1
A. Latar Belakang
Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang hidup serta dapat melemahkan limfosit yang ada di dalam tubuh manusia, limfosit memiliki peran dalam mempertahankan diri dari makhluk asing yang masuk dan akan merusak sistem kekebalan tubuh virus HIV yang masuk ke dalam tubuh cepat atau lambat akan menyebabkan AIDS. Acquired Immuno deficiency Syndrom (AIDS) yaitu semua gejala penyakit yang muncul akibat lemahnya kekebalan tubuh yang telah diserang oleh virus HIV, HIV/AIDS disebabkan oleh virus yang dapat ditularkan melalui perilaku seksual yang tidak aman seperti heteroseksual, homoseksual dan biseksual (Kemenkes RI, 2018).
Menurut data mengenai HIV/AIDS di dunia ada sekitar 84,2 juta orang hidup dengan HIV/AIDS dan 40,1 juta orang telah meninggal karena HIV/AIDS di seluruh dunia pada tahun 2022, terdapat beberapa benua yang terinfeksi HIV terbesar di dunia berjumlah adalah di Benua Afrika (38,4 juta orang), Eropa (2,8 juta), kemudian Asia Tenggara (3,8 juta), dan di Amerika (3,5 juta). Sedangkan yang terendah ada Pasifik Barat sebanyak 1,9 juta orang, maka dari itu tingginya data populasi orang terkena infeksi HIV di Asia Tenggara mengharuskan Indonesia untuk lebih waspada terhadap penyebaran dan penuluran HIV/AIDS (WHO, 2022).
Di Indonesia terdapat jumlah HIV/AIDS mencapai 519.158 orang pada bulan Juni tahun 2022, dari 38 provinsi di mana 10 provinsi dengan jumlah kasus HIV/AIDS terbanyak adalah DKI Jakarta (90.958 kasus), Jawa Timur (78.238 kasus), Jawa Barat (57.426 kasus), Jawa Tengah (47.417 kasus), Papua (45.638 kasus), Bali (28.376 kasus), Sumatera Utara (27.850 kasus), Banten (15.167 kasus), Sulawesi Selatan (14.810 kasus), dan Kepulauan Riau (12.943 kasus) (Kemenkes RI,2022).
Angka kejadian HIV/AIDS yang terjadi di Jawa barat sampai dengan bulan Oktober 2022 dengan kasus HIV sebanyak 57.914 dan untuk kasus AIDS sebanyak 12.353. Tahun 2022, terdapat lima besar wilayah dengan kasus HIV/AIDS di Jawa Barat yaitu, Kota Bandung (410 kasus), Kabupaten Bogor (365 kasus), Kota Bekasi (365), Kabupaten Indramayu (252 kasus), dan Kabupaten Bekasi (217 kasus) (DinKes ProvJaBar, 2022).
Menurut data dari Dinas Kesehatan Kota Bandung menghimpun data jumlah penularan HIV/AIDS tersebar di seluruh Kecamatan Kota Bandung, untuk tempat pengidap HIV/AIDS terbanyak di Kecamatan Andir (4.235 kasus), Kecamatan Regol (2.289), Lengkong (1.835) dan Kecamatan Kiaracondong menduduki urutan ke 17 dengan (375 kasus) (KPA, 2022).
Menurut data Badan Pusat Statistik Kota Bandung kasus paling banyak ditemukan dikelompok usia produktif, usia produktif adalah usia kerja yang bisa menghasilkan barang dan jasa pada rentang umur 15-64 tahun (Yuniar, 2019). Dari total kasus HIV/AIDS di Kota Bandung memiliki kelompok usia 20 hingga 50 tahun yang mendominasi dengan 69,2% diantara
29-45 tahun dan 18,4% berusia 20-24 tahun dan mayoritas orang dengan HIV/AIDS ini diderita oleh laki-laki (Dinkes ProvJaBar,2022).
Terdapat sembilan golongan kelompok yang dapat beresiko penyakit HIV/AIDS diantaranya adalah wanita penjaja seks, pria penjaja seks, wanita pria, laki seks laki, injecting drug user, pasangan resiko tinggi, pasangan pekerja seks, warga binaan pemasyarakatan dan salah satu pasangan memiliki HIV (Kemenkes RI, 2018). HIV ini dapat ditularkan melalui pertukaran dengan berbagai cairan tubuh dari orang yang terinfeksi, seperti darah, ASI (air susu ibu), semen dan cairan vagina, HIV juga dapat ditularkan dari seorang ibu ke anaknya selama masa kehamilan dan persalinan, namun orang tidak dapat terinfeksi HIV melalui kontak sehari hari seperti mencium, berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi benda pribadi, makan, atau air (WHO, 2019).
Di Indonesia diagnosis HIV/AIDS terdapat 2 gejala yaitu gejala mayor dan gejala minor ditandai dengan, gejala minor seperti : berat badan menurun >10 % dalam 1 bulan, diare kronik berlangsung selama > 1 bulan, demam berkepanjangan >1 bulan, penurunan kesadaran, demensia/HIV ensefalopati, sedangkan untuk gejala mayor meliputi berikut: batuk menetap
>1 bulan, dermatitis generalisata, herpes zoster multi segmental, dan berulang, kandidiasis orofaringeal, hespes simpleks kronik progresif, limfa denopati generalisata, infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita, retinitis cytomegalovirus (WHO, 2018).
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2018, stadium klinis HIV/AIDS dapat dibedakan menjadi 4 stadium, seperti: stadium 1 (tidak ada penurunan berat badan, tanpa gejala atau hanya limfadenopati generalisata persisten), stadium II (penurunan berat badan <10 %, ISPA berulang: sinusitis, otitis media, tonsilitis dan faringitis, herpes zooster dalam 5 tahun terakhir, luka disekitar bibir (kelitis angularis), ulkus mulut berulang, ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo), dermatitis seboroik, infeksi jamur pada kuku), stadium III (kandidiasis oral atau oral hairy leukoplaika, TB paru dalam 1 tahun terakhir, limfadenitas TB, infeksi bacterial yang berat:
Pneumonia, piomiosis, anemia <8 gr/dl, trombositopeni kronik < 50 per liter), dan stadium IV (sindrom wasting HIV, pneumoni pneumocystis, pneumonia bacterial yang berat berulang dala 6 bulan, kandidiasis esofagus, herpes simpleks ulseratif >1, limfoma. Sarcoma Kaposi, kanker serviks yang invasif, retinitis cmv, TB ekstra paru, toksoplasmosis, ensefalopati HIV, meningitis kriptokokus, infeksi mikrobakteria non-TB meluas, lekoensefalopati multifocal progresif, kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas).
Saat pertama kali seseorang terdiagnosa HIV/AIDS, banyak sekali reaksi yang dapat dikeluarkan seperti perasaan penuh dengan rasa takut, depresi, menyesal, takut serta tidak tahu apa yang dapat dilakukan dan Sebagian besar orang dengan HIV/AIDS masih dianggap oleh masyarakat adalah hal yang tabu dan telah melanggar norma yang berlaku dalam masyarakat sekitarnya sehingga dapat memberikan dampak kepada orang
dengan HIV/AIDS yaitu dampak psikologis bagi Orang dengan HIV/AIDS, keluarga serta lingkungan sekitanya (Ika, Purwaningsih dan Sevina, 2019).
Sehingga sangat berdampak besar bagi kehidupan orang dengan HIV/AIDS, dampak yang dirasakan dapat berupa segi biologis, sosial, ekonomi, serta psikologis, HIV/AIDS tidak hanya dapat menurunkan kualitas fisik tetapi juga dapat mempengaruhi Kesehatan mental orang dengan HIV/AIDS. Lambatnya pemahaman masyarakat tentang penyakit HIV/AIDS ini dapat bersikap mengucilkan orang dengan HIV/AIDS, dengan ini dapat membuat orang dengan HIV/AIDS dapat merasa terkucilkan sehingga akan lebih menutup dirinya dari kehidupan sosial akibat dari stigma yang didapatkan orang dengan HIV/AIDS sering merasakan feeling blue yaitu (kesepian, putus asa, cemas depresi sehingga dapat dikatakan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS akan menjadi kurang baik) (Safitri, 2018).
Maka dari itu keluarga dan tenaga kesehatan memiliki peran penting untuk orang dengan HIV/AIDS, keluarga adalah kumpulan 2 orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dimana individu mempunyai peran masing masing yang merupakan bagian dari keluarga (Madepan, 2018). Keluarga dipandang sebagai suatu sistem, dimana keluarga mempengaruhi seluruh keluarga dan sebaliknya keluarga mempengaruhi status kesehatan anggota keluarga yang lain (Madepan, 2018).
Dalam meningkatkan derajat kesehatan dan mengatasi masalah kesehatan anggota keluarga, keluarga harus mampu memenuhi lima fungsi perawatan kesehatan keluarga, pelaksanaan lima fungsi perawatan kesehatan
keluarga meliputi, mengenal masalah kesehatan keluarga, mengambil keputusan mengenai tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga, merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan, memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga dan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga (Madepan, 2018).
Fungsi perawatan kesehatan keluarga dapat berfungsi dengan baik apabila keluarga dapat melaksanakan tugas keluarga dibidang kesehatan dengan baik dan dibantu oleh tenaga kesehatan yaitu perawat, peran perawat dalam kesehatan keluarga yaitu membantu keluarga untuk menyelesaikan masalah keluarga dengan cara meningkatkan kesanggupan keluarga melakukan fungsi dan tugas perawatan, khusunya orang dengan HIV/AIDS memerlukan dukungan dari sekitanya sehingga perawatan yang lebih ditunjukan untuk memenuhi kebutuhan akibat proses sakitnya (Madepan, 2018).
Dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh orang dengan HIV/AIDS sebagai sistem pendukung sehingga dapat mengembangkan respon koping yang efektif untuk beradaptasi dengan baik dalam menangani stressor yang dihadapi terkait penyakitnya baik fisik, psikologis maupun sosial (Yuldensia, 2018). Dukungan keluarga terdiri dari dukungan informatif, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan emosional (Dewi,2018). Kecenderungan dukungan keluarga dapat membuktikan menurunkan angka mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi (Saiful,2019). Sehingga banyak
faktor yang mempengaruhi dukungan yang diberikan keluarga salah satunya yaitu pengetahuan keluarga sehingga perlunya keluarga untuk melaksanakan lima fungsi perawatan kesehatan keluarga untuk dapat mempertahankan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS (Erika, 2018).
Kualitas hidup adalah persepsi individual terhadap posisinya dalam kehidupan, konteks budaya, sistem nilai dimana mereka berada dan hubungannya terhadap tujuan hidup, harapan, standar dan terkait lainnya, masalah yang mencakup kualitas hidup sangat luas dan komples termasuk masalah kesehatan fisik, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan social, dan lingkungan dimana mereka sekarang berada (WHO, 2018).
Kualitas hidup merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan pencapaian kehidupan manusia yang ideal atau sesuai dengan yang di inginkan (Ausy, 2022).
Menurut WHO, ada 6 domain yang di jadikan parameter untuk mengetahui kualitas hidup seseorang yaitu domain fisik, psikologis, hubungan social, kemandirian, lingkungan dan spiritual (haryati, 2018).
Diantara semua domain yang menghasilkan kualitas hidup rendah adalah domain lingkungan dan spiritual (Saiful, 2020). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS yaitu: persepsi kesehatan, emosi, energi/kelelahan, tidur, fungsi kognitif, kegiatan fisik dan kegiatan harian, teknik mengatasi masalah, masa depan, gejala, pengobatan dan dukungan sosial (haryati, 2018).
Menurut WHO untuk meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS yaitu dengan pelaksanaan strategi untuk mengelola pasien dengan penyakit HIV lanjutan harus di prioritaskan untuk lebih meningkatkan retensi.
Tindakan yang di rekomendasikan, antara lain seperti suplementasi makanan, klub ketaatan, layanan pesan singkat (SMS) pengingat, pelacakan cepat pasien terapi antiretroviral, kelompok masyarakat dan keluarga terapi antiretroviral, yang perlu di implementasikan pada skala luas disektor publik (Makurumidze et al., 2020).
Secara umum, salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup adalah sistem dukungan didalamnya terdapatnya lingkungan keluarga, masyarakat maupun, sarana-sarana fisik seperti tempat tinggal atau rumah yang layak untuk orang dengan HIV/AIDS sehingga dapat menunjang kehidupannya. Orang dengan HIV/AIDS yang mendapatkan dukungan dari keluarga dengan kategori yang rendah maka kualitas hidupnya juga berkurang, sedangkan orang dengan HIV/AIDS yang memperoleh dukungan keluarga yang tinggi dapat meningkatkan kualiats hidupnya akan cukup baik, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu usia, jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan, pekerjaan, dan lama interaksi penyakit (Kartika, 2019).
Berdasarkan hasil penelitian Dwi Novriandi (2018) di dapatkan hasil penelitian dengan sejumlah 63 orang (59,4 %) responden mendapatkan dukungan yang baik dari keluarga dan 61 orang (57,5%) responden dengan kualitas hidup yang baik, sedangkan menurut Yuldensia (2019) diperoleh
ODHA dengan dukungan keluarga yang baik (92,9%) memiliki kualitas hidup baik (96,4%), Ini menunjukan bahwa adanya hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup, dan menurut hasil penelitian Imon Putra (2022) di dapatkan hasil penelitian ditemukan bahwa 44 orang responden yang dilihat sebanyak 19 orang atau 43,2% responden dengan dukungan keluarga baik dan sebnayak 25 orang atau 56,8% responden dengan dukungan keluarga kurang baik, sedangkan dengan kualitas hidup sebanyak 22 orang atau 50% responden dengan kualitas hidup baik dan sebanyak 22 orang atau 50% orang dengan kualitas hidup kurang baik, sehingga terdapat bahwa hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS.
Dan hasil dari studi pendahuluan yang di Komunitas Puzzle Indonesia menurut hasil studi pendahuluan Kecamatan Kiaracondong merupakan salah satu tempat terbanyak orang dengan HIV/AIDS data ini diambil dari salah satu komunitas yaitu Puzzle Indonesia, dimana Puzzle Indonesia ini merupakan sebuah pusat informasi dan edukasi terkait kesehatan masyarakat khusunya HIV/AIDS, untuk jumlah orang dengan HIV/AIDS yang ada di Puzzle Indonesia yaitu 100 orang. Dari data komunitas puzzle Indonesia tahun 2023 menyebutkan bahwa memiliki kasus HIV sebanyak 65 dan kasus AIDS sebanyak 45.
Saat melakukan studi pendahuluan sebanyak 8 orang di dapatkan data 4 orang diantaranya (3 memiliki keluarga dan 1 orang tidak ada keluarga) mengalami kurangnya dukungan emosional seperti perhatian, tidak
dipercaya, tidak adanya empati dari keluarga, mengalami kurangnya dukungan instrumental seperti kurangnya bantuan dari keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, mengalami kurangnya dukungan informasi seperti keluarga tidak membantu untuk memberikan masukan, saran ketika sedang mengalami masalah, mengalami kurangnya dukungan penghargaan seperti tidak diberikan support, apresiasi oleh keluarga. Dari data 4 orang ini juga mengatakan mereka sering mengalami kelelahan, tidur tidak baik, muncul nya perasaan negative terus menerus, kurang percaya diri, sering ketergantungan obat, hubungan dengan orang sekitar yang kurang baik dan kurang diterima, kurangnya sumber finansial, jauhnya tempat pelayanan kesehatan sehingga sulit, kurangnya dekat dengan tuhan dan sering merasa ingin cepat diambil oleh tuhan.
Didapatkan data dari 3 orang ini tinggal bersama keluarga saat wawancara mengatakan keluarga sudah mampu memberikan rasa empati, tetapi keluarga belum dapat memberikan saran, masukan ketika sedang mengalami masalah, 3 orang ini masih sering mengalami sulit tidur, munvul perasaan negatif, masih kurang percaya diri. Sedangkan untuk 1 orang ketika dilakukan wawancara bahwa keluarga sudah mampu memberikan rasa kasih saya, support, menerima, membantu untuk kehidupan sehari harinya dan dalam proses pengobatannya.
Berdasarkan uraian diatas maka dukungan keluarga berperan penting dalam kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS, dengan adanya dukungan keluarga dapat meningkatkan kualitas hidup orang dengan
HIV/AIDS yang baik, baik dari segi fisik, psikologis, sosial, serta lingkungan karena dukungan keluarga ini nantinya akan berpengaruh dalam masa pengobatan orang dengan HIV/AIDS.
Sehingga berdasarkan kasus yang terdapat dalam latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
“Hubungan Dukungan keluarga dengan Kualitas Hidup orang dengan HIV/AIDS di Komunitas Puzzle Indonesia Kota Bandung”.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dalam penelitian ini ialah “Adakah hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS di komunitas Puzzle Indonesia Kota Bandung?.”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS di komunitas Puzzle Indonesia Kota Bandung.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi gambaran dukungan keluarga orang dengan HIV/AIDS di komunitas Puzzle Indonesia Kota Bandung.
b. Mengidentifikasi gambaran kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS di komunitas Puzzle Indonesia Kota Bandung.
c. Mengidentifikasi hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS di komunitas Puzzle Indonesia Kota Bandung.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah
Penelitian ini dapat digunakan sebagai pengembangan untuk penelitian selanjutnya dalam hal untuk membuktikan adanya hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS di komunitas Puzzle Indonesia Kota Bandung.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Komunitas
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas organisasi yang mandiri, sehat tanpa stigma tentang HIV/AIDS.
b. Bagi pasien
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran pada pasien tentang pentingnya mendapat dukungan keluarga dengan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS di komunitas Puzzle Indonesia Kota Bandung.
c. Bagi keluarga
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap orang dengan HIV/AIDS.
d. Bagi peneliti selanjutnya
Dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan penelitian mengenai hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS di komunitas Puzzle Indonesia Kota Bandung.
E. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang Lingkup Masalah
Masalah yang diteliti adalah hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS di komunitas Puzzle Indonesia Kota Bandung.
2. Ruang Lingkup Metode
Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode kuantitatif dengan desain deskriptif kolerasi.
3. Ruang Lingkup Keilmuan
Penelitian ini merupakan bidang keilmuan Keperawatan Komunitas Keluarga dan Keperawatan Medikal Bedah .
4. Ruang Lingkup Tepat dan Waktu
Penelitan ini di lakukan pada bulan Juni. Penelitian ini dilakukan berdasarkan data yang di dapatkan di Puzzle Indonesia Kota Bandu