Radiasi matahari yang terintegrasi dari waktu ke waktu disebut radiasi matahari, insolasi, atau paparan matahari. Kekosongan antara matahari dan bumi menyebabkan radiasi matahari sampai ke permukaan bumi. Memahami jumlah radiasi matahari yang mencapai permukaan penting untuk lebih dari sekedar mengevaluasi potensi energi terbarukan.
Besarnya radiasi matahari yang sampai ke permukaan modul surya (Irpanel) pada sistem fotovoltaik dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2.1. Langkah pertama dalam penelitian ini adalah mengadopsi metode jaringan syaraf tiruan sebagai algoritma peramalan radiasi matahari di provinsi Jawa Tengah. Peramalan Radiasi Matahari Global Harian Menggunakan Algoritma Pembelajaran Mesin” yang diteliti oleh Agbulut dkk. (2021), mengulas berbagai metode prediksi radiasi matahari.
Dalam implementasinya, salah satu prediksi radiasi matahari berdasarkan metode jaringan syaraf tiruan dilakukan oleh Loghmari et al., (2018).
Estimasi Luas Area Atap Permukiman
Citra satelit mengklasifikasikan atap menurut bentuk, orientasi dan tinggi bangunan dengan morfologi yang berbeda-beda, serta menghitung luas atap bangunan bertingkat dengan mengklasifikasikan atap bernada, atap datar, atap bertingkat dan atap lainnya. Kemudian bandingkan luasnya dengan luas lantai bangunan dan dapatkan proporsi luas atap sekitar dan 0,1%; berturut-turut untuk atap bernada, datar, teras dan atap lainnya. Kebanyakan atap bernada memiliki bangunan 4 lantai dan atap datar memiliki bangunan 8 lantai, sehingga proporsi energi yang dihasilkan oleh sistem PV yang dapat dipasang diperkirakan dengan mempertimbangkan jumlah lantai.
Selain itu, sejumlah penulis di seluruh dunia telah menyelidiki hubungan antara kepadatan penduduk dan luas atap. 2008) menggunakan data yang dapat diakses seperti populasi, penggunaan lahan dan kepadatan bangunan dan menguji hubungannya dengan luas atap di Spanyol. Sampel yang representatif kemudian dipilih dari kelas bertingkat untuk mencerminkan distribusi kepadatan populasi di dalamnya untuk mengisolasi atap rumah dalam kumpulan sampel berdasarkan ortofoto resolusi tinggi yang tersedia. Berdasarkan prosedur tersebut disimpulkan bahwa perbandingan luas atap total dengan jumlah penduduk di seluruh wilayah Ontario adalah 70,0 m2/kapita atau setara dengan ± 6,2%.
Persamaan yang dibangun dari kumpulan sampel analisis ini digunakan untuk ekstrapolasi guna memperkirakan luas atap bruto untuk seluruh wilayah. Penelitian berlanjut dengan mengurangi luas atap secara keseluruhan untuk memperhitungkan luas yang dapat digunakan berdasarkan karakteristik atap perumahan dan komersial dalam kumpulan sampel. Charabi et al., (2010) mengimplementasikan GIS dalam penelitiannya yang berjudul “GIS-based estimasi kapasitas PV atap dan produksi energi untuk wilayah Seeb di Oman” untuk mengetahui potensi energi surya pada sistem fotovoltaik terintegrasi atap menggunakan pemrograman MATLAB dengan case studi di Muscat-Oman, Seeb.
Luas atap total diperkirakan menggunakan Google Earth, kemudian potensi luas atap dianalisis menggunakan ArcGIS untuk menghitung total luas atap yang tersedia. Pemrograman MATLAB dikembangkan untuk memperkirakan luas atap yang dapat digunakan dengan menghitung jarak dari tepi atap dan efek bayangan antar deretan modul surya. Namun dalam implementasinya, pengembangan penelitian ini menggunakan citra satelit MSI Sentinel 2A dan peta perencanaan fisik provinsi Jawa Tengah sebagai dasar estimasi luas rooftop permukiman.
Produksi Energi Listrik Sistem Atap Fotovoltaik Permukiman
Jepang mensubsidi biaya pemasangan fotovoltaik surya di bangunan tempat tinggal sebesar sepertiganya; instalasi fotovoltaik yang terhubung ke jaringan listrik di Amerika meningkat menjadi 62 MW pada tahun 2004 dan di California menjadi 36,5 MW (Hongxing dkk. 2019). Sistem energi surya fotovoltaik pada atap telah diterapkan pada sebuah gedung sebagai sistem energi berkelanjutan dalam skala besar. Yang pertama adalah potensi fisik, yang meliputi jumlah maksimum energi matahari yang dapat diterima di suatu wilayah.
Penelitian bertajuk “Evaluasi potensi energi surya domestik di Taiwan yang menggabungkan analisis penggunaan kawasan” yang dikembangkan oleh Yue et al., (2011) menggabungkan evaluasi sumber daya energi surya di Taiwan dengan analisis penggunaan lahan. Penelitian lain bertajuk “Metodologi pemilihan lokasi berbasis GIS untuk sistem energi terbarukan hibrida: Studi kasus dari Turki Barat” dilakukan oleh Aydin et al., (2013) yang memperkenalkan metodologi berbasis GIS, teori himpunan fuzzy, dan keputusan multi kriteria -mencari lokasi optimal untuk sistem energi terbarukan hibrida energi surya-fotovoltaik (PV) – angin, yang berpotensi mengurangi kebutuhan penyimpanan energi. Langkah selanjutnya dalam penelitian ini adalah mengadopsi dan memodifikasi penelitian yang telah dipaparkan yaitu analisis potensi produksi listrik berbasis energi surya di provinsi Jawa Tengah.
Realisasi konsep oleh Izquierdo et al., (2008); Cheng-Dar Yue, (2011); dan Aydin et al., (2013) yang menggunakan lahan terbuka dan rooftop sebagai lokasi pemasangan panel surya, penelitian ini memodifikasinya dengan mengkaji lebih lanjut potensi mitigasi CO2 akibat pemasangan panel surya yang akan dikaji lebih detail pada berikut ini. sub-bab. Alat online PV-GIS menggunakan persamaan berikut untuk menghitung potensi tahunan sistem fotovoltaik yang terpasang. Dalam pengembangan kalkulator web PVGIS berbasis r.sun, rasio kinerja sistem (rp) yang digunakan untuk panel silikon mono dan polikristalin adalah 0,75 (Suri et al. 2005).
Menilai sumber daya surya dengan mengevaluasi energi sistem fotovoltaik hampir berbanding lurus dengan total radiasi matahari yang terjadi pada sistem. Dimana, 𝐶𝑅: Potensi kapasitas sistem fotovoltaik rooftop, kWp (kilowatt peak); 𝐶𝑀: daya masing-masing panel surya, Watt; 𝐴𝑀: luas per panel surya, m2; 𝐴𝑅: total luas atap yang tersedia untuk pemasangan panel surya, m2; dan 𝑅𝐶𝑅: rasio atap yang ditutupi panel surya. Benar, 𝐶𝑅: daya terpasang sistem fotovoltaik atap, kWp; 𝐼𝐺𝐻 ∶ radiasi global horizontal yang mengenai permukaan atap, kWh.m-2; dan 𝐷 : faktor reduksi akibat proses konversi.
Polusi udara yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil dapat berdampak negatif terhadap lingkungan alam dan kesehatan masyarakat (Diakoulaki et al. 2001). Pada penelitian sebelumnya, untuk mengetahui manfaat lingkungan dari penggunaan energi surya, dilakukan estimasi emisi yang dihasilkan dari penggunaan energi surya dan kemudian dibandingkan dengan sistem bahan bakar konvensional. Besarnya emisi tergantung pada ukuran kolektor surya dan energi tambahan yang diperlukan dan dibandingkan dengan sistem energi non-surya yang menggunakan bahan bakar konvensional (Kalogirou 2004).
Berdasarkan perhitungan ini, angka ini setara dengan nilai sekarang yang didiskon sebesar $56-789 miliar (median ~$250 miliar, setara dengan ~2¢/kWh-solar) manfaat iklim dan miliaran (median $167 miliar atau ~1,4 ¢/kWh- energi surya) dalam kualitas udara dan manfaat kesehatan masyarakat. Energi surya juga terbukti mengurangi pengeboran air sebesar 4% dan penggunaan air sebesar 9%, bahkan di banyak negara yang rawan kekeringan (Wiser dkk. 2016). 60 Penelitian yang dilakukan oleh Turney et al., (2011) menunjukkan bahwa dampak lingkungan dari pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik tenaga surya per kWh meningkat dengan berkurangnya insolasi di daerah berawan atau di ketinggian.
Pembangkit listrik tenaga surya yang terletak di gurun dan tempat lain di mana pasokan tenaga surya sangat tinggi dan tidak ada satwa liar mempunyai dampak lingkungan yang paling menguntungkan. Dalam penelitiannya juga dilakukan perbandingan intensitas penggunaan lahan untuk PLTS skala besar dan pembangkit listrik tenaga batu bara yang ditunjukkan pada Gambar 2.19. Untuk kedua ordinat, garis putus-putus adalah hasil rata-rata pembangkit listrik tenaga batubara sedangkan garis padat adalah hasil.
Berikutnya adalah langkah yang lebih informatif karena mencakup informasi mengenai masa pemulihan lahan setelah pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik. Pembangkit listrik fotovoltaik berusia 30 tahun ini tampaknya menempati lahan kurang dari 1.515 hektar dibandingkan pembangkit listrik tenaga batu bara pada usia yang sama. Penggunaan pembangkit listrik tenaga surya tidak melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer dan sebesar 1 kWp pembangkit listrik tenaga surya akan mengurangi emisi gas CO2.
Konsep Berwawasan Lingkungan
Menurut Hariyadi yang dikutip Zul Endria (2003) dalam buku Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan memberikan pemahaman bahwa pembangunan yang berwawasan lingkungan memerlukan keteraturan agar sumber daya alam dapat terus menunjang pembangunan, generasi sekarang dan yang akan datang. generasi demi generasi dan khususnya dalam meningkatkan kualitas hidup manusia di Indonesia. Menurut Yonathan Polungturan Mengacu pada World Commission on Environment and Development disebutkan bahwa pembangunan ramah lingkungan adalah proses pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa kompromi atau kompromi. Hartono (2009) mengatakan bahwa pembangunan ramah lingkungan pada hakikatnya adalah upaya pembangunan yang berlangsung secara terus menerus atau pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan yang memanfaatkan secara maksimal sumber daya alam dan sumber daya manusia, dengan cara menyelaraskan sumber daya alam dengan manusia sebagai subjek dan objek dalam pembangunan. 64 Sumber daya alam yang ada saat ini harus memungkinkan adanya berbagai pilihan penggunaan sumber daya alam di masa depan, seperti bahan bakar untuk kendaraan bermotor yang tidak selalu harus menggunakan bensin atau solar; (5) Pembangunan berkelanjutan harus menjadi wujud solidaritas antar generasi, artinya sumber daya alam yang ada tidak hanya dibelanjakan untuk kepentingan generasi sekarang, tetapi dapat diwariskan untuk kepentingan generasi mendatang. Pasal 1 angka 3 UUPLH Tahun 1982 menyatakan bahwa “pembangunan lingkungan hidup adalah usaha sadar dan terencana untuk menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan berkelanjutan untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia dari waktu ke waktu”.
Oleh karena itu, pengertian sumber daya pada poin 3 harus diartikan lebih luas, yaitu tidak hanya mencakup dari segi ekonomi saja seperti sumber daya alam atau sumber daya buatan, tetapi juga seluruh bagian dari lingkungan hidup kita sendiri, mulai dari sumber daya biotik (manusia, hewan, tumbuhan), tumbuhan) sumber daya abiotik (air, udara, cahaya, tanah, mineral dan lain-lain). Oleh karena itu terdapat 3 unsur penting dalam prinsip pembangunan berwawasan lingkungan: (1) Penggunaan atau pengelolaan sumber daya secara bijaksana; (2) Mendukung pembangunan berkelanjutan; (3) Meningkatkan kualitas hidup. Sedangkan Emil Salim (1990) dalam buku pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup mengemukakan ada 5, lima) tujuan yang harus dikembangkan secara serius untuk melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan, yaitu: (1) Menumbuhkan sikap kerja yang berlandaskan pada kesadaran akan saling membutuhkan antara satu sama lain; (2) Kemampuan menyelaraskan kebutuhan dengan kemampuan sumber daya alam dalam menghasilkan barang dan jasa; (3) Tantangan pembangunan tanpa merusak lingkungan; (4) Mengembangkan kesadaran lingkungan hidup di kalangan masyarakat, sehingga tumbuh menjadi kesadaran bertindak; (5) Menumbuhkan lembaga swadaya masyarakat yang mampu memberdayakan dirinya untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam konteks pengembangan energi surya sebagai sumber energi listrik yang ramah lingkungan di Provinsi Jawa Tengah, diperlukan suatu prinsip yang menjaga keberlangsungan lingkungan setempat. Aspek penting dalam pengembangan energi surya yang berwawasan lingkungan adalah masyarakat di wilayah Jawa Tengah memanfaatkan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan. Dalam meningkatkan sumber daya energi surya, perlu diperhatikan menjaga keseimbangan antara komponen lingkungan seperti unsur abiotik, biotik, dan kondisi sosial sebagai ekosistem lingkungan yang tidak terganggu.