PARADIGMA WAHDATUL ULUM: FONDASI PARADIGMA WAHDATUL ULUM
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Salah Satu Mata Kuliah Filsafat dan Sains Islam
Dosen:
Dr. Salminawati, M. A.
Oleh:
Sri Rahmayani Manalu, S. Pd.
Mahasiswa Prodi PAI Non Reguler Program Magister (S2) UIN SU Medan Kampus II UIN SU Medan: Jl. Williem Iskandar Pasar V Medan Estate
20371
E-mail: [email protected]
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah saw yang telah membawa ummat dari kegelapan menuju cahaya ilmu.
Makalah ini ditulis sebagi tuntutan dan kewajiban dari mata kuliah Filsafat dan Sains Pendidikan Islam, dengan harapan memberikan sedikit pemahaman kepada pembaca tentang “paradigma wahdatul ulum: fondasi paradigma wahdatul ulum.”.
Penulis menyadari masih banyak kesalahan dan juga kekurangan yang terdapat dalam makalah ini karena terbatasnya ilmu penulis. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari pembaca.
Kepada Ibu Dosen Dr. Salminawati saya ucapkan terimakasih yang tak terhingga.
Semoga tugas ini mampu mendorong penulis untuk memahami mengenai wahdatul ulum lebih baik lagi.
Tanjung Morawa, 10 Desember 2022 Penulis
Sri Rahmayani Manalu
BAB I PENDAHULUAN
Terma wahdatul ulum masih menjadi kajian yang aktual dan hangat dikalangan civitas akademik di Indonesia. Paradigma Wahdatul Ulum yang secara khusus dibangun oleh UIN Sumatera Utara menjadi ciri khas dan keistimewaan landasan dari Universitas lainnya. Berawal dari Integrasi ilmu, pada dasarnya ilmu itu bersifat integratif dihadirat Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Demikian pula dalam kapasitas para ilmuan muslim generasi pertama ilmu tersebut juga bersifat integratif. Namun pada masa selanjutnya ilmu pengetahuan mengalami disintegrasi atau dikotomi, sehingga mengalami ‘percekcokan dengan sumbernya’ akibat desakan sekularisasi dan wawasan sebagian para ilmuan muslim yang dikotomis dan materialistik. Disintegrasi itu diperparah oleh sikap peniruan dan replikasi umat Islam dalam pendidikan kebagian dunia yang jauh dari nilai-nilai tauhid. Juga karena penyelewengan visi umat dari visi Islam yang sebenarnya akibat ‘tahyul kontemporer’ dan penipuan yang menyelewengkan visi keilmuannya. (Sulaiman, 2007)
Dengan paradigma wahdatul ulum ontologi, epistemologi, dan aksiologinya dikembangkan dengan landasan nilai-nilai universal yang diajarkan islam. Sehingga ilmu pengetahuan yang dikembangkan diyakini sebagai ilmu pengetahuan islam adalah nilai-nilai universal islam. Pengembangan ilmu pengetahuan ini mendorong UIN Sumatera Utara membuka fakultas-fakultas ilmu keislaman, menetapkan mata kuliah agama pada fakultas-fakultas ilmu pengetahuan islam, dan ayatisasi ilmu pengetahuan islam. Dengan model ini semua proses pengembangan ilmu kehidupan dikampus, dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari dinuansai oleh nilai ajaran islam.
Perumusan paradigma yang hebat ini, yang bahkan sukses dijadikan landasan paradigma UIN Sumatera Utara ini memiliki banyak kajian dan hal baru yang layak dikaji dan pelajari. Apalagi hal ini merupakan hal baru bagi pendidikan islam, maka dari itu peneliti hendak menjelaskan latar belakang, fondasi, dan konsep paradigma
wahdatul ulum secara khusus didalam tulisan ini. Dengan harapan paradigma wahdatul ulum dapat menjadi fondasi dan corak pembelajaran agama islam di setiap tingkatan studi atau sebagai basis dalam pendidikan.
BAB II PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Lahirnya Paradigma Wahdatul ‘Ulum
Bahwa dalam perspektif agama hubungan agama dan sain modern sudah lama mengalami perubahan keretakkan didalamnya, pengetahuan agama dan sains modern ini diawali dengan muculnya teori heliosetris oleh Gaileo yang menggantikan paham agama kristen yang masih meyakini konsep geosetris. Kemudian dengan munculnya heliosentris tersebut, teori tersebut mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh agama setelah menafsirkan kembali kitab suci. Dengan adanya pertentangan agama dan sains modern yang pertama ini yang disusul dengan munculnya teori-teori sains lainnya sehingga merubah pemahaman agama, yang mengindikasikan bahwa teori sains telah telah memberikan jalan untuk membuka penafsiran baru terhadap kitab suci.
(fridiyanto, 2019)
Namun pada masa selanjutnya ilmu pengetahuan mengalami disentegrasi atau dikotomi sehingga mengalami percekcokan yang diakibatkan oleh desakan sekularisasi dan wawasan sebagian para ilmuan muslim yang dikotomis dan materiialistik.
Terjadinya disentegrasi itu semakin parah oleh sikap peniruan dan replikasi umat Islam dalam dunia pendidikan yang jauh dari nilai-nilai tauhid. Dan juga terjadi karena adanya penyelewengan visi dan misi keilmuan umat islam. (Harahap, 2019)
Lahirnya wahdatul ulum ini terjadi dalam beberapa problematika didalamnya yaitu problematika Saintisme. Saintisme ini dinilai sebagai bentuk pengebaian tuhan dalam seluruh penggalian ilmu sains oleh karena itu paradigma ilmu yang diharapkan harus menuju akan kesadaran adanya ketuhanan yang secara mendalam. Maksud dari kesadaran ketuhanan tersebut dapat menjadikan kesadaran yang hidup dalam diri setiap orang bahwa segala sesuatunya itu terjadi atas kuasa Allah Swt. Maka dari itu perlu ditanamkan sikap kasadaran keilmuan tersebut kepada setiap muslim melalui pelatihan.
Dalam pengembangannya konradiksi agama atau pengetahuan agama dengan sains mdern semakin kuat dan tajam karena ahli-ahli barat semakin mengedepankan dan
memapankan filsafat sains dengan berlandaskan filsafat dualism, rasionalisme, empirisme, positivisme, materialisme, pragmatisme dan sekularisme. Dengan adanya keragaman filsafat tersebut seakan bersekongkol meninggalkan bahwa mengabaikan dan menafikan tuhan dan sikap spiritualisme.
Dalam penafikan terhadap tuhan tersebut dapat tercermin dari tiga asumsi saintisme yaitu pertama mengenai hukum kausalitas sebagai sesuatu yang pasti.
Filsafat sains menyandarkan segala yang terjadi ada hokum kausalitas dimana segala sesuatu yang pasti ada penyebabnya. Saintisme mempercayai sepenuhnya tentang hukum alam, karena segala perubahan sesuatu mengikuti hukum alam tanpa adanya campur tangan dari tuhan. Kedua, tentang keabadian alam yang menjadi dasar untuk menyatakan bahwa sesuatu benda tidak berubah dalam waktu yang sangat lama.
Asumsi ini menjadi dasar argumentasi saintise untuk menyatakan bahwa teori sains hanya bisa dibangun dari alam yang tidak berubah. Ketiga tentang kesamaan sifat benda dimana pun mereka berada asumsi ini dijadikan sebagai dasar memastikan bahwa ada universalisme. (Fridiyanto, 2020)
2. Pengertian Wahdatul ‘Ulum
Kehidupan yang serba materialistik, perkembangan zaman dengan teknologi dan sains juga peradaban yang serba uang membuat manusia semakin jauh dari nilai- nilai ketuhanan. Kata Maurice Clavel, filosof Perancis, nilai ketuhanan telah lama tertindas. Keterpukauan manusia pada kehidupan bumi menjadi penyebabkan orang lalai merenungkan kehidupan yang abadi. Karena tipu daya syetan dan iblis yang difasilitasi oleh kenikmatan dunia sebagai kenderaan iblis untuk menghancurkan kehidupan manusia. Manusia telah lalai dan tertipu-daya dengan ilmu yang dimilikinya sehingga melampaui batas terhadap Tuhan yaitu Allah Azza Wa Jalla yang hakikat ilmu itu berasal dariNya. Langkah-langkah untuk bisa keluar dari belanggu syetan dan iblis dan terhindar dari segala tipudayanya hanyalah dengan berusaha menuntut ilmu yang berpedoman kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya. Sehingga manusia menyadari
bahwa semua ilmu itu berintegrasi dalam satu kesatuan sebagai wahdatul ulum yang berasal dari Allah. (Lubis, 2021)
Wahdatul ‘Ulum secara etimologi berasal dari lafazd wahdat yang berarti satu dan ‘ulum yang merupakan bentuk jamak dari kata ilmu yang berarti ilmu-ilmu.
Wahdatul Ulûm yang dimaksud adalah visi, paradigma dan konsepsi keilmuan yang berdasar pada pandangan bahwa ilmu pengetahuan yang banyak itu merupakan satu kesatuan, di mana satu sama lain saling berkaitan. Jadi, Wahdatul Ulum adalah suatu pandangan bahwa semua ilmu saling terkait satu sama lain. Pandangan ini terkait dengan iman/keyakinan, bahwa semua ilmu berasal dari Allah. Mustahil ilmu Allah yang banyak itu ada yang bertentangan antara yang satu dengan yang lain.
Sebagaimana yang dikatakan oleh imam al Ghazali ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan sesuatu itu sendiri, dimana pengetahuan yang dimiliki sesorang tentang objek pengetahuan itu sendiri secara benar. (Siregar, 2021). Wahdatul ‘ulum adalah visi, konsepsi, dan paradigma keilmuan yang walaupun dikembangkan sejumlah bidang ilmu dalam bentuk departemen atau fakultas, program studi, dan mata kuliah memiliki kaitan kesatuan sebagai ilmu yang diyakini merupakan pemberian Tuhan.
(Harahap, 2022). Wahdatul ‘ulum juga ilmu yang sesungguhnya berasal dari Allah SWT dimana manusia diberi kesempatan untuk mengharap cinta-Nya, dan ini memang dalam rangka ketakwaan kepada Allah SWT.
Sedangkan menurut Parluhutan bahwa wahdatul ‘ulum adalah keseluruhan pengetahuan yang sudah terkumpul dan tergabung dalam satu jaringan harmonis dalam satu kesatuan yang terkait dan saling melengkapi satu sama lain. Pengetahuan yang sudah menyatu dan terkumpul tersbeut tidak hannya antara sains dengan pengetahuan agama, tetapi juga meliputi dan mencakup segenap pengetahuan mulai dari pengetahuan spiritual, agama, etika, social budaya, sains, filsafat dan sampai pada pengetahuan terapan. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa wahdatul ‘ulum adalah ilmu yang sesungguhnya yang berasal dari Allah Swt dimana
manusia diberi kesempatan untuk mengharap cinta-Nya dan mendapatkan keridhaan Allah Swt. Yang merupakan bentuk ketakwaan kepada Allah Swt. (Sartika, 2022) 3. Fondasi Paradigma Wahdatul ‘Ulum
Integritas merupakan sikap seseorang dalam bertindak secara konsisten antara apa yang dikatakan dengan tingkah lakunya sesuai nilai-nilai yang dianut (nilai- nilai dapat berasal dari nilai kode etik di tempat dia bekerja, nilai masyarakat atau
lingkungan tempat dia tinggal.3 Integrasi dalam konteks wahdatul ‘ulum ada 5 bentuk, yaitu integrasi vertikal, horizontal, aktualitas, etik dan integrasi intrapersonal (diri sendiri) (Gea, 2006) kelima bentuk ini dijelaskan dibawah ini:
a. Integrasi vertikal: menghubungkan ilmu pengetahuan dengan ketuhanan. Tujuan hidup diri sendiri ialah beribadah kepada Allah SWT sehingga pandangan diri terhadap realita tentang dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia dan takdir menumbuhkan rasa tauhid diri pada Allah SWT.
b. Integrasi horizontal: menghubungkan ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu pengetahuan Islam itu sendiri seperti ilmu fiqh dengan filsafat islam atau ilmu tafsir dengan Al-Qur’an.
c. Integritas aktualitas: menghubungkan ilmu pengetahuan dengan kehidupan masyarakat. Ilmu pengetahuan itu tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat dalam pengembangan peradaban karena keilmuan tidak terpisahkan dari pengamalan.
Oleh karena itu, orang yang memiliki ilmu dimaknai sebagai seseorang yang bertindak sesuai dengan ilmunya.
d. Integritas etik: menghubungkan ilmu pengetahuan dengan penegakan moral diri sehingga wawasan diri sejalan dengan ajaran Islam.
e. Integritas intrapersonal: menghubungkan dimensi roh (rohaniyah) dengan daya pikir yang ada dalam diri. Pengembangan dan transmisi ilmu yang dijalankan dalam kegiatan belajar mengajar disebut sebagai dzikir dan beribadah kepada Allah SWT.
Penerapan wahdatul ‘ulum dalam bidang diri dibahas diintegritas intrapersonal.
Manusia menyadari keagungan Allah SWT, Dialah wujud yang pasti dan mutlak selainnya adalah nisbi sehingga ada sikap yang harus dimiliki diri manusia secara pribadi, (Harahap, 2022) yaitu:
a. Tidak memutlakkan selain Allah SWT termasuk prestasi keilmuannya. Tidak berdebat ataupun mengedepankan gagasan-gagasan yang hanya untuk popularitas dan sensasi.
b. Tidak menyombongkan diri atas prestasi keilmuannya karena hal ini dilarang oleh Allah SWT.
c. Memiliki moralitas yang tinggi.
d. Tidak berpikir satu arah ataupun mengamalkan ilmu yang diketahuinya. Sebab dengan sikap ini ilmu pengetahuan yang dimilikinya akan bermakna bagi pengembangan dan peradaban Islam.
Seorang pribadi yang memiliki integritas, dalam dirinya terdapat ciri-ciri berikut yaitu: (Gea, 2006)
a. Ia memiliki fisik yang sehat dan bugar, memiliki kemampuan hidup sosial yang semakin baik, memiliki kekayaan rohani yang semakin mendalam, dan memiliki mental yang kuat dan sehat.
b. Kadar konflik dirinya rendah. Ia tidak berperang melawan dirinya sendiri (pribadinya menyatu). Dengan demikian, dia memiliki lebih banyak energi untuk tujuan produktif.
c. Memiliki kemampuan dalam menata batin sampai mencapai tahap kebebasan batin dalam arti tidak mudah diombang-ambing oleh gejolak emosi dan perasaan sendiri.
d. Semakin memiliki cinta yang personal/kedekatan hidup pada Tuhan sehingga mampu menanggung risiko dan konsekuensi dari pilihan hidup religiusnya.
e. Seorang yang tidak mudah binggung tentang mana yang benar atau salah, baik atau buruk, demikian pula persepsinya tentang tingkah laku yang benar tidak mengalami banyak keraguan.
f. Seseorang yang memiliki kemampuan melihat hidup secara jernih, melihat hidup apa adanya, dan bukan menurut keinginannya. Seseorang tidak lagi bersikap emosional, melainkan bersikap lebih objektif terhadap hasil pengamatannya.
g. Orang ini juga dapat membaktikan tugas, kewajiban atau panggilan tertentu yang ia pandang penting. Karena berminat pada pekerjaannya itu, ia bekerja keras.
Baginya, bekerja memberikan kegembiraan dan kenikmatan. Rasa bertanggung jawab atas tugas penting merupakan syarat utama bagi pertumbuhan, aktualisasi diri, serta kebahagiaan.
Berdasarkan latar belakang yang panjang, pembentukan suatu konsep paradigma wahdatul ulum seyogyanya harus benar-benar matang. Parluhutan sebagai penggagas paradigma wahdatul ulum menegaskan bahwa tanpa fondasi yang kuat, paradigma wahdatul ulum tidak akan berhasil, hanya akan menjadi wacana. Untuk itu topik tentang fondasi dan ontologi wahdatul ulum menjadi pembicaraan yang panjang diantara team pembesar UIN Sumatera Utara. Team ini disebut PUSDITRANS yaitu Pusat Studi Transdisipliner yang kemudian team yang diketuai oleh Parluhutan menjadi pusat pengkaji wahdatul ulum. Sebelum rampungnya wahdatul ulum sebagai paradigma resmi UIN SU, paradigma transdisipliner menjadi fondasi tridharma yang digunakan di UIN SU. (Fridiyanto, 2020)
Dengan melihat kembali Visi UIN SU Parluhutan menjelaskan bahwa “Islamic Learning Society” adalah penghadiran secara sungguh-sungguh kesadaran ke-Tuhanan dalam setiap gerak nadi kegiatan penggalian, pengembangan dan transfer pengetahuan.
Penghadiran kesadaran ke-Tuhanan harus menjadi fondasi dari bangunan pengetahuan integratif. Sejalan dengan perkembangan UIN Sumatera Utara sebagai Universitas Islam yang mengembangkan ilmu pengetahuan tidak terbatas pada ilmu-ilmu keislaman (Islamic Studies), tetapi mengembangkan juga Ilmu pengetahuan islam
(Islamic Science). (Harahap, 2022) Untuk menyelasaraskan visi dan nilai UIN Sumatera Utara tersebut filsafat Holisme yang dirintis oleh Johan Wolfgang von Goethe menjadi fondasi utama perumusan filsafat Wahdatul ‘Ulum. Holisme merupakan pemikiran filsafat bahwa sistem alam semesta, baik yang bersifat fisik, kimiawi, hayati, sosial, ekonomi, mentalpsikis, dan kebahasaan, serta segala kelengkapan adalah sebagai sesuatu yang utuh bukan merupakan kesatuan dari bagian terpisah.
Menilik kembali pengertian Holistik secara etimologi holism berasal dari kata Yunani, holo (whole) yang diartikan sebagai all inclusive, komprehensif, integratif, sistematis, dan memperhitungkan semua faktor. Menurut Goethe whole adalah sesuatu yang dinamis dan hidup dan terus menjadi dalam manifestasi konkrit. Sebuah bagian, pada gilirannya, adalah manifestasi dari whole, bukan hanya komponen. Jadi holisme merupakan pemikiran filsafat bahwa sistem alam semesta, baik fisik, kimiawi, hayati, sosial, ekonomi, mental-psikis, dan kebahasaan, serta segala kelengkapannya merupakan kesatuan utuh.
Konsep holistik digasaskan karena ketidakpuasan Parluhutan terhadap konsep transdisipliner yang diartikan sebagai konsep Empat Pilar PBB: Learning to know, Learning to do, Learning to be, Learning to live together. Parluhutan menjelaskan bahwa hasil akhir pengetahuan transdisipliner adalah pengetahuan transformatif yaitu pada pemecahan masalah praktis. Akan tetapi harapannya UIN SU jangan sampai meniru konsep keilmuan yang persoalan filsafatnya belum selesai seperti UIN Jakarta, UIN Jogjakarta, dan UIN Malang. Parluhutan menginginkan sebuah konsep keilmuan sangat berbeda dari UIN yang telah ada. (Fridiyanto, 2020) Dan hasil akhir yang diapat adalah konsep wahdatul ulum dengan pendekatan transdisipliner ditetapkan sebagai konsep UIN SU. (Sartika, 2022) Dengan Wahdatul Ulum diharapkan pengaplikasiannya mewujudkan pembelajaran yang terpadu, yang berciri-ciri sebagai berikut:
a. Holistik, pembelajaran terpadu dikaji dari beberapa bidang studi sekaligus untuk memahami suatu fenomena dari segala sisi.
b. Bermakna, keterkaitan antara konsep-konsep lain akan menambah kebermaknaan konsep yang dipelajari dan diharapkan mahasiwa mampu menerapkan perolehan belajarnya untuk memecahkan masalah-masalah nyata di dalam kehidupannya.
c. Aktif, pembelajaran terpadu dikembangkan melalui pendekatan discovery-inquiry.
Peserta didik terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran yang secara tidak langsung dapat memotivasi anak untuk belajar. (Siregar, 2021)
4. Konsep Dasar Wahdatul Ulum
Prof.Dr.Nur Ahmad Fadhil Lubis, MA menggagaskan transdisipliner sebagai konsep dasar wahdatul ulum, transdisipliner sering diasosiasi dengan pendekatan silang antara disiplin ilmu untuk menyelesaikan masalah meliputi dua atau lebih disiplin ilmu.
Konsep transdisipliner menurut Nur Ahmad Fadhil Lubis yaitu berusaha menghibridasi pendekatan-pendekatan kosmopolis agar umat islam di indonesia dapat lebih maju.
Beliau juga menjelaskan pengalaman keagamaan Islam tidak bisa di pisahkan dari aspek lain pengalaman manusia sehingga membutuhkan pendekatan Holistik atau anti Reduksionis. Ilmuan dari sejak jaman Nabi Muhammad saw telah menekankan pentingnya disiplin seperti: ekonomi, sosiologi, ilmu alam dan matematika dalam memahami Islam sebagai agama. Sementara, kajian keislaman juga penting bagi pengkaji ilmu alam dan kemasyarakatan. (Harahap, 2022)
Nur Ahmad Fadhil Lubis memandang konsep keilmuan barat sangat diperlukan dalam paradigma ilmu UIN, karena selama ini banyak memandangnya dalam filsafat ilmu Islam,sementara Nur Ahmad Fadhil Lubis melihat dari perspektif pendidikan tinggi transdisiplin.kerangka berpikir pengelola perguruan tinggi Islam harus lebih tinggi dari akar masalahnya. Ilmu telah menjadi pecah belah,produksi ilmu menjadi berlipat ganda sehingga menjadi spesialis. Misalnya kedokteran spesialis tubuh manusia tertentu, akibatnya ilmuan menjadi reduktif, karena tidak peduli dengan ilmu yang lain.
Adapun upaya yang harus dilakukan dalam menolak dikotomi keilmuan pada bidang diri adalah: (Fitri, 2018)
a. Memahami berbagai ilmu pengetahuan dan ilmu agama.
b. Memfilter ilmu barat yang masuk dan berkembang.
c. Menghargai keutamaan berbagai disiplin ilmu.
d. Tidak membeda-bedakan ilmu umum dan ilmu agama.
Pembangunan paradigma ilmu transdisipliner UIN SU melewati tiga proses.
a. Membangun pondasi yang kokoh agar dapat bertahan lama.
b. Membangun sinergitas antara elemen secara integratif.
c. Mempertimbangkan nilai-nilai peraktis
Ketiga nilai ini dijadikan landasan yang dibangun secara bertahap dan berkesinambungan dengan membangun landasan keilmuan Tauhid memformulasi kurikulum integratif-multidisipliner, revitalisasi dimensi praktis keilmuan Islam.
Landasan Tauhid yang dimaksud bahwa pengembangan kurikulum UIN SU merujuk ke sumber utama yaitu AL Qur’an dan Hadis. AL Qur’an menyediakan ajaran yang menjadi sumber ilmu pengetahuan ilmu non eksakta dan juga ilmu eksakta. Kombinasi keilmuan ini kemudian memformulasi sains Islam berbasis Tauhid. Pengintegrasian membutuhkan interkoneksi dan integrasi beragam ilmu sehingga dapat mempertemukan ilmu keislaman dengan ilmu umum.
Melalui paradigma transdisipliner maka sebuah konsep, metode yang awalnya di terapkan dan dikembangkan oleh satu disiplin ilmu saja maka akan dapat digunakan disiplin ilmu lainnya. Melalui transdipliner Nur Ahmad Fadhil Lubis mengharapkan alumni UIN SU memiliki profil Ulul Albab sebagai berikut:
a. Bersungguh-sungguh menggali ilmu pengetahuan.
b. Selalu berpegang pada kebaikan dan keadilan.
c. Teliti dan kritis dalam menerima informasi, teori, proposisi dan dalil.
d. Sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu.
e. Rajin bangun malam untuk sujud dihadapan Allah swt.
BAB III KESIMPULAN
Latar belakang lahirnya paradigma wahdatul ulum adalah perspektif agama hubungan agama dan sain modern sudah lama mengalami perubahan keretakkan didalamnya, pengetahuan agama dan sains modern ini diawali dengan muculnya teori heliosetris oleh Gaileo. Saintisme ini dinilai sebagai bentuk pengebaian tuhan dalam seluruh penggalian ilmu sains oleh karena itu paradigma ilmu yang diharapkan harus menuju akan kesadaran adanya ketuhanan yang secara mendalam. Wahdatul ‘ulum adalah ilmu yang sesungguhnya yang berasal dari Allah Swt dimana manusia diberi kesempatan untuk mengharap cinta-Nya dan mendapatkan keridhaan Allah Swt. Yang merupakan bentuk ketakwaan kepada Allah Swt. Untuk menyelasaraskan visi dan nilai UIN Sumatera Utara filsafat Holisme yang dirintis oleh Johan Wolfgang von Goethe menjadi fondasi utama perumusan filsafat Wahdatul ‘Ulum. Holisme merupakan pemikiran filsafat bahwa sistem alam semesta, baik fisik, kimiawi, hayati, sosial, ekonomi, mental-psikis, dan kebahasaan, serta segala kelengkapannya merupakan kesatuan utuh. Dan hasil akhir yang diapat adalah konsep wahdatul ulum dengan pendekatan transdisipliner ditetapkan sebagai konsep UIN Sumatera Utara.
DAFTAR PUSTAKA
Fitri, W. (2018). Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Upaya Mengurai Dikotomi Ilmu Pengetahuan dalam Islam). Qalamuna, Vol. 10, No. 2.
Fridiyanto. (2020). Paradigma Wahdatul ‘Ulum UIN Sumatera Utara. Malang:
Literasi Nusantara.
Gea, A. A. (2006). Integritas Diri Keunggulan Pribadi Tangguh. Character Building Journal, Vol. 3 No. 1, Juli , 16-26.
Harahap, S. (2022). Wahdatul Ulum (Paradigma Integrasi Keilmuan dan Karakter lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara Medan. Jakarta:
Kencana.
Lubis, S. A. (2021). Konseling Pendidikan Islam Perspektif Wahdatul Ulum. Medan:
Perdana Publishing.
Sartika, M. (2022). Implementasi Paradigma Wahdatul Ulum Dengan Pendekatan Transdisipliner Untuk Menghasilkan Ulul Albab Sebagai Lulusan Universitas Islam Negeri Sumateta Utara. Journal Of Social Research, 743-749.
Siregar, P. (2021). Pengembangan Bahan Kuliah Wahdatul Ulum. Medan: UINSU.
Sulaiman, A. H. (2007). Gagasan Pemerkasa Institusi Pendidikan Tinggi Islam.
Selangor: Jamil Osman.