Nilai Nilai Konsep Diri Dan Pembentukan Perilaku Budi Pekerti Siswa
Muryani Surbakti [email protected]
Abstract: The right self-concept is really needed by students. The true self-concept starts from the building of a strong spirit man. Like the physical body, spirit people (self-concept) need spiritual food that is quite undoubtedly the human spirit students will be healthy. Self-concept which consists of positive and negative self-concepts gives influence to the formation of students' moral behavior.
Positive self-concept shows the existence of self-acceptance where individuals with positive self- concepts know themselves very well. Positive self-concepts are stable and varied. Individuals who have a positive self-concept can understand and accept a number of facts that are very diverse about themselves, so that the evaluation of himself becomes positive and can accept him as he is. If the self-concept is built based on spiritual matters based on God's Word, there will be a form of ethical behavior that will glorify God. Fear of God is the beginning of wisdom. If the power of students 'self-concepts is taught in lower, secondary and tertiary schools, it is expected that students' behavior will be enjoyed with joy by students, by fellow students, family, environment and God, in order that students are prepared to become future leaders. Student success must be based on a correct self-concept in Christ, as exemplified by Bible figures such as John the Baptist, Paul and so on.
Keywords: Self-concept; behavior; character; students
Abstrak: Konsep diri yang benar sangat dibutuhkan oleh siswa. Konsep diri yang benar dimulai dari pembangunan manusia roh yang kuat. Seperti tubuh jasmani, manusia roh (konsep diri) membutuhkan makanan rohani yang cukup niscaya manusia roh siswa akan sehat. Konsep diri yang terdiri dari konsep diri positif dan negatif memberikan pengaruh kepada pembentukan perilaku budi pekerti siswa. Konsep diri positif menunjukkan adanya penerimaan diri dimana individu dengan konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik sekali. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri, sehingga evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima dirinya apa adanya. Apabila Konsep diri dibangun berdasarkan hal-hal rohani beralaskan Firman Tuhan, maka akan terbentuk perilaku budi pekerti yang akan memuliakan Tuhan. Takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat. Jika kuasa konsep diri siswa diajarkan di sekolah lanjutan bawah, menengah dan perguruan tinggi diharapkan prilaku budi pekerti siswa akan dinikmati dengan sukacita oleh siswa, oleh sesama siswa, keluarga, lingkungan dan Tuhan, dalam rangka siswa dipersiapkan menjadi pemimpin masa depan. Keberhasilan siswa harus dilandasi dengan konsep diri yang benar dalam Kristus, seperti yang dicontohkan oleh tokoh- tokoh Alkitab seperti Yohanes Pembaptis, Paulus dst.
Kata Kunci: Konsep diri; perilaku; budi pekerti; siswa
PENDAHULUAN
Gonjang-ganjing kasus mafia pajak dan hukum oleh oknum tertentu yang belakangan ini marak diberitakan media massa, merupakan salah satu contoh betapa pentingnya
pendidikan karakter bagi siswa. Individu yang cerdas tanpa memiliki karakter positif terbukti telah merugikan banyak orang.1
Situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perubahan di bebagai segi kehidupan, sangat berpengaruh pada siswa yang juga sedang berkembang secara pisik dan kejiwaan. Siswa dipengaruhi oleh budaya globalisasi- modernisasi dan budaya lokal- tradisional. Pengaruh budaya global terlihat dalam penampilan dan cara bicara yang homogen dan individualis dan mengarah pada sifat materialis. Pengaruh budaya lokal menyebabkan siswa menjadi cenderung kurang percaya diri, cenderung meremehkan orang lain dan mempunyai ikatan yang kuat, koncoisme dan pluralism.2
Sistem pendidikan bergeser dari “sistem keluarga tradisional” (ayah-ibu-anak, kakek – nenek, paman-bibi) semua anggota keluarga ikut berperan dalam pendidikan anak, menjadi
“sistem keluarga inti” ( ayah-ibu-anak) dan kedua orang tua bukan lagi sebagai pendidik utama dan pertama karena orang tua sibuk bekerja. Oleh karena itu siswa mengambil nilai- nilai hidup dari lingkungannya: di sekolah, di luar sekolah (masyarakat, hiburan, sistem informasi). Sehingga nilai-nilai yang diserap siswa perlu dijernihkan agar mereka dapat membuat pilihan dan dapat menilai diri mereka sendiri. Di lain pihak siswa mengalami status “Quo Vadis” dalam menempatkan diri dalam relasinya dengan: orang tua, guru dan teman. Sehingga orang tua dan guru menanyakan bagaimana agar siswa dibantu mencapai masa depannya?
Penilaian moral seseorang biasanya didasari pada keserasian, keharmonian prilaku diri seseorang dengan adat isriadat, keluarga, kampung halaman, bangsa, alam raya. Benar salahnya seseorang sering tidak lagi ditentukan oleh firman Tuhan, tapi hukum alam yang ditemukan manusia melalui metode ilmiah, lewat hipotesis-eksperimen, fakta membuktikan.3
Globalisasi sudah menembus semua penjuru dunia, sampai di daerah terpencil, masuk ke rumah-rumah, membombardir pertahanan dan moral dan agama siswa, sekuat apapun dipertahankan. Televisi, internet, koran, dan lain-lain adalah media informasi dan komunikasi yang berjalan dengan cepat, menggulung sekat-sekat tradisional yang selama ini dipegang kuat-kuat. Moralitas menjadi longgar. Sesuatu yang dahulu dianggap tabu, sekarang menjadi biasa-biasa saja. Cara berpakaian, berinteraksi dengan lawan jenis, menikmati hiburan di tempat-tempat spesial dan menikmati narkoba menjadi tren dunia modern yang sulit ditanggulangi. Globalisasi menyediakan seluruh fasilitas yang dibutuhkan manusia, negatif maupun positif. Akirnya, karakter anak bangsa berubah menjadi rapuh, mudah diterjang ombak, terjerumus dalam budaya yang melenakan, dan tidak memikirkan akibat yang ditimbulkan.4
1Zainal Aqib, Pendidikan Karakter Membangun Perilaku Positif Anak Bangsa (Bandung, Yrama Widya:
2011), iii.
2Tim Budi Pekerti, Terbang dengan Dua Sayap, Sukses Pelatihan Budi Pekerti, Jakarta: Grasindo, 2001), 1.
3Tim Budi Pekert, Terbang dengan Dua Sayap, Sukses Pelatihan Budi Pekerti, Jakarta: Grasindo, 2001), VI.
4Jamal Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah (Yogyakarta: Diva Press: 2012), 7-8.
Masalah secara umumnya adalah: 1) Mulai terkikis nilai-nilai kejujuran karena ambisi orang tua yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Masyarakat, media massa (surat kabar, sinetron, sikap orang tua, para pejabat) yang menonjolkan hedonism dan materialism. 1) Sikap sopan santun, tata krama pergaulan, sikap saling menghargai menjadi kurang mendapat perhatian siswa. 3) Sistem pendidikan kurang memberi perhatian serius dalam bidang moralitas, humanitas, dan religiositas, sebab pendidikan hanya diukur dari nilai ulangan. 4) Siswa kurang daya juang dalam menghadapi tantangan. Masalah secara khusus dibahas dalam tulisan ini adalah pengenalan konsep diri siswa dan perilaku budi pekerti siswa yang mencakup: bagaimana konsep diri siswa dan dirinya; Siswa dan sesamanya; Siswa dan keluarganya; Siswa dan lingkungannya; Siswa dan Tuhan.
Tujuan umum tulisan ini adalah mencapai pendidikan yang membebaskan, yaitu pendidikan yang memanusiakan. Yakni pendidikan yang dilakukan dengan penuh kesadaran secara terus menerus untuk manusiakan manusia, dengan cara mengubah dari yang sebelumnya tidak tahu (belum bisa melakukan) akan sesuatu, kemudian menjadi tahu akan (bisa melakukan) sesuatu tersebut.5 Sedangkan tujuan khusus penulisan ini adalah untuk membeberkan konsep diri siswa dan dirinya, sesamanya, keluarganya, lingkungannya, dan Tuhannya.
KAJIAN TEORI Konsep Diri
Timotius Adi Tan mempertanyakan, pernahkah Anda mengambil waktu sejenak untuk menjawab pertanyaan tentang konsep diri yang klasik ini, “Siapakah Saya?” Sudahkah Anda benar-benar mengenal diri Anda sendiri? Ataukah selama ini Anda senantiasa hidup berdasarkan apa kata orang tua Anda, teman-teman Anda, saudara-saudara Anda, atau orang lain yang mengenal Anda? 6
Menurut Muwafik Saleh, dalam diri setiap insan (siswa) terdapat dua faktor utama yang sangat menentukan kehidupannya yaitu fisik dan ruh.7 Dengan ungkapan lebih rinci Neil T. Anderson mengatakan, identitas manusia pada waktu diciptakan terdiri dari kehidupan jasmani (bios = jiwa/ roh dalam persatuan dengan tubuh) dan kehidupan rohani (zoe = jiwa/ roh dalam persatuan dengan Allah).8
Selanjutnya menurut kitab Kejadian 1:27, konsep diri manusia pada waktu diciptakan seperti berikut, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.”
Konsep diri adalah pengetahuan dan evaluasi terhadap diri sendiri yang diperoleh melalui pengalaman dari interaksi dengan orang lain (Burns). Konsep diri mulai terbentuk dan berkembang begitu manusia lahir. Soeitoe menyatakan konsep diri seseorang terbentuk dari pengalaman sendiri dan dari uraian yang diberikan orang lain tentang dirinya.
Pengalaman sendiri dan informasi dari lingkungan terintegrasi ke dalam konsep diri. Konsep
5Akhmad Muhaimin Azzet, Pendidikan yang membebaskan (Yogyakarta: Arr Ruzz Media, 2011), 39.
6Timotius Adi Tan, Who Am I, (Jakarta: Metanoia, 2007), 116.
7Akh. Muwafik Saleh, Membangun karakter dengan hati Nurani. Pendidikan Karekter untuk Generasi Bangsa (Jakarta: Erlangga: 2002), 103.
8Neil T. Anderson, Siapa Anda Sesungguhnya, Meyadari Kuasa Identitas Anda di dalam Kristus, (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2002), 26.
diri merupakan faktor bawaan tapi dibentuk dan berkembang melalui proses belajar yaitu dari pengalaman-pengalaman individu dalam interaksinya dengan orang lain. Individu dengan konsep diri yang tinggi lebih banyak memiliki pengalaman yang menyenangkan daripada individu dengan konsep diri yang rendah. B. William D.Brooks (Rahkmat, 2005:105) bahwa dalam menilai dirinya seseorang ada yang menilai positif dan ada yang menilai negatif, dapat dikatakan juga individu tersebut ada yang mempunyai konsep diri yang positif dan ada yang mempunyai konsep diri yang negatif.
Tanda-tanda individu yang memiliki konsep diri yang positif adalah : 1. Yakin akan kemampuan dalam mengatasi masalah. Orang ini mempunyai rasa percaya diri sehingga merasa mampu dan yakin untuk mengatasi masalah yang dihadapi, tidak lari dari masalah, dan percaya bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. 2. Merasa setara dengan orang lain. Ia selalu merendah diri, tidak sombong, mencela atau meremehkan siapapun, selalu menghargai orang lain. 3. Menerima pujian tanpa rasa malu. Ia menerima pujian tanpa rasa malu tanpa menghilangkan rasa merendah diri, jadi meskipun ia menerima pujian ia tidak membanggakan dirinya apalagi meremehkan orang lain. 4. Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan dan keinginan serta perilaku yang tidak seharusnya disetujui oleh masyarakat. Ia peka terhadap perasaan orang lain sehingga akan menghargai perasaan orang lain meskipun kadang tidak di setujui oleh masyarakat. 5. Mampu memperbaiki karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian tidak disenangi dan berusaha mengubahnya. Ia mampu untuk mengintrospeksi dirinya sendiri sebelum menginstrospeksi orang lain, dan mampu untuk mengubahnya menjadi lebih baik agar diterima di lingkungannya.
Dasar konsep diri positif adalah penerimaan diri. Kualitas ini lebih mengarah kekerendahan hati dan kekedermawanan dari pada keangkuhan dan keegoisan. Orang yang mengenal dirinya dengan baik merupakan orang yang mempunyai konsep diri yang positif.
Individu yang memiliki konsep diri positif akan bersikap optimis, percaya diri sendiri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialami.
Kegagalan tidak dipandang sebagai akhir segalanya, namun dijadikan sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah kedepan. Individu yang memiliki konsep diri positif akan mampu menghargai dirinya sendiri dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang.
Tanda-Tanda individu yang memiliki konsep diri negatif adalah : 1. Peka terhadap kritik. Orang ini sangat tidak tahan kritik yang diterimanya dan mudah marah atau naik pitam, hal ini berarti dilihat dari faktor yang mempengaruhi dari individu tersebut belum dapat mengendalikan emosinya, sehingga kritikan dianggap sebagi hal yang salah. Bagi orang seperti ini koreksi sering dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya.
Dalam berkomunikasi orang yang memiliki konsep diri negatif cenderung menghindari dialog yang terbuka, dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai logika yang keliru. 2. Responsif sekali terhadap pujian. Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian. Buat orang seperti ini, segala macam embel-embel yang menjunjung harga dirinya menjadi pusat perhatian. Bersamaan dengan kesenangannya terhadap pujian, merekapun
hiperkritis terhadap orang lain. 3. Cenderung bersikap hiperkritis. Ia selalu mengeluh, mencela atau meremehkan apapun dan siapapun. Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain. 4. Cenderung merasa tidak disenangi oleh orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan, karena itulah ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan, berarti individu tersebut merasa rendah diri atau bahkan berperilaku yang tidak disenangi, misalkan membenci, mencela atau bahkan yang melibatkan fisik yaitu mengajak berkelahi (bermusuhan). 5. Bersikap psimis terhadap kompetisi. Hal ini terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia akan menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya. Individu yang memiliki konsep diri negatif meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Individu ini akan cenderung bersikap psimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya.
Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Individu yang memiliki konsep diri negatif akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika ia mengalami kegagalan akan menyalahkan diri sendiri maupun menyalahkan orang lain.
Siswa yang memiliki identitas ilahi tersebut perlu dibina agar menjadi Generasi Maksimal, yaitu menjadi orang muda yang memahami dan mengembangkan potensi diri;
Mampu mengelola uang’ Memiliki hubungan yang sehat dengan lawan jenis; Bisa mengatur waktu; dan punya prinsip hidup unggul.9
Kedua mengenai prilaku budi pekerti siswa, Sue Cowley mengemukakan ada sembilan prinsip manajemen prilaku yang perlu dilakukan para guru kepada siswa, yaitu: 1) Bersikap tegas: “saya tahu apa yang saya inginkan”; 2) Bersikap waspada: “Saya tahu apa yang akan terjadi jika saya mendapatkan atau tidak mendapatkan apa yang saya inginkan”; 3) Bersikap tenang dan konsisten: “Saya selalu sopan dan adil terhadap kalian”; 4) Tunjukkan kepada mereka sebuah struktur: “Saya tahu kemana kita melangkah”; 5) Bersikap positif: “Kalian melakukan hal yang hebat”; 6) Bersikap tertarik: “Kalian adalah manusia dan siswa”; 7) Bersikap fleksibel: “Saya tahu kapan harus bersifat fleksibel dan tidak memaksa”; 8) Bersikap gigih: “Saya menolak untuk menyerah”; 9) Tarik Perhatian mereka: “Saya ingin agar kalian ingin belajar”.10
Budi pekerti adalah perpaduan antara hasil pemikiran dan rasa yang terwujud dalam suatu tindakan atau tingkah laku manusia. Budi pekerti adalah dua kata yang saling berkaitan. Budi sebagai penyemangat, pembangkit, atau hasrat yang terdapat dalam jiwa seseorang yang sifatnya abstak (tidak terlihat), Sedangkan pekerti sebagai suatu tindakan nyata yang muncul dari budi. Budi pekerti merupakan pencampuran dari cipta, rasa dan karsa manusia yang diterapkan dalam sikap kata-kata dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Budi pekerti seseorang dapat dibentuk sejak dini. Ada dua faktor yang memengaruhi terbentuknya budi pekerti, yaitu faktor formal dan informal. Faktor formal diperoleh dari lembaga pendidikan seperti sekolah umum dan yang berbasis agama pada
9Budi Rahardjo, Generasi Maximal, (Yogyakarta: Andi, 2009), iii.
10Sue Cowley, Panduan Manajemen Prilaku Siswa ((Jakarta: Erlangga, 2014), 3.
jenjang terendah sampai tertinggi. Faktor informal adalah faktor pembentuk budi pekerti yang tidak resmi, meliputi keluarga dan lingkungan.11
Perilaku budi pekerti siswa mencakup lima relasi dalam diri setiap individu yang perlu dipahami oleh orang tua, guru dan siswa, yaitu: siswa dan dirinya; siswa dan sesamanya;
siswa dan keluarganya; siswa dengan lingkungannya; dan siswa dengan Tuhan.
Keadaan siswa selokah lanjutan pertama dan siswa sekolah lanjutan atas di kota Medan umumnya, dan secara khusus di kalangan siswa-siswi kristiani pun tidak bebas dari kekurangan dalam perilaku budi pekerti mereka. Siswa-siswi kurang memiliki pengenalan akan kuasa identitas pribadi mereka sebagai generasi yang sudah dipulihkan, sebagai generasi maksimal, sebagai generasi pembaharu.
Masih banyak siswa-siswi yang kurang memahami keberadaan identitas dirinya, sehingga masih ada di antara mereka yang menyakiti diri sendiri, meminum minuman yang merusak diri mereka. Masih ada tawuran siswa antar sekolah, antar jurusan, mereka masih belum dapat menerima keberadaan rekan sesama siswa yang beda kelompok. Masih ada siswa yang tidak bisa betah bersama keluarga atau orang tua, karena orang tua dan siswa tidak saling memahami keberadaan mereka. Masih ada siswa-siswi yang merusak lingkungannya, mencoret-coret dan merusak fasilitas umum. Dan masih ada siswa-siswi yang mengabaikan Tuhan dan tidak beribadah pada hari-hari ibadah umum.
Apa yang bisa dipelajari dari tulisan ini adalah penanaman “konsep diri siswa dan pendidikan perilaku budi pekerti siswa” Berikut ini disajikan pertama, penanaman kuasa konsep diri siswa kristiani yang benar dalam Kristus, seperti yang dinyatakan oleh Neil T Anderson di atas, bahwa setiap diri pribadi siswa adalah garam dunia, terang dunia, anak Allah…dst. Kedua, bahwa setiap siswa-siswi perlu menyadari identitas dirinya yang terdiri dari tubuh, jiwa dan roh, identitas dirinya dengan sesama, identitas dirinya dengan keluarga, lingkungan dan Tuhan. Ketiga, bahwa setiap guru dan orang tua siswa perlu memahami manajamen prilaku siswa, yakni: 1) Bersikap tegas; 2) Bersikap waspada; 3) Bersikap tenang dan konsisten; 4) Tunjukkan kepada mereka sebuah struktur; 5) Bersikap positif; 6) Bersikap tertarik; 7) Bersikap fleksibel; 8) Bersikap gigih; 9) Tarik Perhatian mereka.
Ada 9 sikap yang perlu dimiliki oleh setiap guru dan setiap orang tua yang memiliki siswa-siswi yaitu sikap tegas, waspada, tenang dan konsisten, berstruktur, positif, tertarik, fleksibel, gigih dan menaruh perhatian.
Ada banyak konsep identitas yang harus disadari oleh setiap siswa yaitu, siswa adalah terang dunia, garam dunia… dst. Dan setiap siswa perlu mengenal kuasa identitas dirinya dalam lima hal, yaitu siswa dan dirinya, siswa dan sesamanya, siswa dan keluarganya, siswa dengan lingkungannya, dan siswa dengan Tuhan.
Nilai Nilai Konsep Diri Siswa
Arti konsep diri yang benar seperti dikemukan oleh Dr.Neil T. Anderson adalah orang yang menyadari kuasa identitas dirinya di dalam Kristus, yaitu dirinya sebagai garam dunia (Mat 5:13); terang dunia (Mat 5:14); anak Allah(Yoh 1:12); sahabat Kristus (Yoh 15:15);
dipilih dan ditunjuk oleh Kristus untuk menghasilkan buah (Yoh 15:16); hamba kebenaran
11Supriyanti, Kesadaran, Nurani, dan Budi Pekerti (Semarang: Ghyyas Putra, 2008), 41-42.
(Rm 6:18); hamba Allah (Rm 6:22); anak Allah secara rohani (Rm 8:14, 15; Gal 3:26; 4:6);
ahli waris yang ikut menikmati warisan yang diperoleh Kristus (Rm 8:17); menjadi satu roh dengan Kristus (1 Kor 6:17); anggota tubuh Kristus (1 Kor 12:27; Ef 5:30); ciptaan baru (2 Kor 5:17); diperdamaikan dengan Allah dan dipercaya untuk melaksanakan pelayanan pendamaian (2 Kor 5:18, 19); bersatu di dalam Kristus (Gal 3:26, 28); ahli waris Allah (Gal 4:6, 7); orang kudus (Ef 1:1; 2 Kor 1:2; Flp 1:1; Kol 1:2); buatan Allah (Ef 2:10); keluarga Allah (Ef 2:19); tawanan Kristus (Ef 3:1; 4:1); warga negara surga (Flp 3:20; Ef 2:6);
musuh lblis (I Ptr 5:8).12
Perilaku Budi Pekerti
Arti prilaku budi pekerti siswa mencakup lima relasi dalam diri setiap individu yang perlu dipahami oleh orang tua, guru dan siswa, yaitu: siswa dan dirinya; siswa dan sesamanya; siswa dan keluarganya; siswa dengan lingkungannya; dan siswa dengan Tuhan, yaitu:
Pertama, siswa dan dirinya. Bila siswa kurang menyadari keberadaan dirinya, maka ia akan sulit menerima kekurangan yang ada pada dirinya sendiri. Akibatnya muncul masalah- masalah pribadi, misalnya: minder, tidak percaya diri, kurang bertanggung jawab yang akhirnya tidak dapat mensyukuri keberadaan dirinya.
Pendidikan Budi Pekerti dimaksudkan membantu siswa memahami diri secara utuh, baik dalam ambisi, keberanian, kreativitas, keyakinan, bertanggung jawab, rajin, kejujuran, ketulusan, percaya diri, motivasi diri, rasa memiliki, ketabahan dan kesetiaan.
Kedua, siswa dan sesamanya Manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain. Sebab pada hakekatnya manusia adalah mahluk sosial. Mereka hidup dalam kelompok dan saling bergantung. Agar kehidupan dalam kelompok siswa dapat berjalan baik diperlukan sikap saling menghormati dan menghargai hak asasi manusia. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam diri setiap individu harus dilihat sebagai sumber kekayaan bagi diri setiap pribadi.
Melihat situasi sekarang ini, hidup bersosialisasi mengalami suatu krisis. Orang meng- anggap yang lain adalah "ancaman" bagi dirinya. Keberhasilan orang lain menjadi "petaka"
bagi dirinya. Akibatnya timbul persaingan yang tidak sehat. Sesama teman, bahkan saudara saling menjatuhkan. Orang yang berkuasa begitu mudah merendahkan martabat orang lain, dan melakukan tindakan-tindakan pelanggaran hak asasi manusia. Situasi ini membuat masyarakat hidup dalam situasi yang mencekam, ketakutan dan saling mencurigai.
Sangat penting menumbuhkan kembali sikap sosial yang benar. Siswa perlu memahami kebersamaan yang menjadi nilai-nilai kebersamaan yang menjadi bekal bagi dirinya dalam bergaul dengan sesamanya. Dalam kebersamaan kita perlu menghargai dan menghormati perbedaan yang ada pada setiap pribadi, maka nilai persaudaraan, persahabatan dan kerja sama perlu dibina. Begitu pula nilai rela berkurban, toleran, dialog, keterbukaan dan cinta akan menjadi siswa mampu hidup bersama dan bekerjasama dengan orang lain.
Ketiga, siswa dan keluarganya. Keluarga merupakan tempat pertama kali seseorang mendapatkan pendidikan. Di dalam keluarga, siswa mendapatkan pemenuhan kebutuhan
12Neil T. Anderson, Siapa Anda Sesungguhnya, Meyadari Kuasa Identitas Anda di dalam Kristus, (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2002), 57.
jasmani dan rohani, seperti: makan, minum, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kasih sayang. Situasi yang demikian menunjukkan bahwa siswa sampai pada usia tertentu (dewasa) tidak bisa terlepas dari ikatan keluarga. Seringkali siswa kurang menyadari hal di atas. Mereka beranggapan bahwa keluarga merupakan penghambat atas kebebasannya yang tak terbatas. Anggapan ini membuat mereka tidak menghargai keberadaan orangtua dan anggota keluarga lainnya. Akibatnya hubungan antar keluarga menjadi tidak harmonis. Oleh karenanya penting memberikan pendidikan nilai yang membantu siswa menyadari akan pentingnya sebuah keluarga. Nilai-nilai yang ditawarkan adalah: cinta kasih, rela berkurban, tolong-menolong, kerjasama, saling memaafkan, peduli, hormat menghormati dan syukur.
Keempat, siswa dan lingkungannya. Kehidupan siswa sebagai makhluk hidup, khususnya manusia, tidak dapat dipisahkan dari lingkungan karena siswa hidup di dalam lingkungan. Kebutuhan siswa akan lingkungan bukan hanya sekedar ”Yang penting ada lingkungan” tetapi demi perkembangan manusia yang sehat, maka manusia membutuhkan suatu lingkungan yang bersih, indah dan aman. Lingkungan yang kotor dan tidak terawat membuat manusia yang tinggal di dalamnya menderita sakit, kelaparan bahkan menyebabkan kematian.
Selain lingkungan yang bersih, indah dan aman untuk melangsungkan kehidupannya manusia sangat membutuhkan sumber-sumber daya alam/ kekayaan-kekayaan alam sehingga manusia dapat hidup dengan layak. Kekayaan alam yang ada ini tidak bersifat milik pribadi tetapi lebih bersifat sosial, sehingga di dalam pemanfaatannya demi kesejahteraan bersama, maka dituntut sikap solidaritas.
Jika diperhatikan perkembangan lingkungan yang akhir-akhir ini lebih mengarah pada lingkungan yang kurang sehat akibat pencemaran terjadi di mana-mana, baik pencemaran udara, air maupun tanah ditambah lagi dengan sikap manusia yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi, bersikap boros terhadap kekayaan alam, tidak memikirkan akan kelanjutan generasi mendatang. Bila hal ini dibiarkan, dikhawatirkan lingkungan ini menjadi lingkungan yang tidak layak dihuni oleh mahluk hidup, khususnya manusia. Jika semua lingkungan tidak layak lagi oleh manusia, maka manusia akan tinggal di mana?
Mengacu pada situasi yang demikian maka perlu adanya pendidikan yang menawarkan suatu nilai-nilai yang berhubungan dengan lingkungan lain: --cinta lingkungan; --komitmen terhadap lingkungan hidup dan kelestariannya; --berjiwa solidaritas dengan sesama manusia juga generasi mendatang; -- hemat terhadap kekayaan alam.
Kelima, siswa dan Tuhan. Manusia diciptakan oleh Tuhan, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Keunikan-keunikan yang dimiliki manusia berbeda-beda, hal ini terjadi memang sudah kehendak dan rencana Tuhan. Alam dan isinya juga merupakan ciptaan Tuhan yang diperuntukkan bagi kesejahteraan manusia. Alam dan isinya diciptakan oleh Tuhan karena Tuhan mengasihi manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hidup manusia selalu berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan. Tidak ada satu manusia pun yang dapat hidup jika bukan kehendak Tuhan.
Namun melihat situasi zaman ini yang diwarnai dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi yang pesat dan pemenuhan kebutuhan hidup yang serba instan, membuat manusia kurang menyadari peran serta Tuhan di dalam hidupnya. Mereka
beranggapan bahwa apa yang mereka miliki saat ini adalah hasil usaha dan kepandaian mereka. Bahkan karena begitu sibuknya akan kegiatan-kegiatan duniawi, membuat mereka seolah-olah tidak memiliki waktu untuk berhubungan dengan Tuhan (berdoa), sehingga berakibat manusia tidak memiliki kesadaran/pengertian bahwa dirinya hadir di dunia ini berkat kasih Tuhan.
Dengan situasi yang demikian ini, khususnya para siswa perlu diberikan suatu pen- didikan yang mengajarkan tentang nilai-nilai religius antara lain: --beriman dan bertaqwa; -- berharap kepada Tuhan; --bersemangat dalam doa; --taat; --bersedia bertobat; --rela berkurban; --penuh kasih terhadap Tuhan; -- membina hidup rohani dan menjunjung nilai- nilai religious; --mengutamakan kehendak Tuhan.
Bila nilai-nilai ini diajarkan/ ditawarkan kepada siswa diharapkan siswa dapat tumbuh berkembang menjadi manusia yang sehat jasmani dan rohani serta menyadari akan kehadiran Tuhan dalam hidupnya, sesamanya, keluarganya, dan lingkungannya.
PEMBAHASAN
Pelajaran-pelajaran yang diajarkan oleh kurangnya pengenalan konsep diri yang benar dalam Kristus pada diri siswa dapat diringkaskan seperti ini: Akibatnya muncul masalah- masalah pribadi, misalnya: minder, tidak percaya diri, kurang bertanggung jawab yang akhirnya tidak dapat mensyukuri keberadaan dirinya. Akan tetapi jika siswa memahami diri secara utuh, maka akan membantu dirinya baik dalam ambisi, keberanian, kreativitas, keyakinan, bertanggung jawab, rajin, kejujuran, ketulusan, percaya diri, motivasi diri, rasa memiliki, ketabahan dan kesetiaan.
Stephen Arterburn & Jims Burns mengatakan, tugas utama dari tahun-tahun remaja ialah mengembangkan suatu sumber menghargai diri sendiri. Menciptakan suatu citra-diri yang sehat dan berpusatkan pada Tuhan di dalam diri anak-anak merupakan salah satu tugas utama dari para orang tua. Lihat gambar 2 dan 3. 13 Lingkaran setan ini bertambah buruk, kecuali siklus citra-diri rendah diputuskan. Kaum remaja dewasa ini seringkali tercabik- cabik jiwanya oleh kejamnya dunia yang menghancurkan harga diri. Anak-anak dan juga para orang dewasa sangat menekankan pentingnya kepandaian, uang, dan keindahan lahiriah.
Jika tidak berhati-hati, siswa dan orang dewasa sebenarnya telah larut dalam permainan membanding-bandingkan sehingga selalu merasa kurang: kurang pandai, kurang kaya, kurang menarik. Orang tua dapat menolong siswa dalam membangun citra diri mereka, bukan mencabiknya. Siswa yang bertumbuh dalam lingkungan yang penuh celaan, nama julukan negatif dan kritikan, sering tumbuh menjadi orang dewasa yang mudah mengkritik dan merasa harga dirinya tidak memadai.
Hal tersebut dikuatkan oleh Budi Rahardjo, mengatakan bahwa spiritual yang sehat bukan hanya aktivitas atau ritual kerohanian walaupun dibutuhkan melainkan lebih ke dalam pengalaman pribadi dengan Allah yang mengubah atau mentransformasi karakter-karakter dan nilai-nilai kehidupan, dan memberikan arah baru bagi sebuah kehidupan yang penuh
13Stephen Arternburn & Jims Burns, Arahkan dengan Jitu. Kiat menanamkan Nilai-Nilai Kekristenan pada Remaja. (Yogyakarta: Andi, 2010), 244-245.
dengan makna.14 Seperti diceritakan dalam Kitab Lukas mengenai dua pribadi teladan bagi setiap pemimpin muda agar membangun manusia roh yang kuat, yaitu Yohanes Pembaptis dan Yesus Kristus. “So the child grew and become strong in spirit, …Adapun anak itu (Yohanes Pembaptis) bertambah besar dan makin kuat rohnya…(Luk 1:80). And the Child grew and become strong in spirit, …(Anak itu (Yesus Kristus) bertambah besar dan menjadi kuat (Luk 2:40)
Tujuan membangun konsep diri siswa yang benar atau membangun manusia roh siswa yang kuat adalah agar siswa mempunyai kehidupan spiritual yang sehat atau agar siswa memiliki kecerdasan spiritual (SQ= Spiritual Quotion).Walaupun sampai saat ini spiritual yang sehat belum disebut sebagai sebuah kecerdasan. Namun spiritual yang sehat adalah landasan untuk menggunakan IQ (Intelligence Quotion) dan EQ (Emotion Quotion), karena SQ membuat siswa menggunakan IQ dan EQ dalam kesatuan untuk mengungkapkan anugerah-anugerah yang diterima. SQ bisa ditemukan dalam diri para pemimpin besar seperti Yohanes Pembaptis, Rasul Paulus, Nehemia, Maria ibu Yesus, Daniel, Yusuf sang Pemimpi. Jika SQ, EQ dan IQ berjalan beriringan, niscaya manifestasi potensi-potensi diri siswa yang dianugerahkan Tuhan bisa lebih maksimal.
Kebiasaan perilaku budi pekerti yang pertama, dari pribadi yang mempunyai konsep diri yang benar dalam Kristus adalah berdoa, dan mendengarkan suara-Nya. Doa adalah dialog antara manusia dan Allah. Doa bukanlah laporan satu arah melainkan sebuah dialog antara dua pribadi. Dialog yang begitu intim antara Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya. Begitu intimnya sampai menghasilkan sebuah perubahan di dalam diri sang ciptaan. Perubahan cara pandang, perubahan semakin percaya, perubahan menjadi pribadi yang berani, perubahan karena diberi tujuan baru, dan perubahan dalam memandang diri sendiri. Doa akan begitu hambar kalau tidak ada suara, tuntunan, atau bisikan lembut dari Sang Pencipta. Suara inilah yang menghasilkan Iman atau Percaya.
Kebiasaan perilaku budi pekerti yang kedua dari pribadi yang mempunyai konsep diri yang benar dalam Kristus adalah membaca dan merenungkan firman Allah. Seperti nasihat Musa kepada Yosua, “Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung” (Yosua 1:8). Tuntuan inilah seorang siswa, mampu mengembangkan kekuatan spiritualnya untuk menggenapi rencana-rencana Allah melalui hidupnya.
Kebiasaan prilaku budi pekerti yang ketiga dari pribadi yang mempunyai konsep diri yang benar dalam Kristus adalah melakukan konseling dengan Tuhan. Salah satu kebiasaan yang dilakukan Daud dalam menghadapi setiap tantangan ataupun kekalahan adalah melakukan konseling dengan Allahnya.
Kitab Mazmur berisi tentang keluhan, ketakutan, kekecewaan, kemarahan, kepedihan hati, kegagalan, kekalutan dan kekalahan Daud. Namun yang begitu mempesona adalah di setiap bagian kitab Mazmur selalu berisi kemenangan dan janji Allah. Karena itu, dalam
14Budi Rahardjo, Generasi Maximal (Yogyakarta: Andi, 2009), 31.
Mazmur bisa ditemukan kata “sela” yang memiliki arti “waktu untuk berdiam dan mendengarkan suara Allah” sebagai respons dari setiap yang dikatakan siswa kepada Allah.
Kebiasaan prilaku budi pekerti yang keempat dari pribadi yang memunyai konsep diri yang benar dalam Kristus adalah memerhatikan firman Allah di setiap aspek kehidupan.
Tidak ada gunanya banyak tahu firman tetapi tidak pernah mengizinkan firman Allah mengorek, mengubah tabiat, memerdekakan setiap aspek kehidupan, dan memberi tujuan baru. Kebiasaan unggul seorang siswa (yang akan menjadi pemimpin muda) dalam pengembangan spiritual yang sehat adalah dengan cara mengijinkan firman Allah menjadi cermin bagi hidup dan dirinya. Inilah awal mula transformasi diri. Yohanes 8:32 mengatakan, ”Dan kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu”
Kebiasaan prilaku budi pekerti yang kelima dari pribadi yang mempunyai konsep diri yang benar dalam Kristus adalah bersemangat melakukan yang terbaik dan setia untuk setiap tanggung jawab yang diemban (spirit of excellence). Melakukan yang terbaik dan setia mengerjakannya secara bertanggung jawab adalah bentuk ibadah orang percaya.
Kebiasaan perilaku budi pekerti yang keenam dari pribadi yang mempunyai konsep diri yang benar dalam Kristus adalah berjalan di dalam pengampunan. Pengampunan mudah diucapkan tetapi sulit dilakukan. Sebagai seorang siswa, yang akan menjadi pemimpin muda, pengampunan adalah salah satu tanggung jawab untuk diamalkan di dalam kehidupannya dengan sesama siswa dalam rangka mengembangkan spiritual yang sehat.
Orang yang kepahitan adalah seumpama orang yang menaiki sepeda motor dan menarik gas kencang-kencang tanpa memasukkan gigi persneling. Apa yang terjadi? Tidak bisa jalan.
Begitu pula siswa yang menyimpan kepahitan dalam hatinya tidak akan mengalami kemajuan dan tidak akan berjalan mencapai potensi terbaik yang sudah disediakan Allah baginya. Matius 6:14-15 menjelaskan kunci doa Bapa kami yaitu “pengampunan” Bahkan Matius 5:23-24 menegaskan hal yang sama “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.”
Kebiasaan perilaku budi pekerti yang ketujuh dari pribadi yang mempunyai konsep diri yang benar dalam Kristus adalah melayani jiwa-jiwa. Kebiasaan prilaku yang membantu siswa untuk memiliki spiritual yang sehat adalah kerinduan untuk melayani jiwa-jiwa atau orang lain. Melayani orang lain adalah bentuk ibadah yang membuat hidup semakin bermakna. Hidup tanpa melayani orang lain adalah hidup yang egois, tak bermakna dan tidak kaya. Allah mendisain hidup melayani. Hanya dengan melayani orang lain atau jiwa- jiwalah siswa akan merasakan kepenuhan di dalam batinnya.
Jadi melayani manusia atau jiwa-jiwa atau orang lain itulah kebiasaan penting bagi seorang siswa yang akan menjadi pemimpin muda yang rindu spiritualnya melejit dan sehat.
Ada 7 kebiasaan perilaku budi pekerti dari pribadi yang mempunyai konsep diri yang benar dalam Kristus yaitu 1) berdoa, berbahasa roh, dan mendengarkan suara-Nya; 2) membaca dan merenungkan firman-Nya; 3) melakukan konseling dengan Tuhan; 4)
mempraktikkan firman Allah di setiap aspek kehidupan; 5) melakukan yang terbaik dan setia untuk setiap tanggung jawab yang diemban; 6) berjalan di dalam pengampunan; 7) melayani jiwa-jiwa.
KESIMPULAN
Konsep diri yang benar dalam Kritus atau spiritual yang sehat sangat dibutuhkan oleh siswa yang akan menjadi seorang pemimpin muda. Bayangkan jika siswa yang akan menjadi seorang pemimpin tidak memiliki kedekatan dengan penciptanya. Tebaklah ke mana arahnya? Spiritual yang sehat dimulai dari pembangunan manusia roh yang kuat.
Seperti tubuh jasmani membutuhkan makanan, nutrisi, dan istirahat yang baik, demikian juga manusia roh membutuhkan makan terbaik bagi kekuatannya. Tanpa makanan rohani yang cukup niscaya manusia roh siswa tidak akan sehat. Takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat.
Keberhasilan siswa tidak bisa tidak harus dilandasi dengan spiritual yang sehat atau konsep diri yang benar, seperti yang dicontohkan oleh tokoh-tokoh Alkitab: Yohanes Pembaptis, Yesus, Paulus. Yang dimaksud dengan spiritual yang sehat atau konsep diri yang benar bukan hanya aktivitas atau ritual kerohanian walaupun dibutuhkan melainkan lebih ke dalam pengalaman pribadi dengan Allah yang mengubah atau mentransformasi karakter- karakter dan nilai-nilai kehidupan yang penuh makna.
Jika kuasa konsep diri siswa diterapkan di setiap sekolah lanjutan bawah, dan menengah diharapkan prilaku budi pekerti siswa akan dihargai oleh dirinya sendiri, oleh sesama siswa, oleh keluarga, oleh lingkungan dan oleh Tuhan dengan sukacita, untuk mempersiapkan mereka menjadi pemimpin masa depan. Keberhasilan siswa tidak bisa tidak harus dilandasi dengan spiritual yang sehat atau konsep diri yang benar, seperti yang dicontohkan oleh tokoh-tokoh Alkitab: Yohanes Pembaptis, Yesus, Paulus dst.
REFERENSI
Aqib, Zainal. Pendidikan Karakter Membangun Perilaku Positif Anak Bangsa. Bandung, Yrama Widya: 2011.
Arternburn, Stephen & Jims Burns, Arahkan dengan Jitu. Kiat menanamkan Nilai-Nilai Kekristenan pada Remaja. Yogyakarta: Andi, 2010.
Asmani, Jmal Ma’mur. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah.
Yogyakarta: Diva Press: 2012.
Azzet, Akhmad Muhaimin Pendidikan yang Membebaskan. Yogyakarta: Arr Ruzz Media, 2011.
Anderson, Neil T. Siapa Anda Sesungguhnya, Meyadari Kuasa Identitas Anda di dalam Kristus. Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2002.
Cowley, Sue Panduan Manajemen Prilaku Siswa. Jakarta: Erlangga, 2014.
Rahardjo, Budi Generasi Maximal. Yogyakarta: Andi, 2009.
Saleh, Akh. Muwafik Membangun karakter dengan hati Nurani. Pendidikan Karekter untuk Generasi Bangsa. Jakarta: Erlangga: 2002.
Supriyanti, Kesadaran, Nurani, dan Budi Pekerti. Semarang: Ghyyas Putra, 2008.
Tim Budi Pekerti, Terbang dengan Dua Sayap, Sukses Pelatihan Budi Pekerti, Jakarta:
Grasindo, 2001.
Tan, Timotius Adi. Who Am I. Jakarta: Metanoia, 2007.