• Tidak ada hasil yang ditemukan

optimalisasi terapi jangka panjang ppok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "optimalisasi terapi jangka panjang ppok"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

PKB ILMU PENYAKIT PARU II 2018

1

OPTIMALISASI TERAPI JANGKA PANJANG PPOK

IDA BAGUS NGURAH RAI

Prodi Spesialis Ilmu Penyakit Paru/KSM Paru FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

PPOK masih merupakan masalah kesehatan global yang serius. PPOK akan memiliki dampak pada berbagai aspek kehidupan, baik beban secara individual maupun komunitas. World Health organization (WHO) memperkirakan sekitar 210 juta orang di dunia menderita PPOK. Pada tahun 2005 lebih dari 3 juta orang meninggal akibat PPOK, jumlah ini sama artinya dengan 5% dari seluruh kematian dunia. Sekitar 90 % kematian akibat PPOK terjadi pada negara dengan pendapatan menengah atau rendah, dimana strategi pencegahan dan kontrol tidak berjalan dengan baik.1,2

WHO memperkirakan terjadinya peningkatan angka kematian akibat PPOK lebih dari 30% dalam 10 tahun, bila intervensi untuk menghindari faktor risiko, khususnya pajanan asap rokok tidak dilakukan dengan baik, pada tahun 2030, PPOK bahkan diperkirakan menjadi penyebab kematian terbanyak ketiga di dunia. Melihat besarnya masalah yang ditimbulkan oleh PPOK, para ahli terus berusaha menyempurnakan pemahaman mengenai tatalaksana kondisi ini untuk dapat menangani dan mencegah perburukan.

Penyempurnaan paradigma mengenai inflamasi, eksaserbasi, serta dampak sistemik PPOK, terutama yang selalu mengalami perubahan dari tahun ke tahun adalah paradigma mengenai terapi jangka panjang PPOK. Penelitian berkelanjutan dalam bidang pengobatan PPOK akan terus berkembang dalam upaya pencegahan progresivitas penyakit, penurunan gejala yang memperburuk kualitas hidup, serta pemecahan masalah mengenai isu efek samping obat.3

(7)

PKB ILMU PENYAKIT PARU I 2017

Tujuan terapi PPOK stabil

Tujuan utama penatalaksanaan PPOK stabil adalah semaksimal mungkin mengurangi gejala (menghilangkan gejala, memperbaiki toleransi latihan, memperbaiki kualitas hidup) dan mengurangi risiko (mencegah progresifitas penyakit, mencegah dan mengobati eksaserbasi, mengurangi kematian).

Penatalaksanaan PPOK stabil secara umum meliputi : edukasi, program berhenti merokok, obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, dan nutrisi.4 Kriteria PPOK stabil adalah sebagai berikut4

 Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik

 Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisis gas darah menunjukkan pH normal, PCO2 > 60 mmHg, dan PO2< 60 mmHg.

 Dahak tidak berwarna atau jernih

 Aktivitas terbatas tidak disertai sesak

 Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan

 Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

Berbeda dengan GOLD sebelumnya, GOLD revisi tahun 2017 dan 2018 mengelompokkan penderita PPOK stabil menjadi empat kelas berdasarkan pada riwayat eksaserbasi dan penilaian gejala saja. Kriteria spirometri yang digunakan pada kriteria terdahulu saat ini tidak dipergunakan lagi dalam pengelompokan karena pada berbagai penelitian didapatkan bahwa FEV1 berkorelasi lemah dengan keberatan gejala. Selain itu pada beberapa keadaan seperti keadaan emergensi atau rawat inap, kemampuan menilai pasien berdasarkan gejala dan riwayat eksaserbasi tanpa pemeriksaan spirometri memberikan peluang pada klinisi untuk memulai terapi dini berdasarkan GOLD kelas ABCD.5

(8)

PKB ILMU PENYAKIT PARU II 2018

3

Gambar 1. Pengelompokan PPOK stabil berdasarkan GOLD 2018.5

Manajemen non farmakologi PPOK Stabil

Manajemen non farmakologi yang paling penting dalam penatalaksanaan PPOK adalah berhenti merokok untuk semua pasien PPOK, menghindari faktor pencetus seperti polusi indor dan outdor, serta menghindari pajanan pekerjaan.

Tabel 1. Ringkasan manajemen non farmakologi pada PPOK stabil.5

Grup pasien esensial Rekomendasi Tergantung pada guideline lokal

A Berhenti merokok Aktivitas fisik Vaksin influensa dan pneumokokus

B-D Berhenti merokok Rehabilitasi medis

Aktifitas fisik Vaksin influensa dan pneumokokus

Tabel 2. Poin penting dalam manajemen non farmakolog.5 Edukasi, manajemen individu dan rehabilitasi

 Edukasi diperlukan untuk merubah pengetahuan penderita.

(9)

PKB ILMU PENYAKIT PARU I 2017

 Edukasi manajemen individu dengan atau tanpa penambahan action plan direkomendasikan untuk mencegah eksaserbasi dan peningkatan keperluan rawat inap. (bukti B)

 Rehabilitasi diindikasikan pada penderita dengan gejala yang relevan dan risiko tinggi eksaserbasi. ( bukti A)

 Aktivitas fisik adalah prediktor kuat dari mortalitas ( bukti A).

Penderita harus didorong untuk meningkatkan aktivitas fisiknya.

Vaksinasi

 Vaksinasi influensa direkomendasikan untuk semua penderita PPOK.( bukti A)

 Vaksin pneumokokus direkomendasikan untuk pasien berusia >

65 tahun dan pasien dengan komorbid penyakit jantung dan paru kronik. (bukti B)

Nutrisi

 Suplemen nutrisi diindikasikan bagi pasien PPOk malnutrisi. ( bukti B)

Akhir hayat dan terapi paliatif

 Setiap dokter yang merawat penderita PPOK harus sadar akan keefektifan terapi paliatif untuk mengontrol gejala (bukti D)

End of life care termasuk diskusi dengan pasien dan keluarga mengenai pandangan tentang akhir hayat. ( bukti D)

Terapi hipoksemia dan hiperkapnia

 Pada pasien dengan hipoksemi saat istirahat dan desaturasi pada saat aktivitas fisik direkomendasikan penggunaan terapi oksigen jangka panjang. (bukti A)

 Oksigenasi saat istirahat pada sea level tidak mengeksklusi terjadinya hipoksemia pada saat bepergian menggunakan pesawat. (bukti C)

 Pada pasien dengan hiperkapnia kronik berat dan riwayat rawat inap dengan gagal napas akut, long term non invasif ventilasi dipertimbangkan. (bukti B)

Pembedahan

Lung volume reduction surgery diperlukan pada pasien tertentu dengan emfisema lobus atas.(bukti A)

Bronchoscope lung volume reduction intervention

(10)

PKB ILMU PENYAKIT PARU II 2018

5

dipertimbangkan pada pasien dengan advanced emfisema. ( bukti B)

 Pada pasien dengan bula yang besar, bulektomi dapat dipertimbangkan. (bukti C)

 Pada pasien dengan PPOK sangat berat, transplantasi paru dapat dipertimbangkan. (bukti C)

Manajemen Farmakologi pada PPOK Stabil

Terapi farmakologi dapat menurunkan gejala, risiko, keberatan eksaserbasi dan juga memperbaiki status kesehatan serta toleransi terhadap aktivitas fisik.

Kelas pengobatan yang sering digunakan untuk menerapi PPOK stabil adalah golongan bronkodilator, antiinflamasi, serta obat-obatan penunjang lain.

Poin penting penggunaan bronkodilator menurut GOLD 2018.5

 LABA/LAMA lebih dipilih dari SABA/SAMA kecuali pada pasien yang sangat jarang sesak. ( bukti A)

 Pasien dapat memulai terapi dengan monoterapi long acting bronkodilator atau kombinasi dual long acting bronkodilator. Pada pasien dengan sesak persisten, monoterapi sebaiknya dieskalasi menjadi kombinasi dua lterapi. (bukti A)

 Bronkodilator inhalasi lebih direkomendasikan daripada bronkodilator oral.(bukti A)

 Terapi jangka panjang dengan teofilin tidak direkomendasikan kecuali terapi jangka panjang dengan bronkodilator yang lain tidak tersedia. ( bukti B)

Poin penting penggunaan antiinflamasi menurut GOLD 2018.5

 Monoterapi jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi (ICS) pada penderita PPOK tidak direkomendasikan. (bukti A)

 Terapi jangka panjang dengan ICS dipertimbangkan bersamaan dengan LABA untuk pasien dengan riwayat eksaserbasi walaupun sudah diberikan terapi adekuat dengan LABA. (bukti A)

(11)

PKB ILMU PENYAKIT PARU I 2017

 Terapi jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak direkomendasikan. ( bukti A)

 Pada penderita dengan eksaserbasi walaupun telah menggunakan LABA/ICS atau LABA/LAMA/ICS, penderita bronkitis kronik, dan hambatan jalan napas berat sampai sangat berat, penambahan PDE-4 inhibitor harus dipertimbangkan. ( bukti B)

 Pada perokok/mantan perokok dengan eksaserbasi walaupun terapi adekuat, pemberian makrolide dapat dipertimbangkan. ( bukti B)

 Terapi statin tidak direkomendasikan untuk mencegah eksaserbasi.

(bukti A)

 Antioksidan dan mukolitik direkomendasikan hanya pada pasien tertentu. ( bukti A)

Poin penting penggunaan penggunaan obat lainnya menurut GOLD 2018.5

 Pasien dengan defisiensi berat alpha-1-antitripsin dan mengalami emfisema dapat merupakan kandidat pemberian alpha-1-antitripsin augumentation therapy. (bukti B)

 Pemberian antitusif tidak direkomendasikan pada penderita PPOK. ( bukti C)

 Obat yang digunakan untuk mengobati hipertensi pulmonal primer tidak direkomendasikan untuk digunakan pada pasien dengan hipertensi pulmonal sekunder akibat PPOK.( bukti B)

Long acting oral dan parenteral opioid dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk mengobati sesak pada pasien PPOK dengan derajat penyakit yang berat. (bukti B)

(12)

PKB ILMU PENYAKIT PARU II 2018

7

Gambar 2. Manajemen farmakologi berdasarkan kelompok PPOK GOLD 2018.5 Grup A : Semua pasien grup A sebaiknya ditawarkan untuk terapi bronkodilator sebagai terapi jangka panjang berdasarkan efeknya terhadap sesak napas baik short acting maupun long acting bronkodilator. Terapi sebaiknya diteruskan jika secara klinis memberikan manfaat.

Grup B : terapi inisial sebaiknya terdiri dari long acting bronkodilator.

Pemilihan bronkodilator berdasarkan perbaikan gejala pada persepsi pasien.

Untuk pasien sesak persisten dengan monoterapi maka penggunaan kombinasi dua bronkodilator direkomendasikan. Untuk pasien yang dari awal memang sudah sesak berat terapi inisial dengan dua bronkodilator dapat

(13)

PKB ILMU PENYAKIT PARU I 2017

dipertimbangkan. Jika dengan dua bronkodilator tidak memperbaiki gejala maka pertimbangkan step down menjadi monotorapi, Pasien grup B memiliki komorbiditas yang harus diinvestigasi karena memiliki pengaruh pada gejala dan prognosis.

Grup C : Inisial terapi pada grup ini terdiri dari single long acting bronkodilator. Pada perbandingan antara LAMA dan LABA monoterapi didapatkan bahwa LAMA lebih superior dibanding LABA untuk mencegah eksaserbasi, oleh karena itu direkomendasikan memulai terapi dengan LAMA pada grup ini. Pasien dengan eksaserbasi persisten dapat diberikan kombinasi terapi dengan LABA/LAMA atau LABA/ICS. Karena ICS meningkatkan risiko pneumonia maka pilihan utama adalah LABA/LAMA.

Grup D : pada grup D direkomendasikan memulai terapi dengan LABA/LAMA karena kombinasi LABA/LAMA lebih superior dibandingkan terapi bronkodilator tunggal. Kombinasi LABA/LAMA lebih superior dari LABA/ICS dalam mencegah eksaserbasi pada pasien grup D. Pasien Grup D lebih rentan mengalami pneumonia ketika menerima terapi dengan ICS.

Pada beberapa pasien terapi inisial dengan LABA/ICS adalah pilihan utama yaitu pada pasien yang memiliki gejala asma-COPD overlap. Jumlah eosinofil darah yang tinggi juga dipertimbangkan sebagai parameter untuk mendukung penggunaan ICS.

Untuk pasien yang tetap eksaserbasi dengan penggunaan LABA/LAMA maka lakukan eskalasi menggunakan LABA/LAMA/ICS. Jika pasien yang sudah diterapi dengan LAMA/LABA/ICS tetap mengalami eksaserbasi maka pertimbangkan penambahan roflumilast (PDE4 Inhibitor) untuk pasien bronkitis kronik. Tambahkan makrolide pada mantan perokok atau stop ICS karena terbukti tidak berguna.

(14)

PKB ILMU PENYAKIT PARU II 2018

9

Paradigma Perubahan Terapi PPOK Stabil pada GOLD 2018

Lebih dari 30 tahun studi berpandangan bahwa FEV1 pada penderita PPOK menurun seiring dengan berjalannya waktu. Namun beberapa penelitian terkini menunjukkan penurunan FEV1 terjadi paling cepat pada tahap awal PPOK terutama pada GOLD 2. Akibat perubahan paradigma tersebut maka pengobatan PPOK sedini mungkin sangat penting karena hilangnya fungsi paru paling cepat terjadi pada tahap awal PPOK.6

Pada GOLD 2018 LABA/LAMA baik tunggal maupun kombinasi lebih direkomendasikan untuk terapi awal pada sebagian besar grup PPOK.

Penggunaan ICS dibatasi hanya untuk pasien dengan riwayat eksaserbasi walaupun sudah diterapi adekuat dengan LABA/LAMA. Pembatasan penggunaan ICS dilakukan dengan pertimbangan antara risiko dan keuntungannya. Pada penelitian WISDOM menunjukaan bahwa LAMA+LABA dibandingkan dengan LAMA+LABA+ICS sebanding dalam mengurangi risiko eksaserbasi sedang hingga berat pada pasien PPOK berat/sangat berat dengan riwayat eksaserbasi. Pada studi WISDOM juga menunjukan bahwa ICS dapat memberikan manfaat tambahan hanya kepada pasien dengan karakteristik berikut : PPOK berat/sangat berat, riwayat eksaserbasi ≥ dua kali pertahun, dan jumlah eosinofil darah ≥ 300 sel/µl.7

Pada PPOK Grup B dan C, GOLD 2018 merekomendasikan penggunaan LAMA lebih dipilih sebagai terapi awal dibandingkan LABA karena LAMA lebih superior dibanding LABA dalam mencegah eksaserbasi. Pada POET-COPD studi yang membandingkan atara tiotropium dan LABA, tiotroprium secara signifikan menunda 17% waktu terjadinya eksaserbasi pertama kali dibandingksn salmeterol.8 Pada studi INVIGORATE juga disebutkan bahwa waktu tunda tiotropium untuk eksaserbasi sedang atau berat pertama, signifikan lebih baik dibandingkan dengan indakaterol.(HR 1,2 p =0.0012).9 Studi INSPIRE menyatakan bahwa angka tahunan eksaserbasi antara tiotropium 18 µg dibandingkan dengan salmeterol /fluticason 50/500µg BID adalah sebanding namun komplikasi pneumonia pada salmeterol/fluticason lebih besar ( HR 1,94, p< 0.0008).10 Pada studi PARK didapatkan kombinasi

(15)

PKB ILMU PENYAKIT PARU I 2017

LABA/LAMA sebanding dengan tiotropium tunggal dalam mengurangi eksaserbasi sedang hingga berat.11

Studi TONADO meneliti kombinasi LABA/LAMA yaitu tiotropium dan olodaterol mendapatkan kombinasi tersebut secara signifikan meningkatkan fungsi paru, memperbaiki gejala sesak napas serta meningkatkan kualitas hidup pada pasien PPOK dibandingkan dengan monoterapi LABA saja atau LAMA saja. Pada studi TONADO juga didapatkan bahwa penggunaan kombinasi LABA/LAMA secara signifikan mengurangi rescue medication dan menunjukkan kecenderungan penurunan frekuensi eksaserbasi dibandingkan dengan monoterapi. Kombinasi LABA/LAMA tersebut memiliki efek samping yang dapat ditoleransi dengan baik seperti pada monoterapi.12

Pada studi ENERGITO pemberian kombinasi LABA/LAMA yaitu tioptropium dan olodaterol sekali sehari dapat memberikan peningkatan yang signifikan terhadap FEV1 dibandingkan pemberian ICS/LABA (salmeterol/fluticason dosis sedang dan tinggi) dua kali sehari.13 Mekanisme LAMA/LABA dapat menurunkan frekuensi eksaserbasi adalah dengan mengurangi hiperinflasi, menurunkan produksi mukus, meningkatkan mukociliary clearance, mengurangi keberatan gejala, dan memiliki efek antiinflamasi.

Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dilakukan untuk mengetahui progresivitas penyakit dan terjadinya komplikasi atau komorbiditas. Monitoring dilakukan dengan pemeriksaan faal paru, gejala, frekuensi eksaserbasi, pemeriksaan imaging jika diperlukan, komorbiditas, dan monitoring status merokok secara berkala. Terapi farmakologi juga haris dimonitoring dalam hal dosis obat, kepatuhan , teknik inhalasi, keefektivan terapi saat ini, dan efek samping obat.

Ringkasan

Dalam GOLD 2018 terjadi perubahan paradigma dalam pengobatan PPOK stabil dimana LAMA/LABA baik tunggal ataupun kombinasi menjadi pilihan

(16)

PKB ILMU PENYAKIT PARU II 2018

11

yang lebih diutamakan menjadi pengobatan awal dalam sebagian besar kelas PPOK. LAMA tunggal lebih unggul dibandingkan LABA dalam mengurangi risiko eksaserbasi pada GOLD B. Kombinasi LABA/LAMA lebih dipilih daripada kombinasi LABA/ICS sebagai terapi awal PPOK pada GOLD kelas C dan D, karena pertimbangan risiko pneumonia lebih tinggi pada pasien dengan terapi ICS. Terapi kombinasi dengan ICS diberikan terbatas pada pasien yang masih memiliki gejala setelah pemberian LABA/LAMA, pasien dengan asma-COPD overlap, atau pasien dengan kadar eosinofil tinggi ≥ 300 µg. Dengan perawatan dan pemilihan obat yang tepat, tidak hanya akan terjadi perbaikan pada gejala dan fungsi paru namun juga pada status kesehatan dan pengurangan risiko eksaserbasi.

Daftar Pustaka

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2011.

Global Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. p. 8-12

2. World Health Organization. Chronic Obstructive Pulmonary disease.

2009. Available at : http://

www.who.int/mediacentre/factsheets/fs315/en/index/html.

3. World Health Organization. Chronic Obstructive Pulmonary disease.

2009. Available at : http://

www.who.int/respiratory/COPD/burden/en/index/html.

4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2016. PPOK (penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). p. 7-14

5. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2018.

Global Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. p. 8-12

(17)

PKB ILMU PENYAKIT PARU I 2017

6. Tantucci C, Modina D. 2012. Lung function decline in COPD. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis ; 7 :95-9

7. Magnusen H, Disse B, Roisin RR, Kirsten A, Watz H, Tetzlaff K, et al. 2014.

Withdrawal of inhaled glucocorticoids and exacerbation of COPD ( WISDOM study). N Engl J Med ; 371(14) : 1285-95

8. Vogelmeier C, Hederer B, Glaab T, Schmidt H, et al. 2011. Tiotroprium versus salmeterol for prevention of exacerbations of COPD ( POET-COPD Study). N Engl J Med ; 364 : 1093-1103

9. Decramer ML, Champman KR, Dahl R, Fathy A, et al. 2013. Once-daily indacaterol versus tiotroprium for patients with severe chronic obstructive pulmonary disease (INVIGORATE): A randomised, blinded, paralel-group study. The LANCET ;1(7) :524-33

10. Wedzicha JA, Calverley PMA, Seemungal TA, Hagan G, Anzari Z, Stockley RA. 2015 The prevention of chronic obstructive pulmonary disease exacerbations by salmeterol/fluticasone propionate or tiotropium bromide ( INSPIRE). Am J Respir Crit Care Med ; 177(1):19-26

11. Wedzicha JA, Decramer M, Ficker J, Taylor AF, Andrea PD, Arrasate C, et al. 2016. Dual bronchodilation with QVA149 Reduced COPD Exacerbations : the SPARK Study. ; N Eng J Med :187: A2428

12. Buhl R, Maltais F, Bateman R, et al. 2015. Tioropium and olodaterol fixed- dose combination versus monocomponents in COPD (GOLD 2-4) ( TONADO study). Eur Respir J ; 45(6):1763.

13. Beeh KM, Derom E, Echave-Sustaeta JM, et al. 2016. The lung function profile of once daily tiotropium and olodaterol via respimat is superior to that of twice daily salmeterol and fluticasone propionate via accuhaler (ENERGITO). Int J Chron Obstruct Pulmon Dis ;11:193-205

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan pengabdian kepada pasien PPOK “Edukasi dan Pemberian Terapi Latihan Pada Pasien PPOK Untuk Mengurangi Sesak Napas di RSUD Dungus” yang dilakukan di Rumah Sakit Paru

1 PROGRAM STUDI PROGRAM SARJANA FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KUSUSMA HUSADA SURAKARTA 2022 HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN TUMBUH KEMBANG BALITA USIA 12-59 BULAN DI DESA