Pengaruh Orientalisme dalam Proyek Liberalisasi Konsep Al-Qur'an dan Tafsir
Oleh: Fahmi Salim, M.A.
Pembukaan
Yang tampak di permukaan bahwa Arkoun dan Hanafi, keduanya menolak penemuan-penemuan Orientalis, seakan keduanya bersikap kritis terhadap orientalis, akan tetapi ide-ide yang tidak pernah berhenti mereka ulang-ulang adalah tidak berbeda dari apa yang pernah dikatakan oleh para orientalis, bahkan sering kali hanya merupakan pengulangan kerja dan reproduksi pemikiran-pemikiran serta pandangan-pandangan yang reduksionis.
Sebelum menjelaskan fenomena kesamaan antara orientalis dan pembacaan baru, kami akan berikan dasar-dasar –tapi kami tidak mengklaim bahwa kami sudah dapat merangkum semua hasil orientalis dan penelitian tentang dasar-dasar tesis yang disampaikan dalam bingkai pembacaan dengan mengambil dari kitab-kitab yang berbeda-beda yang dihasilkan oleh para orientalis. Hal itu karena tugas ini akan menyempitkan lahan untuk dapat dikuasai semua dari satu sisi dan melemahkan seseorang untuk dapat mengetahui secara menyeluruh dari sisi lain, sebab banyak sekali kajian dan yang sudah beredar. Oleh sebab itu saya mengisyaratkan pada peganganku sebagai dasar untuk sebagian karangan yang diberi perhatian khusus terkait dengan kajian orientalis terhadap Al-Qur'an.
Secara umum, dapat kita masukkan fenomena-fenomena pengaruh orientalis dalam pembacaan baru untuk Al-Qur'an dalam tiga fenomena mendasar:
Fenomena Pertama: Condong pada Penafsiran Positifis-Sekular tentang Wahyu
Masing-masing dari Arkoun, Hanafi dan Nasr Hamid Abu Zaid dalam upayanya mengklaim keilmiahan ide yang dilontarkan, yaitu dengan cara mengembalikan fenomena wahyu pada suatu bentuk inovasi pribadi. Mereka telah sampai pada hal itu dengan jalan yang berliku, jadi masing-masing tidak bisa memberikan penjelasan yang terang-terangan. Untuk itu mereka menempuh jalan lain dengan berbagai jalan yang mana dapat menjadikan kita menerima takwilan-takwilannya. Sekali waktu, tameng itu berupa klaim kritik sejarah1 dan yang lain adalah klaim bahwa wahyu adalah sebuah percobaan
1 Lihat, Tarikhiyyah Al-Fikr, hlm. 101.
dalam kesadaran Rasulullah yang merasakan krisis,2 dan pada waktu yang lain mengklaim bahwa Al-Qur'an adalah teks manusia.3
Penelitian dalam masalah wahyu menurut Hasan Hanafi, Arkoun, dan Nasr Abu Zaid adalah tunduk pada premis-premis yang salah dan mengharuskannya agar tidak melampaui fakta bahwa ia adalah kejadian- kejadian historis atau sekumpulan dari fenomena sosial. Ketika peneliti memasuki medan kajian Al-Qur'an dengan premis-premis pemikiran semacam itu, dia tidak sedang mencari kebenaran agar dapat sampai kepadanya, akan tetapi mencari legitimasi untuk asumsi-asumsi pemikirannya saja. Berangkat dari ketetapan-ketetapan yang berhasil diraih oleh penyeru pembacaan baru seseorang dapat mencatat satu kesatuan dalam metode dan kesatuan dalam tujuan antara para penulis dan generasi para orientalis yang telah dibutakan oleh fanatisme keagamaan mereka, Yahudi dan Kristen.
Pada tataran metode, para orientalis berangkat dari ketetapan-ketetapan epistemologis yang memiliki hubungan dengan agama mereka yang memandang bahwa fenomena wahyu yang paling akhir adalah terpancar pada diri Musa dan Isa, jadi kenabian adalah mustahil muncul pada seorang pun setelah keduanya. Dari hipotesa seperti ini mereka berinteraksi dengan Al- Qur'an yang dinggap sebagai kejadian manusia murni. Jadi ia adakalanya sebuah kerja pemilahan yang berpegangan pada kitab-kitab langit yang lain dan itu dengan melihat kabar-kabar para nabi, cerita kaum-kaum pendahulu yang ada di dalamnya atau tindakan refleks yang keluar dari Rasulullah ketika terserang epilepsi.4 Atau ia adalah pemilahan dan percampuran antara berbagai unsur agama pagan yang tidak ada maknanya apa-apa.
Jika kita bisa memaklumi para orientalis yang menetapkan bahwa wahyu adalah buatan yang dibawa oleh Muhammad Saw. berdasarkan premis- premis ideologis yang tidak dapat mereka singkirkan, hal yang sama tidak bisa kita maklumi untuk orang yang terang-terangan mengaku Islam kemudian mereka mengulang-ulang kata-kata itu?!
Pada tataran tujuan yang ingin mereka capai, para orientalis begitu perhatian dengan Al-Qur'an karena menganggapnya tidak lebih sebagai "data sejarah", kemudian tidak membedakan antara Al-Qur'an dan buku-buku sastra yang lain yang muncul pada masa yang sama. Untuk memusatkan aspek humanitas dan relatifitasnya kepada Muhammad mereka melakukan perbandingan-perbandingan antara Al-Qur'an dan teks-teks puisi Arab untuk menampakkan kecocokannya.5 Pioner orientalisme, T. Noldeke (1836-1930 M)
2 At-Turats wa At-Tajdid, hlm. 114.
3 Naqd Khithab Ad-Diniy, hlm. 93.
4 Dapat dicatat beberapa kesamaan klaim-klaim orientalis dan yang diklaim oleh Hanafi tentang wahyu adalah percobaan dalam perasaan nabi ketika merasakan kesempitan dan kerupekan lalu datanglah wahyu untuk menghilangkan kesempitan itu.
5 Kita dapat menemukan perbandingan-perbandingan yang reduktif dalam banyak sastra-satra orienalisan, seperti; Blacher Al-Quran Nuzuluhu Wa Tadwînuhu wa Ta`tsîruhu, hlm. 38. Margoliot,
sendiri yang memberikan isyarat dalam "Ensklopedia Islam" bahwa ada bagian dari Al-Qur'an yang hilang dan ia sekarang tidak sempurna.
Jika kita rujuk kembali kepada lontaran pemikiran oleh para penganjur pembacaan baru, kita tidak akan menemukan perbedaan antara mereka dan para orientalis dalam hal kekhususannya tentang aspek kemanusiaan Al-Qur'an.
Bahkan kengototan mereka untuk menerapkan metode ilmu humaniora dalam bidang kajian Al-Qur'an adalah bukti yang paling besar atas hal itu. Ilmu-ilmu itu semenjak pertama kali muncul memberikan konsentrasi untuk melakukan usaha pemahaman beragam fenomena yang bersamaan dengan kemanusiaan dalam semua lini kehidupan. Seruan untuk menerapkannya bagi teks Al-Qur'an adalah sebuah usaha yang cepat untuk berinteraksi dengan teks-teks wahyu dengan logika yang sama dengan logika berinteraksi dengan permaslahan- permasalahan yang dibedakan oleh kehidupan menusiawi. Hal ini maksudnya secara subtansial adalah:
1) Menampik keistimewaan yang khusus bagi Al-Qur'an yang menjadikannya lintas waktu dan tempat, dan menganggapnya sebagai kejadian manusia yang biasa-biasa saja.
2) Menjadikan ilmu-ilmu humanitas sebagai sarana untuk sampai kepada pengetahuan yang besifat yakin dan didukung dalil meskipun seringkali ia bersandar pada teori-teori praduga. Indikasi akan hal itu adalah banyaknya perubahan-perubahan yang terus menerus terjadi dan tak pernah final.
3) Membalik perbandingan epistemologis yaitu dengan menjadikan ilmu- ilmu humaniora sebagai bagian epistema absolut, sementara teks-teks wahyu dalam jenjang perkembangannya diposisikan sebagai pengetahuan yang sifatnya relatif.
Fenomena Kedua: Al-Qur'an antara Fakta-Real atau Sekadar Simbol.
Tidak seorang pun yang dapat mengingkari keberadaan simbol dalam Al-Qur'an, kejadian-kejadian simbolis telah ada dalam teks-teksnya khususnya ketika Al-Qur'an hendak mengokohkan doktrin keimanan dalam pandangan orang Islam. Pembicaraan tentang simbol dalam Al-Qur'an akan membawa kita secara langsung kepada kisah-kisah Al-Qur'an yang berusaha menggugah fitrah keimanan dengan cara mengkisahkan kejadian secara simbolis. Akan tetapi kesalahannya yang menjebak para orientalis dan pengikutnya adalah kisah-
Ushul Asy-Su`ir Al-Arabi, hlm. 32 dan 77. Teodor Noldekhe yang dianggap sebagai para pemimpin kajian historisisme Al-Qur'an dan kitabnya "Tarikh Al-Qur`an" dengan bahasa Jerman, yang dianggap sebagai dasar setiap kajian dalam ulum Al-Qur'an di Barat, sebab ia semenjak pertama kali dicetak tahun 1860 M tetap menjadi terminal perhatian mereka , ini menunjukkan bahwa pengikut generasi orientalis setelahnya yang menjadikan konsentrasinya adalah studi Al-Qur'an mulai dari muridnya Fredric Sechwlly yang meninggal sebelum merampungkan proyeksnya kemudian dilanjutkan setelahnya oelh Jotseh Bergesstreser yang setelah kematiannya ia tinggalkan tugas itu kepada muridnya Otto Pretzl dan dialah yang mengeluarkan cetakan kedua dari kitab itu. (lihat Arthur Jeffry , Kitab Al- Mashahif, hlmn 4.)
kisah itu oleh mereka dikategorikan ke dalam hayalan dan dugaan, padahal nilai faktualitasnya sangat jelas sekali.
Bila seseorang mengamati temuan-temuan orientalis maka dia akan menemukan secara keseluruhan bahwa temuan itu sepakat atas prinsip "hayalan simbolis Al-Qur'an" bahkan lebih dari itu mereka menganggap Islam sebagai kelanjutan simbol-simbol paganis di dunia Arab Jahiliyah. Tugas simbol ini bukan untuk menetapkan hakikat-hakikat yang permanen, namun yang menjadi tujuannya adalah untuk menutupi rasa jiwa menurut bangsa Arab yang pada dasarnya mereka selalu menerima apa saja yang dapat memberikan kepuasaan hajat-hajat mereka menuju pandangan transenden. Sesuai dengan logika orientalis, setiap agama apa pun pada asalnya terkait erat dengan kehidupan hayalan atau ilusi belaka, oleh sebab itu ia tidak dapat menyentuh ruhnya kecuali jika mengandalkan indera dan refleksi jiwa dalam kadar tertentu.6
Kandungan Al-Qur'an yang paling menonjol adalah bukan disusun dalam realitasnya dari ide-ide keyakinan akan tetapi dari kisah-kisah historis dan simbolis dan kondisi eskatologis (keakhiratan).7 Mayoritas kaum pagan Arab menerima ajaran Al-Qur'an tanpa harus menghilangkan keyakinan mereka yang dahulu, jadi apa yang diwujudkan oleh Muhammad kepada mereka adalah bahwa dia mewajibkan kepada mereka atas nama Allah Yang Maha Kuat dan Tinggi dan menjadikan hegemoni berada di atas simbol-simbol yang mereka miliki. Oleh sebab itu warisan Arab kuno masih tetap tejaga di bawah hegemoni kekuatan Yang Maha Kuasa dan Tinggi.8 Muhammad tetap memelihara simbol-simbol keagamaan yang dimilki kaumnya dengan semua kekuatan yang dia milki untuk menggerakkan kemampuan hayalan bangsa Arab, hanya saja dia memindahkannya dari kerangka simbol paganistik kepada simbol monoteistik.9 Menurut penuturan orientalis, Islam telah mengambil pemikiran-pemikiran ini dari Jahiliyah yang dahulu untuk kemudian diislamkan, akan tetapi itu dapat dianggap sebagai pemikiran populis; suatu bagian yang harus ada dalam keyakinan Islam.10
Simbol Qur'anik dalam pandangan orientalis tidak lebih dari sekedar konteks hayalan yang dipinjam dari tradisi keagamaan masa silam. Satu- satunya prestasi yang diraih oleh Muhammad adalah memindah kejadian- kejadian itu dari framework jahiliyah menuju framework monoteistik. Itu adalah ide-ide orintalis yang paling penting dalam bidang simbol Al-Qur'an.
Kini saat kita untuk membandingkan dengan produk pembacaan baru di bidang yang sama:
Dengan kembali melihat usaha Arkoun untuk membaca Al-Qur'an kita dapat menemukan bahwa dia memberikan tekanan kepada sisi simbolistik,
6 Hamilthon Gib, Bunyah Al-Fikr Ad-Dini Fi Al-Islam, hlmn 90.
7 Fritjhof, Kaifa Nafham Al-Islam? hlmn 58.
8 Gib, Dirasât Fi Al-Hadharah Al-Islam, hlm. 240.
9 Ibid, hlm. 250-251 dan lihat Bunyah Al-Fikr Ad-Dini Fi Al-Islam, hlmn 82-82.
10 Goldzsihher, Madzahib Tafsir Al-Islami, hlm. 165.
sehingga baginya, Al-Qur'an secara keseluruhan telah berubah menjadi sekumpulan simbol-simbol sehingga kejadian-kejadian simbolis itu tidak hanya ada dalam keyakinan (akidah) akan tetapi semua ajaran Islam; wa bil khusus syiar-syiar yang sebenarnya tidak lebih ritual mitologis yang dihasilkan oleh hayalan masyarakat. Arkoun mengajukan metode strukturalis dalam bidang penerapan fenomena-fenomena ini dalam rangka mengeksplorasi makna semantiknya.11 Sebagaimana kita mendapatinya membaca surah Al-Kahfi, dia mengelu-elukan framework yang dilakukan orientalis Prancis terkemuka, Louis Masignon (1883-1962 M)12 untuk mengkaji surah itu dalam perspektif struktrulisme antropologis atas daya khayal.13
Menurut pembacaan antropologis-strukturalis ini, Rasulullah telah banyak menerima pewahyuan jenis hayalan ini dari agama samawi yang lain, dan dia mempergunakannya dalam sebuah idiom dakwah yang baru.
Masalahnya, Arkoun tidak berhenti pada batasan pengambilan simobolis yang masih menyisahkan berbagai fenomena paganis jahiliyah. Akan tetapi melampaui hal itu, ia bahkan menyatakan bahwa Islam juga mengambil konsep-konsep penting dari ahli Kitab: "Apabila dimungkinkan bagi kita mengembalikan dalam kasus Nabi Muhammad jejak penghayalan yang serupa dengan yang telah dijajaki oleh para nabi Taurat atau Yasu` Al-Masih, maka hal itu adalah suatu yang kembali pada kesamaan struktur antropologis bagi daya khayal yang dominan di kawasan Timur Tengah."14
Termasuk fenomena kesatuan antara Islam dan agama-agama yang lain yang ditemukan oleh orientalis sesuai metode mereka yang khusus yang mengundang tertawaan adalah penyamaan antara musik gereja dan bacaan tartil Al-Qur'an: "Sebagaimana gereja Kristen melakukan musikalisasi untuk menguatkan perasaan menuju kemaslahatan keagamaannya, Islam juga melakukan yang sama untuk menumbuhkan bacaan tartil Al-Qur'an agar tangan panggilannya lebih kuat menyentuh daya khayal dan sensitifitas (keimanan)."15
Lalu bagaimana dengan Hasan Hanafi? Untuk dapat memfungsikan bidang simbolistik ini, dia masuk dari pintu "Penafsiran Partisipatif- Empatis" dan menjadikan teks-teks wahyu sebagai kumpulan tanda-tanda yang dilahirkan dalam pikiran manusia ketika dia mengahdapi pelbagai masalah kehidupan. Teori penafsiran ini berangkat dari realitas perasaan yang menghadirkan kepada kita dialektika yang hidup dan, -selanjutnya- dianalisa oleh akal agar sampai pada makna-makna yang mana ia adalah makna-makna
11 Qirâ`at Li Al-Qur`an, Fash Awwal, hlm. 10-13.
12 Biografinya yang panjang lebar lihat di Mu`jam Asma` Al-Musytasyriqin, hlm. 658-662.
13 Pembacaan surat Al-Kahfi oleh Arkoun dalam "Al-Qur`an Min At-Tafsîr Al-Mauruts Ila Tahlîl Al- Khthab Ad-Dini, hlmn 169-170.
14 Tarikhiyyat Al-Fikr Al-Islami, hlm. 260.
15 Gib,Bunyah Al-Fikr Ad-Dini, hlm. 92.
teks yang dapat ditemukan langsung dengan intuisi yang langsung diarahkan kepada teks.16
Berangkat dari ketetapan ini, teks-teks tak lain hanya sekumpulan gambaran dan hayalan simbolis yang dapat ditemukan oleh manusia dengan berpegangan pada perasaan internalnya ketika menghadapi pelbagai percobaan yang hidup. Oleh sebab itu, teori penafsiran perasaan berdiri di atas pondasi semantik yang berdiri sendiri yang dihayalkan oleh penafsir dalam angan- angannya yang berangkat dari eksperimen individualnya itu. Dari perbandingan tadi, maka kita dapat memberikan catatan bahwa fenomena kesatuan antara reduksi-reduksi yang diakibatkan pembacaan baru yang merupakan simplikasi ideologis ala orientalis akan tampak dalam dua bentuk:
• Pertama, kesatuan mereka dalam pengertian simbol dan hakikatnya.
Berangkat dari teks-teks Al-Qur'an, kedua gambaran itu menolak kenyataan simbol ini dan berusaha memberikan baju mitologis kepadanya.
• Kedua, berkaitan dengan bidang simbol. Yang mana framework orientalis itu berjalin kelindan dengan framework para penganjur pembacaan baru dalam hal generalisasi pada semua teks-teks Al-Qur'an.
Dan kemudian ayat-ayat Muhakamât yang berhubungan dengan syari`at atau ibadat tidak lebih adalah ungkapan simbolis yang dimaksudkan untuk menunjukkan hal-hal lain selain yang sudah kita pahami dari kejelasan bunyi teks.
Fenomena Ketiga: Al-Qur'an Vis a Vis Kitab-kitab Suci Lain.
Para penganjur pembacaan baru ini mengajak kita untuk mewujudkan kajian komparatif antara Al-Qur'an dan kitab-kitab suci yang lain. Tujuan ini dianggap salah satu bagian dari proyek yang diharapkan dapat terealisasi dalam bingkai kajian kontemporer yang berusaha menafsirkan wahyu secara umum dan menyelamatkannya dari kejumudan historis. Karena itu bidang pembacaan baru ini, menurut Arkoun dan Hanafi tidak terpaku pada Al-Qur'an saja akan tetapi mencakup Taurat (Old Testament) dan Injil (New Testament) dengan menganggapnya sebagai kejadian-kejadian yang mirip dengan "fenomena" Al- Qur'an. Umat Arab adalah yang menjadi pewaris agama Ibrahim: Yahudi, Kristen, dan Islam.17
Lebih dari itu, kita tidak henti-henti mengulangi bahwa orang Yahudi, Kristen dan Islam adalah anak-anak teologis-ideologis Ibrahim secara keruhanian.18 Oleh sebab perlu menciptakan pelbagai bentuk berbagi kesadaran diantara pemeluk ketiga agama, yang bertolak dari kejadian-kejadian ini yang telah membentuk sejarah terbebaskannya manusia.
16 At-Turats wa At-Tajdid, hlm. 157.
17 Hanafi, Aqlâm, edisi 9 hlmn 52.
18 Qirâ`^at Al-Qur`an, Al-Fashl Al-Awwal, hmn 24.
Adapun untuk tujuan akhir kajian komparatif ini adalah untuk memaparkan turats klasik yang dianggap sebagai pemikiran yang independen yang bersumber dari dasar-dasarnya tentang wahyu atau dasar-dasar akal atau dalam pembangunan realitas.19 Proyek ini bertujuan untuk menundukkan kitab- kitab itu pada kritik metodologis yang memberikan karakter positifis. Untuk sampai ke sana, maka harus dibebaskan terlebih dahulu bibit-bibit awal mitologis yang ada dalam kitab-kitab suci tersebut.20
Untuk usaha Muhammad Arkoun secara khusus, maka dia memberikan perhatian tentang apa yang disebut dengan "sisi mitologis" yang berhubungan dengan cerita-cerita Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an hampir menyatu di dalamnya dengan kitab-kitab yang lain. Sisi ini justru yang telah menarik perhatian para orientalis dalam jangka waktu yang lama.
Kita menemukan seluruh tren orientalis yang datang siling berganti telah memberikan perhatian terhadap sejarah agama perbandingan dan kisah-kisah historis, hal itu untuk menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur'an tidak lebih dari kerja reinkarnasi atas apa yang ada dalam kitab-kitab suci yang dahulu. Dan sesuai dengan pengertian ini, tradisi-tradisi Yahudi dan Kristen akan tampak pada kisah-kisah Al-Qur'an tentang Musa, Ibrahim, Isa yang membenarkan tema-tema yang sama dan telah diketahui oleh para pengikut Islam yang baru.21 Pengarang buku "Problema Muhammad" mengatakan bahwa yang menarik perhatian para orientalis adalah kesamaan yang muncul antara kisah-kisah ini dan kisah-kisah Yahudi dan Kristen. Pengaruh Kristen sangat jelas dalam surat-surat makkiyah yang pertama, sebab banyak sekali membuka perbandingan Al-Qur'an dengan teks-teks yang tidak resmi seperti Injil awal yang mana menguasai pada masa itu dengan cukup kuat.22
Ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Islam, bahkan pada jenjang awalnya adalah sebuah potret tentang pilihan dan percampuran dari Yahudi dan Kristen.23 Dicatat adanya sebuah perhatian dari Al-Qur'an kepada Taurat dan agama Yahudi; kisah yang ada dalam surat Yusuf adalah sebuah pengjelmaan dari kisah pahlawan di Taurat.24 Cerita tentang Musa menjadi banyak dengan bentuk yang nyata.25 Sebagaimana ia mengangungkan sosok Ibrahim, bapak Taurat ini.26 Sikap Al-Qur'an ini menujukkan sebuah kedekatan yang cukup dekat antara Islam dan Yahudi.27 Khususnya ketika Patriak ini mulai mengisyaratkan untuk membangun ibadah kepada ka`bah pada masa lalu.28
19 At-Turats wa At-Tajdîd, hlm. 155.
20 Qirâ`^at Al-Qur`an, hlm. 25.
21 Blacher, Al-Qur`an Nuzuluhu wa Tadwînuhu wa Ta`tsîruhu, hlm. 137.
22 Menukil dari Abdul Ar-Razik Harmas, hlmn 146.
23 Madzâhib At-Tafsîr Al-Islami, hlm. 171.
24 Blacher, Al-Qur`an Nuzûluhu Wa Tadwînuhu Wa Ta`tsiruhu, hlm. 61.
25 Ibid, hlm. 56.
26 Ibid, hlm. 64.
27 Ibid, hlm. 74.
28 Ibid, hlm. 76.
Kajian perbandingan agama-agama dalam koridor proyek pembacaan baru adalah ingin membebaskan akar-akar mitologis kisah, yaitu dengan mengembalikannya kepada asal yang menyatakannya setelah menghabisi keyakinan-keyakinan yang saling bertentangan yang disematkan kepadanya atas nama agama.29 Mengapa demikian? Karena metode yang dipakai dalam pembacaan ini melihat kitab-kitab langit secara keseluruhan dalam satu perspektif yang memberikannya satu derajat nilai, maka ia dengan pasti akan menemukan asal yang menyatukan dalam Taurat yang dianggap paling awal.
Hal itu, menurut Arkoun tidak harus dengan melihat pada kejadian-kejadian ketiga agama dengan standar yang membedakannya di antara yang lain atau mengangkat yang lain dan di waktu yang lain menuduh agama lain telah dirasuki tahrîf (perubahan). Yang seharusnya dilakukan oleh pemeluk agama- agama langit adalah menepikan klaim-klaim keistimewaan yang menjadikan setiap agama melihat yang lain bahwa ia tidak memiliki kebenaran sama sekali.30
Termasuk gambaran yang menjadi titik tolak pembacaan baru adalah mempermudah proses bahwa kandungan Al-Qur'an berasal dari kitab-kitab sebelumnya. Inilah tujuan yang menjadi salah satu target utama gerakan orientalis selama sejarahnya yang panjang. Bahwa merealisasikan tujuan itu adalah maksudnya menjadikan Al-Qur'an, pada titik akhir, tidak lain hanya gambaran Taurat yang sudah dirubah-rubah dan bahwa Rasulullah tidak lebih hanya melakukan pengembalian apa yang sudah pernah memasyarakat di tengah-tengah para agamawan Yahudi di jazirah Arab…!!
Kesimpulan
Setelah menjadi jelas hubungan saling melengkapi antara pembacaan baru dan kajian-kajian orientalis dapat dipertanyakan tentang hakikat hubungan antara pembacaan ini dengan hasil produk orientalis?
Meskipun tidak hanya sekali para penganjur pembacaan baru terhadap Al-Qur'an sering mengulang-ulang kritikannya terhadap orientalis akan tetapi kritikan itu tidak lebih hanya kamuflase saja karena diarahkan pada kondisi dasarnya yaitu pembutaan hasil produksi mereka khususnya kalau kita melihat dengan baik keberadaan penemuan-penemuan pembacaan baru itu mengajukan contoh paling ideal dari sikap-sikap dan ide-ide yang pernah diserukan oleh para orientalis yang berbeda-beda alirannya.
Dan tulisan seringkali mewakili apa yang menjadi rahasia pemiliknya yaitu kritikannya terhadap orientalis, keluar lah darinya sanjungan-sanjungan pada pemikiran kritis oerintalis, dan pada waktu yang paling memprihatinkan lebih sedikit dari pada sastra-sastra apologis yang ditulis oleh umat Islam hari ini dan lebih dari itu sampai pada taraf memintakan maaf untuk orientalis.
29 Qira`^at Al-Qur`ân, hlm. 25.
30 Ibid, hlm. 20.
Contohnya: apologi Hassan Hanfi bahwa "Mungkin sebab yang paling asasi adalah lingkungan Eropa yang menjadi tempat tumbuhnya. Hal itu karena lingkungan Eropa sendiri melewati keharusan hajat yang dibatasi oleh sumbernya dan perkembangan budayanya."31 Tidak penting apakah dia orang Jerman atau Jepang atau Swedia, yang penting adalah harus berpegang dengan pokok-pokok epistemologis apa dia seoraang sejarawan misalnya. Ini adalah standar satu-satunya, "Dan dari sisi inilah saya berutang budi secara pribadi kepada produk-produk orientalis lebih banyak pada hari ini ketimbang produk pemikiran Arab".32 Ketidaksadaran kita terhadap keistimewaan produk orientalis dan keharusan evaluasi produk pemikiran Arab, serta menjadikannya rujukan dan pegangan untuk maju dalam pengetahuan, hanya akan mendatangkan hasil negatif.33
Tidak ada lagi keraguan, setelah ketetapan-ketetapan ini bahwa para penganjur pembacan baru tak lain adalah "benalu" orientalis dan kajian-kajian yang mereka lakukan dalam rangka melihat kembali tafsir Al-Qur'an, dan juga tidak ada yang aneh jika kita menemukan nama-nama orientalis dalam catatan- catan kaki karya-karya tulis ini dipuja-puji. Dalam bukunya "At-Turats wa At- Tajdid" yang disitu Hanafi menyerang para orientalis, dia sendiri memuji Von Grounboum (1909-1972 M), Henry Corbin (1903-1978 M), dan Wilfred Cantwill Smith (1916-2000 M M). Bahkan kajian Hanafi tentang As- Suhrawardi (545-586 H) di sana ada sebuah kajian yang diambil dari Henry Corbin, sosok orientalis yang terpesona oleh Tasawwuf Ismailiy dan berbagai aliran Bathiniyah, dan setia mengedarkan tradisi ilmiahnya.
Terkait dengan Arkoun, maka keikutannya yang berpusat pada orientalis sangat kelihatan sekali. Hampir tidak pernah muncul satupun karangannya yang lepas dari sebuah penghormatan kepada tradisi penelitian dan produk pikiran orientalis. Dalam pembukaan yang dia tulis untuk kitabnya "Qirâ`ât Li Al-Qur`ân", Lectures au Coran, Arkoun mengajukan pembagian yang diajukan orientalis A.T. Welch tentang kajian-kajian Al-Qur'an, dalam pengantar kitabnya "Muhâwalât Fi Al-Fikr Al-Islami" memperlihatkan kepada pembaca semenjak awal sebuah catatan yang beragam dan merujuk kepada kajian Goldziher (1850-1921 M), Joseph Schatt (1902-1969 M) dan yang lain. Dalam kitab "Min Ajli Naqd Al-'Aql Al-Islami atau Tarîkhiyyah Al-Fikr al-Islami"
pembaca akan menemukan juga sejumlah catatan penting yang merujuk kepada kajian-kajian Henry Corbin. Adapun kitab "Al-Islâm Al-Ams Wa Al-Ghad"
adalah karya bersama orientalis Louis Gardett. Setelah selesai melihat-lihat karangan itu akan tampak nama-nama lain yang berhubungan dengan dunia orientalis seperti Mason, Louis Masignon (1883-1962 M), Montgomery Watt (109-2006 M), Cloude Kahin, Dominic Sordel, Richer dan Henry Laost.
31 At-Turats wa At-Tajdid, hlm.62.
32 Muqabalah M`a Arkoun, Majalah al-Wathan al-Arabi, edisi 385 hlm. 56.
33 Ibid.
Bahkan ide kajian kritik Al-Qur'an dan semua proyek ragam baca Al- Qur'an yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam, apapun madzhabnya, tidak lain itu hanya sebuah ajakan yang pernah digagas oleh G. Bergstresser dan R. Blacheir, dan A. Jeffry, sebelum Arkoun memungut dan melontarkannya beberapa tahun silam. Kritikan para pengajak pembacaan baru kepada orientalis tidak lain adalah kritik yang lebih banyak bertujuan pada sikap solidaritas ketimbang menampakkan reduksi-reduksi ideologis. Orang pun menemukan ide-ide yang sama dan diulang-ulang tanpa bosan meskipun hal itu berhubungan dengan Al-Qur'an, Hadits atau problem-problem kemasya- rakatan yang berkaitan dengan keduanya.