• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PDF BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia berhak untuk sehat, baik sehat jasmani, rohani, maupun pikiran. Menurut WHO, sehat merupakan suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental, sosial, serta tidak hanya bebas dari penyakit/kelemahan yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi.

Menurut World Health Organization dalam Nugraheni (2016), skabies merupakan penyakit kulit yang mudah menyebar bagi kesehatan masyarakat karena penularannya melalui secara langsung atau tidak langsung. Prevalensi skabies di seluruh dunia dilaporkan sekitar 300 juta kasus pertahunnya. Negara Amerika Selatan prevalensi skabies mencapai 18%, di Benim Afrika Barat 28,33%.

Prevalensi kejadian skabies di Indonesian 4,60%-12,95% (Kasrin, 2016).

Skabies di Indonesia menduduki urutan ke tiga dari 12 penyakit kulit tersering, di bagian kulit dan kelamin FKUI/RSCM pada tahun 2007 dijumpai 734 kasus skabies merupakan 5.77% dari seluruh kasus baru dan meningkat pada tahun 2008 menjadi 6% (Kasrin, 2016).

Penyakit skabies sering ditularkan melalui kontak langsung dari kulit penderita yang berlangsung lama berkepanjangan. Transmisi skabies dari penderita ke orang lain dibutuhkan 15-20 menit dari kontak langsung. Biasanya terjadi antara teman dekatnya atau anggota keluarga. Skabies dapat ditularkan secara langsung (kontak kulit dengan kulit) misalnya berjabat tangan, tidur bersama dan melalui

(2)

hubungan seksual. Penularan secara tidak langsung (melalui benda), misalnya pakaian handuk, sprei, bantal dan selimut yang dipakai secara bersamaan. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan peseorangan dan lingkungan, atau apabila banyak orang yang tinggal secara bersama-sama di satu tempat yang relatif sempit (Nugraheni, 2016).

Gejala skabies ditandai dengan rasa gatal yang sangat pada bagian kulit seperti sela-sela jari, siku, selangkangan. Rasa gatal menyebaban penderita skabies menggaruk kulit bahkan bisa menimbulkan luka dan infeksi. Infeksi skabies (infeksi sekunder/tambahan) dapat terjadi akibat terpaparnya bentol akibat skabies dengan permukaan yang mengandung bakteri (misalnya saat digaruk oleh tangan yang kotor muncul meliputi berwarna madu mengalir keluar dari kulit yang lecet).

Infeksi bakteri akan menyebabkan timbulnya nanah dan memperlambat penyembuhan kelainan kulit akibat skabies (Nugraheni, 2016).

Skabies mudah menyebar baik secara langsung melalui sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tak langsung melalui baju, seprai, handuk, bantal, air, atau sisir yang pernah digunakan penderita dan belum dibersihkan dan masih terdapat tungau sarcoptesnya (Widodo, 2013). Dampak dari penyakit ini antara lain yaitu kerusakan integritas kulit akibat dari garukan yang menyebabkan papule pecah, terjadinya resiko infeksi pada bagian tubuh yang lain, mengalami perubahan body image dimana seorang yang menderita penyakit ini akan malu dengan dirinya karena adanya kudis serta terganggunya aktivitas yang dikarenakan adanya rasa gatal dan nyeri pada bagian tubuh yang terinfeksi. Penyebaran penyakit ini harus segera dicegah agar tidak mengakibatkan terjadinya wabah penyakit dilingkungan

(3)

sekitarnya. Dan salah satu pencegahan berkembangnya penyakit ini adalah dengan menjaga personal hygiene.

Aktivitas S.scabei menyebabkan rasa gatal dan menimbulkan respon imunitas selular dan humoral serta mampu meningkatkan IgE baik serum maupun kulit. Skabies sangat menular, transmisi melalui kontak langsung dari kulit ke kulit, bahkan secara tidak langsung melalui benda-benda yang terkontaminasi. Kelainan tidak hanya disebabkan oleh tungau scabis, tetapi juga garukan dari penderita. Gatal yang disebabkan sensitasi terhadap sekreta dan eksreta. Tungau memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah menyebar. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan permukaan papul, vesikel, urtika, dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, eksoriasi, kusta, dan infeksi sekunder.Bila skabies tidak diobati selama bebrapa minggu, dapat timbul dermatitis akibat garukan. Erupsi dapat berbentuk impetigo, ektima, selulitis, limfangitis, folikulitis, dan furunkel.

Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan, atau banyak orang yang tinggal secara bersama-sama disatu tempat yang relatif sempit. Dan apabila tingkat kesadaran yang dimiliki oleh banyak kalangan masyarakat masih cukup rendah, derajat keterlibatan penduduk dalam melayani kebutuhan akan kesehatan yang masih kurang, kurangnya pemantauan kesehatan oleh pemerintah, faktor lingkungan terutama masalah penyediaan air bersih, serta kegagalan pelaksanaan program kesehatan yang masih sering kita jumpai, akan menambah panjang permasalahan kesehatan lingkungan yang telah ada (Siswono, 2015).Baur (2013) juga melaporkan faktor personal higiene, ketersediaan air bersih, status sosial ekonomi berpengaruh terhadap prevalensi

(4)

skabies di India. Rendahnya status gizi mempengaruhi sistem imun, sehingga menurunkan sistem kekebalan tubuh juga menyebabkan tingginya prevalensi skabies.

Penyakit skabies dapat dicegah dengan cara menjaga kebersihan, melakukan personal hygiene dengan baik, meminimalisis kontak tak langsung terhadap penderita skabies dan menjaga lingkungan agar tetap bersih dan sehat. Penelitian Anna dan Kurnia (2016) mengatakan bahwa penyakit skabies bisa dicegah dengan cara tidak bertukar pakaian dan alat sholat, tidak bergantian handuk, dan menjaga kebersihan lingkungan. Tahun 2014 pernah dilakukan penelitian hubungan skabies dengan tingkat pendidikan oleh Ratnasari (2014) di Pondok Pesantren X Jakarta Timur, hasil penelitian tersebut didapati presentase terbesar penderita skabies terjadi pada tingkat pendidikan SMP sebesar 58,1%, sedangkan pada tingkat SMA sebesar 41,3%. Penelitian yang dilakukan oleh Yunita (2015) di Padang, memperoleh hasil berbeda dengan presentase terbesar pendierita skabies terjadi pada tingkat pendidikan SMA sebesar 16,12%, sedangkan pada tingkat SMP sebesar 11,29%.

Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, peneliti tertarik untuk melakukan literature rieview dengan jenis narrative riview yang dimana peran perawat perkesmas sangat dibutuhkan untuk menambah informasi tentang perubahan sikap penderita dalam pencegahan penularan penyakit skabies pada usia remaja 12-16 tahun di pondok pesantren. sebagian santri mengabaikan penyakit scabies ini, karena beranggapan penyakit kulit ini bisa sembuh dengan sendirinya seiring berjalannya waktu, jika bertambah parah mereka baru membawanya ke

(5)

pelayanan kesehatan. Biasanya mereka mandi bersama-sama di kolam besar yang airnya berwarna coklat susu dan mereka juga melakukan kegiatan cuci mencuci di kolam tersebut. Sebenarnya ada kamar mandi lain tetapi mereka hanya menggunakan untuk kegiatan MCK saja. Mereka juga menyatakan bahwa saling meminjam baju dan handuk satu sama lain karena mereka sangat mengutamakan nilai kebersamaan. Lingkungan asrama mereka juga terbilang tidak higienis, satu kamar dihuni oleh 10-15 santriwati. Mereka tidur bersama-sama dengan cara meletakkan kasur di lantai dan setelah bangun mereka hanya menumpuk kasur tersebut dan ditaruh di pojok kamar, serta pakaian-pakaian mereka hanya di gantung dan bercampur dengan pakaian teman-teman sekamar mereka.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis tertarik melakukan penelitian tetang apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya skabies di pondok pesantren.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan permasalahan yaitu ”Faktor-Faktor Apa yang Berhubungan dengan Kejadian Skabies di Pondok Pesantren.”

(6)

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian skabies pada santri di lingkungan pondok pesantren.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui kejadian skabies di kalangan santri pondok pesantren

b. Mengidentifikasi faktor usia yang berhubungan dengan kejadian skabies di pondok pesantren

c. Mengidentifikasi faktor jenis kelamin yang berhubungan dengan kejadian skabies di pesantren

d. Mengidentifikasi faktor tingkat kebersihan yang berhubungan dengan kejadian skabies di pesantren

e. Mengidentifikasi faktor penggunaan alat pribadi bersama yang berhubungan dengan kejadian skabies di pesantren

f. Mengidentifikasi faktor kepada penghuni yang berhubungan dengan kejadian skabies di pesantren

g. Mengidentifikasi faktor tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang skabies yang berhubungan dengan kejadian skabies di pesantren

h. Mengidentifikasi faktor budaya yang berhubungan dengan kejadian skabies di pesantren

i. Mengidentifikasi faktor tingkat sosio-ekonomi yang berhubungan dengan kejadian skabies di pesantren

(7)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kesehatan khususnya tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit skabies.

2. Manfaat praktis a. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan penulis mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit skabies pada santri di pondok pesantren.

b. Bagi Santri

Sebagai sumber informasi yang dapat menambah pengetahuan agar lebih baik dalam menjaga kesehatan dan kebersihan khususnya dalam pencegahan penyakit menular seperti penyakit skabies.

c. Bagi Instansi Pendidikan

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi instansi dan lembaga terkait, khususnya bagi dinas kesehatan agar dapat memberikan penyuluhan dan bantuan terkait penyakit skabies kepada santri dilingkungan pondok pesantren.

d. Profesi Keperawatan

Dapat menambah informasi tentang perubahan sikap penderita dalam pecegahan penularan penyakit skabies pada santri remaja usia 12-16 tahun di pondok pesantren

E. Ruang Lingkup

(8)

Berdasarkan kajian literature review ini membahas tentang faktor- faktor yang berhubungan dengan kejadian skabies di pondok pesantren, penelitian ini menggunakan metode systematic review dengan menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian skabies di pondok pesantren. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan April - September 2020.

(9)

Referensi

Dokumen terkait

Perilaku personal hygiene menjadi titik tolak ukur perilaku kebersihan bagi seorang pribadi untuk menjaga kebersihan diri agar tidak mudah terkena penyakit berbasis lingkungan ataupun

13 < 1% 14 < 1% 15 < 1% 16 < 1% 17 < 1% 18 < 1% 19 < 1% 20 < 1% 21 < 1% and Biogas Generation Potential From Biomethanated Distillery Effluent", Ozone: Science & Engineering,