p ISSN 2338-168X – E ISSN 2686-5742
IDENTIFIKASI JEJARING EKOLOGI RUANG TERBUKA HIJAU KOTA BANDUNG
IDENTIFICATION OF GREEN OPEN SPACE ECOLOGIGICAL NETWORK IN BANDUNG
Nabilla Dina Adharina *1, Triagung Aulia Pranoto 2 Institut Teknologi Nasional Bandung 1 2 Jalan PHH. Mustofa Nomor 23 Kota Bandung 12
e-mail*: [email protected] 1
ABSTRAK
Kota Bandung merupakan kota terbesar ke tiga di Indonesia. Pesatnya pembangunan menyebabkan tingginya kompetisi antara kebutuhan ruang untuk produktivitas dan ruang hijau yang memiliki peran dalam memberikan jasa ekosistem. Penyediaan RTH pada suatu kota telah ditetapkan oleh peraturan yang mana diturunkan ke dalam rencana tata ruang, yaitu 30% dari luas wilayah. Meskipun begitu, agar RTH mampu secara maksimal berperan memberikan jasa ekosistem dan berkontribusi dalam mewujudkan kota berkelanjutan, kuantitas RTH bukanlah hal utama. Terbentuknya jejaring ekologi RTH kini telah menjadi indikator penting dalam pengembangan RTH.
Konsep ini menekankan terbentuknya jejaring dari keterkaitan satu RTH dengan RTH lainnya yang terhubung melalui jalur hijau. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan mengidentifikasi seberapa jauh jejaring ekologi RTH di Kota Bandung sudah terbentuk. Hasil analisis menunjukkan bahwa jejaring ekologi RTH belum terbentuk di Kota Bandung, analisis spasial menunjukkan hanya 13% RTH yang sudah terhubung. Hasil dari penelitian ini menekankan bahwa dalam penyediaan RTH tidak cukup hanya dengan melihat distribusi RTH secara kuantitas saja. Bagaimana satu RTH dan RTH lainnya terhubung dengan baik melalui jalur hijau seharusnya menjadi arahan kebijakan yang perlu ditekankan dalam penataan ruang perkotaan agar RTH dapat berperan maksimal dalam mewujudkan kota berkelanjutan.
Kata Kunci : Bandung, jejaring ekologi, kota berkelanjutan, ruang terbuka hijau.
ABSTRACT
Bandung is the third biggest city in Indonesia. The massive urbanization has increased the competition between the demand for space for productivity purposes and the demand for green open space which plays an important role in ecosystem services. The urban green open space provision is regulated in ministerial regulation and has been referenced by every spatial planning regulation, it is 30% of total area. However, for maximizing the green space's role in delivering ecosystem services and also contributing to a sustainable city, the quantity of green space is not the prominent thing. Ecological network has now become an important indicator in green open space provision. This concept emphasizes the network created by connection between one green space to the others by green corridor. Thus, this study aims to identify to what extent the whole green open space in Bandung forms an ecological network. The result depicted that the ecological network of green open space in Bandung has not formed yet, the analysis result showed that only 13% of green open spaces which have already connected to each other by green corridor. This study also addressed that the spatial policy, regarding green open space provision, needs to stress the establishment of ecological networks in order to achieve a sustainable city.
Keywords: Bandung, ecological network, green open space, sustainable city.
PENDAHULUAN
Beberapa isu global tentang krisis lingkungan di masa depan perlu mendapatkan perhatian khusus dan menjadi agenda kerja serius bagi seluruh stakeholders. Salah satu isu global yang dimaksud adalah penurunan fungsi ekologi Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan yang disebabkan oleh alih fungsi lahan tanpa melihat
1Naskah diterima : Oktober 2022 Naskah disetujui : Desember 2022
DOI :https://doi.org/10.21776/ub.takoda.2022.014.02.7
keberlanjutan suatu lingkungan (Patarkalashvili, 2017). Salah satu upaya untuk mengantisipasi krisis lingkungan tersebut adalah dengan cara pengelolaan fisik lingkungan kota melalui program-program yang bertujuan untuk meningkatkan keberlanjutan lingkungan kota.
Berkelanjutan yang dimaksud adalah adanya keseimbangan baik secara ekonomi, sosial maupun lingkungan, konsep ini disebut dengan
istilah kota berkelanjutan (Budiharjo, 2005).
Ruang hijau, salah satunya adalah RTH, merupakan komponen yang keberadaanya mampu berkontribusi terhadap pembangunan kota yang berkelanjutan (Budiharjo, 2005). Selain itu, RTH berfungsi untuk mengembalikan fungsi alamiah suatu kota, memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan keberagaman dan keunikan masyarakat dan daerahnya.
Di tengah pesatnya urbanisasi, penyediaan RTH menjadi isu yang umum bagi kota-kota besar di Indonesia, salah satunya Kota Bandung yang merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia (Lihat United Nation, Department of Economic and Social Affairs, & Population Division, 2018).
Menurut data BPS Kota Bandung dalam angka (2018), lahan RTH (Ruang Terbuka Hijau) di Kota Bandung baru 12,2% dari luas Kota Bandung pada tahun 2018. Padahal berdasarkan Permen PU No.
5/PRT/M/2008 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan RTH (Ruang Terbuka Hijau) Di Perkotaan), total luas minimal RTH suatu kota adalah 30%. Dari hasil studi terdahulu menuliskan bahwa beberapa RTH di Kota Bandung terlantar dan terjadi alih fungsi lahan oleh bangunan permanen maupun tidak permanen (Puspitojati &
Samsoedin, 2015).
Selain secara kuantitas, untuk dapat berkontribusi maksimal dalam mewujudkan lingkungan kota yang berkelanjutan, ketersediaan RTH juga perlu membentuk jejaring ekologi.
Menurut Vimal, Mathevet, & Thompson, (2012) jejaring ekologi adalah suatu model pendekatan perencanaan yang memvisualisasikan konservasi keanekaragaman hayati dalam skala yang lebih luas melalui RTH dengan melihat hubungan antara satu RTH dengan RTH lainnya. Jejaring ekologi merupakan jaringan yang terbentuk dari tiga komponen utama yaitu patch, koridor, dan jaringan (Cook, 2002). Patch menekankan persebaran RTH yang merata serta kealamian patch tersebut; koridor menekankan kepada keberadaan juga kealamiannya; sedangkan jaringan menekankan keterkaitan antara satu RTH dengan RTH lainnya melalui koridor. Berdasarkan hal tersebut maka jejaring ekologi menekankan keterkaitan antar elemen, tidak hanya kuantitas jumlah dan luas RTH saja agar RTH mampu memberikan jasa ekosistem di kota tersebut.
Terhubungnya antar RTH dengan koridor, kealamian RTH dengan koridor membentuk suatu kualitas RTH di perkotaan. Selain itu, dengan membentuk jejaring ekologi, RTH dapat memainkan perannya memberikan pelayanan ekosistem bagi makhluk hidup, yaitu jasa
penyediaan, jasa regulasi, jasa kultural, dan jasa pendukung (Reid, 2005).
Di sisi lain, tingginya kebutuhan terhadap pengembangan lahan di Kota Bandung mempengaruhi eksistensi RTH. Selain itu RTH di Kota Bandung kini terfragmentasi dan secara kualitas menurun akibat aktivitas manusia Puspitojati & Samsoedin (2015). Arahan kebijakan penyediaan RTH di Kota Bandung sebagaimana direncanakan dalam RTRW Kota Bandung Tahun 2011-2031 belum mendorong pembentukan jejaring ekologi sehingga penyediaan RTH masih ditentukan berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan SNI 03-1733- 2004 tentang tata cara perencanaan lingkungan perumahan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi seberapa jauh RTH di Kota Bandung membentuk jejaring ekologi, terutama RTH publik yang menjadi ranah Pemerintah Kota Bandung sehingga hasil analisis ini dapat memberikan wawasan terkait peran RTH publik sebagai salah satu aspek yang mampu mewujudkan keberlanjutan di Kota Bandung.
Untuk mengetahui hal tersebut, penelitian ini akan mengidentifikasi persebaran patch dan koridor RTH pada tahun 2022. Yang perlu diperhatikan, penelitian ini melihat pembentuk jejaring ekologi secara struktur sehingga penelitian ini tidak melihat derajat kealamian yang mana menjadi kelemahan penelitian dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya terkait jejaring ekologi di Kota Bandung. Artikel ini terbagi menjadi empat bagian utama, yaitu pendahuluan, materi dan metode, hasil
METODE
Untuk menjawab seberapa jauh jejaring ekologi RTH yang terbentuk di Kota Bandung, penelitian ini menggunakan kuantitatif deskriptif dengan objek penelitian seluruh populasi RTH dan koridor yang tersebar di delapan Sub Wilayah Kota (SWK) Bandung, yaitu RTH sejumlah 637 dan koridor sejumlah 228. Metode Pengumpulan data pada penelitian ini berupa pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan melakukan observasi terhadap seluruh RTH dan koridor di masing-masing Sub Wilayah Kota (SWK) Bandung sebagai upaya triangulasi sumber, yaitu triangulasi antara data sekunder yang berbentuk shapefile dan data primer dari hasil observasi langsung terhadap masing-masing elemen. Data sekunder berupa peta guna lahan Kota Bandung tahun 2020 yang akan dianalisis untuk mengetahui jumlah dan persebaran RTH dan koridor di Kota Bandung. Dalam melakukan
analisis, penelitian ini menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dibantu dengan ArcMap 10.3.
Analisis dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga analisis utama, yaitu analisis patch, analisis koridor, dan analisis jaringan. Pada analisis patch, patch yang dimaksud dalam penelitian ini adalah RTH Kota Bandung yang dibatasi pada RTH Publik yang melingkupi rimba kota, taman kota, taman kecamatan, taman kelurahan, taman rukun warga, taman rukun tetangga, dan kawasan pemakaman. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah RTH yang ada di Kota Bandung sudah merata dengan menggunakan ArcMap 10,3 untuk menghitung jarak satu RTH dengan RTH lainnya. Untuk menentukan tersebar merata atau tidaknya RTH di Kota Bandung, penelitian ini membaginya berdasarkan standar deviasi dari persebaran eksisting RTH di Kota Bandung yang mampu perbedaan rata-rata dari jarak seluruh RTH di setiap kecamatan pada seluruh SWK di Kota Bandung.
Analisis selanjutnya adalah analisis koridor.
Koridor yang dimaksud dalam penelitian ini adalah RTH berupa taman sepanjang sempadan jaringan jalan, RTH ini dibatasi pada RTH yang membentuk jaringan dan berada di samping jalan primer, sekunder dan lokal. Sama halnya dengan analisis patch, analisis koridor juga melihat persebaran dan kealamian. Analisis ini dilakukan dengan menghitung panjang jalan primer, sekunder dan lokal yang tersedia di Kota Bandung, Lalu setelah penghitungan panjang jalan, dilakukan juga penghitungan panjang koridor hijau yang tumbuh atau menutupi di sepanjang jalan. Lalu dilakukanlah perhitungan yang nantinya akan muncul selisih antara panjang total jalan yang tertutup oleh jalur hijau koridor lalu diseleksi data jalan mana saja yang tertutup oleh jalur hijau koridor, setelah menyeleksi data dilakukan pendekatan perhitungan secara persentase setiap jalan dan rata-rata persentase yang tertutup oleh jalur hijau koridor sesuai jalan yang tersedia di setiap kecamatan di seluruh SWK.
Dalam menentukan klasifikasi merata atau tidak meratanya koridor, penelitian ini membagi tiga klasifikasi dari rata-rata presentase kondisi eksisting yang telah didapatkan sebelumnya.
Selanjutnya adalah analisis jejaring. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak RTH di Kota Bandung yang saling terhubung dengan RTH lainnya melalui koridor sehingga membentuk jejaring. Untuk mengetahui terbentuknya jaringan, analisis ini menggabungkan 2 (dua) shapefile yaitu shapefile
persebaran patch dan shapefile persebaran koridor dengan metode geoprosessing tools (Overlay – Intersect).
Setelah melakukan penggabungan 2 shapefile tersebut maka keluar output berupa shapefile yang berupa jumlah titik RTH (Ruang Terbuka Hijau)/patch yang tergabung dengan koridor dan membentuk suatu jaringan atau terhubung satu sama lainya antar RTH (Ruang Terbuka Hijau)/patch dan dilakukan penghitungan jumlah keseluruhan patch, jumlah patch yang terhubung dan rata-rata persentase patch yang terhubung dari keseluruhan patch yang berada di setiap Kecamatan dan setelah mengetahui persentase patch yang terhubung maka dikonversi ke metode skoring skala nominal. Dalam menentukan klasifikasi terhubung atau tidak terhubungnya patch dengan koridor, penelitian ini membagi presentasi patch dan koridor yang terhubung menjadi tiga klasifikasi.
Untuk menentukan derajat persebaran patch, koridor, serta pembentukan jaringan, penelitian ini menggunakan data eksisting dan membaginya berdasarkan tiga klasifikasi.
Mengingat terbatasnya studi-studi terdahulu yang berkaitan dengan analisis jejaring ekologi di Indonesia masih sangat terbatas, peneliti menyesuaikan indikator masing-masing komponen jejaring ekologi dengan kondisi yang ada. Berikut ketentuan dalam pengelompokan kondisi persebaran patch (Tebel 1), jaringan (Tabel 2); serta pembentukan jaringan RTH di Kota Bandung (Tabel 3).
Tabel 1. Persebaran Patch
Klasifikasi Indikator
(Standar Deviasi Jarak antar RTH)
Tersebar merata
Kurang tersebar merata
Tidak merata
0-100
100-150
150-200 Tabel 2. Persebaran Koridor
Klasifikasi Indikator
(Standar Deviasi Jarak antar RTH)
Tersebar merata
Kurang tersebar merata
Tidak merata
>50%
30-50%
<30%
Tabel 3. Jaringan RTH
Klasifikasi
Indikator Presentasi Patch yang Terhubung dengan Koridor) Terhubung
Kurang terhubung Tidak terhubung
>75%
50-75%
<50%
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembahasan dalam bagian ini akan terbagi menjadi tiga pembahasan, yaitu hasil analisis patch yang menunjukkan apakah RTH di Kota Bandung telah tersebar merata; analisis koridor yang menunjukkan apakah RTH yang membentuk koridor telah terintegrasi dengan seluruh jaringan jalan primer, sekunder, dan lokal; dan analisis terakhir adalah analisis jaringan yang akan menunjukkan seberapa banyak patch dan koridor RTH di Kota Bandung yang terhubung dan membentuk struktur jejaring ekologi.
Persebaran Patch
Menurut Cook (2002), untuk membentuk jejaring ekologi, patch harus tersebar merata.
Berdasarkan peta guna lahan tahun 2020 yang dapat dilihat pada Gambar 1, total RTH di Kota Bandung telah mencapai 18,9% dari luas administratif Kota Bandung. Secara visual, RTH Kota Bandung telah tersebar di setiap SWK.
Namun, berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Patch atau RTH yang tersebar di Kota Bandung belum bisa dikatakann telah merata secara keseluruhan.
Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1.
Terdapat 61% RTH yang persebarannya telah merata, 21% kurang merata, dan 18% tidak merata. Jika dilihat dari persebaran untuk masing- masing klasifikasi tersebut, dapat dilihat bahwa SWK yang memiliki RTH tidak merata merupakan SWK yang berlokasi di batas administratif Kota Bandung, yaitu SWK Bojonegara, SWK Cibeunying, SWK Karees, SWK Arcamanik, SWK Ujungberung dan SWK Gedebage. Pada SWK Bojonegara, SWK Cibeunying, SWK Karees, SWK Arcamanik dan SWK Ujungberung RTH dengan persebaran yang tidak merata ditemukan pada kawasan padat pemukiman dan perumahan. Sedangkan pada SWK Gedebage terdapat banyak area industri yang juga diikuti dengan pesatnya pertumbuhan permukiman baru seperti town house dan lainnya mengingat juga adanya rencana teknopolis pada Kecamatan Gedebage. Oleh karena itu, pengembangan RTH pada kondisi-kondisi tersebut lebih terbatas. Meskipun tingkat urbanisasi yang pesat, Kota Bandung memiliki RTH di tingkat lingkungan yang cukup tersebar.
RTH pada tingkat ini memiliki luas yang tidak terlalu besar, seperti 49 m² (Taman Setra Ria, Kecamatan Sukajadi, SWK Bojonegara) dimanfaatkan oleh masyarakat, salah satunya sebagai tempat bermain anak.
Kepadatan lahan terbangun akibat
pertumbuhan pembangunan permukiman dan industri tentunya merupakan tantangan pemerintah di tengah pesatnya urbanisasi dan tuntutan untuk mewujudkan kota berkelanjutan.
Padatnya lahan terbangun dapat menjadi salah satu faktor yang menghambat terwujudnya kota berkelanjutan sehingga dibutuhkan inovasi dalam penyediaan RTH sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah Singapura dengan menambah ruang hijau potensial yang memungkinkan di tengah padatnya bangunan (Lihat Tan, Wang, &
Sia, 2013). Dibutuhkan perencanaan RTH yang lebih moderen menyesuaikan dengan pesatnya pertumbuhan kota seperti penghijauan dinding dan atap sehingga terbentuk taman kota vertikal (P. Tan, 2012).
Gambar 1Persebaran RTH Kota Bandung
Gambar 2Persebaran RTH Kota Bandung Persebaran Koridor
Selain patch, dalam jejaring ekologi, koridor memliki peran penting dalam menghubungkan satu patch dengan patch lainnya
(Cook, 2002). Koridor dalam penelitian ini dilihat dari RTH yang memanjang dan menjadi bagian dari jalan primer, sekunder, dan lokal.
Berdasarkan hasil observasi dan didukung oleh analisis spasial didapatkan bahwa secara keseluruhan RTH yang membentuk koridor tidak tersebar pada jaringan jalan primer dan sekunder di Kota Bandung. Terdapat perbedaan persebaran koridor di setiap SWK berdasarkan panjang koridor yang menutupi jaringan jalan. Dari seluruh SWK Bandung, sebanyak 66% koridor tidak tersebar merata. Sebagaimana dapat dilihat pada (Gambar 3), Koridor belum membentuk jaringan yang secara merata tersebar di Kota Bandung, terutama di SWK Tegallega, SWK Kordon dan SWK Arcamanik. Dikarenakan pada SWK tersebut banyak pengalih fungsian atau penyempitan lahan salah satunya pembangunan trotoar atau jalur pedestrian yang menebang vegetasi koridor hijau menjadi tempat terbangun tanpa menanam vegetasinya kembali dan adanya pembangunan bangunan non permanen untuk dijadikan tempat pedagang kaki lima. Hal itu banyak terjadi di ruas jalan primer dan sekunder pada 3 SWK tersebut, hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan di Kota Bandung belum sepenuhnya memperhatikan lingkungan yang sudah ada dan kewenangan pemerintah Kota Bandung untuk zona larangan kawasan terbangun belum sepenuhnya terimplementasi.
Gambar 3. Persebaran Koridor di Seluruh SWK Kota Bandung
Jaringan RTH
Selain keberadaan dan persebaran RTH, agar mampu memaksimalkan RTH dalam memberikan pelayanan ekosistem, salah satunya adalah mewujudkan konservasi keanekaragaman hayati di perkotaan adalah adanya hubungan dari satu RTH dengan RTH lainnya (Vimal et al.,
2012). Meskipun secara kuantitas RTH di Kota Bandung cukup merata, ternyata RTH di Kota Bandung belum membentuk jejaring ekologi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa RTH Kota Bandung yang saling terhubung melalui koridor baru mencapai 13%. Masih banyak RTH yang belum terhubung dengan koridor mengingat persebaran RTH yang membentuk koridor juga belum cukup merata. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4, pada SWK Korodon, Tegallega, dan Bojonegara memiliki RTH yang belum membentuk jejaring. Pada SWK Tegallega dan SWK Bojonegara memiliki persebaran patch yang tersebar merata akan tetapi tidak adanya keterhubungan antara patch satu dengan lainnya yang membentuk suatu jaringan melalui koridor, hal ini disebabkan karena pesebaran koridor pada SWK tersebut tidak merata atau banyak ruas jaringan jalan yang tidak tertutupi oleh jalur hijau.
Sedangkan pada SWK Kordon memiliki persebaran patch dan koridor yang tidak merata, hal ini disebabkan oleh kawasan padat pemukiman dan di beberapa titik banyak kawasan industri sehingga menyebabkan dampak tinggi dalam pengalih fungsian lahan menjadi kawasan terbangun.
Sebesar 13% merupakan angka yang cukup kecil jika dibandingkan dengan pesatnya pertumbuhan pembangunan dan jumlah penduduk Kota Bandung. Kebutuhan akan kota yang asri dan nyaman bagi seluruh makhluk hidup di dalamnya merupakan kebutuhan yang perlu didorong oleh seluruh pihak. Hasil analisis ini menekankan bahwa, baik komponen patch dan koridor merupakan komponen yang sama penting dalam mewujudkan jejaring ekologi RTH suatu kota.
Jika hanya mendorong pemerataan jumlah RTH sebagai patch dan tidak mendorong RTH yang membentuk koridor, jejaring ekologi tidak akan pernah terbentuk. Kota sebagai tempat tinggal untuk seluruh makhluk hidup, jejaring ekologi ini merupakan salah satu konsep yang dapat memastikan makhluk hidup selain manusia juga daya dapat bergerak dan berinteraksi di dalam lanskap yang saling terhubung (Vimal et al., 2012).
Sebagai pembelajaran, Singapura tidak hanya mendorong penambahan jumlah patch melalui program penghijauan kota sebagaimana disampaikan oleh P. Tan, (2012); P. Y. Tan et al., (2013). Dalam membangun jejaring ekologi, Pemerintah Singapura mengembangkan program yang berupaya menghubungkan taman-taman publik dengan koridor sehingga menghasilkan suatu sistem, program tersebut adalah program jaringan penghubung taman yang mana program
ini disetujui dan disahkan oleh Garden City Action Commite pada tahun 1991(K. W. Tan, 2006). Hal tersebut sangat menarik, mengingat perencanaan terkait koridor untuk mewujudkan jejaring ekologi sudah direncanakan jauh sebelum pesatnya urbanisasi yang terjadi di Singapura.
Gambar 4. Jaringan RTH Kota Bandung
KESIMPULAN
Hasil analisis yang dalam penelitian ini menunjukkan bahwa jejaring ekologi RTH di Kota Bandung belum terbentuk. RTH publik sebagai patch yang terhubung dengan RTH publik lainnya melalui ruang terbuka hijau yang berbentuk koridor baru mencapai 13%. Pencapaian tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan pesat pertumbuhan Kota Bandung yang terus menerus membutuhkan ruang untuk pembangunan sehingga terus mengabaikan pengembangan RTH.
Meskipun RTH di Kota Bandung telah tersebar merata namun terbatasnya ruang hijau yang membentuk koridor dan memiliki peran dalam menghubungkan RTH satu dengan RTH lainnya menjadi salah satu kendala sulitnya jejaring ekologi terbentuk di Kota Bandung. Selain berperan dalam menghubungkan satu RTH dengan RTH lainnya, lebih jauh lagi koridor ini menjadi media bagi makhluk hidup lain, seperti binatang yang hidup di lingkungan perkotaan untuk berinteraksi dan melakukan mobilisasi di dalam kota (Vimal et al., 2012). Dalam analisis jejaring ekologi, Cook (2002) menjelaskan bahwa selain keberadaan patch, koridor, dan jaringan, derajat kealamian patch juga memiliki peran penting. Derajat kealamian dalam konsep ini menunjukkan seberapa alami ruang hijau yang membentuk jejaring ekologi. Dalam penelitian ini, identifikasi jejaring ekologi dilihat sebagai struktur saja sehingga hal ini menjadi kelemahan
penelitian ini yang dapat menjadi rekomendasi pada studi selanjutnya terkait jejaring ekologi di Kota Bandung. Meskipun begitu, penelitian ini menunjukkan bahwa secara struktur saja jejaring ekologi di Kota Bandung belum terbentuk. Untuk memaksimalkan peran RTH dalam memberikan jasa ekosistem, penyediaan RTH seharusnya tidak lagi hanya mempertimbangkan kuantitas RTH sebagai patch sebagaimana masih diatur di dalam SNI 03-1733-2004 tentang tata cara perencanaan lingkungan perumahan yang di dalamnya menstandarkan 480.000 jiwa populasi penduduk, taman kota minimal harus memiliki luas minimal sebesar 144.000 m² dan dalam dokumen tata ruang (Badan Standarisasi, 2004). Penyediaan RTH sudah seharusnya mempertimbangkan bagaimana RTH yang ada di suatu kota membentuk jejaring ekologi dengan mengembangkan jalur hijau yang menjadi penghubung antar RTH serta kealamian dari masing-masing.
Selain itu, inovasi perlu dilakukan pemerintah agar tetap dapat mewujudkan jejaring ekologi di tengah pesatnya urbanisasi di Kota Bandung. Belajar dari Singapura (lihat K. W. Tan, 2006; P. Tan, 2012; P. Y. Tan et al., 2013), konsep penghijauan kota melalui pengembangan taman kota vertikal dan jalur hijau menjadi upaya dalam menjawab tantangan padatnya lahan terbangun untuk tetap menyediakan patch dan koridor sehingga mampu mewujudkan jejaring ekologi.
Dengan mendorong terbentuknya jejaring ekologi RTH di perkotaan, RTH memiliki peran dalam mewujudkan kota berkelanjutan pada aspek lingkungan. Selain itu juga mewujudkan kota sebagai tempat yang nyaman tidak hanya untuk manusia saja tapi seluruh makhluk hidup yang ada di dalamnya.
PUSTAKA
Badan Standarisasi. (2004). SNI 03-1733-2004 Tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Di Perkotaan. Badan Standarisasi Nasional Republik Indonesia Jakarta, Indonesia.
Budiharjo, E. (2005). Dan Sujanto, D.,“. Kota Berkelanjutan”, Bandung: PT. Alumni.
Cook, E. A. (2002). Landscape structure indices for assessing urban ecological networks.
Landscape and Urban Planning, 58(2–4), 269–280.
Patarkalashvili, T. K. (2017). Urban forests and green spaces of Tbilisi and ecological
problems of the city. Annals of Agrarian Science, 15(2), 187–191.
Puspitojati, T., & Samsoedin, I. (2015). Kajian Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 12(1), 55–66.
Reid, W. V. (2005). Millennium ecosystem assessment.
Tan, K. W. (2006). A greenway network for Singapore. Landscape and Urban Planning, 76(1–4), 45–66.
Tan, P. (2012). Singapore, a vertical Garden City
in the making. Architecture and Urbanism, 138–141.
Tan, P. Y., Wang, J., & Sia, A. (2013).
Perspectives on five decades of the urban greening of Singapore. Cities, 32, 24–32.
United Nation, Department of Economic and Social Affairs, & Population Division. (2018).
World Urbanization Prospects: The 2018 Revision.
Vimal, R., Mathevet, R., & Thompson, J. D.
(2012). The changing landscape of ecological networks. Journal for Nature Conservation, 20(1), 49–55.