstrak. Produksi susu di Kabupaten Banyumas diharapkan dapat ditingkatkan untuk mendukung rencana program makanan bergizi. Artikel ini bertujuan memberikan gambaran kondisi serta permasalahan yang dihadapi peternakan sapi perah di Kabupaten Banyumas. Penelitian menggunakan metode survey melibatkan 50 peternak sapi perah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Banyumas memiliki 156 peternak yang tergabung di 17 kelompok, total populasi 981 ekor beternak. Proporsi betina laktasi sebesar 48,11 persen, dan sapi jantan sebesar 12,95 persen. Permasalahan yang teridentifikasi adalah rendahnya produksi susu. Meskipun beternak sapi perah merupakan pekerjaan pokok, namun rerata produksi susu harian hanya 7,03 liter setara dengan penerimaan Rp 49.000,00 per betina laktasi. Angka tersebut masih harus menanggung biaya 10 persen betina yang tidak bunting dan 12 persen sapi jantan.
Strategi yang dilakukan peternak untuk bertahan adalah dengan mengawinkan betina yang produksi susunya rendah dengan sapi Simmental dengan harapan memperoleh pedet persilangan yang dihargai lebih mahal dibandingkan pedet Peranakan Friesian Holstein. Fenomena tersebut dalam pendekatan sistem dinamik dikenal sebagai fixed that fail archetypes, solusi sementara yang berdampak lebih serius dalam jangka panjang. Dampaknya apabila diteruskan akan mengurangi kemampuan Kabupaten Banyumas dalam mendukung program makanan bergizi.
Kata kunci: peternakan sapi perah, produksi susu, fixed that fail, systems archetypes, sistem dinamik Abstract. Milk production in Banyumas Regency is expected to be increased to support the coming nutritious food program plan. This article aims to provide an overview of the conditions and problems faced by dairy farming in Banyumas Regency. The research used a survey method involving 50 dairy farmers.
The results showed that in Banyumas Regency there are 156 farmers who are members of 17
groups, with a total population of 981 cows. The proportion of lactating females was 48.11 percent, and 12.95 percent were bulls. The problem identified is low milk production. Although dairy cattle farming is the main occupation, the average daily milk production is only 7.03 liters, equivalent to Rp 49,000 per lactating female. This figure still has to cover the cost of 10 percent of the females that do not get pregnant and 12 percent of the bulls. The strategy that farmers use to survive is to mate females with low milk production with Simmental cattle in the hope of obtaining a crossbred calf that is more expensive than an FH cow. This phenomenon in the dynamic systems approach is known as fixed that fail archetypes, temporary solutions that have more severe impacts in the long term. The impact, if continued, will reduce the ability of Kabupaten Banyumas to support the nutritious food program.
Keyword: dairy farming, milk production, fixed that fail, system archetypes, dynamic system
PENDAHULUAN
Peningkatan produktivitas susu sapi di Indonesia menjadi prioritas karena permintaan konsumen terhadap susu sapi masih dipenuhi 80 persen dari import. Permintaan susu diprediksi akan selalu meningkat.
Data BPS menunjukkan populasi penduduk di Indonesia tahun 2020 sebesar 270 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,15 persen. Artinya, terdapat kelahiran sekitar 3 juta per tahun. Semakin bertambahnya populasi, terutama balita, memicu peningkatan kebutuhan susu. Selain itu, dari sisi ekonomi angka
273 pertumbuhan ekonomi nasional dipatok sekitar 5 persen dengan pendapatan per kapita tahun 2019 sebesar Rp 59,1 juta juga akan meningkatkan daya beli susu masyarakat yang berdampak terhadap semakin meningkatnya kebutuhan susu (BPS, 2020).
Selama satu dekade terakhir, produksi susu segar di Indonesia relatif stagnan di angka 950 – 997 ribu ton per tahun (BPS, 2022). Rerata konsumsi susu yang rendah, yakni 16,27 kg/kapita/tahun (BPS, 2021) jauh di bawah 26,20 kg/kapita/tahun, Myanmar 26,7 kg/kapita/tahun, dan Thailand 22,2 kg/kapita/tahun.
Rendahnya tingkat konsumsi susu per kapita di Indonesia diakibatkan oleh rendahnya populasi sapi perah di Indonesia. Hingga tahun 2021, tercatat populasi sapi perah hanya 578.579 ekor dengan produksi susu segar dalam negeri (SSDN) pertahun sebesar 997.35 ribu ton/tahun. Jumlah sebesar itu baru mencukup 22 persen dari total kebutuhan, yaitu 3,8 juta ton/tahun.
Perkembangan sapi perah di Kabupaten Banyumas sangat didukung dengan adanya Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) yang berlokasi di Baturraden.
Populasi sapi perah di Kabupaten Banyumas sebanyak 2.287 ekor (BPS Kabupaten Banyumas, 2020) dan mampu menghasilkan susu 4.700 liter per hari. Hampir 70 persen dari susu tersebut dijual ke industri pengolahan susu (IPS) melalui koperasi PESAT. Pemerintah berencana meluncurkan program makanan bergizi gratis, yang di dalamnya termasuk penyediaan susu. Artikel ini bertujuan memberikan gambaran kondisi usaha peternakan sapi perah di Kabupaten Banyumas, dikaitkan dengan kesiapan mendukung program makanan bergizi tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan menggunakan metode survey. Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah peternak sapi perah yang tergabung dalam kelompok tani dan merupakan anggota koperasi PESAT Banyumas. Teknik sampling yang digunakan adalah cluster random sampling. Berdasarkan data diketahui terdapat enam kecamatan yang memiliki sapi perah. Cluster dilakukan terhadap semua kelompok yang ada di enam kecamatan tersebut, sehingga terpilih secara acak empat kelompok. Total 10 responden diambil secara acak dari masing-masing kelompok terpilih sehingga total responden penelitian sebanyak 40 orang peternak. Selain itu, penelitian juga melibatkan key informant yakni dari koperasi PESAT maupun instansi terkait.
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dengan metode wawancara dan diskusi, sedangkan data sekunder diperoleh dari catatan kelompok dan catatan data di Koperasi PESAT. Analisis data menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan sistem thinking system modeling (Maani & Cavana, 2007; Sterman, 2000). Software yang digunakan adalah software pemodelan Vensim. Analisis data ditekankan pada visualisasi keterkaitan antar sistem yang terjadi dalam sebuah sistem usaha peternakan sapi perah di Kabupaten Banyumas.
274 HASIL DAN PEMBAHASAN
Peningkatan produktivitas sapi perah di Indonesia menjadi prioritas karena permintaan konsumen terhadap susu sapi masih dipenuhi 80 persen impor. Permintaan susu diperkirakan akan terus meningkat.
Data BPS menunjukkan jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2020 sebanyak 270 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan sebesar 1,15 persen. Artinya, ada sekitar 3 juta kelahiran per tahun. Meningkatnya jumlah penduduk khususnya balita memicu peningkatan permintaan susu. Selain itu, laju pertumbuhan ekonomi nasional dipatok sekitar 5 persen per pendapatan per kapita pada tahun 2019 sebesar Rp. 59,1 juta juga akan meningkatkan daya beli dan berdampak pada meningkatnya permintaan susu.
Secara umum, pengembangan peternakan sapi perah di Indonesia dihadapkan pada berbagai permasalahan yang meliputi:
1. Kualitas Sumber Daya Genetik: Salah satu permasalahan utama adalah kualitas genetik ternak sapi perah. Banyak sapi perah yang memiliki produktivitas rendah karena bibit yang kurang berkualitas.
Diperlukan upaya pemuliaan sapi perah untuk meningkatkan kualitas genetik dan produktivitas ternak.
2. Ketersediaan Pakan: Ketersediaan pakan yang berkualitas dan terjangkau adalah masalah serius.
Terutama di musim kemarau, sulit untuk memenuhi kebutuhan pakan sapi perah. Ini mengakibatkan penurunan produksi susu dan kesehatan ternak.
3. Manajemen Ternak: Banyak peternak masih menghadapi kendala dalam manajemen peternakan, termasuk manajemen nutrisi, sanitasi, dan kesehatan ternak. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam manajemen peternakan dapat mempengaruhi produktivitas sapi perah.
4. Kesehatan Ternak: Penyakit ternak seperti mastitis dan penyakit reproduksi seringkali menghambat produktivitas sapi perah. Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit perlu ditingkatkan.
5. Infrastruktur dan Teknologi: Kurangnya infrastruktur dan teknologi modern dalam peternakan sapi perah bisa menjadi hambatan. Sistem pengolahan susu yang usang, akses terbatas ke listrik, dan teknologi pemantauan kesehatan ternak yang terbatas adalah contoh permasalahan ini.
6. Akses ke Pasar dan Harga: Peternak sering menghadapi kesulitan dalam mengakses pasar yang menguntungkan. Harga susu yang fluktuatif juga dapat merugikan peternak.
7. Kebijakan dan Regulasi: Perubahan dalam kebijakan dan regulasi terkait dengan peternakan sapi perah dapat mempengaruhi keberlanjutan usaha peternak. Penting bagi pemerintah untuk mengembangkan kebijakan yang mendukung peternak.
8. Perubahan Iklim: Perubahan iklim dapat memengaruhi ketersediaan pakan, kesehatan ternak, dan pola produksi susu. Suhu yang ekstrem dan perubahan pola hujan dapat mengganggu kestabilan produksi.
9. Pengolahan Susu: Kurangnya fasilitas pengolahan susu yang memadai dan standar kebersihan yang ketat dapat memengaruhi kualitas dan daya tahan produk susu.
275 10. Pasar Global: Persaingan dengan produk susu impor di pasar global juga merupakan tantangan.
Peternak sapi perah Indonesia perlu meningkatkan kualitas dan daya saing produk mereka.
Kondisi tersebut diperparah dengan munculnya kembali penyakit mulut dan kuku (PMK) di Indonesia pada pertengahan tahun 2022. Dari sisi sosio-ekonomi, PMK memberikan pengaruh yang sangat merugikan bagi peternak sapi perah tradisional, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. PMK dapat menyebabkan kerugian yang signifikan akibat berkurangnya produksi susu, karena sapi yang terinfeksi akan menjadi lesu, kehilangan nafsu makan, dan produksi susu lebih sedikit. Peternak mungkin juga perlu memusnahkan sapi yang terinfeksi, sehingga menyebabkan penurunan produksi dan pendapatan susu. Selain itu, PMK juga dapat membatasi pergerakan ternak dan produknya, yang dapat mengakibatkan hilangnya akses terhadap pasar dan penurunan harga produk susu. Dalam beberapa kasus, seluruh wilayah mungkin terkena pembatasan pergerakan, sehingga menyulitkan petani untuk menjual produk mereka di luar wilayah yang terkena dampak. PMK dapat meningkatkan biaya produksi bagi para peternak, karena perlu tambahan biaya didigunakan untuk mengambil tindakan untuk mencegah penyebaran penyakit, antara lain adalah munculnya biaya untuk mendisinfeksi peralatan dan tempat serta melakukan vaksinasi terhadap ternak mereka. Hal ini dapat memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap peternak sapi perah, khususnya peternak tradisional yang memiliki sumber daya dan infrastruktur yang terbatas untuk menerapkan langkah-langkah tersebut. Selain itu, dampak lainnya adalah reputasi peternak sapi perah di daerah yang terkena dampak PMK dapat rusak, terutama jika terdapat laporan media mengenai wabah yang meluas atau praktik manajemen yang buruk. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan konsumen dan berkurangnya permintaan terhadap produk susu, yang selanjutnya berdampak pada pendapatan peternak.
Apabila dilihat dari rataan kepemilikan, dari total 156 peternak sapi perah di Kabupaten Banyumas, maka rerata peternak memelihara 5 ekor sapi dewasa, dan 2 ekor pedet per peternak. Kondisi tersebut dianggap masih dalam jumlah yang dapat dikelola dengan baik oleh peternak. Hal ini merujuk pada kondisi peternak sapi perah di Lembang, Jawa Barat, yang mengelola sapi perah sebanyak 6 ekor sapi dewasa, dan 3 ekor pedet (Oosting et al., 2022). Jumlah kepemilikan erat kaitannya dengan beban peternak dalam menyediakan pakan hijauan, karena sebagian besar peternak sapi perah di Kabupaten Banyumas memiliki lahan pertanian yang terbatas (< 0.5Ha per peternak).
Rantai penjualan susu tidak mengalami kendala, karena dipasok dan diatur dengan baik oleh koperasi PESAT. Berdasarkan diskusi dengan responden, permasalahan yang teridentifikasi adalah rendahnya produksi susu yang tentu saja berimbas pada rendahnya penerimaan dari penjualan susu. Rataan produksi susu hanya 7,03 liter per betina laktasi. Harga susu berada pada kisaran Rp. 6.900,00 sampai Rp.
7.100,00 tergantung kualitas susu. Apabila menggunakan rerata Rp 7.000,00 per liter, maka penerimaan
276 dari penjualan susu per hari sebesar Rp. 49.000,00 per betina laktasi. Angka tersebut masih harus menanggung biaya 10 persen betina yang tidak bunting dan 12 persen sapi jantan.
Usaha peternakan sapi perah merupakan pekerjaan pokok responden. Sehingga pendapata utama pun diperoleh dari hasil penerimaan dari peternakan sapi perah. Rendahnya penerimaan dari susu harus diimbangi dengan upaya menambah pendapatan dari penjualan pedet. Strategi yang dilakukan peternak untuk bertahan adalah dengan mengawinkan betina yang produksi susunya rendah dengan sapi Simmental dengan harapan memperoleh pedet persilangan yang dihargai lebih mahal dibandingkan pedet Peranakan Friesian Holstein. Fenomena tersebut dalam pendekatan sistem dinamik dikenal sebagai fixed that fail archetypes, solusi sementara yang berdampak lebih serius dalam jangka panjang. Mestinya solusi yang digunakan adalah meningkatkan produktivitas betina. Fixes that fail tersebut dalam jangka pendek merupakan solusi pemenuhan kebutuhan, namun dalam jangka panjang akan menurunkan kesiapan Banyumas mendukung program susu gratis. Di sisi lain, peternak juga tidak dapat disalahkan, karena peternak harus mampu bertahan dengan keterbatasan produksi susu yang dihasilkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Usaha peternakan sapi perah di Kabupaten Banyumas merupakan usaha pokok. Rataan produksi harian per betina laktasi sebanyak 7 liter, atau setara Rp. 49.000,00. Angka tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan peternak. Strategi memperoleh pendapatan dilakukan dengan mengawinkan betina FH dengan sapi Simmental agar memperoleh pedet persilangan yang berharga tinggi. Strategi tersebut dapat digunakan untuk jangka pendek, namun untuk jangka panjang perlu strategi yang lebih tepat dalam meningkatkan produktivitas peternakan sapi perah demi mendukung program makanan bergizi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih kepada Universitas Jenderal Soedirman, melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat yang telah mendanai penelitian ini melalui skema riset terapan Nomor:
26.325/UN23.35.5/PT.01/II/2024.
REFERENSI
BPS. (2020). Hasil Sensus Penduduk 2020 (Vol. 2022). Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS. (2021). Konsumsi Susu Segar per Kapita Tahun 2020. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS. (2022). Produksi Susu Sapi Segar Menurut Propinsi (Ton), 2019 - 2021. Retrieved from https://www.bps.go.id/indicator/24/493/1/produksi-susu-segar-menurut-provinsi.html
BPS Kabupaten Banyumas. (2020). Populasi Sapi Perah Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin (ekor), 2019: Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas.
Maani, K., & Cavana, R. (2007). System thinking, system dynamics; managing change and complexity. Rosedale New Zealand: Pearson education.
Oosting, S., van der Lee, J., Verdegem, M., de Vries, M., Vernooij, A., Bonilla-Cedrez, C., & Kabir, K. (2022). IFAD Research Series 84: Farmed animal production in tropical circular food systems. Retrieved from https://ageconsearch.umn.edu/record/322018/files/RS84-formatted-web-v1.pdf
Sterman, J. D. (2000). Business Dynamics: System Thinking and Modelling for A Complex World. New York: Irwin McGraw-Hill.