• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PDF BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan ancaman infeksi terbesar terhadap pembangunan sosial ekonomi stabilitas dan keamanan khususnya di negara-negara berkembang. Virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yaitu sel-sel darah putih yang berdampak pada penurunan sistem kekebalan tubuh sehingga menimbulkan penyakit yang disebut AIDS (WHO, 2015). AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh yang disebabkan virus HIV sehingga orang yang terserang virus tersebut sangat mudah terkena berbagai penyakit infeksi sehingga HIV merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan kekhawatiran di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia (Kemenkes RI, 2014).

HIV merupakan retrovirus yang menginfeksi sel sistem kekebalan tubuh manusia, terutama sel T CD4 dan makrofag yang merupakan komponen vital dari sistem kekebalan tubuh lemah dan mudah terkena infeksi. Karenanya seseorang harus mengkonsumsi obat ARV untuk mempertahankan kekebalan tubuhnya ( Kemenkes RI, 2014).

HIV-AIDS menular melalui hubungan seksual, melalui jarum suntik yang mengandung virus HIV, dan dari ibu ke anak melalui persalinan dan melalui air susu ibu. Individu dengan HIV positif sistem imunitasnya akan

(2)

mengalami penurunan dan membutuhkan beberapa tahun hingga ditemukannya gejala tahap lanjut dan dinyatakan sebagai penderita AIDS.

Hal ini sangat bergantung pada kondisi fisik dan psikologisnya.

Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV-AIDS (Abbas, Hood,

& Mellors, 2011). Joint United Nations Programme on HIV-AIDS (UNAIDS) pada tahun 2014 memperkirakan secara global terdapat 36,9 juta orang di dunia hidup dengan HIV-AIDS (ODHA), termasuk 2 juta anak di bawah usia 15 tahun, 1,2 juta orang telah meninggal karena AIDS dan 2 juta orang terinfeksi baru termasuk 220 ribu anak-anak (UNAIDS, 2014).

Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar ke empat di dunia dan terdiri dari sekitar 17.000 pulau,dengan sistem pemerintahan terdesentralisasi mencakup lebih dari 400 kabupaten kota di seluruh 33 provinsi. Data kependudukan di Indonesia sampai Juni 2015 menunjukkan Indonesia berpenduduk 253.609.643 orang dan 49,4 % berada dalam usia aktif seksual.

Jawa Barat merupakan propinsi dengan jumlah penduduk terbesar, yaitu 45.472.830 orang. Berdasarkan estimasi tahun 2013,bagian terbesar dari badan piramida penduduk Jawa Barat terdiri dari penduduk usia produktif/aktif seksual. Penyebaran penduduk masih tetap terbanyak di kabupaten Bogor yaitu sebesar 5.040.057 orang, Kota Bandung 3.337.139 orang.

(3)

Kota Bandung merupakan propinsi yang berbatasan dengan DKI Jakarta yang merupakan salah satu daerah dengan kasus HIV-AIDS tertinggi saat ini. Bandung merupakan tempat tujuan wisata dari penduduk DKI Jakarta dan hal ini tentu berperan menjadi salah satu risiko terjadi peningkatan infeksi HIV di Jawa Barat. Berdasarkan kasus HIV-AIDS sampai tahun 2015, jumlah kumulatif AIDS adalah 67.028 orang, sedangkan infeksi HIV berjumlah 177.643 orang. Jumlah kumulatif penderita HIV sejak tahun 1987 sampai September 2014 sebanyak 150.296 orang , sedangkan total kumulatif kasus AIDS sebanyak 55.779 orang (Kemenkes RI, 2014).

Pada periode April- Juni 2015 telah dilaporkan dari propinsi Jawa Barat 1.176 kasus infeksi baru yang merupakan peringkat ketiga di Indonesia.

Kenaikan jumlah infeksi HIV pada perempuan dan laki-laki mengalami kenaikan dari 3.563 di tahun 2008 menjadi 13.467 orang pada tahun 2014.

Keadaan ini meningkatkan resiko terjadinya kasus –kasus HIV pada bayi.

Berdasarkan laporan Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit (Kemenkes RI, 2017) di bulan Oktober – Desember jumlah pasien yang terinfeksi HIV dilaporkan sebanyak 14.640 orang. Faktor resiko terjadinya peningkatan HIV ini disebabkan oleh hubungan seks beresiko pada heteroseksual, homoseksual, dan penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun.

Sementara kalau dilihat dari presentasi umur, infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25- 49 tahun, diikuti kelompok umur 20-24 tahun dan kelompok umur > 50 tahun. Rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 2: 1. Jumlah pasien AIDS yang dilaporkan pada periode Oktober –

(4)

Desember 2017 sebanyak 4.725 orang dengan persentase AIDS tertinggi pada umur 30-39 tahun, di ikuti kelompok umur 20-29 tahun dan kelompok umur 40-49 tahun, sementara rasio antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.

Penularan tetinggi dari faktor resiko adalah hubungan seks beresiko pada Heteroseksual, homoseksual (Lelaki Seks Lelaki), perinatal dan IUD.

Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV- AIDS. Virus yang ada di dalam tubuh penderita ini tidak bisa keluar, sehingga harus dilakukan pengendalian terhadap virus HIV. Upaya pengendalian HIV-AIDS dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penularan dan penyebaran HIV-AIDS di kalangan masyarakat. Salah satu pendekatan pengendalian HIV-AIDS adalah perubahan perilaku berisiko. Di samping itu, bagi mereka yang sudah tertular HIV AIDS diberikan terapi antiretroviral (ARV). Tujuan dari pengobatan ARV ini adalah mengurangi laju jumlah penularan HIV di masyarakat, menurunkan angka kesakitan dan kematian, memperbaiki kualitas hidup orang dengan HIV (ODHA), memulihkan atau memelihara fungsi kekebalan tubuh, menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus, (Kemenkes, 2014). Jadwal ketat minum obat HIV ini tidak boleh meleset agar bisa menekan jumlah virus di tubuhnya. Jika tidak disiplin maka obat akan menjadi resisten terhadap tubuh (Kemenkes RI, 2014), sehingga pasien harus patuh terhadap jadwal minum obat seumur hidup.

(5)

Kepatuhan adherence adalah suatu keadaan di mana pasien mematuhi pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah dokter. Penggunaan obat ARV dibutuhkan tingkat kepatuhan tinggi untuk mendapatkan keberhasilan terapi dan mencegah resistensi yang terjadi.

Untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal dibutuhkan tingkat kepatuhan lebih dari 95%. Ketidak berhasilan mencapai target disebut sebagai kegagalan.

Kepatuhan yang baik adalah meminum obat sesuai yang diresepkan dan kesepakatan antara pasien dan tenaga kesehatan. Kepatuhan yang buruk termasuk melewatkan dosis atau menggunakan obat secara tidak tepat (minum pada waktu yang salah atau melanggar pantangan makanan tertentu).

Faktor penyebab rendahnya kepatuhan berobat pasien HIV-AIDS, antara lain;

ketakutan akan statusnya di masyarakat, kurang pengetahuan mengenai pentingnya pengobatan teratur, depresi, tidak percaya akan obat-obatan, lupa meminum obat, dan takut efek samping dan tidak adanya dukungan.

(kesumah,2015).

Kepatuhan menentukan seberapa baik pengobatan ARV dalam menekan jumlah viral load. Ketika lupa minum satu dosis, meskipun hanya sekali, virus akan memiliki kesempatan untuk menggandakan diri lebih cepat.

Hasil yang tidak dapat dielakkan dari semua tantangan ini adalah ketidak patuhan, perkembangan resistensi, kegagalan terapi dan resiko pada kesehatan masyarakat akibat penularan jenis virus yang resisten.

(6)

Selama mendapatkan terapi ARV haruslah dilakukan penilaian klinis dan laboratorium yang bertujuan untuk melihat tanda atau gejala toksisitas ARV, melihat respon terhadap terapi, mencari infeksi oportoknistik atau penyakit penyerta lain serta menilai kepatuhan obat. Evaluasi klinis dilakukan setiap kunjungan pasien biasanya setiap 2 minggu hingga 1 bulan. Evaluasi klinis meliputi penilaian berat badan, kepatuhan berobat, infeksi oportoknistik yang membaik, disertai dengan peningkatan berat badan ini menunjukan respon terapi ARV yang baik. Sebaliknya jika pasien tidak patuh minum obat akan menunjukan gejala klinis seperti penurun berat badan, infeksi oportoknistik yang semakin bertambah. oleh karena itu diperlukan minimal tingkat kepatuhan 95% atau lebih untuk mencapai dan mempertahankan jumlah virus agar tidak terdeteksi. Tingkat penekanan virus bisa mencapai 78- 100% setelah enam sampai sepuluh bulan terapi (kesumah,2015).

Kepatuhan minum obat untuk pasien HIV-AIDS dapat berhasil dengan didukung beberapa faktor, yaitu: motivasi diri, dukungan dari keluarga, dukungan dari suami, dukungan dari teman sebaya, dan dukungan petugas kesehatan .dukungan teman sebaya merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan kepatuhan minum obat dengan memotivasi untuk mengetahui fungsi dari obat dan mendukung keteraturan saat meminum obat ARV (Rohmah, 2012).

Dukungan teman sebaya pada pasien HIV-AIDS adalah dukungan yang diberikan untuk dan oleh orang dalam situasi yang sama. Dukungan teman sebaya meliputi orang yang menghadapi tantangan yang sama seperti

(7)

pasien dengan infeksi tertentu, komunitas tertentu, orang – orang dengan permasalahan yang sama. Dukungan sebaya bisa diantara seseorang yang menghadapi tantangan untuk pertama kalinya dengan seseorang yang telah mampu mengolahnya.

Dukungan teman sebaya pada pasien HIV-AIDS adalah Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). KDS merupakan sebuah kelompok yang bertujuan mensuport setiap anggota kelompok dalam kehidupan keseharian mereka.

kelompok dukungan sebaya sangat diperlukan karena pasien kadang lebih terbuka terhadapnya dari pada kepada keluarga atau yang lainnya. Peran KDS membantu manajer kasus dalam pemantauan minum obat, serta evaluasi pasien dan merawat pasien jika sakit karena kemungkinan besar keluarga tidak mau merawat. Selain itu KDS menjembatani kebutuhan pasien pada obat-obatan yang diperlukan. Peran KDS sangat dibutuhkan untuk memberikan dukungan dalam kehidupan sehari-hari agar pasien tidak jatuh dalam kondisi yang mengkhawatirkan secara fisik dan psikis, dan membantu pasien dalam mengurangi penularan kepada orang yang sehat yang ada disekitar pasien. Kelompok dukungan sebaya memiliki peran yang bermakna dalam mutu hidup pasien HIV-AIDS. Pasien yang mendapatkan dukungan sebaya berpengaruh pada tingkat kepercayaan diri,pengetahuan HIV, akses layanan HIV, perilaku pencegahan HIV dan kegiatan positif yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang tidak mempunyai dukungan sebaya Menurut Penelitian (Yuswanto, Wahyuni, & Pitoyo, 2015) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan secara statistik antara peran KDS dan

(8)

kepatuhan minum obat pada ODHA. Dan hasil penelitian (Tri, 2015) tentang KDS Dan Kepatuhan Minum Obat Pada ODHA menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan secara statistik antara peran kelompok dukungan sebaya dan kepatuhan minum obat pada ODHA .

KDS membantu pasien mengurangi stigma, ada 2 stigma yang dialami pasien yaitu stigma diri sendiri ( individual dan keluarga) dan stigma yang di dapat pasien dari luar. KDS membantu mengurangi kemungkinan terjadinya diskriminasi dengan cara memberikan informasi kepada pasien, keluarga dan pihak-pihak yang melakukan stigma dan diskriminasi ( INA GWL 2018).

Dukungan teman sebaya bertujuan untuk memberikan dukungan emosional, psikologi dan sosial kepada teman sebaya lainnya. Ada beberapa jenis program atau kegiatan sebuah KDS antara lain : Dukungan sebaya bentuk kegiatan yang dilakukan adalah konseling sebaya, kunjungan rumah, kunjungan Rumah Sakit dan obrolan positif. selain itu ada kegiatan pendamping sebaya yang bertujuan memberikan dukungan moril dan informasi baik kepada ODHA yang sakit maupun keluarganya atau orang terdekatnya.

Dukungan sebaya di Indonesia terbanyak di koordinir oleh Yayasan Spiritia dengan cara mengelola kelompok dukungan yang bekerja di tingkat Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota. KDS dimulai sejak tahun 1995 yang di inisiasi oleh Yayasan Spiritia. Sampai dengan sekarang jumlah KDS sebanyak 290 KDS yang tersebar 25 provinsi. Di Indonesia sebagian KDS merupakan kelompok khusus dalam artian keanggotaannya bersifat spesifik

(9)

seperti Laki-laki sesama laki-laki (LSL), Wanita Penjaja Sex (WPS), Waria, Pengguna Jarum Suntik (Penasun), Warga binaan. Kekhususan ini ditentukan sendiri oleh ODHA di daerah tersebut sesuai dengan kebutuhan masing- masing. Kelompok dukungan sebaya yang ada di kota Bandung adalah Arjuna Pasuduan Comunity (APC), Srikandi pasukan Comunity (SPC), Puzzle Club, Female Plus.

KDS merupakan salah satu Pengawas minum obat atau pendorong kepatuhan berobat pada ODHA , kegiatan seperti ini dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan dokter atau perawat disebuah Rumah Sakit rujukan.

kegiatan sederhana yang dilakukan KDS dalam mengingatkan jadwal minum obat antara lain dengan mengirimkan pesan singkat/sms kepada anggota lain yang baru memulai terapi ARV dan memberikan informasi akan pentingnya kepatuhan.

Rumah Sakit Umum Bungsu merupakan salah satu pelayanan Kesehatan. Sejak tahun 2004 sampai sekarang RSU Bungsu menjadi salah satu Rumah sakit Rujukan Nasional untuk pasien HIV-AIDS. RSU Bungsu memiliki Fasilitas klinik Voluntary Counseling and Test ( VCT) dan layanan pengobatan ARV. Menurut Pengelola Data Rumah Sakit, Rumah Sakit Umum Bungsu telah melayani pasien HIV dari umur kurang dari Satu tahun sampai dengan > 50 tahun ( umur < 1 -50 tahun) adalah 1.803. Jumlah pasien Laki-laki terdiri dari 1.202 orang dan jumlah perempuan 601 orang.

Jumlah kategori umur yang terbanyak adalah umur 23-43 berjumlah 1.120 orang, kategori umur 20-22 tahun berjumlah 198 orang, umur 44- 50

(10)

berjumlah 359 orang, umur 1-14 tahun 33 orang,umur 15-19 tahun 82 orang dan umur < 1 tahun 16 orang.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Bungsu, jumlah pasien yang pernah masuk dalam pengobatan ARV adalah 1.803 orang sejak tahun 2004 – April 2019, dari jumlah pasien yang masuk dalam pengobatan ARV yang hitung tingkat kepatuhannya adalah 718 orang dan yang lainnya tidak di hitung dengan alasan pindah pengobatan, meninggal dunia dan tidak mau minum obat ARV lagi, dan dari jumlah pasien yang dihitung tingkat kepatuhannya di dapatkan kepatuhan 95% adalah 621 orang (kepatuhan Baik) , tingkat kepatuhan 85% adalah 57 orang (kepatuhan sedang) dan tingkat kepatuhan < 80% ada 40 orang(kepatuhan rendah). Hal ini bisa terjadi karena rata- rata pasien saat minum obat dan kontrol didampingi teman sebaya. Menurut hasil wawancara terhadap pasien yang datang kontrol mengambil obat atau memeriksakan kesehatannya ke klinik Rawat Jalan RSU Bungsu terhadap 9 orang pasien HIV-AIDS bahwa 6 dari 9 orang pasien yang sedang dalam pengobatan ARV, mengatakan pasien di dampingi oleh teman sebaya saat minum obat, ketika pasien tidak di dampingi oleh teman sebaya dalam hal minum obat atau tidak di dampingi saat kontrol, pasien mengatakan kadang-kadang minum obat bisa terlewat / lupa bahkan malas minum obat sehingga jam minum obatnya tidak teratur, pasien mengatakan kurang termotivasi ketika tidak di dampingi oleh teman, teman sebaya menjadi tempat konsultasi dalam berbagai masalah yang di hadapi pasien terutama mengenai masalah penyakit

(11)

yang dialami . Dilihat dari data kunjungan pasien yang datang ke RSU Bungsu saat ini, pasien didominasi oleh Pasien HIV Lelaki Suka Lelaki (LSL) dan yang menjadi pendamping teman sebaya adalah sesama lelaki ,ada beberapa Pasien mengatakan tidak mempunyai teman sebaya untuk mengingatkan minum obat dan yang menjadi pendamping minum obat adalah diri sendiri atau keluarga. Berdasarkan penjabaran latar belakang masalah diatas, maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian mengenai

“Hubungan Dukungan Teman Sebaya Terhadap Kepatuhan Minum Obat ARV Pada Pasien HIV-AIDS Di Rumah Sakit Umum Bungsu Bandung tahun 2019”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Identifikasi masalah di atas maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut “Bagaimana hubungan dukungan teman sebaya terhadap kepatuhan minum obat ARV pada pasien HIV-AIDS?”

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengidentifikasi antara hubungan dukungan teman sebaya terhadap kepatuhan minum obat ARV pada pasien HIV-AIDS

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi kepatuhan minum obat pada pasien HIV –AIDS b. Mengidentifikasi dukungan teman sebaya pada pasien HIV-AIDS c. Mengetahui hubungan dukungan teman sebaya terhadap kepatuhan

minum obat pada pasien HIV –AIDS

(12)

D. Manfaat

1. Manfaat Teori

Untuk menambah salah satu sumber informasi dalam bidang keperawatan khususnya asuhan keperawatan pada kasus kepatuhan minum obat ARV terhadap penderita HIV-AIDS

2. Manfaat praktis a. Perawat

Sebagai bahan masukan untuk lebih meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya melalui penerapan asuhan keperawatan kepada pasien dalam kasus kepatuhan minum obat ARV pada pasien HIV-AIDS b. Rumah Sakit

Memberikan informasi hasil penelitian yang diperoleh tentang hubungan dukungan teman sebaya terhadap kepatuhan minum obat ARV.

c. Institusi Pendidikan

Sebagai masukan bagi institusi untuk pengembangan pendidikan di masa yang akan datang, memfasilitasi pengadaan literatur dan buku- buku terbaru tentang pengaruh dukungan teman sebaya terhadap kepatuhan minum obat ARV pada pasien HIV-AIDS

d. Pasien

Agar pasien mengetahui manfaat kepatuhan minum obat ARV pada Pasien HIV-AIDS.

(13)

E. Ruang Lingkup Penelitian 1. Lingkup Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juli 2019.

2. Lingkup Tempat

Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Bungsu Bandung berdasarkan jumlah kunjungan pasien.

3. Lingkup Materi

Materi dalam penelitian ini mengacu pada Keperawatan Medikal Bedah dan Ilmu Keperawatan Jiwa serta pedoman peningkatan mutu rumah sakit.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti didapatkan data bahwa di Rumah Sakit Islam Purwokerto sudah tersedia perangkat pendukung untuk pelaksanaan pemenuhan

Berdasarkan survei awal yang dilakukan di Rumah Sakit Horas Insani Pematang Siantar tanggal 1 April 2014, peneliti mendapatkan bahwa ada dari 10 orang

Tingginya angka kunjungan pasien cedera kepala ini seandainya tidak tertangani dengan baik mulai dari pasien masuk ke rumah sakit sampai pasien keluar dari rumah sakit,

Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa pasien yang pada saat masuk rumah sakit mengalami risiko gizi yang tinggi berhubungan kuat dengan lama rawat

Peneliti melakukan studi pendahuluan awal pada bulan Juli 2019 di daerah Pesisir Kabupaten Probolinggo tentang niat dan alasan ayah atau ibu remaja untuk menikahkan

Hal tersebut diperjelas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, yang menyebutkan bahwa pelayanan farmasi

Berdasarkan hasil survey pendahuluan yang di lakukan peneliti tentang waktu tunggu pelayanan yang dihabiskan oleh konsumen atau pasien di loket pendaftaran Rumah Sakit Mata Cicendo

Tetapi pada saat penulis mengadakan studi pendahuluan di RSUD Kota Malang, penulis melihat bahwa penyimpanan dokumen rekam medis di rumah sakit tersebut masih belum terorganisir dengan