Strategi Perang Informasi (Netwar) dan Perjuangan Non-violent dalam Upaya Pemisahan Diri Papua di Indonesia
Rany Purnama Hadi. S.IP., M.Hub.Int1 Abstract
This paper analyzed the development of West Papua secession movement from guerrilla struggle to nonviolent struggle through the use of information technology. Since 2000s until 2016, West Papua movement mostly dominated by online campaign as an attempt to struggle for independence. Using theory and concept about nonviolent struggle and netwar the author found that information technology which is internet, utilized by West Papua movement as strategy to campaign and spread West Papua struggle for independent against Indonesian government in international level. By the use of online media and social network, West Papua movement influence international society to give support and sympathy to their struggle. This online strategy then creates cyberspace as a battle field of opinion between West Papua movement and Indonesian government.
Keywords: West Papua resistance, Non-violent struggle, Netwar, Online campaign, Information warfare
PENDAHULUAN
Era modern yang dipenuhi dengan perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi telah memberikan warna baru dalam dunia internasional. Tidak hanya dalam aspek ekonomi, sosial, dan politik, tetapi juga dalam aspek militer seperti konflik dan perang. Teknologi komunikasi dan informasi bukan lagi hanya sebagai sebuah instrument atau alat untuk berinteraksi, tetapi juga sebagai salah satu strategi yang diperhitungkan dan memiliki pengaruh penting dalam konflik. Sistem informasi dan teknologi modern dimanfaatkan oleh para ahli militer untuk meningkatkan fungsi dalam komando, kontrol dan juga komunikasi yang mana hal tersebut memberikan pengaruh terhadap dinamika dan proses dari perang atau konflik.
1 Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga. Dapat dihubungi melalui surel [email protected]
16
Tidak hanya pasukan militer, penggunaan teknologi modern seperti internet juga dimanfaatkan oleh kelompok pemberontak maupun pejuang reformasi sebagai sarana melakukan pergerakan. Biaya operasionalisasi internet yang lebih terjangkau oleh umum menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kelompok non-negara atau kelompok sipil lebih memilih untuk menggunakan internet dalam gerakan revolusi atau gerakan sosial (Internet Society, 2006). Semakin banyaknya pengguna internet tentu saja persebaran informasi secara global dan lintas batas melalui internet juga akan semakin mudah. Oleh karenanya, internet menjadi salah satu sarana yang digunakan oleh kelompok pergerakan sosial sebagai media kampanye, penyebaran berita, serta penggalangan dukungan kepada masyarakat luas.
Di Indonesia sendiri, aksi-aksi pergerakan sosial dalam bentuk protes atau demonstrasi dengan memanfaatkan penggunaan media dan teknologi modern dapat dilihat pada kasus pemisahan diri yang terjadi di Timor Leste dan Papua. Aksi protes damai dengan memanfaatkan media pertama dilakukan oleh kelompok separatis di Timor Leste atau East Timor pada November 1988 (Butigan, 2012).
Pejuang kemerdekaan Timor Leste menggunakan bantuan media untuk mengkampanyekan perjuangan kemerdekaan mereka hingga akhirnya dapat memperoleh kemerdekaan dari pemerintah Indonesia di tahun 2002. Selanjutnya, aksi Timor Leste ini juga mulai dilakukan oleh gerakan pemisahan diri Papua yang mana saat ini lebih banyak didominasi oleh perjuangan online daripada perang gerilya. Gerakan pemisahan diri Papua pada awalnya merupakan bentuk perang gerilya yang dilakukan kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) melawan pemerintahan Republik Indonesia. Para kelompok nasionalis Papua Merdeka yang berada di pedalaman menggunakan senjata untuk menyerang Tentara Nasional Indonesia yang berada di Papua dengan mengatasnamakan kemerdekaan.
Kemudian memasuki tahun 2000, kelompok pembela kemerdekaan Papua mulai banyak menggunakan upaya-upaya non-violent atau tanpa kekerasan seperti dialog, kampanye, dan juga melalui peranan media teknologi seperti media online. Media online menjadi sarana konflik atau perang baru yang disebut dengan information warfare atau perang informasi yang dilakukan oleh gerakan pemisahan diri Papua.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, rumusan masalah yang akan dianalisa dalam tulisan ini adalah bagaimana strategi perang informasi dan perjuangan non-violent yang dilakukan oleh gerakan pemisahan diri Papua di Indonesia melalui penggunaan media online?
METODE & KONSEP PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini merupakan metode penelitian kualitatif menggunakan kerangka teoritis yang dikemukakan oleh Gene Sharp mengenai nonviolent struggle dan netwar menurut John Arquilla dan David Rodfeld.
Nonviolent struggle adalah salah satu cara atau metode yang digunakan dalam konflik, dimana pada pelaksanaanya tidak melibatkan adanya tindak kekerasan fisik terhadap lawan. Definisi ini dikemukakan oleh Gene Sharp yang menjelaskan bahwa pengertian dari nonviolent struggle atau nonviolent actions adalah
“..is a technique used to control, combat and destroy the opponents’s power by nonviolent means of wielding power. The Politics of Nonviolent Action is a major explorations of the nature of nonviolent struggle” (Sharp, 2013).
Dalam kutipan definisi nonviolent struggle menurut Gene Sharp tersebut disebutkan bahwa perjuangan tanpa kekerasan adalah sebuah teknik yang digunakan untuk mengontrol, melawan, dan menghancurkan kekuatan lawan dengan memanfaatkan kekuatan melalui cara yang damai atau tanpa kekerasan.
Pelaksanaan nonviolent struggle menurut Gene Sharp dalam tulisannya berjudul How Nonviolent Struggle Works dapat dibedakan menjadi tiga metode yakni protes atau persuasi, noncooperation, dan intervensi (Sharp, 2013).
Metode protes atau persuasi adalah metode dengan menggunakan beberapa cara yang menunjukkan tindakan damai atau perlawanan damai dengan tujuan untuk membujuk lawan. Adapun maksud dari metode protes dan persuasi adalah untuk meyakinkan lawan untuk memperbaiki, menghentikan, atau melakukan apa yang dikehendaki oleh pihak yang melakukan protes. Sedangkan metode
18
noncooperation ialah bentuk nonviolent struggle yang dilakukan melalui pemutusan hubungan kerjasama baik sosial, ekonomi, atau politik. yang terakhir adalah metode intervensi yaitu bentuk campur tangan secara langsung untuk merubah situasi. Sharp mengidentifikasikan intervensi menjadi dua macam yaitu intervensi positif dan intervensi negatif. Dimana intervensi negatif dapat berakibat pada gangguan atau bahkan penghancuran pola, kebijakan, atau bahkan mengganggu insititusi yang sudah ada. Sedangkan intervensi positif sebaliknya dapat membangun pola perilaku, kebijakan, hubungan atau institusi yang baru.
Dalam penelitian ini, metode nonviolent struggle yang akan digunakan untuk menganalisa pergerakan separatisme Papua hanya dilihat melalui metode protes dan persuasi yang mana memang saat ini banyak digunakan oleh kelompok- kelompok minoritas untuk memperoleh dukungan. Penggunaan metode ini banyak dilakukan oleh kelompok protes sebagai cara untuk menunjukkan perlawanan mereka terhadap sesuatu hal, membuktikan adanya dukungan atau pertentangan, serta untuk menunjukkan berapa jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan protes tersebut. Dan di era global ini, penggunaan metode protes dan persuasi, khususnya melalui pemanfaatan media dan internet merupakan metode yang banyak digunakan oleh kelompok-kelompok minoritas untuk membantu perjuangan nonviolent mereka (Sharp, 2013).
Menurut Gene Sharp, metode dalam perjuangan tanpa kekerasan atau nonviolent struggle terdiri dari berbagai macam cara diantaranya adalah melalui petisi, slogan, penggerakan masa, boikot, serta kampanye-kampanye sebagaimana yang juga dilakukan oleh gerakan pemisahan diri Papua. Perjuangan nonviolent adalah sebuah metode yang digunakan untuk memperoleh loyalitas publik dengan tujuan utama menyerang sisi sosial dan psikologi dari lawan tanpa melibatkan penggunaan kekerasan (Martin, 2001; Sharp, 2013).
Disamping itu, penggunaan metode nonviolent dalam konflik juga dapat efektif dalam memenangkan loyalitas pasukan militer yang mungkin dikerahkan oleh pihak oposisi sebagai pasukan pertahanan. Hal ini dikarenakan, ketika perlawanan dihadapkan dengan perjuangan nonviolent kemungkinan pasukan militer untuk menuruti perintah melawan dengan kekerasan atau bahkan membunuh
juga akan berkurang secara tidak langsung (Martin, 2001). Kemudian, berbeda dengan militer dalam perjuangan nonviolent perekrutan anggota yang terlibat dilakukan dalam bentuk sukarela dan tanpa paksaan atau aturan yang mengikat.
Pendukung aksi nonviolent dapat dengan mudah berpindah haluan ke pihak lawan.
Hal inilah yang menyebabkan loyalitas merupakan aspek yang penting dalam perjuangan nonviolent.
Oleh karena itu komunikasi diperlukan untuk memudahkan koordinasi dan mempengaruhi publik demi loyalitas terhadap gerakan. Dalam hal inilah peranan teknologi informasi dan komunikasi, dimana pada kasus Papua ditunjukkan melalui peranan internet, memiliki berperan penting dalam aksi perjuangan nonviolent Papua untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka. Pejuang kemerdekaan Papua memanfaatkan teknologi komunikasi modern sebagai alat untuk berperang opini dan ide melawan rezim Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk memperoleh dukungan masyarakat internasional atas upaya pemisahan diri Papua. Bentuk perang inilah yang selanjutnya disebut dengan netwar.
Definisi mengenai netwar pertama kali dikemukakan oleh John Arquilla dan David Ronfeldt dalam artikel yang berjudul “Cyberwar is coming” di tahun 1993.
Menurut Arquilla dan Ronfeldt kemajuan teknologi informasi telah memberikan pengaruh yang besar terhadap doktrin, organisasi dan strategi yang kemudian menciptakan sebuah peperangan modern (Arquilla and Ronfeldt 1993). Revolusi informasi berdampak pada meningkatnya efisiensi dari berbagai aktivitas baik ekonomi, politik, sosial, dan keamanan.
“The information revolution reflects the advance of computerized information and communications technologies and related innovations in organization and management theory. Sea changes are occurring in how information is collected, stored, processed, communicated and presented, and in how organizations are designed to take advantage of increased information. Information is becoming a strategic resource that may prove as valuable and influential in the post-industrial era as capital and labor have been in the industrial age” (Arquilla and Ronfeldt 1993).
Teknologi informasi menjadi hal yang penting dalam strategi managemen dan organisasi. Perkembangan informasi mempengaruhi pembangunan struktur dan hirarki yang berjalan dalam sebuah institusi serta menciptakan tumbuhnya jaringan
20
sosial dan jaringan komunikasi yang modern. Revolusi teknologi informasi memungkinkan individu atau kelompok untuk dapat berkomunikasi, berkoordinasi dan beroperasi secara bersamaan dalam jarak yang lebih jauh dibandingkan sebelumnya. Perubahan ini memunculkan dinamika baru dalam hal konflik dan keamanan.
Arquilla dan Rondfelt mengklasifikasikan perubahan tersebut menjadi dua jenis perang informasi yakni cyberwar dan netwar (Arquilla and Ronfeldt 1993;
Arquilla and Ronfeldt 2001; Gray 1997). Cyberwar dan netwar adalah dua definisi yang menjelaskan hubungan antara konflik dengan informasi dan teknologi. Dalam Arquilla dan Ronfeldt dijelaskan bahwa kedua istilah ini merupakan bentuk perang pengetahuan mengenai siapa yang mengetahui apa, kapan, dimana, dan bagaimana.
Meski memiliki pemahaman yang serupa, cyberwar dan netwar memiliki kontekstual yang berbeda.
Cyberwar adalah penerapan serta pelaksanaan operasi militer berdasarkan prinsip-prinsip informasi (Arquilla & Ronfeldt, 1993; Brose, 2012), atau dengan kata lain, cyberwar adalah pemanfaatan atau penggunaan teknologi dalam perang atau konflik pada tingkat militer. Sedangkan netwar adalah konflik yang dilakukan dengan memanfaatkan komunikasi melalui internet pada tingkat sosial atau sipil.
Netwar adalah konflik informasi yang terjadi di dalam masyarakat atau bangsa (Arquilla & Ronfeldt, 1993).
Netwar bertujuan untuk menganggu, merusak, atau merubah pemahaman yang ada di dalam masyrakat mengenai apa yang sedang terjadi baik terhadap dirinya sendiri maupun dalam konteks global. Hal-hal yang dapat dilakukan dalam netwar antara lain seperti propaganda, diplomasi publik, kampanye sosial, penggunaan dan pemanfaatan media, network atau database serta segala usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi pergerakan lawan melalui jaringan komunikasi (Arquilla & Ronfeldt, 1993). Perang yang terjadi dalam netwar adalah perang yang disasarkan pada opini publik atau kelompok elit, atau kedua pihak sekaligus.
Berbeda dengan perang atau konflik pada umumnya, yang menjadi target dari perang netwar adalah sumber informasi dan komunikasi.
Jika pihak yang terlibat dalam cyberwar umumnya adalah militer, berbeda dengan netwar yang memiliki berbagai macam aktor yang mungkin terlibat di dalamnya. Netwar dapat terjadi antar pemerintah negara yang berkonflik, dimana kedua pihak saling beradu argumen dalam media ataupun antara pemerintah dengan masyarakat sipil. Tidak menutup kemungkinan netwar akan membawa isu militer dalam konfliknya. Meski demikian, netwar bukanlah sebuah perang nyata sebagaimana perang konvensional menggunakan senjata dan pasukan. Netwar dapat menjadi instrumen yang digunakan untuk menghentikan atau justru mendukung terciptanya perang atau konflik senjata
PEMBAHASAN
Pasca runtuhnya masa pemerintahan Presiden Soeharto di tahun 1998, terjadi perubahan dalam karakteristik pergerakan Papua. Sejak diserahkannya wilayah Papua kepada pemerintah Indonesia pada tahun 1962, masyarakat Papua yang tidak menerima penyatuan wilayah dengan NKRI tersebut melakukan perlawanan kepada pemerintah Indonesia sebagai upaya mereka untuk memisahkan diri dengan Indonesai. Jika sebelumnya bentuk perlawanan banyak ditunjukkan dalam perlawanan bersenjata atau violent struggle/armed struggle dalam bentuk serangan militer oleh kelompok nasionalis Papua terhadap pasukan keamanan Indonesia yang berada di Papua, setelah masa kepemimpinan Soeharto berakhir, tepatnya pada Mei 1998 perlawanan mulai diwarnai dengan perlawanan tanpa kekerasan atau nonviolent struggle (Macleod, 2015). Bentuk perlawanan yang ditunjukkan melalui aksi protes dan demonstrasi mulai menyebar di beberapa daerah di Papua dalam beberapa hari.
Memasuki era reformasi di tahun 2000an, disaat kebebasan publik mulai muncul di Indonesia, gerakan pemisahan diri Papua mulai banyak mengkampanyekan opini, ideologi, serta nilai-nilai mereka kepada pemerintah Indonesia dan masyarakat secara global (Widjojo, 2001). Pada awalnya bentuk perlawanan nonviolent yang dilakukan lebih banyak dipenuhi dengan demonstrasi maupun protes di tempat umum dan balai-balai pemerintahan. Kelompok pejuang kemerdekaan menggunakan banner, bendera, poster, serta spanduk untuk menyuarakan aspiraasinya. Kemudian, setelah kemunculan teknologi informasi
22
modern seperti internet, perlawanan nonviolent kini juga diwarnai dengan persebaran isu-isu, protes, dan kampanye melalui media cyber atau media online.
Media online sendiri merupakan salah satu alat yang digunakan dalam nonviolent struggle yang cukup banyak dimanfaatkan oleh kelompok sipil karena kemudahan dan persebarannya yang cepat.
Dalam kasus Papua, berbagai macam media online digunakan untuk membantu kelompok pendukung Papua Merdeka untuk melakukan kampanye- kampanye kemerdekaan. Berdasarkan pencarian yang dilakukan terdapat lebih dari 20 situs online yang mendukung gerakan Papua Merdeka. Dalam menganalisa pemanfaatan media online oleh gerakan separatis Papua dapat diklasifikasikan setidaknya menjadi dua macam bentuk media online yang digunakan. Pertama adalah media online umum berupa website atau situs online resmi dari organisasi- organisasi gerakan Papua Merdeka seperti milik Asosiasi Mahasiswa Papua (www.ampnews.org), infopapua.org, www.freewestpapua.org, www.ulmwp.org, www.tapol.org, dan www.ilwp.org. Kedua adalah dalam bentuk media sosial seperti blog, facebook dan twitter untuk membantu kampanye mereka. Media sosial, meski merupakan bagian dari media online, akan tetapi memiliki karakter yang berbeda dengan bentuk media online lain seperti email, website atau portal berita. Media sosial merupakan teknologi berbasis internet yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi maupun terlibat secara langsung (two-way interaction) dengan beberapa pengguna lain dalam media sosial (Carr and Hayes 2015).
Penggunaan media sosial memungkinkan sebuah pergerakan untuk dapat melakukan komunikasi dua arah secara langsung dengan masyarakat luas yang tersambung melalui jaringan internet, sehingga memungkinkan mereka untuk dapat memperluas jaringan yang dapat mendukung pergerakan tersebut. Beberapa contoh media sosial yang mendukung pergerakan Papua Merdeka adalah komunitas- papua.net, www.papuapost.blogspot.com, ampmalangraya.blogspot.com, loverpapuablog.blogspot.com, Love Papua (Facebook dan twitter), @FreePapua, dan @FreeWestPapua.
Penggunaan media-media online ini oleh pejuang Papua maupun kelompok pendukung Papua Merdeka adalah untuk melakukan kampanye dan menyebarkan berita-berita mengenai isu dan pergerakan Papua. Ada perbedaan dari pola pemanfaatan media online oleh gerakan Papua Merdeka dan kelompok pro-Papua.
Gerakan Papua Merdeka yang umumnya berbentuk sebuah organisasi seperti Free West Papua, International Lawyer for West Papua (ILWP) dan International Parliament for West Papua (IPWP) menggunakan media online tidak hanya untuk menyebarkan berita atau kampanye untuk mendukung Papua Merdeka tetapi juga menggalang dukungan dari masyarakat global untuk berpartisipasi dalam gerakan mereka. Sebagai contoh, dalam situs resmi IPWP dan Free West Papua, terdapat kolom ‘Take Action” yang disediakan bagi para pengguna internet yang ingin terlibat secara langsung memberikan dukungan terhadap pergerakaan organisasi tersebut. Masyarakat dapat turut serta dalam penandatangan petisi online dan pemberian donasi untuk membantu mendanai kampanye mereka yang nantinya akan laporkan kepada PBB sebagai bentuk protes terhadap Pemerintah Indonesia.
Sedangkan kelompok pro-Papua atau pendukung Papua, hanya menggunakan media online sebagai media informasi. Bukan untuk penggalangan dana sebagaimana gerakan Papua Merdeka. Hal ini tampak dari mayoritas media online yang dibuat oleh kelompok Pro-Papua seperti blog, Facebook, atau Twitter umumnya hanya berisikan mengenai berita-berita terkait isu Papua serta bagaimana perkembangan perjuangan Papua di ranah Internasional. Sebagai contoh adalah blog milik Komunitas Papua (komunitas-papua.net) dan Papua Merdeka News (papuapost.wordpress.com) yang berisi mengenai berita-berita, opini, dan artikel yang menunjukkan dukungan terhadap kemerdekaan Papua serta perkembangan isu Papua. Pada blog Komunitas Papua, sangat jelas ditunjukkan tulisan-tulisan yang berisikan keinginan untuk merdeka. Beberapa contohnya adalah tajuk opini yang berjudul “Cepat atau lambat Papua pasti Merdeka” atau “Kami ingin lepas dari Indonesia baik-baik” (Komunitas Papua). Jika dilihat dari judul tulisan tersebut, dapat dikatakan bagaimana blog Komunitas Papua sangat memberikan dukungan terhadap kemerdekaan Papua. Blog ini juga memiliki pengunjung yang cukup banyak dengan jumlah total sebanyak 628.356 pengunjung (Data statistik blok Komunitas Papua, 2017).
24
Selain blog, terdapat pula media sosial Facebook dan Twitter yang juga cukup banyak menyebarkan dan mengkampanyekan gerakan Papua Merdeka. Salah satu contoh di Facebook adalah akun yang dibuat oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) dimana dalam akun facebook tersebut mereka memberikan link atau tautan berita-berita mengenai hal-hal yang dialami oleh masyarakat Papua dan bagaimana perjuangan mereka untuk kemerdekaan Papua. Terkait akun facebook dengan nama OPM ditemukan dua akun yang memiliki nama yang sama hanya dengan alamat yang berbeda. Pertama adalah Facebook Organisasi Papua Merdeka (www.facebook.com/Organisasi-papua-merdeka-690126687716225/) yang dibuat oleh organisasi komunitas di Paniai, Papua. Sedangkan akun kedua bernama Organisasi Papua Merdeka |OPM| (www.facebook.com/Free.Papua/) yang merupakan akun resmi OPM. Meski memiliki nama yang sama, akan tetapi konten dari laman facebook tersebut cukup berbeda. Akun pertama hanya berupa kampanye yang mendukung kemerdekaan Papua. Seperti misalnya “Bangkit untuk keselamatan harga diri ideologi bangsa. Maju berjuang untuk bebas dan merdeka.
Kepribadian harga diri ideologi diatas tanah leluhurnya. West Papua” yang mana tujuannya adalah menginginkan kemerdekaan bagi warga Papua dari Indonesia.
Berbeda dengan akun Organisasi Papua Merdeka, akun Facebook OPM lebih banyak menyebarkan tautan-tautan dari Papua Merdeka News yang berisi berita terkait gerakan kemerdekaan Papua maupun respon yang diterima serta dukungan-dukungan terhadap Papua sebagai upaya untuk menunjukkan kepada masyarakat luas mengenai kondisi yang terjadi di Papua. Akun OPM ini pun memiliki pengikut lebih banyak jika dibandingkan dengan akun Organisasi Papua Merdeka. Facebook Organisasi Papua Merdeka hanya memiliki 364 pengikut, sedangkan akun OPM diikuti 2,175 orang dan disukai 2,189 pengguna facebook.
OPM memanfaatkan jaringan online Facebook untuk memperoleh perhatian masyarakat secara luas. Keberadaan media online seperti facebook membantu OPM untuk dapat menyebarkan informasi mengenai Papua dan fenomena yang terjadi di wilayah tersebut dengan cepat. Hal ini dikarenakan media online adalah salah satu sumber informasi yang dapat dijangkau dengan mudah oleh masyarakat secara menyeluruh.
Bagi kelompok pendukung kemerdekaan Papua, keberadaan media online dalam mendukung pergerakan mereka tidak dapat dibatasi sekedar hanya sebagai sebuah tren yang muncul akibat perkembangan teknologi dan informasi modern saat ini. Media online juga dilihat sebagai media alternatif yang cukup menjangkau pengguna internet. Selain itu, keuntungan lainnya adalah kemudahan bagi pengguna media online untuk merubah domain apabila situs mereka terpaksa diblokir oleh pemerintah. Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Bapak Cahyo Pamungkas dari Kajian Papua LIPI. Penggunaan media online menjadi media yang populer digunakan oleh kelompok pendukung Papua Merdeka adalah karena kemampuan yang ditunjukkan oleh media online dalam menjangkau masyarakat diluar Papua disaat jurnalis atau media asing cukup sulit untuk dapat masuk ke Papua.
Ada berapa istilah yang digunakan untuk menjelaskan keterkaitan antara teknologi informasi dengan konflik. John Arquilla dan David Ronfeldt menyebut fenomena tersebut sebagai cyber war dan netwar (Arquilla and Ronfeldt 1993).
Cyber war adalah ungkapan yang digunakan untuk menjelaskan penggunaan teknologi informasi modern dalam perang militer, sedang netwar digunakan untuk menjelaskannya dalam perang sipil atau perang asimetris. Netwar merupakan bentuk dari kebangkitan organisasi berbasis network sebagai dampak dari revolusi teknologi informasi modern. Menurut Arquilla dan Rondfelt, netwar adalah sebuah konflik dalam tingkat sosial yang melibatkan sedikit karakter dari perang tradisional, melainkan adanya penggunaan jaringan teknologi informasi modern oleh pihak yang tertindas (protagonist) baik dalam bentuk pembentukan organisasi, doktrin, maupun strategi (Ronfeldt, et al. 1998).
Yang dimaksudkan dengan kelompok protagonis disini adalah kelompok atau organisasi kecil yang berkomunikasi, berkoordinasi dan melakukan kampanye menggunakan internet tanpa memiliki pusat komando yang jelas. Organisasi ini juga tidak memiliki hierarki sebagaimana yang ada dalam satuan militer atau pasukan dalam konflik atau perang tradisional. Hal yang kemudian membedakan netwar dengan perang tradisional lainnya adalah aktor yang terlibat rata-rata merupakan aktor non-negara atau non-state serta dapat mencangkup masyarakat pada level nasional maupun internasional (Ronfeldt, et al. 1998).
26
Kemudian, berbeda dengan cyberwar yang bertujuan untuk merusak atau mengganggu sistem informasi dan komunikasi dari lawan, sebagaimana penjelasan Ronfeld dan Arquilla, netwar disisi lain merupakan tindakan dimana aktor yang terlibat secara terbuka dan diam-diam berusaha untuk menganggu, menghancurkan atau merubah apa yang diketahui dan dipikirkan oleh masyarakat yang menjadi target dari aksi mereka ketahui tentang peristiwa yang terjadi di dunia di sekitar mereka (Arquilla and Ronfeldt 1993). Secara singkat, dalam netwar kelompok protagonis berusaha untuk mendeskontruksi pemahaman masyarakat mengenai peristiwa yang terjadi sesuai dengan tujuan mereka, dengan memanfaatkan peranan teknologi dan komunikasi.
Pada kasus pemisahan diri Papua di Indonesia, peran aktor protagonis dalam konflik dipegang oleh kelompok nasionalis dan pendukung Papua Merdeka, dimana mereka merupakan kelompok atau organisasi yang melakukan pergerakan dengan menggunakan teknologi informasi modern berupa media online untuk melakukan kampanye. Gerakan pemisahan diri Papua juga tidak memiliki hierarki dalam keorganisasian sebagaimana pasukan militer dan bergerak secara bersama-sama hanya berlandasakan rasa solidaritas antar masyarakat Papua yang merasa diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah Indonesia. Rasa solidaritas dan jaringan yang dibangun melalui kemudahaan komunikasi dan koordinasi melalui teknologi informasi modern itulah yang kemudian membuat netwar sebagai konflik dimana aktor yang terlibat didalamnya umumnya memiliki keterikatan yang besar antara satu organisasi dengan organisasi lainnya.
Organisasi-organisasi pendukung kemerdekaan Papua seperti IPWP, Free West Papua, ULMWP, dan organisasi-organisasi kecil masyarakat lainnya saling terhubung satu dengan lainnya untuk berkoordinasi dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua. Tidak hanya yang berada di Indonesia, keberadaan internet juga menghubungkan seluruh diaspora Papua yang berada di luar negeri untuk mendukung kemerdekaan Papua. Berdasarkan analisa yang dilakukan dengan memperhatikan jaringan online pendukung Papua Merdeka, situs online seperti freewestpapua.com memiliki domain tidak hanya di Indonesia melainkan juga di Australia, Selandia Baru dan Belanda. Selain itu juga terdapat situs online pendukung Papua Merdeka lainnya yang berada di Inggris, Kep. Fiji, Polandia,
Amerika Serikat, dan juga Papua Nugini yang mana kelompok-kelompok tersebut saling mendukung satu dengan lainnya. Bersama-sama, kelompok-kelompok ini saling bekerja sama untuk secara tidak langsung membentuk gambaran dalam masyarakat internasional mengenai konflik Papua melalui kampanye-kampanye online dengan tujuan untuk memperoeh perhatian masyarakat terhadap perjuangan kemerdekaan Papua secara internasional. Hubungan yang tercipta ini menyebabkan konflik Papua menjadi salah satu konfik sosial yang tidak mudah untuk diperangi oleh Pemerintah Indonesia karena jaringan yang tersebar luas diseluruh dunia.
Disamping itu, adanya penggunaan isu mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua oleh Pemerintah Indonesia semakin memperbesar perkembangan konflik Papua di dunia internasional.
Jika dilihat pada sejarah, upaya yang dilakukan oleh separatis Papua ini memiliki kemiripan dengan pergerakan yang dilakukan oleh kelompok Zapatista Meksiko di tahun 1992. Konflik Zapatista merupakan sebuah social revolutionary movement yang terjadi di Chiapas, Meksiko, dimana kelompok revolusioner yang dipimpin oleh Ejército Zapatista de Liberación Nacional (EZLN) atau Zapatista National Liberation Army, melakukan protes terhadap Pemerintah Meksiko yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden Salinas (Ronfeldt, et al. 1998). Protes tersebut bertujuan untuk memperjuangkan hak masyarakat Chiapas yang dinilai telah mengalami diksriminasi dan termaginalkan oleh Pemerintah Meksiko dengan adanya kebijakan privatisasi lahan yang merugikan masyarakat.
Protes yang dilakukan oleh Zapatista ini memiliki perbedaan dengan protes- protes lain di Amerika Latin adalah dimana pada protes tersebut, kelompok EZLN banyak lebih banyak melakukan perlawanan non-militer atau non-kekerasan serta memanfaatkan media internet dan teknologi modern sebagai media protes.
Disamping itu, EZLN juga menjalin kerjasama dengan beberapa organisasi internasional sebagai bentuk dukungan. EZLN bekerja sama dengan beberapa NGO untuk melakukan social movement dengan bantuan internet dan media massa.
Mereka menyebarkan aksi dan protes melalui internet agar dapat didengar oleh masyarakat internasional. Dalam konflik revolusi Zapatista, perlawanan militer yang dilakukan oleh kelompok revolusi hanya berlangsung selama beberapa hari.
Selanjutnya perjuangan dan pemberontakan yang terjadi dilakukan melalui media
28
internet dan media massa. Strategi inilah yang menyebabkan revolusi Zapatista dikategorikan sebagai social netwar (Ronfeldt, et al. 1998). Strategi yang dilakukan oleh Zapatista ini sedikit banyak memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh gerakan kemerdekaan Papua saat ini. Kelompok pro-Papua Merdeka banyak memanfaatkan media internet dan dukungan organisasi internasional sebagai pendukung aksi mereka melawan pemerintahan Indonesia.
Media merupakan tempat dimana masyarakat memperoleh informasi dan pesan yang mana melalui pesan tersebut opini masyarakat atas suatu peristiwa sosial politik selanjutnya terbentuk (Simons, 2008). Tak jarang kemudian, aktor- aktor politik berusaha untuk membentuk informasi yang keluar dari media untuk mempengaruhi dan memperoleh dukungan dari masyarakat guna mencapai tujuan politiknya. Oleh karenanya, banyak aktivitas-aktivitas politik bahkan teror yang menggunakan framing media untuk menyerang lawan dengan menciptakan informasi tertentu serta menyebarkannya kepada publik melalui bantuan media.
Seiring dengan terus berkembangnya teknologi dan informasi, media kini tak lagi hanya berupa media tradisional seperti surat kabar dan televisi, melainkan juga media online seperti media sosial dan situs online yang menyebarkan informasi lebih cepat dan lebih luas dibandingkan media tradisional. Keberadaan media online di era global telah menjadi bagian dari masyarakat. Cyberspace atau dunia maya merupakan media komunikasi global dimanan jaringan-jaringan online disusun khusus untuk memproses arus informasi tanpa batasan waktu (Bieda and Halawi 2015).
Kemajuan cyberspace menumbuhkan kondisi sosial masyarakat yang semakin terkoneksi antara satu dengan yang lainnya secara global. Keberadaan media online seperti website, facebook, twitter, blog, dan situs online lainnya menyebabkan semakin cepat dan mudah bagi masyarakat untuk memperoleh informasi dan memberikan dukungan terhadap kelompok aktivis tertentu tak terkecuali kelompok separatis. Gerakan pemisahan diri Papua yang memanfaatkan media online sebagai alat kampanye menyebarkan informasi dan pemberitaan yang bertujuan untuk mempengaruhi opini publik terkait situasi yang terjadi di Papua.
Penggunaan isu HAM sebagai strategi kampanye berhasil memunculkan simpati masyarakat internasional yang memiliki kepedulian terhadap perlindungan HAM
untuk mendukung gerakan Papua melawan rezim pemerintah Indonesia. Upaya kampanye ini kemudian memunculkan pertarungan tersendiri antara pendukung Papua Merdeka dengan pemerintah Indonesia dalam membentuk opini dan informasi yang beredar di masyarakat.
Baik pemerintah Indonesia dan kelompok pendukung Papua Merdeka berusaha untuk memberikan informasi untuk mempertahankan posisi mereka masing-masing. Di satu sisi, melalui situs online dan media sosial pribadi mereka, kelompok separatis berusaha untuk menyebarkan informasi mengenai tindak- tindak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia terhadap masyarakat Papua. Bagaimana kemudian masyarakat Papua menginginkan kemerdekaan, berapa banyak dukungan internasional yang diberikan kepada separatis Papua, serta bukti kesuksesan yang telah mereka capai semua tersusun dalam pemberitaan yang dikeluarkan oleh gerakan separatis. Disisi yang lain, pemerintah Indonesia juga membentuk persepsi masyarakat dengan menyebutkan bahwa kedaulatan Indonesia atas Papua adalah hal yang mutlak serta negara-negara di dunia mendukung Indonesia, dan berbagai asumsi lain yang ditujukan untuk menunjukkan bahwa tidak ada masalah yang terjadi di Papua. Secara garis besar, pertarungan terjadi dimana satu dengan lainnya saling beradu argumen mengenai situasi sosial dan politik terkait isu Papua.
Sebagai contohnya, pada bulan Februari 2016 OPM mengumumkan bahwa mereka telah mendirikan kantor United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP pada 15 Februari 2015 di Wamena, Papua (Kompas, 2016). Pemberitaan ini tersebar tidak hanya di media nasional, namun juga dibeberapa media online internasional seperti Radio.nz yang berbasis di Selandia Baru. Tersebarnya pemberitaan tersebut menjadi pembuktian bagi gerakan pemisahan diri Papua bahwa mereka telah berhasil mendirikan kantor gerakan kemerdekaan di Indonesia.
Akan tetapi pada hari berikutnya, pemerintah Indonesia melaui Ketua Kodam Cendrawasih berusaha untuk memberikan sanggahan terhadap berita tersebut, dengan menyatakan bahwa berita tersebut tidak benar dan tanpa bukti otentik yang membuktikan kebenaran informasi tersebut. Salah seorang tokoh Papua mendukung sanggahan tersebut dan menyarakan bahwa hal itu merupakan bentuk propaganda yang dilakukan oleh kelompok separatis untuk memperoleh dukungan
30
internasional serta menunjukkan kelemahan Indonesia (News Liputan 6, 2016).
Pernyataan ini kemudian juga tersebar melalui media internasional seperti DW.com sebagai bentuk respon pemerintah Indonesia atas penyebaran informasi gerakan separatis Papua.
Kemudian pada bulan Mei 2016, melalui situs resmi Free West Papua, kelompok Papua Merdeka menuliskan berita bahwa laporan atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua telah diberikan kepada Sekjen PBB Ban Ki-moon dalam World Humanitarian Summit di Istanbul, Turki (Free West Papua Campaign 2016).
Pernyataan ini mendapatkan respon positif dari pendukung gerakan Papua Merdeka, terutama yang terjaring dalam media sosial Facebook, dimana banyak dari mereka mendukung keberhasilan tersebut.
“Free West Papua Campaign: Massive thanks and respect to Secretary General Mr Ban-ki-Moon all our brothers and sisters at Piango for all their strong solidarity and hard work in supporting West Papua [ https://www.freewestpapua.org/.../west-papua-report.../]”
Dalam pernyataan tersebut, Free West Papua Campaign menggungkapkan rasa terima kasih dan hormatnya kepada Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki Moon, serta saudara-saudara mereka yang berada di Piango terkait rasa solidaritas yang kuat serta dukungan yang besar terhadap Papua. Berdasarkan pernyataan tersebut, tampak jelas bagaimana kelompok pro-Papua Merdeka memunculkan asumsi bahwa Sekjen PBB dan masyarakat internasional mendukung gerakan Papua Merdeka. Akan tetapi sekali lagi informasi ini disanggah oleh Pemerintah Indonesia yang disampaikan melalui Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemenlu), bahwa pihak PBB membantah telah menerima laporan tersebut. Pernyataan tersebut menurut Kemenlu disampaikan langsung oleh Stephane Dujarric yang merupakan juru bicara Sekjen PBB (Sindo News, 2016).
"Sekjen PBB tidak pernah menerima dokumen apapun terkait laporan HAM Papua," kata Dujaric dalam press briefing harian yang digelar kemarin di markas besar PBB di New York, seperti terncatum dalam siaran pers Kemenlu RI yang diterima Sindonews pada Kamis (2/6). “Lebih lanjut Dujarric mengklarifikasi, bahwa Sekjen PBB tidak pernah melakukan pertemuan atau mengagendakan pertemuan dengan perwakilan Papua Barat, seperti yang disebutkan kelompok Anti Pembangunan Papua tersebut pada kesempatan pertemuan internasional di Turki” (Sindo News 2 Juni 2016).
Jika dianalisa berdasarkan dua bukti di atas, dapat dilihat bahwa konflik yang terjadi antara kelompok atau gerakan pemisahan diri Papua dengan Pemerintah Indonesia bukanlah lagi berupa perang tradisional melalui jalur militer, melainkan perang informasi untuk mempengaruhi opini publik terhadap situasi sosial politik yang sedang terjadi. Baik kelompok pejuang Papua Merdeka dan Pemerintah Indonesia, keduanya berusaha untuk memperoleh simpati dari masyarakat dengan saling menjatuhkan pernyataan satu dengan lain. Secara tidak langsung, pertarungan ini menyebabkan ketidakpastian terhadap kondisi yang sebenarnya terjadi terkait Papua. Beberapa negara dan masyarakat mendukung Papua karena adanya rasa solidaritas dan simpati terhadap klaim pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah tersebut dan beberapa lainnya seperti Australia, mendukung dan menghargai kedaulatan Indonesia atas Papua (The Guardian, 2015).
Berdasarkan penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, sebagian besar negara-negara di dunia mendukung dan menghargai posisi Indonesia dalam kasus Papua meski tidak menutup kemungkinan meminta Indonesia untuk tetap menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Papua (A. Elisabeth, 2006).
Adanya peranan teknologi informasi modern dalam konflik serta perubahan strategi konflik dari strategi militer menjadi strategi politik untuk mempengaruhi opini publik inilah yang menjadi karakter dari perang informasi yang terjadi di Papua. Medan perang yang muncul bukanlah medan militer sebagaimana perang konvensional, melainkan cyberspace dimana masing-masing aktor saling serang informasi dan opini dengan tujuan untuk memperoleh perhatian dan dukungan masyarakat internasional. Dengan menggunakan media online isu-isu kemanusian disebarkan oleh pejuang Papua Merdeka sebagai strategi kampanye untuk meraih perhatian publik dan melemahkan posisi politik Indonesia. Sebagai contohnya, adalah diangkatnya pemberitaan mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di Papua yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Dalam situs online Free West Papua yang merupakan laman resmi gerakan pro-Papua Merdeka, serta situs atau media sosial lainya, banyak dimunculkan berita-berita terkait penindasan yang dilakukan oleh militer Indonesia terhadap warga Papua (Free West Papua, 2016).
32
Isu terkait HAM merupakan isu sensitif yang menjadi perhatian publik internasional (Eldridge, 2002). Oleh karenanya segala kasus yang berkaitan dengan hak asasi manusia akan dengan cepat memperoleh simpati publik. Begitu pula dengan kasus yang terjadi di Papua. Pertarungan untuk memperoleh hati dan pikiran masyarakat terhadap kasus Papua pun dilakukan dengan bantuan media online.
Strategi untuk meraih simpati publik terhadap pergerakan sosial atau politik merupakan taktik yang umum dilakukan dalam sebuah perang gerilya (Froehling, 1997 dalam Shirley 2001). Oleh karenanya, kampanye politik yang dilakukan oleh kelompok separatis Papua demi memperoleh dukungan internasional bukanlah hal yang baru dalam strategi perang. Akan tetapi, yang membuatnya berbeda adalah penggunaan media online dan teknologi modern sebagai media kampanye untuk mendekonstruksi informasi dan membentuk opini publik sehingga menyebabkan gerakan online Papua mejadi sebuah perang informasi melawan rezim pemerintah.
Sebagaimana kampanye militer atau kampanye politik lainnya, kampanye menggunakan teknologi informasi juga melibatkan upaya untuk merubah rezim yang sudah ada atau bahkan berdampak pada revolusi yang memunculkan pemerintahan baru. Hanya saja kemudian, penggunaan media teknologi informasi modern seperti internet memungkinkan untuk perolehan simpati publik yang lebih luas dan kuat mengingat persebaran internet yang lebih luas dari media tradisional.
Dengan terciptanya medan perang baru dalam konflik Papua, tentu saja merubah definisi kalah atau menang dalam pertarungan tersebut. Kalah atau menang bukan dilihat dari berapa besar kerusakan yang ditimbulkan ataupun seberapa banyak pasukan yang gugur, melainkan siapa yang berhasil memenangkan hati dan pikiran masyarakat (Pratkanis, 2007). Tujuan inilah yang juga menjadi inti dari kampanye gerakan pemisahan diri Papua. Berbagai bentuk kampanye, pembentukan petisi, dan diplomasi di ranah internasional dilakukan untuk memperoleh hati masyarakat dunia sehingga mampu mempengaruhi dan menekan Pemerintah Indonesia untuk melepaskan Papua sebagai negara merdeka yang mana bagi kelompok pejuang Papua merupakan hak mereka sebagai bangsa Papua.
Penggunaan media online sebagai alat kampanye kemerdekaan Papua nampaknya cukup membuahkan hasil. Hal ini dapat dilihat dari diangkatnya isu Papua dalam
sidang umum PBB pada tahun 2016 lalu. Meski demikian, di Indonesia sendiri, nampaknya isu ini tidak diberitakan sebanyak pemberitaan media internasional.
KESIMPULAN
Elaborasi teori yang telah dilakukan menunjukkan adanya perubahan dinamika konflik internasional dengan adanya pengaruh dari perkembangan teknologi informasi. Kemunculan internet dan teknologi informasi modern telah membentuk karakter baru dalam perang dimana perang bukanlah lagi konflik tradisional yang didominasi kekuatan militer, melainkan konflik yang diiringi dengan peranan teknologi dan pengetahuan dalam aplikasinya. Teknologi tidak hanya mempengaruhi perang dalam tingkat militer, tetapi juga tingkat sipil seperti separatisme Papua. Sejak memasuki tahun 2000, terjadi pergeseran pergerakan pemisahan diri Papua dari yang lebih banyak didominasi oleh konflik militer yang melibatkan kekerasan dan strategi gerilya, menjadi konflik yang cenderung tanpa kekerasan atau nonviolent melalui metode kampanye dan protes. Pergeseran tersebut diakibatkan oleh pandangan bahwa tindak kekerasan dalam upaya pemisahan diri Papua dianggap tidak lagi efektif untuk mencapai tujuan pergerakan.
Kelompok nasionalis Papua Merdeka memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi modern yang ditunjukkan dengan penggunaan jaringan internet untuk menjangkau publik yang lebih luas. Media yang banyak digunakan adalah melalui media online seperti website online, media sosial, blog, serta video online. Melalui jaringan internet dan bantuan media online tersebut kelompok separatis Papua melakukan kampanye dengan mengangkat isu HAM yang merupakan isu sosial yang menjadi perhatian masyarakat internasional saat ini.
Hal ini menunjukkan bahwa teknologi informasi modern seperti internet yang ditunjukkan melalui media online serta media sosial, bukan lagi hanya sebagai alat komunikasi maupun alat politik pihak-pihak yang berkepentingan, tetapi juga dapat menjadi salah satu strategi perang bagi kelompok revolusioner atau pergerakan sosial untuk melawan rezim pemerintah dan menyebarkan ide-ide mereka dengan tujuan untuk menarik dukungan publik. Teknologi informasi modern dalam perang sipil sebagaimana yang dilakukan oleh gerakan pemisahan diri Papua menjadi alat untuk membentuk opini publik mengenai fenomena atau isu
34
sosial yang terjadi demi tercapainya tujuan dari gerakan tersebut. Meski demikian, untuk melihat sejauh mana keberhasilan dan perkembangan gerakan pemisahan diri Papua di kancah internasional memang cukup sulit mengingat keterbatasan sumber literatur dan tidak mudahnya kontak yang dapat dilakukan dengan kelompok nasionalis Papua maupun pendukung Papua Merdeka, menyebabkan analisa yang dilakukan hanya berdasarkan perkembangan menurut situs online gerakan pemisahan diri Papua dan beberapa wawancara dengan sumber terkait.
DAFTAR PUSTAKA Buku
Aditjondro, George J. Belanda di Irian Jaya - Amtenar di Masa Penuh Gejolak, 1945-1962. Jakarta: KITLV Press dan Penerbit Graba Budaya, 1997.
Djopari, John RG. Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993.
Gray, Colin S. War, Peace and International Relations. New York and London:
Routledge, 2007.
Hammond, Philip. Media, War and Postmodernity. New York: Routledge, 2007.
Jurnal
Arquilla, John, and David F. Ronfeldt. "Chapter 1: The Advent of Netwar." In Networks and Netwars: The Future of Terror, Crime, and Military, by John Arquilla and David F. Ronfeldt, 1. Santa Monica: RAND Corporation, 2001.
Arquilla, John, and David Ronfeldt. "Cyber War is Coming." Comparative Strategy, Vol.1, No.12, Spring, 1993: 141-165.
Bieda, David, and Leila Halawi. "Cyberspace: A Venue for Terrorism." Issues in Information Systems, Vol.6, Issue III, 2015: 33-42.
Dartnell, Michael. "Web Activism as an element of global security." In Cyber Conflict and Global Politics, by Athina Karatzogianni, 61. London and New York: Routledge, 2009.
Dudouet, Véronique. "Nonviolent Resistance in Power Asymmetries." In Advancing Conflict Transformation. The Berghof Handbook II, by B.
Austin, M. Fischer and H.J. Giessmann. Opladen/Framington Hills: Barbara Budrich Publisher, 2011.
Koch, Stephane. "'Modern' Warfare–the Battle for Public Opinion." 2006.
MacLeod, Jason. "A new hopeful chapter in West Papua's 50-year freedom struggle." 2015.
Macleod, Jason. "From the Mountains and Jungle to the Villages and Streets:
Transition from Violent to Nonviolent Resistance in West Papua." In Civil Resistance and Conflict Transformation, by Veronique Dudouet. New York: Routledge, 2015.
MacLeod, Jason. "Nonviolent Struggle in West Papua: " We Have a Hope"." In Nonviolent Alternatives for Social Changes. Oxford: EOLSS Publications, 2009.
MacLeod, Jason. "The Role of Strategy in Advancing Nonviolent Resistance in West Papua." In Building Sustainable Future: Enacting Peace and Development, by Luc Reychler, Julianne Funk Deckard and Kevin HR Villanueva. Bilbao: University of Deusto, 2009.
36
McKone, Kelly, Maria J. Stephan, and Noel Dickover. Using Technology in Nonviolent Activism against Repression. Washington, DC: United States Institute of Peace, 2003.
Pratkanis, Anthony R. "Winning Hearts and Mind." In Information Strategy and Warfare, by John Arquilla and Douglas A. Borer, 56. New York: Routledge, 2007.
Schock, Kurt. "Nonviolent Action and Its Misconceptions: Insights for Social Scientist." Political Sciences and Politics, Vol.36, No.4, 2003: 705-712.
Sharp, Gene. How Nonviolent Struggle Works. The Albert Einstein Institution, 2013.
Sharp, Gene, and Afif Safieh. "Nonviolent Struggle." Journal of Palestine Studies, Vol.17, No.1, 1987: 37-55.
Artikel
Butigan, Ken. Waging Non Violence. August 30, 2012.
http://wagingnonviolence.org/feature/east-timor-and-the-nonviolent-option (accessed October 24, 2016).
—. Something to Hide? November 10, 2015.
https://www.hrw.org/report/2015/11/10/something-hide/indonesias-
restrictions-media-freedom-and-rights-monitoring-papua (accessed October 6, 2016).
Jones, Hannah. Global Nonviolent Action Database: Case Study. February 16, 2011. http://nvdatabase.swarthmore.edu/content/east-timorese-activists- campaign-independence-indonesia-1987-2002 (accessed Oktober 18, 2016).
Wardhani, Baiq. "Papua on the Net: Perjuangan Pemisahan Diri Papua Melalui Dunia Maya." Paper Draft, Universitas Airlangga, 2009.
Sumber Resmi Kenegaraan
Kemendagri. Provinsi Papua: Profil. 2016.
http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/91/papua (accessed April 30, 2017).
papua.go.id. Sekilas Papua. 2012. https://www.papua.go.id/view-detail-page- 254/Sekilas-Papua-.html (accessed Februari 8, 2017).
Berita
CNN Indonesia. Gerakan Pembebasan Papua Juga Akan Dirikan Kantor di
Jayapura. Februari 16, 2016.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160216122252-20-
111231/gerakan-pembebasan-papua-juga-akan-dirikan-kantor-di-jayapura/
(accessed Januari 16, 2017).
DW Indonesia. Jakarta Bantah OPM Buka Kantor di Wamena. Februari 2016, 18.
http://www.dw.com/id/jakarta-bantah-opm-buka-kantor-di-wamena/a- 19055732 (accessed Januari 16, 2017).
Free West Papua Campaign. Free West Papua protest in Nigeria. April 23, 2015.
https://www.freewestpapua.org/2015/04/23/free-west-papua-protest-in- nigeria/ (accessed February 25, 2017).
Free West Papua Campaign Netherland. Free West Papua Campaign (NL) loopt
mee met IEDER1. September 26, 2016.
http://freewestpapua.eu/2016/09/free-west-papua-campaign-nl-loopt-mee- ieder1/ (accessed December 4, 2016).
Free West Papua Campaign. May 26, 2016.
https://www.freewestpapua.org/2016/05/26/west-papua-report-given-to- un-secretary-general-ban-ki-moon-at-humanitarian-summit/ (accessed October 6, 2016).
Free West Papua. News. 2016. https://www.freewestpapua.org/news/ (accessed October 22, 2016).
Huffington Post. World Post: The Road to Freedom for West Papua. Mei 13, 2016.
m.huffpost.com/us/entry/9950172 (accessed Oktober 28, 2016).
Kompas. Pendirian Kantor OPM di Wamena, Contoh Lain Intelijen Kecolongan.
Februari 16, 2016.
http://nasional.kompas.com/read/2016/02/16/21083201/Pendirian.Kantor.
OPM.di.Wamena.Contoh.Lain.Intelijen.Kecolongan. (accessed Oktober 6, 2016).
Liputan6.com. Februari 17, 2016. http://news.liputan6.com/read/2438326/kodam- cenderawasih-tak-ada-bukti-opm-dirikan-kantor-di-wamena (accessed Januari 16, 2017).
Papua Merdeka News. About Us: ULMWP. n.d.
https://papuapost.wordpress.com/tag/ulmwp/ (accessed Desember 6, 2016).
RNZ. News: Free West Papua rally in Nigeria. April 24, 2015.
http://www.radionz.co.nz/international/pacific-news/271990/free-west- papua-rally-in-nigeria (accessed February 22, 2017).
Swim for West Papua. About. 2017. https://www.swimforwestpapua.com/
(accessed March 4, 2017).
Tabloid Jubi. Nasional & Internasional: DPR Ingin Indonesia 'Perang' Isu Papua di Media Cyber. Februari 1, 2016. http://tabloidjubi.com/16/2016/02/01/dpr- ingin-indonesia-perang-isu-papua-di-media-cyber/ (accessed Desember 6, 2016).
West Papua Media. Testimonials for west papua media. -.
http://westpapuamedia.info/testimonials-for-west-papua-media/ (accessed October 23, 2016).