• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar belakang

Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi.

Pertama kali ditemukan pada tahun 1981 dan telah berkembang menjadi masalah kesehatan dunia (Depkes RI, 2006). Secara global jumlah kasus HIV/AIDS pada tahun 2012 sebanyak 35,3 juta, dengan infeksi baru pada tahun 2013 diperkirakan sebanyak 2,3 juta dan jumlah kematian sebanyak 1,6 juta. Terjadinya penambahan jumlah kasus sebanyak 700.000 dibandingkan tahun 2001, infeksi baru pada tahun 2012 telah menurun sebanyak 33%. Untuk kawasan Asia dan Pasifik, jumlah kasus baru pada tahun 2012 diperkirakan sebanyak 350.000 dengan penurunan 26% dari tahun 2001 (UNAIDS, 2013).

Pandemi HIV merupakan masalah dan tantangan serius terhadap kesehatan masyarakat di dunia, baik di Negara maju maupun di negara-negara berkembang. Setiap hari, lebih dari 6.800 orang terinfeksi HIV dan lebih dari 5.700 meninggal karena AIDS. Hal ini terutama disebabkan oleh kurangnya akses terhadap pelayanan pengobatan dan pencegahan HIV. Akan tetapi seiring kemajuan pembangunan dan teknologi serta perluasan pelayanan pengobatan antiretroviral (ARV), dalam kurun 2 tahun terakhir telah terjadi penurunan kematian akibat AIDS (Kemenkes RI, 2011).

Kasus HIV/AIDS pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali pada seorang wisatawan Belanda yang di diagnosa sebagai kasus AIDS, sejak itu perkembangan kasus secara cepat terus meningkat. Pada saat ini

(2)

perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan laporan UNAIDS (2013) yang menyatakan Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia dengan peningkatan infeksi baru HIV, dimana antara tahun 2001-2012 infeksi baru HIV/AIDS di Indonesia meningkat 2,6 kali dan diperkirakan jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China. Jumlah kumulatif kasus baru HIV/AIDS dan kematian berdasarkan tahun pelaporannya dapat dilihat pada Tabel 1:

Tabel 1. Jumlah kasus baru HIV dan AIDS serta kasus kematian berdasarkan pelaporan di Indonesia Tahun 2009 – September 2014

Tahun HIV AIDS Mati

2009 9.793 6.073 1.068

2010 21.591 6.907 1.296

2011 21.031 7.312 1.139

2012 21.511 8.747 1.489

2013 29.037 6.266 726

2014 s.d September 22.869 1.876 211

Jumlah 150.296 55.799 5.926

Sumber: Ditjen PP&PL Kemenkes RI, 17 Oktober 2014

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa jumlah kasus baru HIV/AIDS dan kematiannya terus mengalami peningkatan dari tahun 2009 – September 2014, meskipun ada penurunan jumlah kasus baru AIDS dan kematiannya di tahun 2013, akan tetapi jumlah kasus baru HIV terjadi peningkatan yang cukup tinggi. Jumlah kumulatif kasus AIDS berdasarkan kelompok umur yang terbanyak pada usia 20-29 tahun yaitu berjumlah 18.352 kasus, sedangkan berdasarkan jenis kelamin yang terbanyak adalah pada laki-laki yaitu berjumlah 30.001 kasus dan kelompok berisiko yang terbanyak adalah pada heteroseksual yaitu berjumlah 34.305 kasus (Kemenkes RI, 2014).

Jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS berdasarkan Provinsi, menempatkan Provinsi Jawa Tengah pada urutan keenam terbanyak dengan jumlah kumulatif kasus HIV sebanyak 9.032 kasus dan jumlah kumulatif kasus AIDS sebanyak 3.767 kasus. Sedangkan prevalensi kasus AIDS di Indonesia menempatkan Provinsi Jawa Tengah pada urutan ke-19 dari 33 Provinsi, dengan prevalensi kasus AIDS sebesar 11,63 per 100.000 penduduk

(3)

(Kemenkes RI, 2014). Kabupaten Cilacap merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah sebagai penyumbang angka kasus HIV dan AIDS yang terbanyak. Berdasarkan data dari seksi Pengendalian dan Pencegahan Penyakit serta Wabah dan Bencana (P3WB) Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap tahun 2014, jumlah kumulatif kasus HIV sebanyak 360 kasus dan jumlah kumulatif kasus AIDS sebanyak 135 kasus.

Jumlah kasus baru HIV dan kasus AIDS serta kasus kematian di Kabupaten Cilacap pada tahun 2009 – 2014 dapat dilihat pada Tabel 2:

Tabel 2. Situasi kasus baru HIV dan AIDS di Kabupaten Cilacap

Tahun HIV AIDS Meninggal

2009 38 27 28

2010 59 37 4

2011 33 28 4

2012 73 6 3

2013 70 24 1

2014 87 13 4

Jumlah 360 135 44

Sumber: Bidang PMK Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap, 2015

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa jumlah kasus baru HIV dan AIDS dari tahun 2009-2014 terus bertambah, dimana pada tahun 2014 terjadi peningkatan kasus baru HIV dan AIDS serta kasus kematian dibanding tahun 2013.

Masih tingginya jumlah kasus HIV dan AIDS di Kabupaten Cilacap dapat dikaitkan dengan status daerah Cilacap sebagai salah satu kawasan industri di Provinsi Jawa Tengah yaitu dengan adanya PT. Pertamina dan perusahaan semen PT. Holchim, sehingga banyak menyerap tenaga kerja lokal, luar daerah dan tenaga kerja asing, yang mana pekerjanya didominasi oleh tenaga kerja pria. Hal tersebut berhubungan dengan data kasus HIV/AIDS di Kabupaten Cilacap tahun 2014, diketahui proporsi kasus HIV/AIDS berdasarkan jenis pekerjaan diketahui bahwa karyawan/pegawai sebesar 20,47% dan menempati urutan kedua setelah ibu rumah tangga yaitu sebesar 39,13%, sedangkan menurut jenis kelamin yang terbanyak adalah laki-laki yaitu sebesar 60,67%.

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa kasus HIV/AIDS di Kabupaten Cilacap yang semula terkonsentrasi pada sub populasi tertentu (seperti pengguna jarum suntik/injecting drug user (IDU), wanita pekerja seks (WPS)

(4)

dan pasangannya serta lelaki suka lelaki (LSL) sekarang sudah menyebar luas pada masyarakat umum terutama pada ibu rumah tangga yang proporsi kasusnya pada tahun 2014 sebesar 39,13% dan menempati urutan pertama jumlah kasusnya, disusul warga binaan lapas (WBL) sebanyak 27%, Waria sebanyak 15% dan WPS sebanyak 10% (Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap, 2015b).

Melihat trend kasus HIV dan AIDS yang terus meningkat, pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah menunjuk RSUD Cilacap sebagai salah satu rumah sakit di Jawa Tengah sebagai pusat rujukan layanan pengobatan antiretroviral (ARV) dan layanan kesehatan penderita HIV/AIDS atau orang dengan HIV/AIDS (ODHA) melalui klinik voluntary counseling testing (VCT) berdasarkan SK dari Menteri Kesehatan tahun 2009. Sampai saat ini jumlah layanan kesehatan di Kabupaten Cilacap yang sudah memiliki klinik VCT adalah berjumlah 10 klinik VCT, dengan rincian 1 di RSUD Cilacap, 1 di RSUD majenang dan 9 di Puskesmas Kabupaten Cilacap, akan tetapi pusat rujukan dan pengobatan ARV pada ODHA masih dilakukan di RSUD Cilacap dan klinik VCT RSUD Majenang (Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap, 2015b).

Berdasarkan Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral tahun 2011 dikatakan bahwa untuk memulai terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi ARV atau belum. Sampai bulan Desember 2013 tercatat jumlah ODHA yang mendapatkan terapi ARV adalah sebanyak 73.774 orang, dimana 96%

diantaranya adalah dewasa dan 4% adalah anak-anak. Dari jumlah tersebut hanya 53% yang masih mengikuti terapi ARV, sementara 18,5% meninggal dunia, 7,7% pindah, 2,9% berhenti dan 17,3% loss to follow up. Diharapkan kepatuhan minum ARV pada ODHA yang menjalani terapi ARV adalah 100%

atau Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART), artinya semua kombinasi ARV harus diminum tepat dosis tanpa ada yang terlewati sesuai waktu dengan cara yang benar. Ada tiga klasisfikasi mengenai tingkat kepatuhan pengobatan

(5)

ARV yaitu tingkat kepatuhan ≥ 95% (kepatuhan baik) yang artinya kurang dari 3 dosis ARV tidak diminum dalam periode 30 hari, tingkat kepatuhan 80-95%

(kepatuhan sedang) yang artinya 3-12 dosis ARV tidak diminum dalam periode 30 hari, dan tingkat kepatuhan < 80% (kepatuhan rendah atau tidak patuh) yang artinya lebih dari 12 dosis ARV tidak diminum dalam periode 30 hari (Kemenkes RI, 2011).

Jumlah kumulatif ODHA yang pernah mendapatkan terapi ARV sampai bulan Januari 2015 yaitu sebanyak 242 orang dimana 236 (97,52%) adalah orang dewasa, 5 (2,07%) adalah remaja, dan 1 (0,41%) adalah anak-anak.

Berdasarkan jumlah tersebut dapat dirinci sebagai berikut: jumlah kumulatif yang dilaporkan meninggal dunia sebanyak 49 orang, jumlah kumulatif yang pasti menghentikan ARV sebanyak 0 orang, jumlah kumulatif yang tidak hadir dan lolos follow up >3 bulan sebanyak 24 orang, jumlah kumulatif yang dirujuk keluar dengan ARV sebanyak 23 orang, dan jumlah kumulatif ODHA dengan ARV sebanyak 146 orang. Gambaran tingkat kepatuhan minum ARV pada ODHA yang menjalani terapi ARV di Kabupaten Cilacap pada tahun 2013 diketahui bahwa yang menjalani terapai ARV dan dinilai kepatuhan minum obat sebanyak 117 orang dengan tingkat kepatuhan ≥95% yaitu berjumlah 72 orang (61,54%), tingkat kepatuhan 80-95% yaitu berjumlah 21 orang (17,95%), dan tingkat kepatuhan <80% yaitu berjumlah 24 orang (20,51%). Sedangkan pada tahun 2014 diketahui bahwa ODHA yang menjalani terapi ARV dan dinilai kepatuhan minum obat sebanyak 125 orang dengan tingkat kepatuhan ≥95% yaitu berjumlah 74 orang (59,2%), tingkat kepatuhan 80-95% yaitu berjumlah 32 orang (25,6%), dan tingkat kepatuhan < 80% yaitu berjumlah 19 orang (15,2%) (Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap, 2015b).

Dilihat dari data tersebut diketahui bahwa terjadi penurunan tingkat kepatuhan minum ARV pada ODHA yang menjalani terapi ARV pada tahun 2014 yaitu sebesar 61,66% dibanding tahun 2013 yaitu sebesar 64,28%. Hal tersebut sejalan dengan angka kematian akibat AIDS di Kabupaten Cilacap pada tahun 2013 berjumlah 1 orang dari 24 orang penderita AIDS atau Case Fatality Rate (CFR) sebesar 4,17%, meningkat signifikan pada tahun 2014 dengan jumlah

(6)

kematian akibat AIDS berjumlah 4 orang dari 13 orang penderita AIDS atau CFR sebesar 23,08%.

Penggunaan terapi ARV sebagai pengobatan infeksi HIV telah berkembang secara signifikan sejak kesuksesan uji terapeutik terhadap zidovudin (AZT/ZDV) pada tahun 1986. Terapi ini tidak dapat menyembuhkan HIV/AIDS, tetapi dapat memaksimalkan supresi replikasi HIV sehingga dapat mengurangi total morbiditas dan mortalitas pasien HIV/AIDS serta mereduksi transmisi perinatal (Wagner dalam Loue, 2013). Terapi ARV diharapkan dapat membuat viral load pada plasma pasien menjadi lebih rendah dari batas kuantifikasi atau tidak terdeteksi. Selain penurunan viral load, diharapkan terjadi peningkatan CD4, hal ini dapat mencegah terjadinya infeksi oportunistik pada pasien (Fletcher dalam Dipiro et al., 2005). Tujuan pemberian terapi ARV adalah untuk menghentikan replikasi HIV, memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi oportunistik, memperbaiki kualitas hidup pasien, serta menurunkan morbiditas dan mortalitas karena infeksi HIV (Nursalam et al., 2007) Dalam pemberian terapi ARV, ada tiga prinsip yang perlu dijadikan acuan, yaitu: 1) paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada dalam dosis terapeutik, prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan obat, 2) membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses pelayanan ARV, dan 3) menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen logistik yang baik. Monitoring dan evaluasi diperlukan untuk menilai keberhasilan program pengobatan ARV, dimana indikator keberhasilannya adalah: a) kepatuhan sesuai petunjuk; b) penurunan jumlah viral load setelah 6 bulan memulai terapi; c) peningkatan kualitas hidup atau penurunan jumlah kematian akibat AIDS, dan d) jumlah ODHA yang loss to follow up (Kemenkes RI, 2011).

Terapi ARV merupakan terapi yang membutuhkan ketelitian dan perhatian melalui kepatuhan terapi dari pasien. Diperlukan kepatuhan terapi yang tinggi untuk memperoleh kesuksesan pengobatan dan mengurangi kemungkinan terjadinya resistensi (Safren et al., 2008). Kepatuhan adalah istilah yang

(7)

digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien dalam minum obat secara benar tentang dosis, frekuensi dan waktunya (Nursalam et al., 2007).

Ketidakpatuhan terapi meliputi penundaan pengambilan resep, tidak mengambil obat yang diresepkan, tidak mematuhi dosis dan mengurangi frekuensi penggunaan obat (Bosworth, 2010a). Pasien dengan tingkat kepatuhan terapi yang rendah akan menunjukkan nilai viral load yang tinggi dan berisiko tinggi mengalami kegagalan terapi. Sebaliknya, pasien yang memiliki kepatuhan 100% akan mengalami supresi virus. Pasien yang menghentikan pengobatan ARV lebih berisiko mengalami progresivitas penyakit dan mortalitas (Bosworth, 2010b). Kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien serta komunikasi dan suasana pengobatan yang konstruktif akan membantu pasien untuk patuh minum obat.

Perilaku ODHA terhadap pengobatan ARV sangat mempengaruhi kelangsungan terapi yang dijalaninya. Menurut teori model perilaku kesehatan dari Lawrence Green (1980) menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh tiga faktor yaitu: 1) faktor predisposisi (predisposising factor), merupakan faktor yang mempermudah terjadinya perilaku sesorang meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, kebiasaan, nilai-nilai, norma sosial, budaya, dan faktor sosiodemografi. Hal tersebut dapat dihubungkan dengan kepatuhan ODHA dalam menjalani terapi ARV seperti faktor pengetahuan ODHA terhadap terapi ARV baik manfaat maupun efek sampingnya, sikap dan kepercayaan ODHA terhadap pengobatan ARV dan terhadap petugas kesehatan serta manfaat dari terapi ARV yang diterimanya. 2) faktor pendukung (enabling factor), berupa lingkungan fisik, sarana kesehatan atau sumber-sumber khusus yang mendukung dan keterjangkauan sumber dan fasilitas kesehatan, dimana kepatuhan ODHA terhadap pengobatan ARV akan dipengaruhi oleh kemudahan akses ke pelayanan kesehatan, ketersediaan obat ARV di pelayanan kesehatan, kelengkapan fasilitas layanan di VCT serta ketersediaan transportasi untuk pergi dan pulang ke pelayanan kesehatan. 3) faktor pendorong (reinforcing factor), yang memperkuat perilaku termasuk

(8)

sikap dan perilaku petugas dalam mearawat ODHA khususnya dokter, konselor dan tenaga kesehatan lainnya, adanya orang atau kelompok lain yang mendapatkan terapi ARV di tempat yang sama berupa kelompok dukungan sebaya, atau adanya dukungan sosial dari orang terdekat, keluarga, tokoh masyarakat atau adanya pengawas minum obat (PMO) ARV pada ODHA (Notoatmodjo, 2011). Menurut Kemenkes RI (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi atau faktor prediksi kepatuhan adalah; 1) fasilitas layanan kesehatan, 2) karakteristik pasien, yang meliputi faktor sosio-demografi, 3) paduan terapi ARV, 4) karakteristik penyakit penyerta, dan 5) hubungan pasien-tenaga kesehatan. Sebelum memulai terapi, pasien harus memahami program terapi ARV beserta konsekuensinya. Proses pemberian informasi, konseling dan dukungan kepatuhan harus dilakukan oleh petugas (konselor dan/atau pendukung sebaya/ODHA).

Berbagai penelitian yang telah dilakukan di berbagai negara untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan ketidakpatuhan terapi ARV pada ODHA, dimana hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukkan hasil yang belum konsisten. Menurut hasil penelitian Boyer et al.

(2011), bahwa faktor risiko yang paling berhubungan dengan ketidakpatuhan terapi ARV adalah mempunyai pasangan hidup (OR=1,51;95%CI=1,14-2,01), jenis kelamin (OR=1,23;95%CI=0,97-1,56), tingkat pendidikan (OR=1,28;95%CI=1,05-1,56), status pernikahan (OR=1,51;95%CI=1,14-2,01), sedangkan umur tidak berhubungan dengan kepatuhan terapi ARV (OR=

0,98;95%CI=0,89-1,08). Berdasarkan hasil penelitian Agu et al. (2011) bahwa pekerjaan berhubungan dengan kepatuhan terapi ARV (p= 0,025) sedangkan pendidikan tidak berhubungan dengan kepatuhan ARV (p= 0,147). Hasil penelitian lainnya diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan terapi ARV pada ODHA antara lain: usia dan jenis kelamin (Salami et al., 2010), pendidikan (Yaya et al., 2013), faktor risiko penularan HIV (Lebouche et al., 2006), dukungan sosial (Yuniar et al., 2012; Protopopescu, 2009; Amberbir et al., 2008), jarak rumah ke pelayanan kesehatan (Chabikuli et al., 2009; Markos et al., 2008), efek samping obat (Wasti et al., 2012; Chabikuli et al., 2010;

(9)

Protopopescu, 2009), durasi penyakit HIV/AIDS (Protopopescu, 2009), ketersediaan obat (Yuniar et al., 2012), stadium klinis HIV/AIDS (Naidoo et al., 2013; Wiens et al., 2012), infeksi oportunistik (Naidoo et al., 2013).

Pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan atau berhenti memakai ARV akan dapat meningkatkan resistensi terhadap ARV, meningkatkan risiko untuk menularkan HIV pada orang lain, serta meningkatkan risiko kematian pada ODHA. Penggunaan obat ARV diperlukan kepatuhan tinggi untuk mendapatkan keberhasilan terapi dan mencegah resistensi. Untuk mendapatkan respon penekanan jumlah virus sebesar 85% diperlukan kepatuhan penggunaan obat 90-95%. ODHA harus minum obat rata-rata sebanyak 60 kali dalam sebulan maka pasien diharapkan tidak lebih dari 3 kali lupa minum obat.

Adanya ketidakpatuhan terhadap terapi ARV dapat memberikan efek resistensi obat sehingga obat tidak dapat berfungsi atau gagal (Kemenkes RI, 2011).

Untuk mengurangi jumlah ODHA yang tidak patuh terhadap pengobatan ARV perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan pengobatan ARV pada ODHA dewasa yang mendapatkan terapi ARV, khususnya di Kabupaten Cilacap, sehingga diperoleh gambaran yang spesifik pada ODHA yang tidak patuh terhadap pengobatan ARV serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga instansi terkait, tenaga kesehatan, konselor dan dukungan sebaya serta praktisi lainnya dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan efektivitas program terapi ARV khususnya di klinik VCT Kabupaten Cilacap.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah faktor karakteristik responden: usia, jenis kelamin, pendidikan, status pekerjaan, status pernikahan, faktor risiko penularan infeksi HIV dan Pengawas Minum Obat (PMO), Faktor regimen terapi ARV: efek samping obat ARV, Faktor karakteristik penyakit: stadium klinis penyakit HIV WHO, infeksi oportunistik, jumlah CD4, dan Faktor keadaan pelayanan kesehatan: jarak rumah ke layanan kesehatan merupakan faktor risiko terhadap

(10)

ketidakpatuhan terapi ARV pada ODHA dewasa di klinik VCT Kabupaten Cilacap?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berisiko terhadap ketidakpatuhan terapi ARV pada ODHA dewasa di klinik VCT Kabupaten Cilacap.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui faktor karakteristik responden: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status pernikahan, faktor risiko penularan infeksi HIV, dan PMO merupakan faktor risiko terhadap ketidakpatuhan terapi ARV pada ODHA dewasa di klinik VCT Kabupaten Cilacap

b. Mengetahui faktor regimen terapi ARV: riwayat efek samping obat ARV merupakan faktor risiko terhadap ketidakpatuhan terapi ARV pada ODHA dewasa di klinik VCT Kabupaten Cilacap

c. Mengetahui faktor karakteristik penyakit: stadium klinis HIV WHO, infeksi oportunistik, dan jumlah CD4 merupakan faktor risiko terhadap ketidakpatuhan terapi ARV pada ODHA dewasa di klinik VCT Kabupaten Cilacap.

d. Mengetahui faktor keadaan pelayanan kesehatan: jarak rumah ke layanan kesehatan merupakan faktor risiko terhadap ketidakpatuhan terapi ARV pada ODHA dewasa di klinik VCT Kabupaten Cilacap.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Dapat menambah pengetahuan, pengalaman dan memperkaya wawasan ilmiah khususnya tetang penyakit HIV/AIDS, terapi ARV dan faktor- faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan terapi ARV pada ODHA dewasa

2. Bagi Pemerintah/Instansi Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap

(11)

Dapat memberikan gambaran dan informasi tentang tingkat kepatuhan terapi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terapi ARV pada ODHA yang menjalani terapi ARV sehingga diharapkan dapat dijadikan masukan untuk efektivitas program terapi ARV pada ODHA dewasa di Kabupaten Cilacap.

3. Bagi klinik VCT RSUD Kabupaten Cilacap

Dapat memberikan gambaran dan informasi tentang tingkat kepatuhan terapi ARV dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terapi ARV pada ODHA dewasa yang menjalani terapi ARV di klinik VCT RSUD Cilacap Kabupaten Cilacap, sehingga dapat dijadikan masukan untuk perbaikan dan peningkatan kualitas layanan di VCT terhadap pasien HIV/AIDS

4. Bagi Masyarakat khususnya penderita HIV/AIDS

Dapat memberikan informasi dan menambah pengetahuan tentang penyakit HIV/AIDS, terapi ARV dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terapi ARV, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan ARV dalam upaya meningkatkan kualitas hidup ODHA.

(12)

Peneliti Judul penelitian Hasil penelitian Persamaan Perbedaan Fithria (2010) Faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat kepatuhan pengobatan ARV pada ODHA di RSUD Tugurejo dan RSU Panti Wilasa Citarum, Semarang

Usia, efek samping obat, depresi, persepsi terhadap terapi, jumlah obat yang diminum, IO, jarak ke pelayanan kesehatan, ketersediaan transportasi, biaya, dan dukungan petugas kesehatan merupakan faktor- faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terapi ARV.

Variabel bebas: usia, efek samping, infeksi oportunistik, depresi, jarak ke pelayanan kesehatan, ketersediaan obat Variabel terikat: Tingkat kepatuhan terapi ARV

Variabel bebas: persepsi

terhadap terapi ARV, konsumsi alkohol dan narkotika, jenuh terhadap pengobatan, takut akan pandangan masyarakat

Lokasi penelitian: Semarang Desain penelitian: crossectional Analisis data: metode korelasi sederhana menggunakan Kendall’s tau-b

Pengukuran kepatuhan dengan metode self report melalui kuesioner.

Ubra (2012) Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan minum ARV pada pasien HIV di Kabupaten Mimika- Provinsi Papua

Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terapi ARV adalah pendidikan, pekerjaan, suku, dan dukungan keluarga.

Variabel bebas: usia, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan, efek samping obat ARV, akses ke pelayanan kesehatan, dukungan sosial.

Variabel terikat: Tingkat kepatuhan terapi ARV

Pengukuran kepatuhan dengan metode pill count

Variabel bebas: jaminan

kesehatan, riawayat ganti ARV, riwayat konsumsi alkohol, pengalaman stigma di layanan kesehatan, pelayanan konseling kepatuhan.

Desain penelitian: crossectional.

Lokasi penelitian di RSUD Kab.

Mimika

Instrumen penelitian: Kuesioner

(13)

Hospital, South Ethiopia

merupakan faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terapi ARV

ARV

Variabel: Sosio-demografi, efek samping obat, jarak ke pelayanan kesehatan

Metode pengukuran kepatuhan terapi: pill count

Sumber data: primer dan sekunder

Boyer et al.

(2011)

Non-adherence to antiretroviral treatment and unplanned

treatment interruption among people living with HIV/AIDS in Cameroon: individual and healthcare supply- related factors

Faktor mempunyai pasangan utama tetapi tidak tinggal serumah, diskriminasi dari keluarga dan lingkungan, kurangnya masukan makanan dari biasanya, switch regimen ARV, stok obat habis, dan dukungan sosial merupakan faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan terapi ARV pada ODHA

Subjek: ODHA dewasa Variabel bebas: karakteristik responden, regimen terapi ARV, jumlah CD4, dukungan sosial.

Desain penelitian: crossectional Variabel bebas: BMI, konsumsi alkohol, pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan

Lokasi penelitian: Kameru Metode pengukuran kepatuhan:

pill count dan self report Sumber data: primer dan sekunder.

Yone et al.

(2013)

Non-adherence to antiretroviral therapy in Yaounde:

prevalence,

determinants and the concordance of two screening criteria

Faktor penghasilan, pekerjaan, konsumsi alkohol, profilaksi kotrimoksazol, agama Kristen pentakosta, dan regimen terapi merupakan faktor yang

berhubungan dengan ketidakpatuhan terapi ARV pada ODHA.

Subjek: ODHA dewasa Variabel bebas: umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pasangan hidup, infeksi oportunistik, regimen terapi, jumlah CD4, dan durasi ARV.

Desain penelitian: crossectional Variabel bebas: konsumsi alkohol, depresi, perokok, anxietas, penggunaan kondom, urban residen.

Teknik sampel: random sampling, Metode pengukuran kepatuhan: self report Lokasi penelitian: Kamerun

Referensi

Dokumen terkait

“Biarlah kita bersyukur kepada TUHAN karena kasih setia-Nya, karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap anak- anak manusia, sebab dipuaskan-Nya jiwa yang dahaga,

Lakukan kamprotan halus dengan campuran semen dan pasir yang telah di ayak/saring pada bagian beton yang telah di waterproofing untuk melindungi lapisan waterproofing

Pondasi ini memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan pondasi konvensional yang lain diantaranya yaitu KSSL memiliki kekuatan lebih baik dengan penggunaan

Dari data kuisioner pra UP diatas terlihat bahwa penilaian responden atau pengguna sistem informasi rawat inap terhadap kualitas layanan sistem masih

Arus listrik sebesar 40 miliamper akan dibagi menjadi dua cabang arus masing-masing sebesar 30 miliamper dan 10 miliamper melalui suatu jaringan resistor di mana

2. Jelaskan kedudukan akhlak dalam ajaran islam! 3. Mengapa akhlak menjadi simbol harkat dan martabat seorang muslim!

Penjualan energy listrik sebagai dampak dari kebutuhan listrik harus sejalan dengan jumlah produksi energy listrik, artinya pengelolaan energy listrik harus dilakukan

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat