LAPORAN PRAKTIKUM
UNIT OPERASI TEKNIK KIMIA
Materi :
Drying
Kelompok :
1 / Senin
Nama Anggota : Gisela Fortunata Putri Nama Anggota : Indana Zulfa D
Nama Anggota : Muhammad Aldi Fahrozi
LABORATORIUM UNIT OPERASI TEKNIK KIMIA TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
ii HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM
LABORATORIUM UNIT OPERASI TEKNIK KIMIA UNIVERSITAS DIPONEGORO
Materi : Drying Kelompok : 1 / Senin
Anggota : 1. Gisela Fortunata Putri (NIM. 21030122130093) 2. Indana Zulfa D (NIM. 21030122140163) 3. Muhammad Aldi Fahrozi (NIM. 21030122140137)
Semarang, 2025
Mengesahkan, Dosen Pengampu
Prof. Dr. Ing. Ir. Suherman, S.T., M.T.
NIP. 197608042000121002
iii RINGKASAN
Pengeringan merupakan suatu proses penguapan cairan pada bahan baku basah dengan pemberian panas. Pada percobaan ini dipilih metode pengeringan untuk proses pengambilan air dalam bahan padat. Tujuan percobaan ini adalah mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap moisture content pada jagung, pengaruh variabel bebas terhadap laju pengeringan (drying rate) pada jagung, hubungan antara waktu pengeringan terhadap moisture content, hubungan antara moisture content terhadap drying rate, dan mengetahui cara membaca kurva sorption isotherm. Pengeringan terjadi melalui penguapan cairan dengan memberikan panas pada bahan baku basah. Periode pengeringan tidak dipengaruhi oleh jenis material yang sedang dikeringkan, karena laju perpindahan panas, internal dan massa menentukan laju alir menjadi terekspose ke permukaan penguapan. Kurva sorption isotherm menyatakan hubungan antara kadar air (basis kering) bahan dengan kelembaban relatif atau aktifitas air pada suhu tertentu. Prinsip kerja rotary dryer adalah menggunakan panas yang dialirkan secara langsung dengan bahan yang dikeringkan melalui drum yang berputar dengan sumber panas yang berasal dari api gas LPG.
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah jagung 5 kg dan air 1.500 ml. Alat yang digunakan yaitu rotary dryer, oven, timbangan, thermometer, cawan porselen, stopwatch, dan ember. Prosedur percobaan pengeringan pada rotary dryer perlu menyiapkan jagung dengan menimbang jagung lalu menambahkan 1.500 ml air dan merendam selama 15 menit, menyalakan mesin rotary dryer, menghidupkan alat dengan mengontakkan switch motor blower, motor dryer, dan heater secara urut, mengatur variabel rotary dryer, memasukkan jagung basah ke dalam alat, menimbang jagung setiap interval 15 menit selama 45 menit, kemudian analisa hasil percobaan. Analisa kadar air dilakukan dengan menimbang 25gram jagung basah sebelum proses pengeringan, memasukkan jagung ke cawan porselen dan memasukkan ke dalam oven dengan suhu 110°C sampai kering dan ditimbang, menghitung selisih berat awal dan akhir jagung, membuat tabel waktu, moisture rata-rata dalam kecepatan pengeringan, dan menggambar grafik hubungan antara drying rate dengan moisture content.
Hubungan antara suhu dengan moisture content adalah berbanding terbalik karena suhu yang lebih tinggi dapat meningkatkan laju penguapan air sehingga kadar air dalam sampel berkurang. Hubungan suhu pengeringan dengan laju pengeringan adalah berbanding lurus karena perpindahan panas yang lebih besar ke sampel sehingga mempercepat proses pengeringan. Hubungan waktu pengeringan dan moisture content adalah berbanding terbalik karena penguapan akan lebih cepat terjadi. Hubungan laju alir pengeringan dan kadar air yang teruapkan adalah berbanding lurus karena peningkatan tekanan uap cair dan difusi panas udara. Selain itu, semakin lembab udara di sekitar sampel maka kadar air dalam sampel dapat meningkat sehingga kadar air yang teruapkan terkadang meningkat dan menurun. Berdasarkan hasil ploting pada kurva sorption isotherm, nilai moisture content pada sampel jagung dengan relative humidity 24%; 15%;
dan 9,5% pada suhu 50°C; 60℃; dan 70℃ secara berturut-turut adalah sebesar 0,08; 0,05; dan 0,03 berat kering. Sebagai saran, praktikan dapat melakukan percobaan terhadap perbedaan kecepatan putar dari rotary dryer untuk mengetahui pengaruh kecepatan putar terhadap moisture content, melakukan percobaan dengan variabel jenis bahan untuk mengetahui pengaruh suhu atau laju air udara terhadap drying rate dan moisture content pada bahan yang berbeda, dan ditambahkan penjelasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengeringan agar semakin mudah dimengerti.
iv PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunianya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan laporan praktikum materi drying. Laporan ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini terima kasih disampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Moh. Djaeni, S.T., M.Eng. selaku Penanggung Jawab Laboratorium Operasi Teknik Kimia Universitas Diponegoro.
2. Prof. Dr. Ing. Ir. Suherman, S.T., M.T. selaku Dosen Pengampu materi Drying
3. Marissa Widiyanti, S.T., M.T. selaku Laboran Laboratorium Operasi Teknik Kimia Universitas Diponegoro.
4. Yasmine Eka Aprillia selaku koordinator asisten Laboratorium Operasi Teknik Kimia Universitas Diponegoro.
5. Nabilla Salma Listyawijayanti dan Cesaraga Willie Mataliano selaku asisten pengampu materi Drying.
6. Asisten Laboratorium Operasi Teknik Kimia Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
7. Teman-teman mahasiswa Teknik Kimia Universitas Diponegoro angkatan 2022 yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian laporan ini telah kami susun, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat dan menambah ilmu bagi penyusun maupun pembaca. Dalam penyusunan laporan ini pasti masih banyak kekurangan dan kesalahan yang harus diperbaiki.
Oleh sebab itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semarang, April 2025
Tim Penulis
v DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
RINGKASAN ... iii
PRAKATA... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 1
1.3 Tujuan Praktikum ... 1
1.4 Manfaat Praktikum ... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Pengertian ... 3
2.2 Laju Pengeringan... 4
2.3 Sorption Isoterm ... 6
2.4 Rotary Dryer ... 7
BAB III METODE PRAKTIKUM ... 8
3.1 Rancangan Percobaan ... 8
3.1.1 Pengeringan pada Rotary Dryer ... 8
3.1.2 Analisa Kadar Air ... 9
3.2 Bahan dan Alat ... 9
3.2.1 Bahan ... 9
3.2.2 Alat ... 9
3.3 Variabel... 9
3.4 Gambar Alat Utama ... 10
3.5 Prosedur Percobaan ... 11
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13
4.1 Pengaruh Suhu terhadap Moisture Content ... 13
4.2 Pengaruh Suhu terhadap Drying Rate ... 14
4.3 Hubungan Waktu terhadap Moisture Content ... 16
4.4 Hubungan Moisture Content dengan Drying Rate ... 17
4.5 Kurva Sorption Isotherm ... 19
vi
BAB V PENUTUP ... 24
5.1 Kesimpulan... 24
5.2 Saran ... 24
DAFTAR PUSTAKA... 25 LAMPIRAN
vii DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Format tabel hasil percobaan pengeringan pada rotary dryer ... 11 Tabel 3.2 Format tabel hasil percobaan analisa kadar air ... 11 Tabel 3.3 Format tabel hubungan drying time (hour) dengan total moisture
………….content (lb) ... 12 Tabel 3.4 Format tabel hubungan waktu, kandungan air rata-rata, dan drying
………….rate ... 12
viii DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kurva batch pada kondisi pengeringan konstan ... 4
Gambar 2.2 Kurva sorption isotherm... 7
Gambar 2.3 Rotary dryer ... 7
Gambar 4.1 Pengaruh suhu terhadap moisture content ... 13
Gambar 4.2 Pengaruh suhu terhadap drying rate... 14
Gambar 4.3 Grafik perbandingan waktu pengeringan dengan moisture content .. 16
Gambar 4.4 Grafik perbandingan moisture content dengan drying rate ... 17
Gambar 4.5 Psychometric chart ... 20
Gambar 4.6 Kurva sorption isotherm jagung pada suhu 50°C ... 21
Gambar 4.7 Kurva sorption isotherm jagung pada suhu 60°C ... 21
Gambar 4.8 Kurva sorption isotherm jagung pada suhu 70°C ... 22
ix DAFTAR LAMPIRAN
LAPORAN SEMENTARA LEMBAR PERHTIUNGAN REFERENSI
LEMBAR ASISTENSI
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengeringan merupakan suatu proses penguapan cairan pada bahan baku basah dengan pemberian panas. Pengeringan adalah operasi penting dalam kimia pertanian, bioteknologi, makanan, polimer, keramik, farmasi, pulp dan kertas, pengolahan mineral, dan industri pengolahan kayu.
Pengeringan berbagai bahan baku diperlukan untuk memudahkan dalam menangani padatan bebas-mengalir, pengawetan dan penyimpanan, penurunan biaya transportasi, mencapai mutu yang diinginkan produk, dan lain-lain. Dalam banyak proses, pengeringan yang tidak benar dapat menyebabkan kerusakan permanen pada kalimat kualitas produk dan karenanya produk tidak dapat dijual.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, telah dipilih metode pengeringan untuk proses pengambilan air dalam bahan padat. Pada percobaan ini akan diselidiki mengenai cara pengoperasian alat, waktu pengeringan, dan laju pengeringan.
1.3 Tujuan Praktikum
1. Mengetahui pengaruh suhu terhadap moisture content pada jagung.
2. Mengetahui pengaruh suhu terhadap laju pengeringan (drying rate) pada jagung.
3. Mengetahui hubungan antara waktu pengeringan terhadap moisture content.
4. Mengetahui hubungan antara moisture content terhadap drying rate.
5. Mengetahui cara membaca kurva sorption isotherm.
1.4 Manfaat Praktikum
1. Mahasiswa mampu mengetahui pengaruh suhu terhadap moisture content pada jagung.
2. Mahasiswa mampu mengetahui pengaruh suhu terhadap laju pengeringan (drying rate) pada jagung.
3. Mahasiswa mampu mengetahui hubungan antara waktu pengeringan terhadap moisture content.
2 4. Mahasiswa mampu mengetahui hubungan antara moisture content
terhadap drying rate.
5. Mahasiswa mampu mengetahui cara membaca kurva sorption isotherm.
3 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Pengeringan adalah proses pengeluaran air atau pemisahan air dalam jumlah yang relatif kecil dari bahan dengan menggunakan energi panas. Hasil dari proses pengeringan adalah bahan kering yang mempunyai kadar air setara dengan kadar air keseimbangan udara normal atau setara dengan nilai aktivitas air yang aman dari kerusakan mikrobiologis, enzimatis, dan kimiawi (Anton, 2011 dalam Risdianti et al., 2016). Perubahan fisik yang mungkin terjadi meliputi penyusutan (shrinkage), penggembungan (puffing), kristalisasi, dan transisi kaca (glass transition). Dalam beberapa kasus, diinginkan atau tidak diinginkan reaksi kimia atau biokimia mungkin terjadi dan menyebabkan perubahan warna, tekstur, bau atau properti lain dari produk padatan. Dalam pembuatan katalis, misalnya kondisi pengeringan dapat menghasilkan perbedaan yang signifikan dalam aktivitas katalis dengan mengubah luas permukaan internal.
Pengeringan terjadi melalui penguapan cairan dengan memberikan panas pada bahan baku basah. Seperti disebutkan sebelumnya, panas mungkin disediakan oleh konveksi (pengeringan langsung), dengan konduksi (kontak atau dengan pengeringan tidak langsung), radiasi atau volumetris dengan menempatkan bahan basah dalam bidang frekuensi mikro atau radio elektromagnetik. Lebih dari 85% pengeringan industri adalah jenis konvektif dengan udara panas atau gas pembakaran langsung dengan media pengeringan. Lebih dari 99% dari aplikasi melibatkan penghilangan air.
Semua mode kecuali dielektrik (microwave dan frekuensi radio) memasok panas pada batas objek pengeringan sehingga panas harus berdifusi ke padat terutama oleh konduksi. Cairan harus berjalan ke batas materi sebelum diangkut pergi oleh gas pembawa (atau oleh aplikasi vakum untuk pengeringan non-konvektif).
Transportasi uap cair dalam padatan dapat terjadi oleh salah satu atau lebih dari mekanisme transfer massa berikut:
− Difusi cair, jika padatan basah pada suhu di bawah titik didih cairan
− Difusi uap, jika cairan menguap dalam bahan.
− Knudsen difusi, jika pengeringan dilakukan pada suhu dan tekanan yang sangat rendah, misalnya dalam pengeringan beku.
− Difusi permukaan (mungkin walaupun tidak terbukti).
4
− Perbedaan tekanan hidrostatik ketika laju penguapan internal melebihi laju transportasi uap melalui padatan ke lingkungan.
− Kombinasi dari mekanisme di atas.
2.2 Laju Pengeringan
Berdasarkan pada pengeringan padatan basah pada kondisi pengeringan yang tetap. Dalam kasus yang paling umum, setelah periode awal penyesuaian, kadar air basis kering X menurun secara linier dengan waktu, seiring dengan dimulainya penguapan. Hal ini dilanjutkan dengan penurunan non-linier pada X hingga waktu tertentu, setelah selang waktu yang sangat lama, padatan mencapai keseimbangan kadar air, X* dan proses pengeringan pun berhenti. Kadar air bebas dapat didefinisikan sebagai:
Xf = (X-X*) Penurunan laju pengeringan hingga nol pada Xf = 0
N = (Ms
A) . (dX
dT) atau (Ms
A) . (dX
dT) (2.2) Di bawah kondisi pengeringan konstan. Di sini, N (Kg.m-2.h-1) adalah laju penguapan air, A merupakan luas permukaan penguapan (mungkin berbeda dari luas perpindahan panas), dan Ms adalah massa padatan yang kering. Jika A tidak diketahui, maka laju pengeringan dapat dinyatakan dalam kg air yang diuapkan per jam.
Hubungan N vs X (atau Xf) disebut kurva laju pengeringan. Kurva ini diperoleh berdasarkan kondisi pengeringan yang konstan. Perlu diperhatikan dalam kondisi nyata, bahan yang kering pada umumnya dikontakkan pada kondisi pengeringan yang berubah (misalnya pada kecepatan relatif gas padat yang berbeda). Jadi perlu untuk mengembangkan metodologi untuk interpolasi atau eksploitasi data laju pengeringan yang umum yang menampilkan periode laju.
Gambar 2.1 Kurva batch pada kondisi pengeringan konstan
(da Silva et al., 2018) (2.1)
5 Gambar 2.1 menunjukkan kurva laju pengeringan eksternal, di mana N=Nc=konstan. Periode laju konstan diatur sepenuhnya oleh pemanasan eksternal dan perpindahan massa di sebuah film air pada permukaan penguapan. Periode pengeringan tidak dipengaruhi oleh jenis material yang sedang dikeringkan. Banyak makanan dan produk pertanian, bagaimanapun tidak menampilkan periode laju konstan sama sekali, karena laju perpindahan panas, internal dan massa menentukan laju alir menjadi terekspose ke permukaan penguapan.
Pada periode pengeringan laju konstan, laju pengeringan tidak tergantung pada kandungan kebasahan. Selama periode ini, zat cair ini sedemikian basah sehingga terdapat suatu film kontinyu pada keseluruhan permukaan, dan air itu berperilaku seakan-akan tidak ada zat padat di situ.
Jika zat padat itu tidak berpori, air yang keluar dalam periode ini terutama adalah air permukaan yang terdapat pada permukaan zat. Dalam zat padat berpori kebanyakan air yang dikeluarkan pada periode laju konstan berasal dari bagian dalam (interior) zat padat. Penguapan dari bahan berpori berlangsung menurut mekanisme yang sama seperti penguapan dari thermometer cembul basah pada dasarnya adalah suatu pengeringan laju konstan. Dalam keadaan di mana tidak ada radiasi atau perpindahan kalor konduksi melalui kontak langsung dengan permukaan panas, suhu zat padat tersebut selama periode laju konstan adalah cembul basah udara.
Selama periode laju konstan laju pengeringan persatuan luas Rc dapat ditaksi dengan ketelitian yang memadai dari korelasi-korelasi yang dikembangkan untuk evaporasi dari permukaan zat cair bebas. Perhitungan bisa didasarkan atas perpindahan massa persamaan atau perpindahan kalor persamaan 2.4, sebagai berikut:
Mu= Mu × Ky(yi-y)× A (1-y)L m = hy(T − Ti)A
Xi dimana:
mu = luas penguapan A = luas permukaan
hy = koefisien perpindahan kalor Mu = bobot molekul uap
T = suhu gas
Ti = suhu antarmuka
(2.3) (2.4)
6 y = fraksi mol
yi = fraksi mol uap pada antarmuka Xi = kalor laten pada suhu
Bila udara itu mengalir sejajar dengan permukaan zat padat, koefisien perpindahan kalor dapat ditaksir dengan dimensional.
hy = 0,0128 G0,8 dimana:
h = koefisien perpindahan kalor G = kecepatan massa, lb/ft2.jam
Bila aliran itu tegak lurus terhadap permukaan, persamaan itu adalah hy = 0,37 G0,37
Laju perpindahan konstan Rc adalah:
Rc =Mv
A =hy(T − Ti) λ
Dalam kebanyakan situasi ini sebagaimana disinggung terdahulu, suhu Ti dapat diandaikan sama dengan udara cembul basah. Bila radiasi dari lingkungan panas serta konduksi dari permukaan padat yang berada dengan kontak dengan bahan itu tidak dapat diabaikan, maka suhu pada antarmuka itu akan lebih besar dari suhu cembul basah, yi akan bertambah besar, dan laju pengeringan sesuai dengan persamaan 2.3 akan meningkat pula mengikutinya. Metode untuk menafsir efek-efek ini sudah ada.
2.3 Sorption Isoterm
Kurva sorption isoterm menyatakan hubungan antara kadar air (basis kering) bahan dengan kelembaban relatif atau aktivitas air pada suhu tertentu.
Kurva sorption isoterm ditunjukkan dalam bentuk yang khas pada setiap bahan. Parameter yang menyatakan berapa banyak air yang ada dalam suatu padatan adalah kadar uap air (X). Kadar uap air ini bisa dinyatakan dalam dua kondisi, yang pertama adalah kadar uap air basis kering (Xbk), merupakan rasio antar berat air dibagi dengan berat padatan kering adalah:
Xbk = M air M padatan kering
Bila kadar uap air dinyatakan dalam basis bawah (Xbb) maka:
Xbb= M air
M air + M padatan kering Hubungan antara Xbk dan Xbb adalah:
Xbb = Xbb
1− Xbb atau Xbk = Xbk
1− Xbk
(2.5)
(2.6)
(2.7)
(2.8)
(2.9)
(2.10)
7 Gambar 2.2 Kurva sorption isotherm
(Andrade et al., 2011)
2.4 Rotary Dryer
Rotary dryer adalah salah satu jenis mesin pengering yang secara khusus digunakan untuk mengeringkan aneka bahan padatan biasanya berbentuk tepung atau granul/butiran. Bahan padatan dimasukkan dari ujung inlet dan dikeringkan sepanjang tabung/drum yang berputar. Adanya kemiringan tabung dan sirip-sirip di dalam tabung/drum menyebabkan bahan akan keluar menuju ujung outlet. Rotary dryer paling cocok untuk mengeringkan material yang tidak mudah pecah dan tahan terhadap panas serta membutuhkan waktu untuk pengeringan yang cepat (Susandi, 2018).
Prinsip kerja pengering rotary dryer adalah menggunakan panas yang dialirkan secara langsung dengan bahan yang akan dikeringkan melalui drum yang berputar. Sumber panas yang digunakan berasal dari api gas LPG yang bersentuhan dengan permukaan drum pengering. Suhu pemanasan dapat diatur secara manual dengan menyetel gas yang keluar dari tabung gas.
Sistem rotary digunakan agar pengeringan bersifat merata (Tumbel, 2016).
Gambar 2.3 Rotary dryer
8 BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Rancangan Percobaan
3.1.1 Pengeringan pada Rotary Dryer
Gambar 3.1 Rancangan praktikum drying pada rotary dryer Menyiapkan jagung yang akan dikeringkan,
timbang 5 kg, kemudian menambahkan 1.500 ml air ke jagung dan rendam selama 15 menit
Menyalakan mesin rotary dryer lalu membuka kotak control panel dan menyalakan saklar
Menghidupkan alat menggunakan switch motor blower, motor dryer, dan heater secara urut
Mengatur variabel rotary dryer sesuai dengan variabel yang telah ditentukan
Memasukkan jagung ke dalam alat rotary dryer melalui hopper
Menimbang jagung untuk memperkirakan jumlah air yang menguap setiap 15 menit selama
45 menit
Menganalisis dan mengambil kesimpulan dari hasil percobaan
9 3.1.2 Analisa Kadar Air
Gambar 3.2 Rancangan praktikum analisa kadar air
3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan
1. Jagung 5 kg 2. Air 1.500 ml 3.2.2 Alat
1. Rotary dryer 2. Oven
3. Timbangan 4. Termometer 5. Cawan porselen 6. Stopwatch 7. Ember
3.3 Variabel
a. Variabel terikat : Moisture content dan drying rate b. Variabel bebas : Suhu (50, 60, 70)C
c. Variabel kontrol : Biji jagung, suhu ruangan 27C, dan relative humidity
………D82%
Menimbang 25 gram jagung yang akan dianalisa sebelum proses pengeringan
Bahan dimasukkan ke dalam cawan porselen lalu cawan dimasukkan ke dalam oven dengan
suhu 110°C sampai kering lalu ditimbang
Hitung selisih berat bahan awal dan akhir serta didapat kadar air
Membuat tabel dan grafik hubungan antara drying rate
dengan moisture content
10 3.4 Gambar Alat Utama
Gambar 3.1 Rotary dryer Keterangan:
1. Hopper 2. Bukaan feed
3. Tempat penampungan feed 4. Dongkrak
5. Motor dengan reducer 6. Termometer
7. Cyclone 8. Outlet produk 9. Blower udara kering 10. Inlet udara kering 11. Derajat variabel support 12. Tabung LPG
13. Roller
14. Motor blower hisap 15. Riding ring
16. Pinion
17. Riding gear (gear penggerak) 18. Blower
19. Saklar untuk blower
20. Saklar untuk rotary shell drive
11 3.5 Prosedur Percobaan
Pengeringan pada Rotary dryer
1. Siapkan jagung yang akan dikeringkan, timbang sebanyak 5 kg, lalu tambahkan 1.500 ml air ke jagung, dan rendam selama 15 menit.
2. Nyalakan mesin rotary dryer dengan menyambungkan kabel ke stop kontak, lalu membuka kotak control panel dan nyalakan saklar.
3. Nyalakan alat dengan mengontakkan switch motor blower, motor dryer dan heater secara berurutan.
4. Atur suhu rotary dryer sesuai variabel suhu yaitu 50C, 60C, dan 70C.
5. Masukkan jagung basah yang akan dikeringkan ke dalam alat rotary dryer melalui hopper.
6. Operasi pengeringan dilakukan dengan menimbang jagung untuk memperkirakan jumlah air yang menguap setiap interval waktu 15 menit selama 45 menit.
7. Setelah selesai, hasil percobaan dianalisa dan diambil kesimpulan.
Tabel 3.1 Format tabel hasil percobaan pengeringan pada rotary dryer
Waktu Berat
Variabel 1 Variabel 2 Variabel 3
Analisa Kadar Air
1. Timbang 20 gram jagung yang akan dianalisa sebelum proses pengeringan.
2. Memasukkan jagung ke dalam cawan porselen, lalu cawan beserta jagung dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 110°C sampai kering lalu ditimbang.
3. Hitung selisih berat bahan awal dan akhir serta didapat kadar air.
Tabel 3.2 Format tabel hasil percobaan analisa kadar air
Waktu Berat
12 Tabel 3.3 Format tabel hubungan drying time (hour) dengan total
moisture content (lb)
No Drying time (hour) Total moisture content (lb)
4. Membuat tabel waktu, moisture rata-rata dalam kecepatan pengeringan.
Tabel 3.4 Format tabel hubungan waktu, kandungan air rata-rata, dan drying rate
No Waktu Kandungan air rata-
rata (lb/lb) Drying rate (lb/hour.ft3)
5. Dari hasil pengolahan data diatas, kemudian digambarkan grafik hubungan antara drying rate dengan moisture content.
13 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh Suhu terhadap Moisture Content
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dihasilkan data hubungan suhu terhadap moisture content. Variabel yang digunakan pada percobaan adalah suhu, yaitu 50℃ , 60℃, dan 70℃. Bahan yang digunakan adalah jagung dan data yang diperoleh disajikan pada Gambar 4.1 sebagai berikut.
Sumbu x menyatakan suhu dan sumbu y adalah moisture content.
Gambar 4.1 Pengaruh suhu terhadap moisture content
Berdasarkan Gambar 4.1 didapatkan grafik hubungan suhu dengan moisture content. Jenis suhu yang digunakan adalah (50, 60, dan 70)℃. Data yang didapatkan moisture content pada menit ke 0, 15, 30 dan 45 secara berturut-turut sebesar 16,28%; 11,67%; 7,81%; dan 7,22% sehingga didapatkan rata-rata moisture content pada variabel suhu 50℃ sebesar 10,74%. Pada variabel suhu 60℃ didapatkan moisture content pada menit ke 0, 15, 30 dan 45 secara berturut-turut sebesar 16,28%; 8,70%; 6,91%; dan 3,63% sehingga didapatkan rata-rata moisture content pada variabel suhu 60℃ sebesar 8,88%. Pada variabel suhu 70℃ didapatkan moisture content pada menit ke 0, 15, 30 dan 45 secara berturut-turut sebesar 16,28%; 8,53%;
5,67%; dan 2,39% sehingga didapatkan rata-rata moisture content pada variabel suhu 70℃ sebesar 8,22%. Hal ini menunjukkan bahwa moisture content tertinggi secara berturut-turut pada suhu 50℃, 60℃, dan 70℃.
Menurut Porsiana et al. (2020), moisture content merupakan jumlah air yang terdapat dalam suatu bahan per satuan padatan. Jika nilainya tinggi, menandakan bahwa masih banyak air yang tersisa dalam bahan setelah proses
0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00
60°C
Moisture Content (%)
Suhu
50°C 60°C 70°C
50°C 70°C
14 pengeringan. Kadar air sendiri mengacu pada kehilangan berat bahan akibat proses pengeringan yang dilakukan dengan metode tertentu. Pengukuran kadar air dirancang agar oksidasi, dekomposisi, dan hilangnya zat yang mudah menguap dapat diminimalkan. Peningkatan suhu mempercepat proses penguapan air, sehingga kadar air dan moisture content mengalami penurunan (Li et al., 2018).
Berdasarkan teori yang telah dijelaskan, hasil percobaan menunjukkan kesesuaian dengan teori tersebut. Semakin tinggi suhu, kadar air dalam sampel cenderung menurun. Urutan kadar air dari yang tertinggi hingga terendah terdapat pada suhu 50℃, 60℃, dan 70℃. Hal ini terjadi karena suhu yang lebih tinggi meningkatkan laju penguapan air sehingga kadar air dalam sampel berkurang.
4.2 Pengaruh Suhu terhadap Drying Rate
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dihasilkan data hubungan suhu terhadap drying rate. Variabel yang digunakan pada percobaan adalah suhu yaitu (50, 60, dan 70)℃. Bahan yang digunakan yaitu jagung dan data yang diperoleh disajikan pada Gambar 4.2 dengan sumbu x menyatakan suhu dan sumbu y adalah drying rate.
Gambar 4.2 Pengaruh suhu terhadap drying rate
Berdasarkan Gambar 4.2 didapatkan grafik hubungan suhu dengan drying rate. Suhu yang digunakan adalah (50, 60, dan 70)℃. Pada variabel suhu 50℃ didapatkan drying rate pada menit ke 0, 15, 30 dan 45 secara berturut-turut sebesar 0 gram/cm2.menit; 0,0132 gram/cm2.menit; 0,0110 gram/cm2.menit; dan 0,0017 gram/cm2.menit sehingga didapatkan rata-rata drying rate pada variabel suhu 50℃ sebesar 0,00065 gram/cm2.menit. Pada
0 0,001 0,002 0,003 0,004 0,005 0,006 0,007 0,008 0,009 0,01
60°C Drying Rate (gram/cm2.menit)
Suhu
50°C 60°C 70°C
50°C 70°C
15 variabel suhu 60℃ didapatkan drying rate pada menit ke 0, 15, 30 dan 45 secara berturut-turut sebesar 0 gram/cm2.menit; 0,0213 gram/cm2.menit;
0,0050 gram/cm2.menit; dan 0,0092 gram/cm2.menit sehingga didapatkan rata-rata drying rate pada variabel suhu 60℃ sebesar 0,00089 gram/cm2.menit. Pada variabel suhu 70℃ didapatkan drying rate pada menit ke 0, 15, 30 dan 45 secara berturut-turut sebesar 0 gram/cm2.menit; 0,0008 gram/cm2.menit; 0,0208 gram/cm2.menit; dan 0,0077 gram/cm2.menit sehingga didapatkan rata-rata drying rate pada variabel suhu 70℃ sebesar 0,00088 gram/cm2.menit. Hal ini menunjukkan bahwa drying rate pada suhu 60℃ memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan drying rate pada suhu 50℃ dan 70℃.
Laju pengeringan cenderung meningkat seiring dengan kenaikan suhu pengeringan. Hal ini disebabkan oleh perpindahan panas yang lebih besar ke sampel sehingga mempercepat proses pengeringan. Peningkatan suhu juga mempercepat difusi uap air dari bagian dalam menuju permukaan bahan, yang mengakibatkan kandungan air dalam bahan lebih cepat berkurang (Stephenus et al., 2023). Difusi uap air (vapor diffusion) terjadi ketika uap air yang terbentuk di dalam bahan bergerak menuju permukaan bahan untuk dilepaskan ke lingkungan. Proses ini berlangsung apabila air dalam bahan telah menguap, namun suhu bahan belum mencapai titik didihnya. Dengan kata lain, penguapan terjadi di dalam bahan, bukan di permukaannya, kemudian uap air yang terbentuk akan bergerak perlahan melalui pori-pori atau jaringan bahan akibat perbedaan konsentrasi uap air (Biksono, 2022).
Oleh karena itu, semakin tinggi suhu, maka semakin cepat laju pengeringan berlangsung karena mempercepat proses perpindahan panas dan difusi uap air ke permukaan (Stephenus et al., 2023).
Berdasarkan percobaan, laju pengeringan meningkat dari suhu 50℃ ke 60℃, tetapi sedikit menurun pada suhu 70℃. Hasil percobaan tidak sepenuhnya sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu, semakin besar laju pengeringan. Tai et al. (2024) menyatakan bahwa ketidaksesuaian ini dapat disebabkan oleh perubahan fisik dan kimia dalam bahan akibat suhu tinggi, seperti denaturasi protein dan perubahan struktur seluler, yang menghambat pelepasan air sehingga menurunkan nilai drying rate.
16 4.3 Hubungan Waktu terhadap Moisture Content
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, diperoleh data hasil praktikum berupa berat sebelum dan sesudah pengeringan. Adapun data tersebut telah diolah dan diperoleh hubungan antara waktu pengeringan terhadap moisture content. Percobaan dilakukan menggunakan bahan jagung dengan variabel suhu 50°C, 60°C, dan 70°C. Hubungan waktu pengeringan dengan moisture content yang diperoleh ditunjukkan dalam bentuk grafik pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3 Grafik perbandingan waktu pengeringan dengan moisture content
Berdasarkan Gambar 4.3, dapat diketahui perbandingan waktu pengeringan dengan moisture content. Pada variabel suhu 50°C, moisture content yang diperoleh pada menit ke- 0; 15; 30; dan 45 berturut-turut adalah 16,28%; 11,67%; 7,81%; dan 7,22%. Pada variabel suhu 60°C, moisture content yang diperoleh pada menit ke-0; 15; 30; dan 45 berturut-turut adalah 16,28%; 8,70%; 6,91%; dan 3,63%. Pada variabel suhu 70°C, moisture content yang diperoleh pada menit ke-0; 15; 30; dan 45 berturut-turut adalah 16,28%; 8,53%; 5,67%; dan 2,39%. Dari data-data tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin lama waktu pengeringan menyebabkan penurunan moisture content yang diperoleh.
Menurut Osama et al. (2022), semakin lama waktu pengeringan, semakin banyak air yang diuapkan dari bahan sehingga moisture content terus menurun. Hal ini juga dijelaskan dalam penelitian Huang et al. (2024), yang menyebutkan bahwa waktu pengeringan merupakan faktor penting dalam proses ini. Pada tahap awal, air di permukaan bahan lebih mudah menguap sehingga kadar air menurun dengan cepat. Namun, seiring waktu, sisa air
0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00
0 10 20 30 40 50
Moisture Content (%)
Waktu (menit)
50°C 60°C 70°C
17 yang berada lebih dalam dalam struktur bahan harus berdifusi ke permukaan sebelum dapat menguap, menyebabkan laju penurunan kadar air semakin melambat. Pada tahap akhir pengeringan, kadar air dapat mencapai titik keseimbangan, di mana faktor seperti kelembapan udara, suhu, dan laju difusi tidak lagi mendukung penguapan yang signifikan. Oleh karena itu, meskipun waktu pengeringan yang lebih lama tetap menurunkan kadar air, efeknya akan semakin kecil, dan pada titik tertentu, kadar air sulit berkurang lebih lanjut tanpa peningkatan suhu atau penurunan kelembapan udara secara drastis.
Berdasarkan teori tersebut, hasil percobaan menunjukkan kesesuaian dengan teori yang ada. Moisture content semakin berkurang seiring bertambahnya waktu pengeringan. Pada tahap awal, air di permukaan bahan lebih mudah menguap sehingga kadar air menurun dengan cepat. Namun, pada tahap selanjutnya, air yang tersisa berada lebih dalam dalam struktur bahan dan memerlukan waktu lebih lama untuk berdifusi ke permukaan sebelum akhirnya menguap.
4.4 Hubungan Moisture Content dengan Drying Rate
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, diperoleh data hasil praktikum berupa berat sebelum dan sesudah pengeringan. Adapun data tersebut telah diolah dan diperoleh hubungan antara moisture content terhadap drying rate. Percobaan dilakukan menggunakan bahan jagung dengan variabel suhu 50°C, 60°C, dan 70°C. Hubungan moisture content dengan drying rate yang diperoleh ditunjukkan dalam bentuk grafik pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Grafik perbandingan moisture content dengan drying rate 0,0000
0,0050 0,0100 0,0150 0,0200 0,0250
0 5 10 15 20
Drying Rate (gra,/cm2 .menit)
Moisture Content (%)
50°C 60°C 70°C
18 Berdasarkan Gambar 4.4 diperoleh grafik hubungan antara moisture content (%) dengan drying rate (gram/cm2 menit). Pada suhu 50℃ di waktu 0 menit didapatkan moisture content 16,28% dan drying rate 0 gram/cm2.menit, di waktu 15 menit didapatkan moisture content 11,67% dan drying rate 0,0132 gram/cm2.menit; di waktu 30 menit didapatkan moisture content 7,81 dan drying rate 0,0110 gram/cm2.menit; dan di waktu 45 menit didapatkan moisture content 7,22 dan drying rate 0,0017 gram/cm2.menit.
Pada suhu 60℃ di waktu 0 menit didapatkan moisture content 16,28% dan drying rate 0 gram/cm2.menit, di waktu 15 menit didapatkan moisture content 8,70% dan drying rate 0,0213 gram/cm2.menit; di waktu 30 menit didapatkan moisture content 6,91% dan drying rate 0,0050 gram/cm2.menit; di waktu 45 menit didapatkan moisture content 3,63% dan drying rate 0,0092 gram/cm2.menit. Pada suhu 70℃ di waktu 0 menit didapatkan moisture content 16,28% dan drying rate 0 gram/cm2.menit, di waktu 15 menit didapatkan moisture content 8,53% dan drying rate 0,0208 gram/cm2.menit;
di waktu 30 menit didapatkan moisture content 5,67% dan drying rate 0,0077 gram/cm2.menit; dan di waktu 45 menit didapatkan moisture content 2,39%
dan drying rate 0,0088 gram/cm2.menit. Fenomena ini menunjukkan bahwa drying rate mengalami kenaikan awal yang signifikan pada tahap awal pengeringan, kemudian mengalami penurunan saat moisture content semakin rendah. Namun, pada suhu 60℃, drying rate mengalami sedikit peningkatan kembali pada moisture content 3,63%, dan pada suhu 70℃ terjadi peningkatan pada moisture content 2,39% sehingga menunjukkan pola yang fluktuatif.
Menurut Shalini et al. (2017) laju pengeringan mewakili laju perubahan moisture content selama interval waktu tertentu. Dengan meningkatnya laju pengeringan, akan terjadi penurunan setiap kenaikan suhu. Hal ini terjadi dikarenakan energi panas yang terdapat pada udara pengering memiliki kemampuan untuk menguapkan molekul-molekul air yang ada di permukaan sehingga meningkatkan tekanan uap air pada bahan akibat berkurangnya kelembaban udara disekitar bahan. Adanya peningkatan tekanan uap menyebabkan uap air dari dalam bahan mengalir ke udara sehingga laju penguapan bahan pun meningkat. Selain itu, peningkatan kecepatan udara pengeringan akan meningkatkan difusi panas dari udara ke dalam butiran umpan sehingga meningkatkan jumlah air yang dapat menguap (Sonjaya et al., 2022).
19 Berdasarkan teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa seiring dengan laju alir pengeringan yang meningkat, kadar air yang teruapkan dari dalam bahan akan semakin banyak akibat dari peningkatan tekanan uap cair dan difusi panas udara. Namun, adanya kondisi yang fluktuatif disebabkan oleh nilai relative humidity pada saat percobaan berlangsung sangatlah tinggi.
Kadar air dalam sampel meningkat apabila udara disekitarnya lembab.
Semakin lembab udara disekitar sampel maka semakin lembab sampel tersebut sehingga kadar air yang teruapkan terkadang meningkat dan menurun (Kusdiandi et al., 2023).
4.5 Kurva Sorption Isotherm
Berdasarkan percobaan, diperoleh data kurva psychometric chart dan kurva sorption isotherm dari variabel suhu (50, 60, dan 70)C. Kurva tersebut dibuat berdasarkan kondisi suhu ruangan saat praktikum, yaitu 27℃ dengan relative humidity sebesar 82%.
20 Gambar 4.5 Psychometric chart
Psychrometric chart merupakan grafik yang memuat sifat termodinamika dan sifat fisik gas seperti kelembaban relatif, entalpi spesifik, kadar air, dew point, dll. Psychrometric chart dapat digunakan sebagai acuan bagaimana proses pengeringan berlangsung. Kondisi udara dalam proses pengeringan dapat dilihat melalui psychoemetric chart. Proses pengeringan diawali dengan meningkatnya temperatur dari udara akibat udara pemanas dalam ruang pengeringan. Proses naiknya temperatur udara dapat dilihat dengan bergesernya titik awal udara ke arah kanan yang ditandai dengan naiknya temperatur dry bulb. Proses berikutnya adalah perpindahan massa dengan diuapkannya kandungan air (moisture content) dalam produk pengering. Proses penguapan ditandai dengan naiknya titik kondisi udara
RH saat drying (50C) 24%
RH saat drying (60C) 15%
RH saat drying (70C) 9,5%
21 pemanas pada psychrometric chart ke arah kiri atas. Hal ini merupakan akibat dari naiknya kandungan air dalam udara setelah terjadi proses penguapan air dari produk ke udara (Erdélyi & Rajkó, 2016). Untuk mendapatkan nilai relative humidity dapat dilakukan dengan cara plotting suhu ruangan sebesar 27°C pada sumbu X, lalu tarik secara tegak lurus hingga menyentuh kurva relative humidity 82%. Setelah itu, titik potong yang terbentuk ditarik lurus ke arah kanan (sumbu Y). Lalu plotting suhu pengeringan yaitu (50, 60, dan 70)°C pada sumbu X dan tarik tegak lurus ke atas hingga menyentuh garis horizontal yang terbentuk sebelumnya. Titik potong yang terbentuk dapat digunakan untuk menentukan relative humidity pada saat pengeringan, yaitu (24, 15, dan 9,5) %.
Gambar 4.6 Kurva sorption isotherm jagung pada suhu 50°C (Talla, 2014)
Gambar 4.7 Kurva sorption isotherm jagung pada suhu 60°C (Talla, 2014)
22
Gambar 4.8 Kurva sorption isotherm jagung pada suhu 70°C (Quirijins et al., 2005)
Untuk menggunakan kurva sorption isotherm, diperlukan data water activity yang didapat dari relative humidity yang dihasilkan dari ploting pada psychrometric chart. Untuk menentukan moisture content pada jagung suhu 50℃, digunakan relative humidity dari psychometric chart yaitu sebesar 24%.
Nilai relative humidity ini lalu di-ploting pada sumbu X lalu ditarik garis tegak lurus hingga menyentuh kurva suhu pengeringan yang digunakan yaitu 30℃. Setelahnya, titik potong yang terbentuk ditarik garis lurus ke kiri hingga menyentuh sumbu Y sehingga didapatkan moisture content untuk jagung adalah sebesar 0,08% d.b. Kemudian dilakukan perlakuan yang sama terhadap variabel suhu 60℃ dan 70℃ sehingga didapatkan moisture content untuk jagung masing-masing sebesar 0,05% d.b. dan 0,03% d.b.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Luampon &
Charmongkolpradit (2019), moisture content dan relative humidity pada suhu pengeringan memiliki hubungan sebagai berikut, moisture content meningkat saat terjadi peningkatan relative humidity sedangkan ketika suhu dinaikkan, maka nilai moisture content akan menurun. Hal ini disebabkan seiring dengan meningkatnya temperatur udara dan menurunnya kelembaban, molekul air teraktivasi sehingga molekul menjadi kurang stabil dan terpecah.
Terpecahnya molekul air ini menyebabkan kandungan air berkurang. Maka, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara relative humidity dan moisture content, yaitu semakin besar nilai relative humidity, maka nilai moisture
23 content juga akan semakin meningkat. Selain itu jika nilai relative humidity- nya sama namun terdapat peningkatan suhu pengeringan dapat menyebabkan penurunan nilai moisture content.
24 BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Hubungan antara suhu dengan moisture content adalah berbanding terbalik. Hal ini disebabkan karena suhu yang lebih tinggi dapat meningkatkan laju penguapan air sehingga kadar air dalam sampel berkurang.
2. Semakin besar suhu pengeringan maka laju pengeringan juga semakin besar. Hal ini disebabkan oleh perpindahan panas yang lebih besar ke sampel sehingga mempercepat proses pengeringan. Terdapat ketidaksesuaian dengan teori yang disebabkan oleh perubahan fisik dan kimia dalam bahan akibat suhu tinggi.
3. Semakin lama waktu pengeringan maka moisture content akan menurun karena penguapan akan lebih cepat terjadi. Selain itu, semakin lama bahan kontak dengan panas maka akan menurunkan kandungan air pada bahan.
4. Hubungan laju alir pengeringan dan kadar air yang teruapkan adalah berbanding lurus karena peningkatan tekanan uap cair dan difusi panas udara. Selain itu, semakin lembab udara di sekitar sampel maka kadar air dalam sampel dapat meningkat sehingga kadar air yang teruapkan terkadang meningkat dan menurun.
5. Berdasarkan hasil ploting pada kurva sorption isotherm, nilai moisture content pada sampel jagung dengan relative humidity 24%; 15%; dan 9,5% pada suhu 50°C; 60℃; dan 70℃ secara berturut-turut adalah sebesar 0,08; 0,05; dan 0,03 berat kering.
5.2 Saran
1. Melakukan percobaan terhadap perbedaan kecepatan putar dari rotary dryer untuk mengetahui pengaruh kecepatan putar terhadap moisture content.
2. Melakukan percobaan dengan variabel jenis bahan untuk mengetahui pengaruh suhu atau laju air udara terhadap drying rate dan moisture content pada bahan yang berbeda.
3. Pada proposal sebaiknya ditambahkan penjelasan mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi laju pengeringan agar semakin mudah dimengerti.
25 DAFTAR PUSTAKA
Andrade, R. D. P., Roberto, L. M., & Perez, C. E. C. (2011). Models of Soption Isotherms for Food. Uses and Limitation. Vitae, 18(3), 325-334.
Biksono, D. (2022). Teknik Pengeringan Dasar. Deepublish.
da Silva, F. B., Fakhouri, F. M., Galante, R. M., Antunes, C. A., Santos, M. D., Caon, T., & Martelli, S. M. (2018). Drying Kinectics of French Fries Covered with Soy Protein/Starch Edible Coatings: Advances in Research and Applications, 55-96.
Erdélyi, P. & Rajkó, R. (2016). Using interactive psychrometric charts to visualize and explore psychrometric processes. Journal of Chemical Education, 93(2), 391 393. DOI: 10.1021/acs.jchemed.5b00779
Huang, L., An, M., Xie, Y., Wang, Y., & Han, S. (2024). Time-varying moisture characteristics and C-S-H gel properties of concrete in dry and hot environments. Case Studies in Construction Materials, 21, 1-18. DOI:
10.1016/j.cscm.2024.e03812
Kusdiandi, D., & Purba, J. S. M. (2023). Analisa kadar air dan kadar kotoran inti di pabrik kelapa sawit aek nabara selatan pt. perkebunan nusantara III. Jurnal Teknologi, Informasi dan Industri, 4(1).
Li, Y., Zhao, H., Song, Q., Wang, X., & Shu, X. (2018). Influence of critical moisture content in lignite dried by two methods on its physicochemical properties during oxidation at low temperature. Fuel, 211, 27-37. DOI:
10.1016/j.fuel.2017.09.034
Luampon, R., & Charmongkolpradit, S. (2019). Temperature and relative humidity effect on equilibrium moisture content of cassava pulp. Research in Agricultural Engineering, 65(1), 13–19. DOI: 10.17221/112/2017-RAE Osama, K., Younis, K., Qadri, O. S., Parveen, S., & Siddiqui, M. H. (2022).
Development of under-utilized kadam (neolamarkia cadamba) powder using foam mat drying. LWT, 154, 1-8. DOI: 10.1016/j.lwt.2021.112782
Porsiana, J., Lesilolo, M. K., & Riry, J. K. (2024). Pengujian kadar air biji kakao (Theobroma cacao l.) Dengan suhu tinggi dan rendah terhadap kualitas biji kakao. Jurnal pertanian kepulauan, 8(1), 7-12. DOI:
10.30598/jpk.2024.8.1.7
Quirijns, E. J., van Boxtel, A. J., van Loon, W. K., & van Straten, G. (2005). An improved experimental and regression methodology for sorption isotherms.
Journal of the Science of Food and Agriculture, 85(2), 175-185. DOI:
10.1002/jsfa.1773
26 Risdianti, D., Murad, & Putra, G. M. D. (2016). Kajian Pengeringan Jahe (Zingiber Officinale Rosc) Berdasarkan Perubahan Geometrik Dan Warna Menggunakan Metode Image Analysis. Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, 4(2), 275-284.
Shalini., Singh, J., Chandra Sardar Vallabhbhai Patel, S., Chauhan Sardar Vallabhbhai Patel, N., Yadav Sardar Vallabhbhai Patel, M. K., Kumar Yadav Assistant Professor, M., Chandra, S., Kumar, V., Chauhan, N., & Kumar Yadav, M. (2017). Effect of moisture content and drying rate on dried aonla shreds during ambient storage. International Journal of Chemical Studies, 5(4), 362–366. DOI: 10.22271/chemi
Sonjaya, A. N., Djamruddin, D., Nulhakim, L., & Rahmadani, A. (2022). Analisis laju pengeringan pada cetakan piring keramik kapasitas 2880. Jurnal Teknologi, 9(2), 52–62. DOI: 10.31479/jtek.v9i2.149
Stephenus, F. N., Benjamin, M. A. Z., Anuar, A., & Awang, M. A. (2023). Effect of temperatures on drying kinetics, extraction yield, phenolics, flavonoids, and antioxidant activity of Phaleria macrocarpa (scheff.) boerl.(mahkota dewa) fruits. Foods, 12(15), 2859.. DOI: 10.3390/foods12152859
Talla, A. (2014). Predicting sorption isotherms and net isosteric heats of sorption of maize grains at different temperatures. International Journal of Food Engineering, 10(3), 393-401. DOI: 10.1515/ijfe-2014-0047
Tumbal, N. (2016). Rekayasa Alat Pengering Multiguna Sistem Rotary. Jurnal Penelitian Teknologi Industri.
Van Tai, N., Van Hao, H., Han, T. T. N., Giau, T. N., Thuy, N. M., & Van Thanh, N.
(2024). Effect of foaming conditions and drying temperatures on total polyphenol content and drying rate of foam-mat dried banana powder:
Modeling and optimization study. Journal of Agriculture and Food Research, 18, 101352. DOI: 10.1016/j.jafr.2024.101352
LAPORAN SEMENTARA
LEMBAR PERHITUNGAN
Variabel Tetap : Jenis Bahan (jagung) Variabel Berubah : Suhu (50, 60, 70)oC
Variabel Terikat : Moisture content dan drying rate Kondisi Operasi : Suhu Oven : 110°C
: Suhu Ruangan : 27°C : Relative Humidity : 82%
1. Menentukan Kadar Air Total X0 = Wawal− Wakhir
Wawal x100%
X0 = 25 gr − 21,5 gr
25 gr x100%
X0 = 14%
2. Menentukan Moisture content Xn =Wn− Wbk
Wbk x 100%
Wbk =(Wn × 100) – (Xn × Wn) 100
a. Jagung pada suhu 50°C Wbk = 4,2884 gram Menit ke-0
X0 =W0− Wbk
Wbk x100%
X0 =4,9865 gr − 4,2884 gr
4,2884 gr x100%
X0 = 16,28 % Menit ke-15 X15 =W15− Wbk
Wbk x100%
X15 =4,7888 gr − 4,2884 gr
4,2884 gr x100%
X15 = 11,67 % t (menit) Xn (%)
0 16,28
15 11,67
b. Jagung pada suhu 60°C Wbk = 4,2074 gram Menit ke-0
X0 =W0− Wbk
Wbk x100%
X0 =4,8923 gr − 4,2074 gr
4,2074 gr x100%
X0 = 16,28 % Menit ke-15 X15 =W15− Wbk
Wbk x100%
X15 =4,5733 gr − 4,2074 gr
4,2074 gr x100%
X15 = 8,70 %
c. Jagung pada suhu 70°C Wbk = 4,0267 gram Menit ke-0
X0 =W0− Wbk
Wbk x100%
X0 =4,6822 gr − 4,0267 gr
4,0267 gr x100%
X0 = 16,28%
Menit ke-15 X15 =W15− Wbk
Wbk x100%
X15 =4,3701 gr − 4,0267 gr
4,0267 gr x100%
X15 = 8,53%
30 7,81
45 7,22
t (menit) Xn (%)
0 16,28
15 8,70
30 6,91
45 3,63
3. Menentukan Drying rate Nn= W(n−15)− Wn
∆t
a. Jagung pada suhu 50°C Menit ke-0
N0 = 0 Menit ke-15
N15=W(0−15)− W15 ∆t
N15= 4,9865 gr − 4,7888 gr 15 menit N15= 0,0132 gr
cm2. menit
b. Jagung pada suhu 60°C Menit ke-0
N0 = 0 Menit ke-15
N15=W(0−15)− W15 ∆t
N15= 4,8923 gr − 4,5733 gr 15 menit N15= 0,0213 gr
cm2. menit t (menit) Xn (%)
0 16,28
15 8,53
30 5,67
45 2,39
t (menit) N (gram/cm2.menit)
0 0,0000
15 0,0132
30 0,0110
45 0,0017
t (menit) N (gram/cm2.menit)
0 0,0000
15 0,0213
30 0,0050
c. Jagung pada suhu 70°C Menit ke-0
N0 = 0 Menit ke-15
N15=W(0−15)− W15 ∆t
N15= 4,6822 gr − 4,3701 gr 15 menit N15= 0,0208 gr
cm2. menit
4. Tabel Harga Moisture content dan Drying rate Beserta Grafik t vs X, t vs N, dan X vs N
a. Jagung pada suhu 50°C
Waktu (Menit) Moisture Content (X%) Drying Rate (N)
0 16,28 0,0000
15 11,67 0,0132
30 7,81 0,0110
45 7,22 0,0017
b. Jagung pada suhu 60°C
Waktu (Menit) Moisture Content (X%) Drying Rate (N)
0 16,28 0,0000
15 8,70 0,0213
30 6,91 0,0050
45 3,63 0,0092
c. Jagung pada suhu 70°C
Waktu (Menit) Moisture Content (X%) Drying Rate (N)
0 16,28 0,0000
45 0,0092
t (menit) N (gram/cm2.menit)
0 0,0000
15 0,0208
30 0,0077
45 0,0088
15 8,53 0,0208
30 5,67 0,0077
45 2,39 0,0088
d. Grafik
• t vs moisture content
• t vs drying rate
• Moisture content vs drying rate 0,00
2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00
0 10 20 30 40 50
Moisture Content (%)
Waktu (menit)
50°C 60°C 70°C
0,0000 0,0050 0,0100 0,0150 0,0200 0,0250
0 20 40 60
Drying Rate (gram/cm2 .menit)
Waktu (menit)
50°C 60°C 70°C
0,0000 0,0050 0,0100 0,0150 0,0200 0,0250
0 5 10 15 20
Drying Rate (g/cm2 .menit)
Moisture Content (%)
50°C 60°C 70°C
REFERENSI
LEMBAR ASISTENSI
DIPERIKSA
KETERANGAN TANDA
TANGAN
NO TANGGAL
1.
2.
3.
28/03/2025 11/04/2025 14/04/2025
P0 Asisten P1 Asisten ACC Asisten