• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ontologi : Pemikiran Filosofis tentang Eksistensi Manusia Perspektif Islam dan Barat (Studi Komparatif Jalaludin Rumi dan Soren Kierkegaard)

N/A
N/A
Arie Sadewo

Academic year: 2023

Membagikan "Ontologi : Pemikiran Filosofis tentang Eksistensi Manusia Perspektif Islam dan Barat (Studi Komparatif Jalaludin Rumi dan Soren Kierkegaard)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Ontologi : Pemikiran Filosofis tentang Eksistensi Manusia Perspektif Islam dan Barat

(Studi Komparatif Jalaludin Rumi dan Soren Kierkegaard)

Arie Paku Sadewo

Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [email protected]

Abstrak

Jurnal ini mengeksplorasi konsep ontologi yang difokuskan pada pemikiran filosofis mengenai eksistensi manusia, dengan membandingkan perspektif Islam dan Barat. Analisis komparatif difokuskan pada dua tokoh kunci, yaitu Jalaludin Rumi dari tradisi Islam dan Soren Kierkegaard dari tradisi Barat. Penelitian ini bertujuan menguraikan persamaan dan perbedaan dalam konsep ontologis keduanya serta menginvestigasi pengaruh perbedaan budaya dan agama terhadap pandangan mereka terhadap eksistensi manusia. Pemahaman mistis eksistensi manusia dan hubungannya dengan Tuhan dalam pemikiran Jalaludin Rumi, seorang sufi terkemuka dalam tradisi Islam, dianalisis secara mendalam. Di sisi lain, konsep eksistensi manusia dalam pandangan Soren Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis dari Barat, dieksplorasi melalui elemen-elemen seperti kebebasan, tanggung jawab, dan keputusan individual. Dengan membandingkan perspektif ontologis keduanya, jurnal ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesamaan atau perbedaan dalam pandangan mereka, membuka ruang untuk pemahaman tentang sejauh mana ontologi dalam konteks Islam dan Barat dapat bersinergi atau bertentangan. Analisis ini diharapkan memberikan kontribusi pada pemahaman mendalam tentang eksistensi manusia dari sudut pandang filosofis yang berakar dalam budaya dan agama masing-masing.

Kata Kunci: Ontologi, Eksistensi Manusia, Perspektif Islam dan Barat

1. PENDAHULUAN

Salah satu topik penting dalam filsafat adalah masalah eksistensi, atau masalah keberadaan. Ontologi, khususnya, menyelidiki persoalan eksistensi (keberadaan) dan hakikat yang ada. Ontologi menyelidiki keberadaan Tuhan, alam, dan manusia. Kajian yang terakhir, yaitu mengenai eksistensi manusia mendapatkan perhatian yang cukup besar terutama sejak munculnya filsafat Socrates. Sebuah ungkapan dari Socrates yang diukir dikuil Delphi,

“Kenalilah dirimu”, secara eksplisit menunjukkan perhatian para filsuf terhadap eksistensi manusia.(Hambali & Asiah, 2011, p. 41)

Fokus para filsuf terhadap eksistensi manusia terus ada di zaman modern dan pascamodern, yang menghasilkan berbagai macam aliran dan pemikiran filsafat tentang manusia di dewasa ini. Salah satu aliran filsafat yang paling populer adalah pemikiran tentang

(2)

eksistensi manusia menurut filsafat Islam. Ada banyak tulisan para filsuf Muslim yang membahas eksistensi manusia. Salah satu nya dalam filsuf modren Barat adalah Soren Kierkegaard dan dalam filsuf Islam adalah Jalaludin Rumi.

Menurut Kierkegaard, eksistensi atau keadaan diri manusia adalah yang paling penting bagi manusia. Eksistensi manusia secara implisit mengalami perubahan dari kemungkinan ke kenyataan pada tingkat kenyataan selama keberadaannya. Dinamika eksistensi manusia sendiri terjadi baik dalam dan di luar kebebasan. Karena manusia dihadapkan pada pilihan dalam kehidupannya, eksistensi mereka memberikan kebebasan.

(Armawi, 2016, p. 24)

Menurut Rumi, tujuan utama penciptaan terpenuhi melalui diri para nabi dan orang- orang suci. Mereka dapat mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimiliki manusia. Para nabi dan Adam adalah prototype kesempurnaan manusia. Rumi menunjuk pada Adam, dan menggunakan istilah adami, yang berarti “manusia” dan kesempurnaan kondisi rohaniahnya.

Persoalan yang dihadapi manusia adalah persoalan eksistensinya. Eksistensi manusia pada dasarnya adalah penyatuan dengan cinta, yaitu orang-orang yang dicintainya. Bagi sebagian manusia, ketika ia dipisahkan dari orang yang dicintainya maka ia akan merasa bahwa ia kehilangan segalanya dan merasa bahwa itu merupakan masalah yang sangat besar.(Hambali

& Asiah, 2011, p. 52)

Berdasarkan uraian di atas, jurnal ini akan membahas mengenai keberadaan manusia dalam perspektif filsafat Barat dan Islam. Metode yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode komparatif dan analisis. Dengan metode komparatif, dibandingkanlah pemikiran mengenai eksistensi manusia menurut Kierkegaard dan Rumi secara ontologis.

2. PEMBAHASAN

2.1. Konsep Pemikiran Soren Kierkegaard tentang Eksistensi Manusia

Soren Abaye Kierkegaard, yang hidup dari 1813 hingga 1855. Ia dilahirkan di Kopenhagen dan memperoleh pendidikan teologi di Universitas Kopenhagen. Dia berpendapat bahwa ada tiga fase eksistensi manusia: estetis (esthetis stage), etis (ethical stage), dan religius. Pada tahap estetis, manusia mencari kepuasan fisik, menagabikan moralitas, dan agama. Hidup hanya untuk memenuhi hasrat. Kierkegaard mencontohkan tahap etis manusia dengan seorang super play boy bernama Don Yuan. Ini adalah tahap di mana orang memperhatikan kebutuhan rohani dan moralitas mereka. Tahap religius di mana seseorang hidup untuk memenuhi kebutuhan rohaninya dan membina hubungan dengan Tuhan. Salah satu masalah terbesar yang dihadapi manusia adalah kesulitan untuk memutuskan antara berbagai pilihan. Dosa dapat membuat orang putus asa, dan pilihan terbaik adalah orang beralih ke Allah.(Hambali & Asiah, 2011, p. 48)

Kierkegaard mengatakan bahwa hidup adalah pengalaman, bukan pikiran. Semakin mendalam kesadaran seseorang tentang kehidupannya, semakin signifikan kehidupannya.

Sören Kierkegaard memperingatkan bahwa selama era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, orang mudah diperdaya atau dimanipulasi oleh penemuan-penemuan yang tidak bermakna. Ini karena kecenderungan manusia untuk bekerja dan bergaul dengan kenyataan menggunakan abstraksi-abstraksi. Dia berpendapat bahwa setiap deskripsi yang abstrak tentang fakta tidak mungkin menunjukkan makna sebenarnya dari fakta tersebut. Dia percaya

(3)

bahwa manusia, sebagai kenyataan subjektif, adalah dasar dari semua pengamatan.

Subjektivitas manusia adalah individu yang menjalani eksistensinya.(Hassan, 1976, p. 24) Dalam karyanya yang berjudul The Present Age Sören Kierkegaard memperingatkan umat manusia yang sedang menghadapi munculnya suatu proses terjadinya penyamarataan dalam kehidupan manusia modern. Manusia modern menjelma menjadi manusia massa.

Massifikasi akan menjadi hantu-hantu yang melenyapkan ketunggalan kepribadian manusia.

Proses penyamarataan ini akan menyebabkan timbulnya frustasi pada manusia karena manusia dicengkram olehnya. Proses penyamarataan ini juga tidak memperhatikan kepribadian manusia, perbedaan-perbedaan kualitatif manusia dengan yang lainnya dan penghayatan subjektif. Dalam massa yang menyamaratakan ini individu pribadi terasing dari dirinya sendiri, mengalami alienasi diri, dan tidak menjalankan eksistensinya secara sejati.

(Hassan, 1976, p. 27)

Sören Kierkagaard membagi eksistensi manusia ke dalam tiga tingkat: eksistensi estetik, eksistensi etik, dan eksistensi religius. Eksistensi manusia akan dipengaruhi oleh ketiga tingkat eksistensi ini, dan ini adalah cara keberadaan manusia. Ketiga eksistensi manusia disebutkan sebagai berikut.

2.1.1. Eksistensi Estetik

Pada tingkat eksistensi estetik ini, perhatian manusia tertuju pada segala sesuatu yang berada di luar dirinya sendiri dan pada segala sesuatu yang ada dalam masyarakat, bersama dengan segala sesuatu yang ada di dunia dan masyarakat itu sendiri. Kenikmatan rohani dan jasmani tercapai. Namun, karena dia menghindari membuat keputusan penting, batinnya mungkin kosong. Keinginan yang dipenuhi sepenuhnya hanya bergantung pada emosi dan nafsu.(Armawi, 2016, p. 25)

Tahap estetis adalah tahap awal di mana manusia mengikuti apa yang mereka suka. Soren Kierkegaard menghindari membuat pilihan dalam hidup sehingga dia tidak pernah menjadi suatu diri yang sebenarnya. Karena manusia belum mencapai kesadaran diri manusia, konsep estetis dianggap "tidak autentik". Soren Kierkegaard sangat tertarik pada hal-hal yang ada di luar dirinya, dan kesenangan, yang hanya bersifat material dan hedonistik, adalah motivasinya. Estetisme yang kemudian tidak dapat memberikan kepuasan kepada manusia karena tidak dapat dijamin.(Roswantoro, 2008, pp. 103–104)

Kierkegaard menggunakan Don Juan sebagai contoh orang yang berada pada tahapan estetis. Don Juan, yang hedonis, tidak memiliki tujuan atau keterlibatan dalam hidupnya. Bahkan Don Juan tidak tertarik untuk menikah. Menurut Don Juan, perkawinan dan cinta akan mengurangi kesenangan hidup karena menghalangi petualangan dan "kebebasan".(Kierkegaard et al., 1944, p. 73)

Oleh karena itu, Orang akan putus asa setelah menyadari bahwa keadaan itu terbatas. Faktanya, tidak akan ada sesuatu yang dapat menghilangkan keputusasaan selama eksistensi ini. manusia harus memiliki kemampuan untuk melepaskan keputusasaan itu dengan berusaha menuju eksistensi berikutnya, yaitu dengan melakukan pilihan atau bertindak. Ini karena manusia selalu menghadapi berbagai pilihan yang berkaitan dengan hal-hal baik dan buruk, dan mereka harus dapat memilih di antaranya. Tidak adanya standar moral umum yang ditetapkan, serta

(4)

kesadaran dan keyakinan tentang nilai-nilai keagamaan adalah sifat yang hakiki dari aspek eksistensi estetik ini.(Armawi, 2016, p. 26)

2.1.2. Eksistensi Etik

Pada tingkat eksistensi etik, perhatian manusia benar-benar tertuju pada apa yang ada di dalamnya. Sudut pandang manusia sudah mencapai aspek kehidupan batiniah. Kierkegaard menggambarkan orang yang meninggalkan nafsu sementara dan masuk ke segala bentuk kewajiban sebagai pergeseran dari estetik ke etik. Orang telah menyadari dan memahami bahwa ada patokan nilai yang umum dalam hidup mereka.

Pindah dari Tahap Estetis ke Tahap Etis akan memungkinkan seseorang mencapai tingkat integrasi. Ia akan memiliki kesempatan untuk menunjukkan dirinya ke seluruh dunia jika ia menerima tanggung jawab dan memenuhi peran dan komitmen sosialnya. Tidak ada orang yang masuk ke bidang etis hanya karena mereka ingin menjadi baik; ini bisa terjadi karena mereka merasa bidang estetis mengerikan atau jahat. Namun, karena mereka telah memilih untuk menggunakan kategori baik dan jahat sebagai cara utama untuk mendefinisikan diri mereka sendiri.(Tjaya, 2018, pp. 89–90)

Soren Kierkegaard mengatakan bahwa manusia yang telah menjadikan tahapan etis sebagai bagian dari hidupnya. Maka mempunyai pilihan untuk melakukan perbuatan baik atau buruk. Tetapi pilihan tersebut bukan untuk dipilih, melainkan dari pilihan tersebut dapat memberikan kehidupan yang lebih baik kedepannya bagi orang tersebut.(Kierkegaard et al., 1944, p. 77)

Dalam hidup dan kehidupannya, seseorang harus memutuskan siapa dia, apa dia, dan kemudian bertindak sesuai dengan keputusan itu. Oleh karena itu, dia melakukan semua hal yang dia lakukan dengan didukung oleh suatu sikap etis yang tidak melepaskannya dari tanggung jawab atas tindakannya tersebut. Pada tahap eksistensi ini, manusia telah mengembangkan kesadaran moral dan memahami bahwa ada pertimbangan etis.

2.1.3. Eksistensi Religius

Setelah manusia meningkat atau menyadari dan menghayati dengan kesadaran moralnya, ia akan dihadapkan pada kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan serta dosanya. Pada tingkatan eksistensi etik hal ini mulai disadari oleh manusia.

Dalam perkembangannya, untuk mengatasi kesulitan pada taraf eksistensi etik, manusia harus menerangi dirinya kepada taraf eksistensi religius. Dalam perpindahan kepada eksistensi religius ini manusia harus melakukannya dengan kesadaran akan keimanan.(Armawi, 2016, p. 27)

Setelah perjalanan hidup yang mulia, tahapan religius ini pasti akan menghasilkan tindakan yang cerdas. Mereka yang membuat kesimpulan berdasarkan pengalaman pribadi mereka akan memiliki pengaruh yang lebih besar pada inti dunia manusia. Dalam pernyataan sebelumnya, Kierkegaard menekankan betapa pentingnya bagi manusia untuk tunduk kepada Tuhan tanpa egoisme. Selain itu, masyarakat harus mengundurkan diri dengan jelas dan tanpa keraguan. Di era keagamaan ini, orang- orang benar-benar percaya bahwa Tuhan dapat membantu mereka melalui kesulitan

(5)

dan keputusasaan mereka. Pada saat-saat keagamaan ini, Tuhan adalah harapan utama.(Kierkegaard & Crites, 1967, p. 55)

Soren Kierkegaard mengatakan bahwa seseorang dapat percaya pada Tuhan tanpa membutuhkan bukti rasional. Tuhan dapat ditemukan dalam pengalaman pribadi secara subjektif serta dalam iman atau keyakinan manusia itu sendiri. Selama periode ini, agama dianggap sebagai penyelamat. Karena agama adalah inti dari kehidupan manusia.

2.2. Pemikiran Jalaludin Rumi Eksistensi Manusia dengan Tuhan

Rumi adalah mistikus Islam (sufi) yang lahir di Balk, Afghanistan, pada tahun 604 H/1207 M. Karya-karyanya dalam bentuk syair, termasuk Matsani dan Divani, dianggap sebagai Al-Qur'annya orang Persia karena keindahannya dan kedalaman isinya.(Hambali &

Asiah, 2011, p. 52)

Meskipun sulit untuk membuat rumusan yang ringkas tentang pandangan Jalaluddin Rumi, secara umum dapat dikatakan bahwa Rumi pada dasarnya memandang manusia sebagai sebuah totalitas yang terdiri dari unsur jiwa dan badan, yang keduanya memiliki fungsi yang sama-sama penting. Secara khusus, Rumi menekankan bahwa hakikat manusia yang sebenarnya terletak pada aspek jiwanya.(Nurbaety, 2019, p. 7)

Dalam Mathnawi Rumi menjelaskan tentang unsur dasar manusia dalam syair:

If a human being were a man in virtue of form, Ahmad (Mohammed) and Bu Jahl would be just the same. The painting on the wall is like Adam: see from the (pictured) form what thing in it is wanting The spirit is wanting in that resplendent form: go, seek that jewel rarely found! (M I: 1019-1021).

(Jika hakikat manusia terletak pada wujud lahirnya, Muhammad dan Abu Jahal akan bermakna sama Lukisan pada dinding menyerupai Adam: lihatlah apa yang kurang di dalam wujud yang tergambar Esensi jiwa hilang di balik wujud yang memukau: pergi dan temukan permata langka itu!).

Nama Adam sering digunakan dalam rumi dalam arti manusia secara umum atau bentuk manusia. Menurut syair di atas, lukisan manusia akan terlihat sama seperti sosok manusia. Namun, karena lukisan tidak memiliki jiwa, manusia dan lukisan manusia tidak sama. Sama halnya, Nabi Muhammad saw dan pamannya Abu Jahal tidak sama secara fisik, bahkan karena mereka menjadi anggota keluarga yang sama, tetapi pada kenyataannya mereka sangat berbeda dalam arti dan maknanya. Sementara Abu Jahal mendapatkan murka Allah dan tidak beriman hingga akhir hayatnya, Nabi Muhammad digambarkan sebagai Rasul terahir dan menjadi rahmat bagi semua makhluk hidup. Dalam syair di atas, Rumi meminta manusia untuk menyingkap tabir wujud fisiknya sehingga mereka dapat melihat esensi batin yang sangat berharga dan indah.(Nurbaety, 2019, p. 9)

Rumi sering menggunakan metafora untuk menggambarkan dualitas keberadaan manusia dengan menyebutnya sebagai mahluk yang separuh lebah dan separuh ular. Dengan substansi wujudnya sebagai lebah, yang berarti orang beriman akan memakan apa pun yang dimakannya akan menghasilkan madu, dan dengan makna sesuatu yang memberikan substansi kehidupan, metafora ini digunakan untuk menggambarkan manusia sebagai mahluk

(6)

yang separuh lebah dan separuh ular. Sebaliknya, setiap gerakannya akan menghasilkan racun mematikan, membahayakan dirinya sendiri dan orang lain.(Schimmel, n.d., p. 251)

Metafora lain yang biasa digunakan Rumi untuk mengekpresikan kerumitan situasi makhluk yang bernama manusia adalah dengan menyebutnya sebagai “keledai dengan sayap malaikat”:

Man’s situation is like this: an angel’s wing was brought and tied to a donkey’s tail so that the donkey perchance might also be an angel, thanks to the radiance of the angel’s company.

(keadaan manusia adalah seperti ini: sepasang sayap malaikat dilekatkan pada ekor keledai agar supaya keledai tersebut mendapatkan kesempatan untuk menjadi malaikat karena mendapatkan pancaran cahaya dari kebersamaannya dengan malaikat).(Schimmel, 1992, p.

90)

Ungkapan tersebut mencerminkan kedudukan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang diberikan kebebasan, yang dalam teori memberinya keleluasaan untuk menentukan eksistensinya di antara makhluk hidup dan malaikat, atau antara dunia fisik dan spiritual.

Apabila manusia mengikuti nafsu materialnya, ia akan terjerumus ke dalam dunia materi dan menduduki tingkatan yang lebih rendah dibandingkan dengan hewan, karena hewan berada pada tingkat tersebut bukan karena pilihannya sendiri. Namun, apabila manusia membersihkan dirinya dan mengembangkan kekuatan spiritual yang diberikan oleh Allah, ia akan naik ke tingkat yang lebih tinggi daripada malaikat. Hal ini terjadi karena malaikat, seperti halnya hewan, tidak memiliki kebebasan untuk menentukan tindakannya. Ketinggian derajat malaikat sebagai makhluk yang patuh dan terus-menerus beribadah telah ditentukan oleh Allah. Manusia, yang terjebak di antara dunia hewan dan malaikat, harus menentukan sikap dan memilih tindakannya.(Schimmel, 1992, p. 91)

2.2.1. Esensi Manusia Sempurna Bagi Jalaludin Rumi

Dalam pandangan rumi, pada prinsipnya semua orang dapat mencapai derajat manusia sempurna karena dalam diri manusia terdapat esensi kesucian, yaitu ruh yang berasal dari Allah, yang merupakan perangkat istimewa yang hanya diberikan kepada manusia. Manusia pun harus bekerja keras untuk mencari esensi spiritual dirinya, untuk menjadi manusia sempurna. Rumi banyak menggambarkan sosok manusia sempurna ini dalam bentuk metafora dan simbol. Menurutnya, benda-benda di sekitar manusia juga dapat menjadi simbol universal yang mengingatkan manusia akan esensi asal mulanya. Salah satu contohnya adalah syair ney (seruling) yang sangat populer itu.(Nurbaety, 2019, p. 12)

Manusia yang sempurna, dalam pandangan Rumi, digambarkan sebagai individu yang dipenuhi oleh cinta, menyadari persatuan rohannya dengan Tuhan, dan mencapai puncak dimensi spiritualnya. Dimensi spiritual ini tidak perlu dicari secara ekstensif, melainkan terselip di kedalaman jiwa setiap individu. Meskipun dimensi ini dimiliki oleh setiap orang, namun terkadang terkubur oleh hawa nafsu rendah. Rumi menyoroti peran penting cinta dalam menggali harta terpendam ini, yang bisa diibaratkan sebagai kekayaan tersembunyi yang diselimuti oleh keinginan yang rendah. Dalam pandangannya, cinta bukan hanya sebuah topik panjang untuk dibahas,

(7)

tetapi juga konsep metafisika yang membuka tirai pengetahuan akan keberadaan.

Potensi cinta, sebagaimana potensi manusia sempurna, melekat pada setiap individu.

Untuk mencapai penyingkapan esensi spiritual manusia ini, hati manusia, yang diwakili oleh cermin, harus dibersihkan dengan kesalehan, amalan baik, dan cinta.

Dengan cara ini, orang dapat melihat pengetahuan para nabi di dalam hati mereka, yang tidak memerlukan buku, guru, atau pembimbing.(Schimmel, n.d., p. 278) Orang yang benar-benar sempurna, yang telah menemukan esensi pritiualnya, digambarkan sebagai gambaran dari sifat-sifat keagungan dan keindahan Allah. Menurut pandangan Rumi, seseorang dianggap sebagai "pencinta" dan "yang dicintai" pada saat yang sama jika mereka mampu menyingkap hakikat atribut kemanusiaan esensi idealnya.

Ini menunjukkan bahwa orang itu benar-benar mencintai Allah dan juga dicintai oleh Allah.

3. KESIMPULAN

Soren Kierkegaard, seorang filsuf Denmark, percaya pada tiga tahap keberadaan manusia: estetika, etika, dan agama. Pada tahap estetika, manusia mencari kekuatan fisik, moral, dan iman. Pada tahap etika, manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan moral dan etika mereka. Pada tahap agama, manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan moral mereka dan membangun hubungan dengan Tuhan.Kierkegaard percaya bahwa hidup adalah tentang pengalaman, bukan kepercayaan. Dia percaya bahwa orang mudah dipengaruhi oleh konsep abstrak, karena mereka tidak dapat memisahkan fakta dari mereka. Ini mengarah pada rasa tunduk dan kejauhan dari identitas diri sendiri.

Pada tahap estetika, perhatian manusia difokuskan pada semua aspek dirinya dan masyarakat, termasuk dunia dan orang-orangnya. Namun, fokus ini dapat menyebabkan frustrasi dan kejauhan. Konsep estetika didasarkan pada gagasan bahwa manusia tidak dapat mencapai identitas diri mereka sendiri.

Kierkegaard menggunakan Don Juan sebagai counterpoint untuk tahap estetika. Don Juan, hedonis, tidak memiliki hak atau kewajiban dalam hidup tetapi bersedia menghadapi tantangan dan kesulitan. Dia percaya bahwa manusia harus membuat keputusan berdasarkan keinginan dan motivasi mereka sendiri.Konsep Soren Kierkegaard tentang keberadaan manusia dibagi menjadi tiga tahap: estetika, etika, dan agama. Tahap estetika menekankan pentingnya pengalaman pribadi dan moral, sementara tahap etika berfokus pada kebutuhan nilai-nilai moral dan etika.

Rumi adalah mistikus Islam (sufi) yang lahir di Balk, Afghanistan, pada tahun 604 H/1207 M. Karya-karyanya dalam bentuk syair, termasuk Matsani dan Divani, dianggap sebagai Al-Qur'annya orang Persia karena keindahannya dan kedalaman isinya. Rumi memandang manusia sebagai sebuah totalitas yang terdiri dari unsur jiwa dan badan, yang keduanya memiliki fungsi yang sama-sama penting. Secara khusus, Rumi menekankan bahwa hakikat manusia yang sebenarnya terletak pada aspek jiwanya.

Dalam Mathnawi Rumi menjelaskan tentang unsur dasar manusia dalam syair: lukisan manusia akan terlihat sama seperti sosok manusia, dan lukisan tidak memiliki jiwa, manusia dan lukisan manusia tidak sama. Nabi Muhammad dan Abu Jahal akan bermakna sama secara fisik, karena mereka menjadi anggota keluarga yang sama, tetapi pada kenyataannya mereka

(8)

sangat berbeda dalam arti dan maknanya. Rumi meminta manusia untuk menyingkap tabir wujud fisiknya sehingga mereka dapat melihat esensi batin yang sangat berharga dan indah.

Rumi sering menggunakan metafora untuk menggambarkan dualitas keberadaan manusia dengan menyebutnya sebagi mahluk yang separuh lebah dan separuh ular. Metafora ini digunakan untuk menyebutnya manusia sebagai "keledai dengan sayap malaikat" dan menghasilkan racun mematikan, membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Ungkapan tersebut mencerminkan kedudukan manusia sebagi satunya makhluk yang diberikan kebebasan, yang dalam teori memberinya keleluasaan untuk menentukan eksistensinya di antara makhluk hidup dan malaikat, atau antara dunia fisik dan spiritual.

Dalam pandangan rumi, pada prinsipnya, semua orang dapat mencapai derajat manusia sempurna karena dalam diri manusia terdapat esensi kesucian, yang berasal dari Allah, yang merupakan perangkat istimewa hanya diberikan kepada manusia. Manusia pun harus bekeras untuk mencari esensi spiritual.

Kesimpulannya, baik Kierkegaard maupun Rumi menawarkan pandangan yang mendalam tentang perjalanan manusia menuju eksistensi sejati, dengan penekanan pada aspek moral, spiritual, dan hubungan dengan Tuhan. Keduanya memahami kompleksitas manusia dan menyoroti pentingnya cinta dan kesadaran spiritual dalam mencapai kesempurnaan manusia.

4. DAFTAR PUSTAKA

Armawi, A. (2016). Eksistensi Manusia dalam Filsafat Soren Kierkegaard. Jurnal Filsafat, 21(1), Article 1. https://doi.org/10.22146/jf.4738

Hambali, Y., & Asiah, S. (2011). Eksistensi Manusia dalam Filsafat Pendidikan: Studi Komparatif Filsafat Barat dan Filsafat Islam. Turats, 7(1), Article 1.

Hassan, F. (1976). Berkenalan Dengan Eksistensialisme. PT Pustaka Jaya.

Kierkegaard, S., & Crites, S. (1967). Crisis in the Life of an Actress, and Other Essays on Drama. Harper & Row. https://books.google.co.id/books?id=Km9CxAEACAAJ Kierkegaard, S., Swenson, D. F. (David F., Swenson, L. Marvin., & Lowrie, W. (1944).

Either/or / by Søren Kierkegaard ; translated by David F. Swenson and Lillian M.

Swenson. H. Milford [at the] Oxford University Press.

Nurbaety, A. (2019). ESENSI MANUSIA DALAM PEMIKIRAN JALALUDDIN RUMI.

Aqidah-Ta: Jurnal Ilmu Aqidah, 5(1), Article 1.

https://doi.org/10.24252/aqidahta.v5i1.10033

(9)

Roswantoro, A. (2008). Tuhan dan Kebebasan Manusia dalam Eksistensialisme Ateistik.

Yogyakarta: IDEA Press.

Schimmel, A. M. (n.d.). The-triumphal-sun-a-study-of-the-works-of-jalaluddin-

rumi_compress. Retrieved 21 November 2023, from http://archive.org/details/the- triumphal-sun-a-study-of-the-works-of-jalaluddin-rumi_compress

Schimmel, A. M. (1992). Rumi’s world: The life and work of the great Sufi poet.

SHAMBALA.

Tjaya, T. H. (2018). Kierkegaard dan pergulatan menjadi diri sendiri (Cetakan ketiga).

Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Referensi

Dokumen terkait