1 A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan suatu hal mutlak yang perlu dijaga, bukan hanya menjadi tanggung jawab individu semata melainkan juga tanggung jawab bagi masyarakat maupun pemerintah. Pemenuhan kebutuhan kesehatan bisa didapat dari makanan. Makanan merupakan substansi yang dibutuhkan oleh tubuh dan memegang peranan yang penting untuk kesehatan manusia, mengingat setiap saat dapat tejadi penyakit yang diakibatkan oleh makanan(1).
Data World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa penyakit akibat makanan (foodborne disease) dan diare karena cemaran air (waterborne disease) menyebabkan kematian sampai mencapai sekitar 2 juta orang per tahun, termasuk diantaranya anak-anak. Makanan tidak aman ditandai dengan adanya kontaminasi bakteri berbahaya, virus, parasit, atau senyawa kimia menyebabkan lebih dari 200 penyakit, mulai dari keracunan makanan, diare sampai dengan kanker.(2) Di seluruh dunia, diperkirakan 600 juta hampir 1 dari 10 orang jatuh sakit setelah makan makanan yang terkontaminasi setiap tahunnya, mengakibatkan 420.000 orang meninggal karena hal itu dan hilangnya 33 juta masa hidup sehat. Sementara
itu akses terhadap makanan yang bergizi dan aman secara cukup merupakan kunci untuk mempertahankan kehidupan dan meningkatkan kesehatan.(3)
Undang-Undang No. 18 tahun 2012 Tentang Pangan menyatakan bahwa kualitas pangan yang dikonsumsi harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya adalah aman, bergizi, bermutu, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Aman maksudnya pangan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pada dasarnya bahan makanan yang mengandung protein serta kadar air yang tinggi apabila disimpan lama maka akan mempercepat proses pembusukan dan jika disimpan di suhu dan tempat yang kurang baik pun juga mempercepat pertumbuhan bakteri dan jamur. Oleh sebab itu, dewasa ini produsen makanan banyak mensiasati bagaimana agar makanan menjadi awet, tahan lama dan masih layak dijual dengan menambahkan bahan pengawet.
Bahan pengawet umumnya digunakan untuk memperpanjang masa simpan bahan makanan yang mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses degradasi bahan pangan terutama yang disebabkan oleh faktor biologi. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan makanan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan makanan lainnya karena makanan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda. Beberapa bahan pengawet yang umum digunakan adalah benzoat, propionat, nitrit, nitrat, sorbat dan sulfit.(4)
Menurut Permenkes RI No. 033 tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan formalin merupakan bahan yang dilarang digunakan sebagai Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada makanan. Formalin sering digunakan sebagai desinfektan untuk bahan pembersih lantai, sebagai germisida, dan fungisida pada sayuran dan tanaman, serta sebagai pembasmi serangga dan bahan pengeras untuk mengawetkan mayat.(5) Formalin bukan merupakan BTP pada makanan, namun sering dipakai masyarakat dalam mengawetkan makanan. Kesadaran yang tinggi akan makanan sehat belum optimal dimiliki oleh sebagian masyarakat sebagai produsen atau sebagai konsumen. Telah banyak ditemui kasus keracunan makanan akibat adanya tambahan bahan kimia berbahaya sebagai BTP atau zat aditif makanan yang berbahaya seperti formalin, borax, Rhodamin B.(6)
Kepala Bidang Tata Kelola Data dan Informasi melaporkan kasus keracunan dari Rumah Sakit di Indonesia pada tahun 2017, diketahui bahwa penyebab keracunan terbesar berasal dari binatang, minuman dan zat kimia. Berdasarkan data Sentra Informasi Keracunan (SIKer) Nasional, kasus keracunan Nasional yang terjadi di tahun 2016 berdasarkan kelompok penyebab yang disebabkan oleh makanan sebanyak 1068 kasus. Sedangkan insiden keracunan Nasional tahun 2016 yang disebabkan oleh makanan merupakan insiden yang paling tinggi dengan jumlah 135 insiden.
Hasil pengawasan yang dilakukan oleh Balai Besar POM tahun 2018 menunjukkan bahwa dari total sampel sebanyak 14.374 terdapat 712 sampel (4,95%) tidak memenuhi syarat (TMS) terhadap bahan berbahaya. Hal tersebut
dikarenakan temuan penggunaan bahan berbahaya pada produk pangan jajanan mengandung formalin yang ditemukan di berbagai kota besar di Indonesia seperti Banda Aceh, Medan, Batam, Palembang, Pangkal pinang, Jakarta, Bandung, Serang, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Mamuju. Sebanyak 282 (37,80%
dari total sampel TMS) terdapat pada tutut, mie kuning, ikan asin, teri, kolang kaling, tahu, cincau, pempek, cendol, sotong, siomay, risoles, sambal tahu, jeli, sawi asin, daging tiram, sarang burung, tekwan.(7) Balai Besar POM Kota Bandung tahun 2018 melakukan pengambilan sampel makanan di berbagai tempat di Kota Bandung, jumlah sampel sebanyak 2178 dengan hasil 1813 sampel (83,24%) Memenuhi Syarat dan 365 sampel (16,76%) TMS. Hasil uji yang positif formalin ditemukan pada sampel tidak memenuhi syarat yaitu terdapat pada mie, terasi, tahu, bakso dan ikan asin.(8)
Formalin mempunyai kemampuan untuk mengawetkan makanan karena formalin dapat mengikat protein membentuk ikatan methylene (-NCHOH). Protein pada ikatan methylene ini tahan terhadap kerusakan, baik yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme maupun oksidasi, sehingga makanan tersebut terhindar dari kerusakan dan menjadi awet.(9) Formalin sangat berbahaya jika tertelan. Jika dikonsumsi dalam jangka panjang, formalin dapat merusak hati, ginjal, limpa, pankreas, dan organ lainnya di dalam tubuh.(10). Jika kandungan dalam tubuh tinggi, formalin akan bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel dan bisa menyebabkan kanker, karena formalin bersifat karsinogenik.(11)
Berdasarkan Permenkes RI No. 033 tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan kandungan formalin pada makanan harus 0 atau artinya negatif, hal ini karenakan formalin dilarang digunakan pada makanan. Menurut American Conference of Governmental and Industrial Hygienists (ACGIH) menetapkan ambang batas aman formalin dalam tubuh adalah 0,4 ppm. National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) menyatakan formalin berbahaya bagi kesehatan pada kadar 20 ppm.(12)
Di sisi lain, ancaman bahaya formalin dalam bahan makanan diperparah oleh rendahnya pengetahuan masyarakat dalam mengolah bahan makanan. Kebiasaan sebagian masyarakat dalam memasak, belum beroritentasi pada nilai gizi dan keamanan bahan makanan. Umumnya, sebagian masyarakat memasak bahan makanan lebih berorientasi pada cita rasa dan tampilan, sehingga aspek utama menyediakan bahan makanan sehat dan aman terabaikan.
Menurut Elfira, 2017 menyebutkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang kurang sebanyak 7 (21,9%), dan yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 5 (15,6%) responden.(13) Menurut penelitian Sriyono, 2015 sebanyak (72,73%) responden tidak mengetahui cara menghilangkan formalin dari bahan makanan. Masyarakat pada umumnya akan memilih dan membeli makanan yang mereka butuhkan tanpa menyadari bahaya makanan bagi kesehatan karena tidak jarang ditemukan adanya bahan pengawet seperti formalin.(14) Hal tersebut
ditunjang oleh perilaku konsumen yang cenderung membeli makanan dengan harga murah tanpa memperhatikan kualitas.
Kelurahan Antapani Tengah memiliki RW paling banyak diantara kelurahan lainnnya, terdiri dari 23 RW, 152 RT, 26 Posyandu, dan memiliki 278 orang kader.
Kader Posyandu memiliki peran untuk meningkatkan derajat kesehatan, salah satunya dalam hal konsumsi makanan yang aman dari bahan berbahaya seperti formalin. Kader membantu individu dan masyarakat dalam mengadopsi perilaku gaya hidup sehat.(15) Untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya peningkatan pengetahuan dan pemahaman kader Posyandu mengenai formalin. Dengan adanya kader Posyandu maka dapat membantu masyarakat dalam rangka peningkatan pengetahuan tentang formalin.
Data Puskesmas tahun 2012, ditemukan makanan yang mengandung formalin pada sampel cireng, gehu, mie goreng, cilok, mie, bakso, dan tahu. Tahun 2014 hasil pengujian dari 2 sampel makanan, 1 sampel positif formalin ditemukan pada baso ikan. Pada bulan Maret tahun 2020 dilakukan pengujian makanan di UPT Puskesmas Antapani, sebanyak 3 sampel makanan positif mengandung formalin.
Tanggal 19 Juni tahun 2020 dilakukan pemeriksaan formalin pada 3 sampel makanan, hasil laboratorium menunjukkan bahwa 2 sampel positif mengandung formalin, yaitu pada mie dan tahu.
Hasil studi pendahuluan menunjukkan adanya makanan yang mengandung formalin, hal tersebut membuktikan bahwa masih ditemukannya makanan berformalin di Kelurahan Antapani Tengah, padahal pemerintah telah melarang
penggunaan formalin pada makanan dalam Permenkes RI No. 033 tahun 2012.
Disertai dengan penelitian sebelumnya bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang kurang tentang ciri-ciri bahan makanan yang mengandung pengawet dan bahayanya terhadap kesehatan. Menurut Notoatmodjo pengetahuan kader sangat penting dalam mendasari terbentuknya perilaku yang mendukung atau tidak mendukung mengenai makanan yang mengandung formalin. Kader dengan pengetahuan rendah merupakan faktor predisposisi yang mendukung dalam perilaku. Peran kader sangat diperlukan dalam membimbing, memberikan penyuluhan, mengingatkan dan menyediakan fasilitas kepada masyarakat.
Pengetahuan, sikap, dan perilaku kader Posyandu tentang BTP pada makanan harus baik, karena peran kader Posyandu untuk meningkatkan derajat kesehatan dengan pemberdayaan masyarakat, di mana masyarakat berinisiatif untuk memulai proses kegiatan sosial untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri.
Pemberdayaan masyarakat merupakan hal penting yang dilakukan dalam merubah pemahaman masyarakat, dalam hal ini adalah makanan sehat tanpa BTP yang dilarang seperti formalin. Kekhawatiran ini menyebabkan perlunya dilakukan suatu pelatihan atau sosialisasi tentang penyalahgunaan formalin pada makanan dan bahayanya bagi kesehatan guna meningkatkan pengetahuan, sikap, serta perilaku kader Posyandu dalam mengkonsumsi makanan yang sehat dan bebas dari bahan berbahaya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti pengetahuan dan sikap kader Posyandu terhadap perilaku mengenai makanan yang mengandung
formalin, mengingat peran kader sangat berpengaruh dalam meningkatkan derajat kesehatan di Kelurahan Antapani Tengah Kota Bandung.
B. Identifikasi Masalah
Hasil studi pendahuluan menunjukkan masih ditemukannya makanan yang mengandung formalin di Kelurahan Antapani tengah. Hal tersebut tidak sesuai dengan Permenkes RI No. 033 tahun 2012 yang melarang penggunaan formalin pada makanan karena dampak negatifnya bagi kesehatan. Hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa makanan yang mengandung formalin dikarenakan kurangnya pengetahuan para penjual maupun konsumen tentang BTP yang dilarang.
Peran kader Posyandu sangat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam konsumsi makanan yang sehat dan bebas dari formalin. Maka identifikasi masalahnya adalah “Bagaimana hubungan tingkat pengetahuan dan sikap kader Posyandu dengan perilaku mengenai makanan yang mengandung formalin di Kelurahan Antapani Tengah Kota Bandung tahun 2020?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengkaji hubungan tingkat pengetahuan dan sikap kader Posyandu terhadap perilaku mengenai makanan yang mengandung formalin di Kelurahan Antapani Tengah Kota Bandung.
2. Tujuan Khusus
a. Mengkaji tingkat pengetahuan kader Posyandu tentang formalin di Kelurahan Antapani tengah Kota Bandung
b. Mengkaji sikap kader Posyandu terhadap informasi bahaya formalin pada makanan di Kelurahan Antapani Tengah Kota Bandung
c. Mengkaji perilaku kader Posyandu mengenai makanan yang mengandung formalin di Kelurahan Antapani Tengah Kota Bandung d. Menghubungkan pengetahuan dengan Perilaku kader Posyandu
mengenai makanan yang mengandung formalin di Kelurahan Antapani Tengah Kota Bandung
e. Menghubungkan sikap dengan perilaku kader Posyandu mengenai makanan yang mengandung formalin di Kelurahan Antapani Tengah Kota Bandung.
f. Menghubungkan pengetahuan dan sikap kader Posyandu dengan perilaku mengenai makanan yang mengandung formalin di Kelurahan Antapani Tengah Kota Bandung.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pemerintah
Dapat menjadi bahan evaluasi bagi Dinas Kesehatan, BPOM dan Puskesmas agar memberikan perhatian dan sosialisasi kepada masyarakat tentang BTP pada makanan.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini sebagai kontribusi dalam menambah kepustakaan di STIKes Dharma Husada Bandung khususnya Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat
3. Bagi Masyarakat
Sebagai sumber informasi bagi masyarakat tentang bahaya konsumsi makanan yang mengandung formalin sehingga lebih cermat dalam memilih makanan yang aman
4. Bagi Peneliti
Sebagai sarana pengembangan pengetahuan, menambah wawasan dan pengalaman di dalam penelitian mengenai pengetahuan dan sikap kader Posyandu tentang Bahan Tambahan Pangan yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat serta sebagai sarana promosi dan pencegahan kepada masayarakat, untuk meningkatkan derajat kesehatan.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berjudul “Hubungan Pengetahuan dan sikap kader Posyandu dengan perilaku mengenai makanan yang mengandung formalin di Kelurahan Antapani Tengah Kota Bandung tahun 2020”. Subjek penelitian ini adalah kader Posyandu di Kelurahan Antapani Tengah Kota Bandung tahun 2020. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji hubungan pengetahuan dan sikap kader Posyandu dengan perilaku mengenai makanan yang mengandung formalin di Kelurahan
Antapani Tengah Kota Bandung. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juni- Agustus tahun 2020.
Penelitian ini bersifat deskriptif-kuantitatif analitik dengan pendekatan cross sectional. Penentuan sampel dilakukan dengan teknik Accidental Sampling.
Pengumpulan data terkait pengetahuan, sikap, dan perilaku menggunakan kuesioner secara online. Kemudian analisis data dilakukan menggunakan software pengolahan data.