Stigma dan diskriminasi menyebar dengan cepat sehingga menimbulkan kecemasan dan prasangka buruk terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).5. Berdasarkan penilaian ini, pengidap HIV/AIDS mengalami perlakuan tidak adil, diskriminasi dan stigma karena penyakit yang mereka derita. Besarnya resistensi masyarakat dan lingkungan terhadap kehadiran pengidap HIV/AIDS menyebabkan sebagian pengidap HIV hidup dalam menyembunyikan statusnya.
Stigma terhadap ODHA berdampak besar terhadap program pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS, termasuk kualitas hidup ODHA. Hubungan tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan stigma terhadap ODHA menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS mempunyai hubungan antara stigma dan ODHA oleh petugas kesehatan di puskesmas. Faktor penyebab stigma dan diskriminasi antara lain kurangnya sosialisasi mengenai pendidikan HIV/AIDS secara komprehensif kepada petugas kesehatan, atau beredarnya rumor atau informasi mengenai penyakit HIV yang tidak benar di kalangan masyarakat.
Dinamika Psikologis Orang Dengan HIV/AIDS
Dampak Penyakit HIV/AIDS
Secara umum kondisi fisik pengidap HIV akan mengalami perubahan seperti kondisi fisik memburuk, mulut kering, sulit menelan, mudah tertular TBC, hepatitis, jamur kulit, akibat menurunnya daya tahan tubuh hingga berujung pada kematian. Banyak hal yang bisa diakibatkan oleh permasalahan sosial pada Odha, yang tidak hanya berdampak pada kondisi penderitanya saja, namun juga berdampak pada kondisi sekitar. Pengaruh sosial yang dialami oleh mereka yang terinfeksi virus HIV pada umumnya adalah rasa takut tidak diterima dalam bersosialisasi maupun di lingkungan keluarganya sendiri, dan selain itu, bagi mereka yang terinfeksi virus HIV, ketakutan yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana menjalani masa depan. dan sisanya. hidup mereka.
Sedangkan ketakutan yang muncul di masyarakat luas adalah ketakutan tertular HIV/AIDS dari orang yang sudah pernah tertular sebelumnya, hal inilah yang membuat pengidap HIV terkucil dan orang yang sakit juga cenderung tertular.
Morbiditas penyakit HIV/AIDS
Strategi Three zero HIV/AIDS
AIDS menargetkan Three Zeros pada tahun 2030, termasuk tidak ada lagi penularan infeksi HIV baru, kematian terkait AIDS, dan stigma serta diskriminasi terhadap orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Target tiga nol adalah bagi penderita Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS). Upaya meminimalisir penyebaran HIV/AIDS dapat dilakukan melalui pendidikan seks; Pantang (tidak berhubungan seks sebelum menikah), Setia (tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia), Kondom (berhubungan seks yang aman, termasuk menggunakan kondom; dalam segala hubungan seks yang beresiko), menghindari penggunaan jarum suntik atau alat penusuk kulit secara bergantian. dengan yang lain.
Untuk mengurangi angka kematian pengidap HIV, diperlukan perawatan dan pengobatan yang memadai serta akses yang cepat dan mudah terhadap obat antiretroviral, sehingga diharapkan dapat menyelamatkan nyawa mereka dan banyak orang lain dengan mengurangi risiko penyebaran virus melalui orang yang tidak terinfeksi. populasi. Stigma dan diskriminasi terhadap orang yang hidup dengan HIV atau orang yang hidup dengan HIV lebih besar dibandingkan dengan orang yang hidup dengan HIV/AIDS, hambatan dalam menangani pandemi ini lebih sulit di komunitas arus utama dan agama. Banyak orang yang merasa takut ketika mendengar kata HIV atau AIDS sehingga menjadi sumber stigma.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan peran aktif dan dukungan masyarakat baik dari unsur pemerintah, swasta, maupun komunitas untuk meminimalisir timbulnya stigma di masyarakat.
Peran KPAD
Hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Wabah Penyakit Menular yang menyatakan bahwa upaya pencegahan adalah segala upaya yang ditujukan untuk mengurangi angka kematian, membatasi penularan dan penyebaran penyakit. Selain menanggulangi HIV/AIDS, mereka juga perlu mengatasi permasalahan sosial terkait stigmatisasi dan diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS ketika mereka kembali ke komunitasnya. Menurut penelitian yang ada, keterlibatan KPAD dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS dinilai sangat membantu dalam mengatasi permasalahan HIV/AIDS, baik melalui partisipasi dalam sosialisasi HIV maupun melalui penyuluhan di berbagai lapisan masyarakat. partai dan LSM.
Pelayanan Puskesmas
Puskesmas Non Rawat Inap adalah Puskesmas yang tidak memberikan pelayanan rawat inap selain pertolongan persalinan normal. Puskesmas rawat inap adalah puskesmas yang diberikan sumber daya tambahan untuk menyelenggarakan pelayanan rawat inap dengan mempertimbangkan kebutuhan pelayanan. Enam program besar tersebut adalah upaya promosi kesehatan, upaya kesehatan lingkungan, upaya gizi masyarakat, upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana, upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, dan upaya pengobatan.
Puskesmas Bubakan merupakan puskesmas rujukan pelayanan HIV/AIDS, puskesmas ini merupakan puskesmas terpilih yang mempunyai fasilitas dan tenaga tertentu sesuai standar yang telah ditetapkan. Puskesmas Bubakan dikembangkan untuk memberikan pelayanan dasar HIV dan PMS yang tentunya pada tahapan tertentu memerlukan rujukan ke pelayanan tingkat sekunder atau tersier (RS kabupaten/kota atau RS provinsi) dan melibatkan semua pihak seperti KPA, SKPD lain, LSM organisasi, Kelompok Dukungan Sebaya, komunitas dan keluarga adalah staf intelijen HIV dalam kasus ini.
Kader Intel HIV
Kader Intelijen HIV atau dikenal juga dengan AIDS Care Residents merupakan sebuah inovasi pemberdayaan masyarakat yang bekerja sama antara masyarakat dengan puskesmas, dalam upaya pencegahan dan pengobatan penyakit HIV. Inti dari inovasi ini adalah membentuk jaringan di masyarakat untuk berkolaborasi dengan Puskesmas Bubakan Kabupaten Pacitan dalam hal memberikan informasi dan dukungan kepada ODHA yang sudah mandiri. Intel HIV murni pemberdayaan masyarakat karena mereka tidak dibayar oleh pemerintah, dan peduli terhadap masalah kesehatan, sehingga program ini sangat efektif dalam deteksi dini kasus HIV dan pendampingan bagi ODHA.
Kesepakatan musyawarah masyarakat desa mendorong dilakukannya perekrutan petugas intelijen HIV yang terdiri dari perangkat desa mulai dari Lurah, RT, RW, tokoh masyarakat, petugas pengambilan jenazah, karang taruna dan tenaga kesehatan yang berjumlah 35 kader aktif. mereka dibekali pengetahuan tentang HIV/AIDS oleh petugas puskesmas, serta tata cara sistem pelaporan dan pendampingan kepada ODHIV serta pemberian informasi tentang HIV/AIDS di masyarakat. Peran kerangka intelijen HIV ini adalah untuk memberikan upaya meningkatkan pengetahuan masyarakat dan mengurangi stigma dan diskriminasi, melakukan penilaian faktor risiko, dan mendorong upaya pencegahan. Informasi dan dukungan dari badan intelijen HIV sangat membantu dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit HIV. Oleh karena itu diharapkan stigma tentang HIV/AIDS atau ODHIV di masyarakat dapat berkurang.
Dukungan masyarakat dalam bentuk informasi HIV terbukti mampu mempercepat deteksi dini kasus HIV serta mengurangi stigma dan diskriminasi sosial ketika status pengidap HIV diketahui masyarakat. Kualitas hidup pasien membaik, dan penularan infeksi HIV ke keluarga (sebelum lahir) atau komunitas berisiko lebih mudah dikendalikan. Intel HIV bekerja secara sistematis, dampak positif dari personel tersebut adalah tersedianya data yang valid terhadap rencana kegiatan program pencegahan HIV/AIDS di tingkat Puskesmas, serta pemusatan penduduk dengan faktor risiko tinggi melalui pemetaan wilayah dan dapat mengurangi stigma terhadap orang yang hidup dengan HIV.
Rapat monitoring dan evaluasi kader intelijen HIV diadakan secara berkala di puskesmas atau di desa. Inovasi kader intelijen HIV juga pernah diikutsertakan dalam kompetisi inovasi pelayanan publik Jatim (Kovablik Jatim) 15,38.
Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap stigma negatif terhadap ODHA di masyarakat
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan stigma terhadap ODHA, yaitu pendidikan mempunyai hubungan dengan stigma pada penderita HIV, p<0,05 (p Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin rendah stigma yang dialami penderita HIV. terhadap penelitian tersebut signifikan dengan stigma terhadap ODHIV karena terdapat hubungan antara variabel pekerjaan dengan stigma terhadap ODHIV yaitu nilai X2hitung> X2tabel dan p-value < 0,05 yaitu 0,024 menunjukkan bahwa pekerjaan merupakan salah satu faktor yang berhubungan. terhadap stigma terhadap pekerjaan ODHIV yang berkaitan dengan populasi kunci HIV Pengetahuan atau kognitif merupakan faktor dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang karena dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih bertahan lama dibandingkan perilaku yang tidak didasari pengetahuan.
Pengetahuan seperti ini akan memotivasi individu untuk mempelajari lebih lanjut tentang inovasi tersebut dan kemudian mengadopsinya, inovasi tersebut diperkenalkan kepada masyarakat namun belum ada informasi yang pasti mengenai produk tersebut. How-to-Knowlegde (pengetahuan dipahami), yaitu pengetahuan tentang bagaimana menggunakan suatu inovasi dengan benar, pengetahuan jenis ini penting dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Prinsip-Pengetahuan (prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip berfungsi yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat berhasil.
Budaya sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang karena informasi baru akan disaring sesuai dengan budaya dan agama yang ada. Pemberian informasi yang dilakukan kader mengenai penyakit HIV di masyarakat diharapkan dapat mengurangi stigma terhadap ODHIV. Penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan stigma terhadap ODHA, dengan p-value < 0,05 (p). Hasil penelitian ini sejalan dengan teori bahwa dukungan psikologis.
Perbedaan individu dalam memberi makna terhadap informasi yang diterima langsung dari panca inderanya, hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Hal-hal yang secara langsung dapat mempengaruhi persepsi seseorang yaitu; pertama, sikap seseorang dalam kaitannya dengan objek persepsi, kedua, keinginan yang tidak terpenuhi dalam diri seseorang dapat mempengaruhi penafsiran yang akan diucapkan, yang ketiga yaitu pengalaman dan yang keempat adalah harapan, harapan dapat menimbulkan distorsi terhadap suatu fakta. terhadap obyek yang dipersepsi atau dari Dengan kata lain seseorang akan mempersepsikan suatu obyek atau peristiwa sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Sifat orang yang dipersepsikan, baik itu watak pribadi, sikap atau tingkah lakunya dapat mempengaruhi orang yang mempersepsikannya, karena orang dapat mempengaruhi persepsi satu sama lain, misalnya orang tua yang berinteraksi dengan anaknya dengan penuh perhatian, hangat, selalu antusias. , hal ini akan mempengaruhi persepsi anak terhadap orang tuanya.
Persepsi negatif terhadap ODHA berpengaruh terhadap kuatnya stigma terhadap ODHA, menurut temuan penelitian menunjukkan bahwa orang yang mempunyai persepsi negatif mempunyai risiko 2 kali lipat.