• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Baterai

Baterai adalah teknologi kunci pada abad 21 dan termasuk abad 20. Kesuksesan peralatan komunikasi bergerak seperti telepon selular, komputer tablet, kamera digital dan laptop secara kuat didukung oleh perbaikan kemampuan teknologi penyimpanan energi. Pada era 1980-an hanya baterai Pb dan Ni-Cd yang dipergunakan dalam peralatan elektronik yang bergerak. Pengembangan lebih lanjut dari teknologi baterai seperti hidrid logam nikel serta baterai ion lithium yang memasuki pasar pada tahun 1990 dan 1991 telah mendorong perkembangan teknologi peralatan elektronik bergerak.

Sepuluh tahun kemudian, perkembangan teknologi baterai lithium yang mempunyai energi besar telah mendorong perkembangan teknologi elektronik baru yang sebelumnya tidak dapat dilakukan oleh teknologi baterai jenis lama (Andreas Jossen, 2015).

Baterai adalah suatu perangkat yang terdiri dari dua atau lebih sel elektrokimia

(2)

mencakup beberapa sel baterai yang digabungkan. Sel baterai adalah unit terkecil dari suatu sistem proses elektrokimia yang terdiri dari elektroda, elektrolit, seperator, wadah dan terminal (Subhan dkk, 2011). Kinerja baterai melibatkan transfer elektron melalui suatu media yang bersifat konduktif dari elektroda negatif (anoda) ke elektroda positif (katoda) sehingga menghasilkan arus listrik dan beda potensial. Bahan dan luas permukaan elektroda mampu mempengaruhi jumlah beda potensial yang dihasilkan.

Setiap bahan elektroda memiliki tingkat potensial elektroda yang berbeda-beda. Jika luas permukaan elektroda diperbesar maka akan semakin banyak elektron yang dapat dioksidasi dibandingkan dengan elektroda dengan luas permukaan yang kecil (Kartawidjaja dan Abdurrochman, 2008).

Tiap sel memiliki terminal positif yaitu katoda dan negatif yaitu anoda. Pada anoda akan terjadi suatu reaksi oksidasi yang akan menghasilkan ion positif (M+) dan elektron.

Selanjutnya ion positif (M+) dari anoda akan bergerak menuju elektrolit. Sementara itu elektron akan bergerak melalui eksternal sirkuit menuju katoda, dimana pada katoda akan terjadi reaksi reduksi dengan elektron dan menghasilkan ion negatif (A-) yang juga akan bergerak menuju elektrolit. Pergerakan elektron menuju katoda akan menghasilkan arus listrik seperti yang terlihat pada gambar 2.1 (Berndt dkk, 2003).

Gambar 2.1 Skematik sistem sel baterai.

(3)

Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

Anoda : M(s)  M+ + e-

Katoda : A(s) + e-  A-

Keseluruhan: M(s) + A(s)  M+ + A- + energi

Secara umum, baterai dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu baterai primer dan dan baterai sekunder. Baterai primer merupakan baterai yang pemakaian hanya satu kali saja, karena baterai jenis ini tidak dapat diisi daya kembali. Sementara baterai sekunder adalah baterai yang dapat dipergunakan beberapa kali, karena baterai jenis ini dapat diisi daya kembali jika daya dari baterai sudah menurun atau habis (Berndt dkk, 2003).

2.1.1 Baterai Primer

Baterai jenis ini adalah sulit dan tidak efektif dipergunakan kembali walaupun telah diisi daya kembali. Hal ini dikarenakan elektrolit yang digunakan terkandung pada suatu bahan penyerap ataupun matriks pemisah dan tidak menggunakan elektrolit cair.

Sehingga pergerakan ion tidak akan bebas dan cenderung menjadi searah. Baterai jenis ini sering juga disebut sebagai baterai kering. Baterai primer mempunyai kelebihan diantaranya tidak mahal dan ringan sehingga sesuai dipaketkan dengan berbagai jenis peralatan elektronik bergerak seperti kamera digital, tablet, laptop, telepon selular, lampu penerangan meja dan banyak aplikasi lainnya. Kelebihan lain dari baterai primer adalah mempunyai waktu hayat yang panjang, energi densitas yang besar, sedikit perawatan dan mudah dipergunakan. Baterai primer dengan kapasitas energi yang besar

(4)

ataupun dalam bentuk multisel yaitu baterai tunggal yang disusun dalam satu paket baterai. Baterai logam udara termasuk dalam baterai primer (Linden dkk, 2011).

Baterai logam udara ini menggunakan logam sebagai anoda dan memerlukan oksigen dari udara yang masuk melalui katoda. Biasanya katoda ini merupakan suatu karbon berpori. Reaksi elektrokimia yang terjadi di dalam baterai logam udara akan menghasilkan energi listrik (Sagir dkk, 2011).

2.1.2 Baterai Sekunder

Baterai ini dapat diisi daya kembali setelah daya dari baterai habis ataupun menurun kembali pada kapasitas awal dari baterai. Pergerakan ion dan elektron ketika diisi daya kembali adalah berwalanan dengan pergerakan ion dan elektron ketika dalam waktu penggunaan. Pergerakan ion dan elektron ketika penggunaan biasanya disebut discas. Dengan demikian, baterai sekunder dapat berfungsi sebagai peralatan elektronik penyimpan energi. Aplikasi dari baterai sekunder ini secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Sebagai energi cadangan utama untuk peralatan elektronik, sistem otomotif, serta pesawat terbang. Sehingga ketika sistem energi utama tidak bekerja, maka baterai sekunder akan memainkan peranannya. Contohnya adalah pada mobil hibrid.

Dimana sebelum digunakan, baterai sekunder akan diisi daya oleh sistem energi utama.

2) Sebagai energi utama untuk peralatan elektronik, seperti laptop, telepon selular sampai dayanya menurun. Biasanya dayanya cepat turun, namun dapat diisi daya kembali, sehingga dapat digunakan kembali. Hal ini menjadikan baterai sekunder memiliki kelebihan dibandingkan baterai primer.

(5)

Baterai sekunder mempunyai ciri seperti densitas yang tinggi, laju discas yang cepat, mempunyai kurva discas yang flat dan kebanyakan kasus adalah mempunyai kinerja yang baik pada temperatur yang rendah. Secara umum, densitas energi dari baterai sekunder lebih rendah dari baterai primer (Linden dkk, 2011). Walaupun begitu, baterai logam udara ini ada peneliti yang mengklasifikasikan baterai logam udara sebagai baterai sekunder, karena beberapa baterai logam udara dapat diisi daya kembali (Vincenzo dkk, 2014).

2.2 Sejarah Perkembangan Baterai

Baterai memiliki sejarah yang panjang, bangsa Persia yang menguasai Baghdad (250 SM) dipercaya telah menggunakan alat dengan konsep yang sama dengan baterai untuk menyepuh logam. Bangsa Mesir (2300 SM) menggunakannya untuk menyepuh antimoni pada tembaga (Buchmann, 2001). Namun baterai yang dikenal sekarang mempunyai akar dengan baterai yang dibuat pada awal abad ke 19. Alessandro Volta menciptakan baterai pertama yang dikenal dengan tumpukan volta (Voltaic Pile).

Baterai ini terdiri dari tumpukan cakram seng dan tembaga berselang-seling dengan kain basah yang telah dicelup air garam sebagai pembatasnya. Baterai ini telah mampu menghasilkan arus yang kontinyu dan stabil.

(6)

Tabel 2.1 Sejarah perkembangan baterai (Buchmann, 2001).

Tahun Penemu Penemuan

1600 Gilbert (Inggris) Peletakkan dasar-dasar elektrokimia.

1789 Galvani (Italia) Penemuan listrik dari hewan.

1800 Volta (Italia) Penemuan sel voltanik.

1802 Chruickshank (Inggris) Baterai pertama yang mampu diproduksi massal.

1820 Ampere (Perancis) Listrik oleh magnet.

1833 Faraday (Inggris) Hukum faraday.

1859 Plante (Inggris) Penemuan baterai timbal asam.

1868 Leclanche (Inggris) Penemuan sel leclanche.

1888 Gassner (AS) Penyempurnaan sel kering.

1899 Jugner (Swedia) Penemuan baterai nikel kadmium.

1901 Edison (AS) Penemuan baterai nikel besi.

1932 Shlect & Ackerman

(Jerman) Penemuan sel kutub yang dipadatkan.

1947 Neumann (Perancis) Berhasil mengemas baterai nikel kadmium.

1960 Union Carbide (AS) Pengembangan baterai alkalin primer.

1970 Union Carbide (AS) Pengembangan baterai timbal asam dengan pengaturan katup.

1990 Union Carbide (AS) Komersialisasi baterai Ni-MH

1992 Kordesch (Kanada) Komersialisasi baterai alkalin yang dapat dipakai ulang.

(7)

1999 Kordesch (Kanada) Komersialisasi baterai Litium Ion Polimer.

Setelah penemuan Alessandro Volta, baterai-baterai lain dengan kemampuan yang lebih baik diciptakan seperti Sel Daniel (1836), Baterai Timbal-Asam (1859), Sel Leclanche (1866) dan lainnya. Tabel 2.1 menunjukkan urutan penemuan yang memberikan sumbagan dalam evolusi baterai.

2.3 Parameter-parameter Baterai

Beberapa parameter penting dari suatu baterai yaitu:

1. Kerapatan Energi

Kerapatan energi menunjukkan jumlah energi yang dapat disediakan oleh baterai berbanding massa atau volume baterai tersebut. Sebuah baterai dengan kerapatan energi dua kali baterai lain, secara teoritis mempunyai waktu aktif dua kali lebih lama untuk pemakaian pada beban yang sama. Kerapatan energi ditentukan terutama oleh komponen aktif dari baterai tersebut. Melalui data standar yang telah diperoleh dapat menghitung potensial dan arus maksimum teoritis sebuah baterai. Kemurnian komponen penyusun baterai juga menjadi faktor penting bila nilai potensial dan arus maksimum berbeda dengan nilai teoritisnya.

(8)

2. Profil Potensial Terhadap Waktu

Kurva ini menjelaskan hubungan potensial yang dihasilkan baterai terhadap waktu sejak dikosongkan (atau diisi uang). Pada kebanyaan baterai primer, potensial berkurang secara bertahap hingga kapasitasnya habis. Profilnya menurun secara gradual. Baterai dengan profil gradual dapat digunakan pada alat seperti lampu senter, kamera dan radio.

Jenis lainnya adalah profil datar seperti yang ditemui pada baterai Ni-Cd. Sejak pengosongannya baterai hingga kira-kira dua per tiga kapasitasnya, potensial baterai relatif stabil. Namun sisanya, potensial menurun drastis hingga mendekati nol. Baterai jenis ini diperlukan oleh peralatan yang membutuhkan potensial kerja yang stabil.

Gambar 2.3 Profil datar dan profil gradual.

3. Laju Pengosongan Diri

Setiap baterai jika tidak digunakan dalam waktu yang lama, dapat mengalami penurunan kapasitas walaupun tidak digunakan. Kelembaban udara dan kontak dengan benda lain dapat dijadikan konduktor bagi baterai sehingga pengosongan terjadi. Laju pengosongan diri berbeda-beda pada setiap jenis baterai. Baterai Ni-Cd mempunyai laju pengosongan diri ± 1% per hari. Ni-MH mempunyai laju

(9)

pengosongan diri sekitar 2-3% perhari. Baterai alkalin mempunyai laju pengosongan diri yang jauh lebih kecil, yaitu antara 5-10% per tahun.

4. Temperatur Operasi

Pada umumnya baterai mengalami kinerja pada suhu lebih besar dari 25 ºC.

Penurunan yang lebih drastis terjadi pada suhu diatas 55 ºC. Pada suhu rendah, antara -20 ºC sampai 0 ºC, kinerja baterai hanya menunjukkan fraksi yang lebih kecil dibandingkan baterai yang beroperasi pada suhu 25 ºC. Gambar 2.2 menunjukkan kerapatan energi sebagai fungsi dari temperatur.

. 5. Siklus Hidup

Siklus hidup menunjukkan jumlah pengisian-pengosongan (satu siklus) yang dapat diterima oleh sebuah baterai sekunder sebelum baterai tidak efektif lagi dalam menampung muatan listrik. Itu dengan syarat penggunaan baterai yang normal dan sesuai aturan. Sebuah baterai Ni-Cd mempunyai siklus hidup hingga 300-400 kali. Pada baterai tertentu pengisian berlebih sebuah baterai dapat mengurangi siklus hidup normal baterai tersebut (National Institue of Justice US, 1997). Suatu baterai sekunder dikatakan habis bila pengisian janya mencapai seperempat kapasitas baterai yang masih baru.

2.4 Sel Elektrokimia

Dalam reaksi redoks terjadi transfer elektron dari reduktor ke oksidator.

Pengetahuan adanya transfer elektron memberikan manfaat dalam upaya

(10)

aliran elektron. Bidang ilmu yang mempelajari energi listrik dalam reaksi kimia disebut elektrokimia. Perangkat atau instrumen untuk membangun energi listrik dari reaksi kimia dinamakan sel elektrokimia (Sunarya dan Setiabudi, 2009).

2.4.1 Sel Volta

Sel volta sederhana dalam reaksi redoks terjadi transfer elektron yang menghasilkan energi listrik, seperti ditunjukkan pada gambar 2.4. Karena reaksi redoks dapat dipisahkan menjadi dua setengah reaksi, sel volta pun dapat dirancang menjadi dua tempat, yakni tempat untuk reaksi oksidasi dan tempat untuk reaksi reduksi. Kedua tempat tersebut dihubungkan melalui rangkaian luar (aliran muatan elektron) dan rangkaian dalam atau jembatan garam (aliran massa dari ion-ion) (Sunarya dan Setiabudi, 2009).

Gambar 2.4 Sel volta sederhana (Sunarya dan Setiabudi, 2009).

Pada percobaan tersebut, reaksi tidak akan terjadi jika tidak ada hubungan baik secara rangkaian luar maupun rangkaian dalam. Jika hanya rangkaian luar yang dihubungkan, reaksi akan terjadi hanya sesaat dan seketika itu juga reaksi berhenti.

Reaksi akan berjalan terus jika rangkaian dalam (jembatan garam) dihubungkan. Jika

(11)

kedua rangkaian dihubungkan, akan terjadi reaksi redoks di antara kedua setengah sel itu lihat gambar 2.5. Persamaan reaksi ionnya (Sunarya dan Setiabudi, 2009):

Zn (s) + Cu2+ (aq) ⎯⎯→ Zn2+ (aq) + Cu (s) Persamaan reaksi setengah selnya:

Pada elektroda Zn: Zn(s) ⎯⎯→ Zn2+ (aq) + 2e Pada elektroda Cu: Cu2+ (aq) + 2e– ⎯⎯→ Cu (s)

Gambar 2.5 Proses pembentukan energi listrik dari reaksi redoks dalam sel volta (Sunarya dan Setiabudi, 2009).

Logam Zn akan teroksidasi membentuk ion Zn2+ dan melepaskan 2 elektron. Kedua elektron ini akan mengalir melewati voltmeter menuju elektroda Cu. Kelebihan elektron pada elektroda Cu akan diterima oleh ion Cu2+ yang disediakan oleh larutan Cu(NO3)2

sehingga terjadi reduksi ion Cu2+ menjadi Cu(s). Ketika reaksi berlangsung, dalam larutan Zn(NO3)2 akan kelebihan ion Zn2+ (hasil oksidasi). Demikian juga dalam larutan CuSO4 akan kelebihan ion NO3 sebab ion pasangannya (Cu2+) berubah menjadi logam Cu yang terendapkan pada elektroda Cu. Kelebihan ion Zn2+ akan dinetralkan oleh ion NO3 dari jembatan garam, demikian juga kelebihan ion NO3 akan dinetralkan oleh ion Na+ dari jembatan garam. Jadi, jembatan garam berfungsi menetralkan kelebihan ion-

(12)

hanya sesaat sebab kelebihan ion-ion hasil reaksi redoks tidak ada yang menetralkan dan akhirnya reaksi berhenti seketika. Dalam sel elektrokimia, tempat terjadinya reaksi oksidasi (elektroda Zn) dinamakan anoda, sedangkan tempat terjadinya reaksi reduksi (elektroda Cu) dinamakan katoda (Sunarya dan Setiabudi, 2009).

2.4.2 Potensial Sel Elektroda

Dalam sel elektrokimia, untuk mendorong elektron mengalir melalui rangkaian luar dan menggerakkan ion-ion di dalam larutan menuju elektroda diperlukan suatu usaha. Usaha atau kerja yang diperlukan ini dinamakan gaya gerak listrik, disingkat GGL (Sunarya dan Setiabudi, 2009).

a) Makna GGL Sel

Kerja yang diperlukan untuk menggerakkan muatan listrik (GGL) di dalam sel bergantung pada perbedaan potensial di antara kedua elektroda. Beda potensial ini disebabkan adanya perbedaan kereaktifan logam di antara kedua elektroda. Nilai GGL sel merupakan gabungan dari potensial anoda (potensial oksidasi) dan potensial katoda (potensial reduksi). Dalam bentuk persamaan ditulis sebagai berikut.

GGL (Esel) = Potensial Reduksi + Potensial Oksidasi

Potensial reduksi adalah ukuran kemampuan suatu oksidator (zat pengoksidasi = zat tereduksi) untuk menangkap elektron dalam setengah reaksi reduksi. Potensial oksidasi kebalikan dari potensial reduksi dalam reaksi sel elektrokimia yang sama.

Potensial Oksidasi = –Potensial Reduksi

Tinjaulah setengah reaksi sel pada elektrode Zn dalam larutan ZnSO4. Reaksi setengah selnya sebagai berikut.

(13)

Zn(s) ⎯⎯→ Zn2+ (aq) + 2e

Jika –EZn adalah potensial elektroda untuk setengah reaksi oksidasi, +EZn adalah potensial untuk setengah sel reduksinya:

Potensial oksidasi: Zn(s) ⎯⎯→ Zn2+ (aq) + 2e– EZn = –EZn V Potensial reduksi: Zn2+ (aq) + 2e ⎯⎯→Zn(s) EZn = EZn V

Sel elektrokimia yang terdiri atas elektroda Zn dan Cu dengan reaksi setengah sel masing-masing:

Cu2+ (aq) + 2e– ⎯⎯→ Cu(s) ECu = ECuV Zn2+ (aq) + 2e ⎯⎯→ Zn(s) EZn = EZnV Nilai GGL sel elektrokimia tersebut adalah:

Esel = ECu + (–EZn) = ECu – EZn

Dengan demikian, nilai GGL sel sama dengan perbedaan potensial kedua elektroda. Oleh karena reaksi reduksi terjadi pada katoda dan reaksi oksidasi terjadi pada anoda maka nilai GGL sel dapat dinyatakan sebagai perbedaan potensial berikut.

Esel = EReduksi – EOksidasi atau Esel = EKatoda – EAnoda

Gambar 2.6 Baterai merupakan contoh sel elektrokimia (Sunarya dan Setiabudi, 2009).

(14)

b) Potensial Elektroda Standar (Eº)

Karena potensial oksidasi merupakan kebalikan dari potensial reduksinya maka data potensial elektroda suatu logam tidak perlu diketahui dua-duanya, melainkan salah satu saja. Misalnya, data potensial reduksi atau data potensial oksidasi.

Menurut perjanjian IUPAC, potensial elektroda yang dijadikan sebagai standar adalah potensial reduksi. Dengan demikian, semua data potensial elektroda standar dinyatakan dalam bentuk potensial reduksi standar. Potensial reduksi standar adalah potensial reduksi yang diukur pada keadaan standar, yaitu konsentrasi larutan M (sistem larutan) atau tekanan atmosfer (sel yang melibatkan gas) dan suhu. Untuk mengukur potensial reduksi standar tidak mungkin hanya setengah sel (sel tunggal) sebab tidak terjadi reaksi redoks. Oleh sebab itu, perlu dihubungkan dengan setengah sel oksidasi.

Nilai GGL sel yang terukur dengan voltmeter merupakan selisih kedua potensial sel yang dihubungkan (bukan nilai mutlak). Karena nilai GGL sel bukan nilai mutlak maka nilai potensial salah satu sel tidak diketahui secara pasti. Jika salah satu elektroda dibuat tetap dan elektroda yang lain diubah-ubah, potensial sel yang dihasilkan akan berbeda. Jadi, potensial sel suatu elektroda tidak akan diketahui secara pasti, yang dapat ditentukan hanya nilai relatif potensial sel suatu elektroda.

Oleh karena itu, untuk menentukan potensial reduksi standar diperlukan potensial elektroda rujukan sebagai acuan. Dalam hal ini, IUPAC telah menetapkan elektroda standar sebagai rujukan adalah elektroda hidrogen, seperti ditunjukkan pada gambar 2.7.

(15)

Gambar 2.7 Elektroda hidrogen ditetapkan sebagai elektroda standar (Sunarya dan Setiabudi, 2009).

Elektroda hidrogen pada keadaan standar E°, ditetapkan pada konsentrasi H+ 1 M dengan tekanan gas H2 1 atmosfer pada 25 °C. Nilai potensial elektroda standar ini ditetapkan sama dengan nol volt atau E°H+ →H2 = 0.00 V.

Potensial elektroda standar yang lain diukur dengan cara dirangkaikan dengan potensial elektroda hidrogen pada keadaan standar, kemudian GGL selnya diukur.

Oleh karena potensial elektroda hidrogen pada keadaan standar ditetapkan sama dengan nol, potensial yang terukur oleh voltmeter dinyatakan sebagai potensial sel pasangannya. Potensial elektroda yang lain untuk berbagai reaksi setengah sel dapat diukur, hasilnya ditunjukkan pada gambar 2.8.

(16)

Gambar 2.8 Nilai potensial reduksi standar beberapa elektroda (Sunarya dan Setiabudi, 2009).

c) Kekuatan Oksidator dan Reduktor

Data potensial reduksi standar pada gambar 2.8 menunjukkan urutan kekuatan suatu zat sebagai oksidator (zat tereduksi).

Oksidator + ne ⎯⎯→ Reduktor

Semakin positif nilai E°sel, semakin kuat sifat oksidatornya. Sebaliknya, semakin negatif nilai E°sel, semakin lemah sifat oksidatornya.

(17)

Berdasarkan data potensial pada gambar 2.8, oksidator terkuat adalah gas fluorin (F2) dan oksidator paling lemah adalah ion Li+. Reduktor paling kuat adalah logam Li dan reduktor paling lemah adalah ion F.

Reduktor ⎯⎯→ Oksidator + ne

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suatu reduktor paling kuat merupakan oksidator yang paling lemah. Sebaliknya, suatu oksidator terkuat merupakan reduktor terlemah.

d) Penentuan GGL Sel

Nilai GGL sel elektrokimia dapat ditentukan berdasarkan tabel potensial elektrode standar. Syarat bahwa sel elektrokimia akan berlangsung spontan jika oksidator yang lebih kuat berperan sebagai pereaksi atau GGL sel berharga positif.

Esel = (E Katoda – E Anoda) 0

Sel elektrokimia yang dibangun dari elektroda Zn dan Cu memiliki setengah reaksi reduksi dan potensial elektroda berikut.

Zn2+ (aq) + 2e ⎯⎯→ Zn(s) E°= –0.76 V Cu2+ (aq) + 2e ⎯⎯→ Cu(s) E°= +0.34 V

Untuk memperoleh setengah reaksi oksidasi, salah satu dari reaksi tersebut dibalikkan. Pembalikan setengah reaksi yang tepat adalah reaksi reduksi yang potensial setengah selnya lebih kecil. Pada reaksi tersebut yang dibalik adalah reaksi reduksi Zn2+ sebab akan menghasilkan nilai GGL sel positif.

(18)

Pembalikan reaksi reduksi Zn2+ menjadi reaksi oksidasi akan mengubah tanda potensial selnya.

Zn(s) ⎯⎯→ Zn2+ (aq) + 2e E° = +0.76 V Cu2+ (aq) + 2e ⎯⎯→ Cu(s) E° = +0.34 V

Penggabungan kedua setengah reaksi tersebut menghasilkan persamaan reaksi redoks dengan nilai GGL sel positif.

Zn(s) ⎯⎯→ Zn2+(aq)+ 2e E° = +0.76 V Cu2+ (aq) + 2e ⎯⎯→ Cu(s) E° = +0.34 V Zn(s) + Cu2+ (aq) ⎯⎯→ Zn2+ (aq) + Cu(s) E°sel = +1.10 V

Nilai GGL sel sama dengan potensial standar katoda (reduksi) dikurangi potensial standar anoda (oksidasi). Metode ini merupakan cara alternatif untuk menghitung GGL sel.

sel = E° Katoda – E°Anoda

sel = E°Cu – E°Zn = 0.34 V – (–0.76 V) = 1.10 V

2.5 Baterai Logam Udara

Adanya keterbatasan densitas energi dari baterai lithium saat ini diakibatkan oleh terjadinya interkalasi kimia pada bahan elektroda baterai, yang menyebabkan baterai terlihat menjadi kurang praktikal untuk aplikasi kendaraan listrik. Keadaan ini menjadikan baterai logam udara menjadi menarik perhatian untuk diteliti lebih lanjut sebagai alternatif. Hal ini dikarenakan baterai logam udara secara ekstrim mempunyai densitas energi yang lebih tinggi berbanding baterai lainnya. Yang menjadi catatan dari

(19)

ciri utama yang membedakan antara baterai logam udara dengan baterai konvensional lainnya adalah struktur selnya yang berbeda. Baterai logam udara mempunyai struktur yang terbuka dan baterai ini menggunakan gas oksigen dari udara untuk masuk ke dalam sistem baterai melalui katoda.

Sementara itu, struktur sel pada baterai konvensional adalah tertutup.

Pengklasifikasian dari baterai logam udara ini biasanya didasarkan pada jenis-jenis logam yang digunakan sebagai anoda. Sementara itu mekanisme yang terjadi di dalam sistem baterai logam udara juga bervariasi, bergantung kepada jenis komponen dari sel baterai tersebut. Berdasarkan pedekatan sistem elektrolitnya, baterai logam udara dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu elektrolit akues dan elektrolit dengan pelarut aprotik.

Sistem sel yang berbasiskan elektrolit akues merupakan sistem yang tidak sensitif dengan kelembaban. Ini berbeda dengan sistem berbasiskan elektrolit dengan pelarut aprotik yang dapat terdegradasi oleh kelembaban (Jang dkk, 2011).

Diantara baterai logam udara, bahan logam yang biasa dipergunakan sebagai anoda pada sistem akues diantaranya adalah logam Ca, Al, Fe, Cd dan Zn. Baterai aluminium udara mempunyai densitas energi yang lebih besar dibandingkan dengan baterai seng udara (Vincenzo dkk, 2014). Walaupun begitu, logam aluminium lebih mudah mengalami korosi berbanding logam seng di dalam larutan alkali. Sehingga diperlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengatasi permasalahan korosi pada logam aluminium yang terjadi di dalam sistem baterai logam udara (Gelman dkk 2014-2015).

2.5.1 Komponen Baterai Logam Udara

Secara umum, baterai logam udara mempunyai tiga komponen utama, pertama

(20)

berpori (Vincenzo dkk, 2014), Walaupun begitu, pada beberapa jenis baterai logam udara ada yang menambahkan suatu komponen tambahan yaitu bahan pemisah di dalam sistem baterai logam udara tersebut (Jang dkk, 2011).

Gambar 2.9 Skema baterai alumunium udara.

1. Anoda

Anoda merupakan salah satu komponen yang penting di dalam baterai logam udara. Baterai logam udara sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, pengklasifikasiannya didasarkan pada jenis logam yang digunakan (Jang dkk, 2011).

Secara teoritis, nilai tegangan (voltage) yang dihasilkan oleh masing-masing jenis baterai logam udara ini akan berbeda mengikut jenis logam yang digunakan sebagai anoda. Perbedaan ini di dasarkan kepada nilai energi potensial standar masing-masing logam. Tabel 2.2 berikut memperlihatkan densitas energi untuk beberapa jenis logam baterai udara (Vincenzo dkk, 2014).

(21)

Tabel 2.2 Karakteristik baterai logam udara.

Anoda

Ekivalen Elektrokimia

Logam (Ah/g)

Voltase Teoritikal

(V)

Muatan Valensi

Energi spesifik Teori (Logam)

kWh/kg

Voltase Operasi Praktikal

(V)

Li 3.86 3.4 1 13.0 2.4

Ca 1.34 3.4 2 4.6 2.0

Mg 2.20 3.1 2 6.8 1.2 – 1.4

Al 2.98 2.7 3 8.1 1.1 – 1.4

Zn 0.82 1.6 2 1.3 1.0 – 1.2

Fe 0.96 1.3 2 1.2 1.0

Logam alumunium bertindak sebagai anoda pada baterai ini, sehingga baterai ini dinamakan sebagai baterai alumunium udara. Logam aluminium pada sistem baterai ini akan mengalami reaksi pengoksidaan dengan menghasilkan ion Al3+ dan elektron. Ion Al3+ ini akan bermigrasi ke dalam elektrolit dengan tujuan untuk melengkapi reaksi elektrokimia yang berlangsung di dalam sistem baterai alumunium udara. Sementara itu, elektron akan bergerak menuju katoda melalui rangkaian sirkuit eksternal dan selanjutnya bereaksi dengan oksigen dari udara.

Pergerakan elektron menuju katoda akan menghasilkan energi listrik. Reaksi keselurahan dari baterai alumunium udara ini adalah (Modesto dkk, 2007 dan Mohamad, 2008):

(22)

Anoda : Al(s) + 3OH(aq) → Al(OH)3(s) + 3e × 4 Eo = −2.35 V

Katoda : O2(g) + 2H2O(l) + 4e → 4OH(aq) × 3 Eo = +0.40 V

4Al(s) + 12OH(aq) → 4Al(OH)3(s) + 12e

3O2(g) + 6H2O(l) + 12e → 12OH(aq)

Total : 4Al(s) + 12OH(aq) + 3O2(g) + 6H2O(l) → 4Al(OH)3(s) + 12OH(aq)

: 4Al(s) + 3O2(g) + 6H2O(l) → 4Al(OH)3(s)

GGL (Sel) = Eo (Sel) = E° Katoda – E° Anoda

= 0.40 V – (–2.35 V)

= 2.75 V

2. Elektrolit

Elektrolit merupakan komponen yang berfungsi sebagai jembatan garam dalam sistem sel galvanis atau baterai. Tujuan dari elektrolit ini adalah sebagai mediator untuk terjadinya perpindahan ion di dalam sistem baterai, sehingga reaksi elektrokimia dapat berlangsung. Jenis elektrolit yang digunakan akan mempengaruhi densitas energi, konduktivitas, waktu hayat, kapasitas energi. Dengan demikian, pemilihan elektrolit yang sesuai menjadi sangat penting (Joseph Wang, 2006). Elektrolit adalah zat yang jika dilarutkan dalam air menghasilkan larutan yang dapat menghantarkan arus listrik (Chang, 1998). Elektrolit yang digunakan dalam sel mempunyai persyaratan yaitu, mempunyai konduktivitas yang baik dan tidak bereaksi dengan komponen lain dalam baterai.

(23)

Elektrolit merupakan bagian penting dalam sel elektrokimia baik dalam pengoperasiannya maupun dalam sistem kelengkapannya. Selain itu elektrolit harus dapat menghantarkan elektron dan menghasilkan elektron untuk menjalankan sel elektrokimia (Jouannea, 2002).

Elektrolit terbagi menjadi dua yaitu elektrolit padat dan elektrolit cair. Elektrolit padat menunjukkan kestabilan pada suhu tinggi dan memiliki resistansi listrik yang baik. Namun elektrolit padat memiliki beberapa kelemahan diantaranya aliran arus rendah, kemampuannya menurun pada temperatur rendah dan sangat rentan terhadap hubungan singkat yang dapat menyebabkan hilangnya energi. Sedangkan elektrolit cair dapat menembus celah-celah atau pori-pori dari bahan elektroda, baik anoda maupun katoda. Karena elektrolit berupa larutan, maka elektrolit sangat mudah mencapai permukaan serbuk elektroda. Untuk penerapan elektrolit padat persyaratan yang harus dipenuhi adalah adanya pertemuan permukaan serbuk elektroda dengan elektrolit. Oleh karena itu komponen elektroda dibuat dengan komposisi yang mengandung bahan elektrolit atau garam lithium, sehingga reaksi redoks dapat berlangsung tepat di permukaan serbuk elektroda (Prihandoko, 2008).

Di dalam sistem baterai aluminium udara, ada dua isu utama yang sangat menonjol dan dapat mempengaruhi performa dari baterai aluminium udara. Isu yang pertama adalah bahwa logam aluminium sangat mudah mengalami korosi pada kondisi potensial sirkuit terbuka (open-circuit potential) dan ketika mengalami discas yang disebabkan oleh reaksi yang terjadi diantara air dan anoda. Isu kedua adalah terbentuknya lapisan hidroksida yang pasif pada permukaan aluminium, sehingga menghambat pelarutan logam aluminium dan menyebabkan berubahnya energi

(24)

timbul adalah dihasilkannya gas H2 yang dihasilkan melalui reaksi antara logam dengan elektrolit, sehingga akan membuat sistem dari baterai pecah (Vincenzo dkk, 2014).

Secara garis umum, sistem elektrolit di dalam baterai logam udara ini terbagi dalam dua, yaitu, sistem akues dan non akues. Sistem akues merupakan sistem elektrolit yang berbasiskan kepada air sebagai pelarut dari elektrolit dalam baterai logam udara (Richard dkk, 2002), Sementara sistem non-akues menggunakan pelarut organik/aprotik ataupun cairan ionik sebagai elektrolit (Lorenzo dkk, 2014). Penggunaan cairan ionik ini didasarkan kepada sifat logam yang mudah teroksidasi oleh air ataupun larutan alkali (Gelman dkk, 2014-2015).

Namun, menurut laporan yang dinyatakan oleh Jang dkk pada tahun 2011, selain sistem akues dan non-akues, sistem elektrolit baterai logam udara dapat ditambah lagi sistem hibrid dan elektrolit padatan. Tujuan penggunaan dari sistem elektrolit hibrid dan elektrolit padatan adalah pada dasarnya adalah sama dengan sisten non-akues, yaitu mengurangi kontak langsung antara logam anoda baterai dengan air. Pada sistem hibrid, larutan elektrolit yang digunakan terdiri kombinasi dua jenis elektrolit, yaitu non-akues dan akues seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.10. Cairan ionik atau juga pelarut aprotik diletakkan di atas permukaan anoda. Ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kontak langsung antara air dengan logam anoda. Sementara larutan elektrolit akues diletakkan pada posisi bersentuhan dengan katoda dan diantara cairan ionik dan larutan akues diletakan suatu matriks pembatas yang berupa membran semi permeabel ataupun keramik berpori.

(25)

Gambar 2.10 Skematik sistem sel baterai logam udara (a) sistem hibrid

dan (b) sistem elektrolit padatan.

Pada sistem elektrolit secara umum, struktur sel baterai logam udara mirip dengan akues ataupun non akues, dimana elektrolitnya diganti dengan padatan. Biasanya merupakan keramik atau membran gelas yang terdop dengan suatu doping. Biasanya doping yang digunakan mengandung ion yang sejenis dengan jenis logam anoda yang digunakan. Bentuk struktur dari baterai logam udara dengan elektrolit padatan dapat dilihat pada gambar 2.10 di atas.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa tantangan dalam pembangunan baterai logam udara adalah munculnya masalah korosi dari logam anoda, terbentuknya lapisan oksida dari penghasilan gas H2. Ketiga masalah ini terkait penggunaan elektrolit berbasiskan kepada akues dan sifat alamiah dari kebanyakan logam yang bereaksi dengan air, asam ataupun alkali (Vincenzo dkk, 2014). Salah satu cara yang dikembangkan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mengunakan membran polimer hidrogel (Marliyana dkk, 2015). Membran polimer hidrogel mempunyai kemampuan untuk mengikat air dengan cukup baik serta mempunyai permebialitas yang

(26)

dari baterai tetap tinggi. Ini menjadikan membran polimer hidrogel menjadi salah satu cara yang pontensial untuk menghambat proses pengkorosian pada permukaan anoda baterai logam udara (Othman dkk, 2001 dan Mohamad, 2008).

3. Katoda

Katoda dalam sistem baterai logam udara termasuk baterai alumunium udara terdiri dari tiga komponen utama, yaitu karbon berpori, katalis serta polimer pengikat.

Arsitektur performa elektrokimia dari katoda pada baterai logam udara adalah mirip dengan sel bahan bakar, karena mekanisme reaksi yang terjadi pada sel bahan bakar mirip dengan mekanisme yang terjadi dengan baterai logam udara. Pada kasus sel bahan bakar hidrogen, proton H+ bergerak melalui elektrolit untuk bereaksi dengan ion oksida pada katalis untuk membentuk air (Jang dkk 2011). Sementara pada kasus baterai logam udara, ion logam dari anoda bergerak melalui elektrolit dan bereaksi dengan ion O22-

atau O2- yang diperoleh dari reaksi reduksi O2 oleh katalispada permukaan katoda udara untuk membentuk suatu endapan oksida dari ion logam anoda. O2 yang terlibat dalam sistem baterai logam udara berasal dari udara yang masuk melalui pori-pori karbon pada yang terdapat pada katoda (Yugang, 2013).

Keberadaan endapan oksida logam dari ion logam anoda yang berlebihan akan membawa masalah baru kepada sistem baterai logam udara. Endapan oksida ini dapat menutupi pori-pori dari karbon pada katoda, sehingga oksigen dari udara tidak dapat masuk kedalam sistem baterai logam udara. Kondisi ini akan menyebabkan turunnya densitas energi baterai logam udara, karena reaksi elektrokimia dalam sistem baterai terhambat. Ini menunjukkan bahwa mikrostruktur dari karbon akan memberikan efek pada performa dari baterai logam udara. Ukuran partikel karbon yang terlalu kecil kurang sesuai digunakan sebagai matriks pembuatan katoda udara. Hal ini karena,

(27)

dengan ukuran partikel karbon yang kecil, maka ketika terjadi penyusunan partikel- partikel karbonya akan membentuk pori-pori yang lebih kecil dan rapat. Kondisi ini menyebabkan kemampuan oksigen untuk masuk ke dalam sistem baterai logam udara melalui katoda akan turun. Idealnya ukuran partikel karbon adalah sekitar 30 nm (Jang dkk, 2011). Sementara jika partikel karbon terlalu besar, memang akan membentuk pori-pori yang lebih besar, yang secara teoritis akan memudahkan masuknya oksigen kedalam sistem baterai logam udara. Namun pada aplikasinya, terutama untuk baterai logam udara dengan sistem akues, justru akan menyebabkan densitas energi baterai menurun. Fenomena ini terjadi karena, dengan semakin banyaknya oksigen yang masuk ke dalam sistem baterai logam udara, maka kecepatan reaksi elektrokimia yang terjadi juga semakin cepat, sehingga proses pembentukan endapan dan korosi pada permukan anoda akan berlangsung cepat (Zheng dkk, 2008).

Komponen lain yang terdapat di dalam katoda baterai logam udara adalah katalis yang dicampur bersama dengan partikel karbon. Fungsi dari katalis ini adalah mereduksi gas O2 dari udara menjadi O22- atau O2- (Yugang, 2013). Beberapa jenis katalis yang digunakan diantaranya adalah Pt, La0.8Sr 0.2, MnO3, Fe2O3, NiO, Fe3O4, Co3O4, CuO dan CoFe2O4 dengan ukuran partikel 1-5 μm. Sementara itu katalis dengan ukuran nanostruktur yang telah dilaporkan oleh peneliti sebelum ini diantaranya adalah dari kelompok mangan oksida seperti α-MnO2, β-MnO2, λ-MnO2, Mn2O3 and Mn3O4. Reaksi katalitik yang terjadi pada oksigen adalah reaksi reduksi oksigen (oxygen reduction reaction, ORR) dan reaksi evolusi oksigen (oxygen evolution reaction,OER) (Jang dkk, 2011).

(28)

4. Matriks Pemisah

Salah satu keuntungan menggunakan sistem akues pada baterai logam udara adalah densitas energi yang diperoleh adalah cukup tinggi. Ini karena proses migrasi ion logam dari anoda menuju katoda melalui media elektrolit akan berlangsung secara lebih baik (Jake dkk, 2012). Namun begitu, penggunaan sistem akues juga mempunyai kerugian sepertinya logam anoda yang terkorosi akibat reaksi antara elektrolit dengan permukaan anoda baterai logam udara, selain itu juga akan membentuk lapisan logam hidroksida. Hal ini menyebabkan proses migrasi ion logam menuju katoda akan terhambat dan ini menyebabkan densitas energi yang menurun dan masa hidup baterai menjadi singkat (Mohamad, 2008, Gelman dkk, 2014-2015, Vincenzo dkk, 2014).

Salah satu cara mengatasi permasalahan tersebut diantaranya dengan meletakkan matriks pemisah seperti pada gambar 2.10 (a). Tujuan dari matriks pemisah adalah untuk menghindari kontak langsung antara anoda dengan elektrolit. Syarat dasar dari matriks pemisah diantaranya adalah mempunyai kestabilan dengan larutan elektrolit, terutama alkali. Selain itu juga bersifat penghantar ion yang tinggi, mempunyai pori- pori yang sesuai dengan ion logam, bersifat inert terhadap reaksi pengoksidaan, stabil sewaktu proses discas dan cas berlangsung (Jang dkk, 2011). Selain itu, matriks pemisah juga haruslah mempunyai koefisien difusi yang rendah terhadap OH- dan spesis gas H2O, O2, CO2, N2 serta gas lainnya yang mungkin eksis berada di udara, mempunyai kestabilan terhadap pelarut organik (Yugang, 2013) serta stabil secara mekanikal ketika proses asembli berjalan (Sheng, 2007).

Bahan matriks pemisah yang biasa digunakan diantaranya adalah keramik, polimer, membran gelas, serta komposit polimer keramik. Penambahan matriks pemisah dapat menyebabkan terjadinya peningkatan resistansi dari baterai logam udara, sehingga

(29)

biasanya ketebalan dari matrik pemisah juga harus cukup tipis (Jake dkk, 2012). Selain itu, bahan pemisah yang digunakan biasanya didoping atau disisipkan suatu garam atau oksida sesuai dengan jenis logam anodanya seperti Al2(WO4)3 yang digunakan oleh Mori pada tahun 2015. Tujuan penambahan doping ini adalah untuk meningkatkan konduktivitas ionik dari matriks separator. Salah satu jenis matriks membran gelas yang berpotensi digunakan sebagai matriks bahan pemisah adalah sol-gel (Jo dkk, 2012).

5. Separator (Pemisah)

Separator adalah suatu material berpori yang terletak di antara anoda dan katoda berfungsi untuk mencegah agar tidak terjadi hubungan singkat dan kontak antara katoda dan anoda. Separator dapat berupa elektrolit yang berbentuk gel, atau plastik film nano pori (microporous), atau material inert berpori yang diisi dengan elektrolit cair. Sifat listrik separator ini mampu dilewati oleh ion tetapi juga mampu memblokir elektron, jadi bersifat konduktif ionik sekaligus tidak konduktif elektron (Prihandoko dkk, 2011).

Beberapa hal yang penting untuk memilih material agar dipilih sebagai separator antara lain material tersebut bersifat insulator, memiliki hambatan listrik yang kecil, kestabilan mekanik (tidak mudah rusak), tidak mudah terdegradasi dengan elektrolit serta memiliki ketebalan lapisan yang seragam atau sama di seluruh permukaan.

Struktur pori dan penyerapan elektrolit berpengaruh terhadap konduktivitas ion.

Separator dengan porositas yang tinggi dapat menyerap lebih banyak elektrolit liquid.

Sehingga besarnya penyerapan elektrolit pembawa muatan ion sangat dibutuhkan (H.

Li, 2011). Beberapa material yang dapat digunakan sebagai separator antara lain polyolefins (polyethylene dan polypropylen), PVdF (polyvinylidene fluodire), PTFE,

(30)

2.6 Baterai Alumunium Udara

Baterai alumunium adalah suatu alat konversi energi elektrokimia yang mengubah reaksi kimia pada aluminium sebagai anoda dan udara sebagai katoda dan menghasilkan energi listrik dari aliran elektron anoda ke katoda. Baterai alumunium udara merupakan energi ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan bakar fosil dalam penghasilan energi listrik. Dalam perkembangan teknologi baterai alumunium udara terdapat berbagai macam kendala dalam mengoptimalkan kinerja baterai terutama dalam meningkatkan kapasitas baterai dengan menyempurnakan desain dari baterai alumunium, penyempurnaan desain baterai Lithium ion dengan membuat elektroda lithium yang berongga sehingga dapat menurunkan resistansi ohmik.

Alumunium dapat juga diaplikasikan dalam bentuk logam saat dipergunakan menjadi anoda baterai dan dapat menghasilkan reaksi kimia sebesar 2980 Ah kg-1. Konsep baterai tradisional yang umumnya tipe single-use (primary). Reaksi elektrokimia berasal dari reaksi redoks, reaksi redoks singkatan dari reaksi reduksi oksidasi, reaksi ini menjelaskan perubahan bilangan oksidasi dari sebuah reaksi kimia (elektrokimia), dalam reaksi redoks, elektron berpindah dari satu substansi ke substansi lainnya. Bahan dari baterai adalah elektroda, elektroda adalah bahan baku sebuah sel pada baterai yang menjadi sumber utama terjadinya energi listrik dikarenakan adanya potensial tegangan dari kedua bahan sehingga terjadi perpindahan elektron.

Elektroda adalah bahan baku sebuah sel pada baterai yang menjadi sumber utama terjadinya energi listrik dikarenakan adanya potensial tegangan dari kedua bahan sehingga terjadi perpindahan elektron. Elektroda harus terbuat dari bahan konduktor agar dapat dialiri listrik. Berbeda dengan arus listrik dalam sistem eksternal, transportasi muatan antara positif dan elektroda negatif dalam elektrolit dilakukan oleh ion.

(31)

Umumnya arus dalam elektrolit terdiri dari perpindahan ion positif dan negatif. Di sel baterai alumunium udara terdapat dua jenis elektroda, yaitu: katoda dan anoda.

Katoda sel ini adalah udara, lebih spesifik oksigen (O2), udara diambil dari lingkungan diluar sistem, katoda udara adalah salah satu komponen yang sangat penting dalam reaksi elektrokimia baterai alumunium udara. Katoda udara memfasilitasi adanya reaksi reduksi oksigen pada elektroda.

Semakin banyak pori yang terdapat pada katoda akan mempercepat reaksi elektrokima yang terjadi tetapi mengurangi hasil reaksi elektrokima pada sel baterai alumunium udara. Semakin rendah porositas akan memperbanyak reaksi elektrokimia yang terjadi dikarenakan jumlah aluminium sebagai sumber energi semakin banyak, tetapi mengurangi kecepatan reaksi. Jumlah persentase porositas yang terlalu rendah akan mengurangi jumlah reaksi pula, hal ini dikarenakan bidang kontak reaksi pada sel ini akan semakin berkurang sehingga dapat mengurangi tegangan listrik sebagai hasil dari reaksi elektrokima pada sel baterai alumunium udara (Rio dkk, 2014).

Pada baterai alumunium udara, aluminium mengalami oksidasi atau melepaskan elektron sebanyak 12 atom dan ion Al3+. Tegangan listrik dari suatu sel elektrokimia adalah, beda potensial yang dimiliki oleh dua material yang dijadikan elektroda pada sebuah sel baterai, sehingga tiap baterai yang memiliki penyusun elektroda berbeda maka tegangan listrik yang dihasilkan akan berbeda, potensial sel standar dari setiap sel dapat dihitung dengan:

Anoda + Katoda = Potensial sel standar.

(32)

2.7 Karbon Aktif

Karbon aktif atau sering disebut juga arang aktif, adalah arang yang dimurnikan yaitu konfigurasi atom karbonnya dibebaskan dari ikatan dengan unsur lain serta pori- porinya dibersihkan dari unsur lain atau kotoran, sehingga permukaan karbon atau pusat aktif menjadi bersih dan lebih luas. Keluasan pusat aktif ini menentukan efektifitas kegunaannya sebagai adsorben (penyerap) cairan maupun gas. Sesuai kegunaannya sebagai adsorben, maka arang aktif didalam perdagangannya diklasifikasikan sebagai bahan kimia.

Karbon aktif berdasarkan pada pola strukturnya adalah suatu bahan yang berupa karbon amorf yang sebagian besar terdiri dari karbon bebas serta memiliki permukaan dalam, sehingga memiliki daya serap yang tinggi. Pada proses industri, karbon aktif digunakan sebagai bahan pembantu dan dalam kehidupan modern ini, karbon aktif semakin meningkat kebutuhannya baik didalam maupun luar negeri (Girun Alfathoni, 2002). Karbon aktif dapat dipergunakan untuk berbagai industri, antara lain yaitu industri obat-obatan, makanan, minuman, pengolahan air (penjernihan air) dan lain-lain.

Bahan baku yang dapat dibuat menjadi karbon aktif adalah semua bahan yang mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, binatang ataupun barang tambang. Bahan-bahan tersebut adalah berbagai jenis kayu, sekam padi, tulang binatang, batu bara, tempurung kelapa, kulit biji kopi. Bila bahan-bahan tersebut dibandingkan, tempurung kelapa merupakan bahan terbaik yang dapat dibuat menjadi karbon aktif karena karbon aktif yang terbuat dari tempurung kelapa memiliki mikropori yang banyak, kadar abu yang rendah, kelarutan dalam air yang tinggi dan reaktivitas yang tinggi (Indah Subadra, 2005).

(33)

Arang aktif atau karbon aktif merupakan suatu padatan berpori yang mengandung 85-95% karbon yang dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan pemanasan pada suhu tinggi. Arang selain digunakan sebagai bahan bakar, juga dapat digunakan sebagai adsorben (penyerap). Daya serap ditentukan oleh luas permukaan partikel dan kemampuan ini dapat digunakan menjadi lebih tinggi jika arang tersebut dilakukan aktivasi dengan bahan-bahan kimia atau pemanasan pada temperatur tinggi.

Aktivator yang digunakan adalah bahan-bahan kimia seperti H2SO4, HCl, H3PO4 dan ZnCl2. Arang aktif merupakan senyawa karbon amorf, yang dapat dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan dengan cara khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas. Luas permukaan arang aktif berkisar antara 300-3500 m2/gram dan ini berhubungan dengan struktur pori internal yang menyebabkan arang aktif mempunyai sifat sebagai adsorben. Arang aktif dapat mengadsorbsi gas dan senyawa-senyawa kimia tertentu atau sifat adsorbsinya selektif, tergantung pada besar atau volume pori-pori dan luas permukaan. Daya serap arang aktif sangat besar, yaitu 25- 100% terhadap berat arang aktif. Arang aktif dibagi atas 2 tipe, yaitu arang aktif sebagai pemucat dan sebagai penyerap uap. Arang aktif sebagai pemucat, biasanya berbentuk tepung yang sangat halus, diameter pori mencapai 1000 Å, digunakan dalam fase cair, berfungsi untuk memindahkan zat-zat pengganggu yang menyebabkan warna dan bau yang tidak diharapkan, membebaskan pelarut dari zat-zat pengganggu dan kegunaan lain yaitu pada industri kimia dan industri baju. Diperoleh dari serbuk-serbuk gergaji, ampas pembuatan kertas atau dari bahan baku yang mempunyai densitas kecil dan mempunyai struktur yang lemah. Arang aktif sebagai penyerap uap, biasanya berbentuk granular atau pellet yang sangat keras diameter pori

(34)

untuk memperoleh kembali pelarut, katalis, pemisahan dan pemurnian gas. Diperoleh dari tempurung kelapa, tulang, batu bata atau bahan baku yang mempunyai struktur keras (Meilita dan Tuti, 2003).

Karbon aktif yang baik haruslah memiliki luas area permukaan yang besar sehingga daya adsorbsinya juga akan besar (Sudibandriyo, 2003), karbon aktif merupakan salah satu adsorben yang paling sering digunakan pada proses adsorbsi. Hal ini disebabkan karena karbon aktif mempunyai daya adsorbsi dan luas permukaan yang lebih baik dibandingkan adsorben lainnya (Walas, 1990).

Karbon aktif merupakan karbon amorf dari pelat-pelat datar disusun oleh atom- atom C yang terikat secara kovalen dalam suatu kisi heksagonal datar dengan satu atom C pada setiap sudutnya yang luas permukaan berkisar antara 300 m2/g hingga 3500 m2/g dan ini berhubungan dengan struktur pori internal sehingga mempunyai sifat sebagai adsorben (Meilita Taryana, 2002).

Proses aktivasi merupakan suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga arang mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorbsi. Pada umumnya karbon aktif dapat di aktivasi dengan dua cara, yaitu dengan cara aktivasi kimia dengan hidroksida logam alkali, garam-garam karbonat, klorida, sulfat, fosfat dari logam alkali tanah dan khususnya ZnCl2, CaCl2, asam-asam anorganik seperti H2SO4 dan H3PO4 dan aktifasi fisika yang merupakan proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan bantuan panas pada suhu 800 °C hingga 900 °C (S.C. KIM, I.K. 1996).

(35)

Proses aktivasi merupakan hal yang penting diperhatikan disamping bahan baku yang digunakan. Yang dimaksud dengan aktivasi adalah suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga arang mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorbsi (Ajayi dan Olawale, 2009).

Proses yang melibatkan oksidasi selektif dari bahan baku dengan udara, juga digunakan baik untuk pembuatan arang aktif sebagai pemucat maupun sebagai penyerap uap. Bahan baku dikarbonisasi pada temperatur 400-500 °C untuk mengeleminasi zat- zat yang mudah menguap. Kemudian dioksidasi dengan gas pada 800-1000 ºC untuk mengembangkan pori dan luas permukaan (Ami Cobb, 2012).

Arang aktif atau karbon aktif adalah suatu karbon yang mempunyai daya serap yang baik terhadap anion, kation dan molekul dalam bentuk senyawa organik dan an- organik, baik berupa larutan maupun gas. Beberapa bahan yang mengandung banyak karbon dan terutama yang memiliki pori dapat digunakan untuk membuat arang aktif.

Pembuatan arang aktif dilakukan melalui proses aktivasi arang dengan cara fisika atau kimia di dalam retort. Perbedaan bahan baku dan cara aktivasi yang digunakan dapat menyebabkan sifat dan mutu arang aktif berbeda pula. Arang aktif digunakan antara lain dalam sektor industri (pengolahan air, makanan dan minuman, rokok, bahan kimia, sabun, lulur, sampo, cat dan perekat, masker, alat pendingin, otomotif), kesehatan (penyerap racun dalam saluran cerna dan obat-obatan), lingkungan (penyerap logam dalam limbah cair, penyerap residu pestisida dalam air minum dan tanah, penyerap emisi gas beracun dalam udara, meningkatkan total organik karbon tanah, mengurangi

(36)

perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dan kesuburan tanaman serta mencegah pembusukan akar (Mody, 2014).

Keberadaan air di dalam karbon berkaitan dengan sifat higroskopis dari arang, dimana umumnya arang memiliki sifat afinitas yang besar terhadap air. Arang aktif mampu menyerap uap air dalam jumlah yang sangat besar. Sifat yang sangat higroskopis inilah, sehingga arang aktif digunakan sebagai adsorben (Ikawati, 2002).

2.7.1 Karakteristik Karbon Aktif

Arang aktif atau karbon aktif adalah suatu bahan hasil proses pirolisis arang pada suhu 600-900 ºC. Selama ini bahan arang aktif yang digunakan berasal dari limbah limbah kayu dan bambu. Bahan lainnya yang dapat digunakan adalah dari limbah pertanian antara lain sekam padi, jerami padi, tongkol jagung, batang jagung, serabut kelapa, tempurung kelapa, tandan kosong dan cangkang kelapa sawit, dan sebagainya.

Pada tahap awal limbah pertanian dibuat arang melalui proses karbonisasi 500 ºC dan tahap selanjutnya dilakukan aktivasi pada suhu 800 -900 ºC. Perbedaan mendasar arang dengan arang aktif adalah bentuk pori-porinya. Pori-pori arang aktif lebih besar dan bercabang serta berbentuk zig-zag. Arang aktif bersifat multifungsi, selain media meningkatkan kualitas lingkungan juga pori-porinya sebagai tempat tinggal ideal bagi mikroba termasuk mikroba pendegradasi sumber pencemar seperti residu pestisida dan logam tertentu.

Keunggulan arang aktif adalah kapasitas dan daya serapnya yang besar, karena struktur pori dan keberadaan gugus fungsional kimiawi di permukaan arang aktif seperti C=O, C2-, dan C2H-. Kualitas arang aktif ditunjukkan dengan nilai daya serap Iod di mana berdasarkan ketetapan dari SNI 06-3730-1995 arang aktif dinilai berkualitas

(37)

bilamana nilai daya serap Iodnya mendekati 750 mg/g, Misalnya arang dari tempurung kelapa dan tongkol jagung sebelum diaktifasi daya serap iodinnya masing-masing adalah 276 dan 452 mg/g, namun setelah diaktivasi meningkat menjadi 672 dan 647 mg/g mendekati nilai persyaratan kualitas arang aktif (Harsanti dkk, 2010).

Berat jenis arang aktif berkisar antara 0.20 sampai 0.55 gram/cm3. Ukuran partikel arang aktif yang diperdagangkan adalah 230 mesh untuk arang aktif serbuk dan 30 mesh untuk arang aktif granular.

2.7.2 Penggunaan Karbon Aktif

Arang aktif terbagi atas 2 tipe yaitu arang aktif sebagai pemucat dan arang aktif sebagai penyerap uap. Karena hal tersebut maka karbon aktif banyak digunakan oleh kalangan industri. Hampir 60% produksi arang aktif di dunia ini dimanfaatkan oleh industri-industri gula dan pembersihan minyak dan lemak, kimia dan farmasi. Adapun penggunaan arang aktif secara umum dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.3 Penggunaan arang aktif (Meilita dan Tuti, 2003).

No Pemakai Kegunaan Jenis/Mesh

1. Industri obat dan makanan.

Menyaring, penghilang bau

dan rasa. 8 × 30, 325

2. Minuman keras dan ringan.

Penghilang warna, bau pada

minuman. 4 × 8, 4 × 12

3. Kimia perminyakan. Penyulingan bahan mentah. 4 × 8, 4 × 12, 8

× 30

(38)

dan penghilangan resin.

5. Budidaya udang.

Pemurnian, penghilangan ammonia, netrite phenol dan

logam berat.

4 × 8, 4 × 12

6. Industri gula.

Penghilangan zat-zat warna, menyerap proses penyaringan menjadi

sempurna.

4 × 8, 4 × 12

7. Pelarut yang digunakan kembali.

Penarikan kembali beberapa pelarut.

4 × 8, 4 × 12, 8

× 30

8. Pemurnian gas. Penghilangan sulfur, gas

beracun dan bau busuk asap. 4 × 8, 4 × 12

9. Katalisator.

Reaksi katalisator pengangkut vinil chloride,

vinil acetat.

4 × 8, 4 × 30

10. Pengolahan pupuk. Pemurnian, penghilangan

bau. 8 × 30

11.

Katoda baterai alumunium udara.

(Jang dkk, 2011)

Penyerapan gas oksigen. -

(39)

2.7.3 Adsorbsi (Penyerapan Permukaan)

Arang aktif yang merupakan adsorben, adalah suatu padatan berpori yang sebagian besar terdiri dari unsur karbon bebas dan masing-masing berikatan secara kovalen. Dengan demikian, permukaan arang aktif bersifat non polar. Selain komposisi dan polaritas, struktur pori juga merupakan faktor yang penting diperhatikan. Struktur pori berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil pori-pori arang aktif, mengakibatkan luas permukaan semakin besar. Dengan demikian kecepatan adsorbsi bertambah. Untuk meningkatkan kecepatan adsorbsi, dianjurkan agar menggunakan arang aktif yang telah dihaluskan. Sifat arang aktif yang paling penting adalah daya serap.

Adsorbsi merupakan peristiwa penyerapan suatu adsorbat pada permukaan adsorben. Adsorbat adalah zat (molekul, atom, atau ion) yang diserap sedangkan adsorben adalah zat yang menyerap. Adsorben yang sering digunakan untuk menurunkan konsentrasi logam berat adalah arang aktif, karena lebih mudah didapatkan secara komersil. Adsorbsi adalah suatu proses penyerapan yang terjadi pada suatu bidang permukaan. Saat dua fasa saling berkontak komposisi fasa yang dekat dengan daerah batas fasa akan berbeda dengan yang terdapat pada bulk fasa tersebut (Vladimir Ponec, 1974).

Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorbsi antara lain:

a) Sifat fisik dan kimia adsorben dan adsorbat.

b) Sifat fasa cair (pH dan suhu).

c) Sifat fasa gas (Suhu dan tekanan).

(40)

e) Waktu kontak adsorben dan adsorbat.

Sifat arang aktif yang paling penting adalah daya serap. Dalam hal ini, ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya serap adsorbsi, yaitu (Vladimir Ponec, 1974):

1. Sifat Adsorben

Arang aktif yang merupakan adsorben adalah suatu padatan berpori, yang sebagian besar terdiri dari unsur karbon bebas dan masing-masing berikatan secara kovalen. Dengan demikian, permukaan arang aktif bersifat non polar.

Selain komposisi dan polaritas, struktur pori juga merupakan faktor yang penting diperhatikan. Struktur pori berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil pori-pori arang aktif, mengakibatkan luas permukaan semakin besar. Dengan demikian kecepatan adsorbsi bertambah. Untuk meningkatkan kecepatan adsorbsi, dianjurkan agar menggunakan arang aktif yang telah dihaluskan. Jumlah atau dosis arang aktif yang digunakan, juga diperhatikan.

2. Sifat Serapan

Banyak senyawa yang dapat diadsorbsi oleh arang aktif, tetapi kemampuannya untuk mengadsorbsi berbeda untuk masing-masing senyawa. Adsorbsi akan bertambah besar sesuai dengan bertambahnya ukuran molekul serapan dari sturktur yang sama, seperti dalam deret homolog. Adsorbsi juga dipengaruhi oleh gugus fungsi, posisi gugus fungsi, ikatan rangkap, struktur rantai dari senyawa serapan.

(41)

3. Temperatur

Dalam pemakaian arang aktif dianjurkan untuk menyelidiki temperatur pada saat berlangsungnya proses. Karena tidak ada peraturan umum yang bisa diberikan mengenai temperatur yang digunakan dalam adsorbsi. Faktor yang mempengaruhi temperatur proses adsobrsi adalah viskositas dan stabilitas termal senyawa serapan. Jika pemanasan tidak mempengaruhi sifat-sifat senyawa serapan, seperti terjadi perubahan warna maupun dekomposisi, maka perlakuan dilakukan pada titik didihnya. Untuk senyawa volatil, adsorbsi dilakukan pada temperatur kamar atau bila memungkinkan pada temperatur yang lebih kecil.

4. pH (Derajat Keasaman)

Untuk asam-asam organik adsorbsi akan meningkat bila pH diturunkan, yaitu dengan penambahan asam-asam mineral. Ini disebabkan karena kemampuan asam mineral untuk mengurangi ionisasi asam organik tersebut. Sebaliknya bila pH asam organik dinaikkan yaitu dengan menambahkan alkali, adsorbsi akan berkurang sebagai akibat terbentuknya garam.

5. Waktu Kontak

Bila arang aktif ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan waktu untuk mencapai kesetimbangan. Waktu yang dibutuhkan berbanding terbalik dengan jumlah arang yang digunakan. Selain ditentukan oleh dosis arang aktif, pengadukan juga mempengaruhi waktu singgung. Pengadukan dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada partikel arang aktif untuk bersinggungan dengan

(42)

senyawa serapan. Untuk larutan yang mempunyai viskositas tinggi, dibutuhkan waktu singgung yang lebih lama (Meilita dan Tuti, 2003).

Berdasarkan interaksi molekular antara permukaan adsorben dengan adsorbat, adsorbsi dibedakan menjadi 2 jenis yaitu adsorbsi fisika dan adsorbsi kimia.

 Adsorbsi Fisika

Adsorbsi fisika merupakan adsorbsi yang terjadi karena adanya gaya Van der Waals. Pada adsorbsi fisika, gaya tarik-menarik antara molekul fluida dengan molekul pada permukaan padatan (intermolekular) lebih kecil dari pada gaya tarik-menarik antar molekul fluida tersebut sehingga gaya tarik-menarik antara adsorbat dengan permukaan adsorben relatif lemah. Pada adsorbsi fisika, adsorbat tidak terikat kuat dengan permukaan adsorben sehingga adsorbat dapat bergerak dari suatu bagian permukaan ke permukaan lainnya dan pada permukaan yang ditinggalkan oleh adsorbat tersebut dapat digantikan oleh adsorbat lainnya.

Keseimbangan antara permukaan padatan dengan molekul fluida biasanya cepat tercapai dan bersifat reversible. Adsorbsi fisika memiliki kegunaan dalam hal penentuan luas permukaan dan ukuran pori (Murti, 2008).

 Adsorbsi Kimia

Adsorpsi kimia terjadi karena adanya ikatan kimia yang terbentuk antara molekul adsorbat dengan permukaan adsorben. Ikatan kimia dapat berupa ikatan kovalen atau ion. Ikatan yang terbentuk sangat kuat sehingga spesi aslinya tidak dapat ditemukan. Karena kuatnya ikatan kimia yang terbentuk, maka adsorbat tidak mudah terdesorpsi. Adsorbsi kimia ini diawali dengan adsorbsi fisik dimana

(43)

adsorbat mendekat ke permukaan adsorben atau ikatan hidrogen kemudian diikuti oleh adsorbsi kimia. Pada adsorbsi kimia, adsorbat melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan kimia yang biasanya merupakan ikatan kovalen (Prabowo dkk, 2009).

2.7.4 Struktur Fisik Karbon Aktif

Struktur dasar karbon aktif berupa struktur kristalin yang sangat kecil (mikrokristalin). Karbon aktif memiliki bentuk amorf yang tersusun atas lapisan bidang datar dimana atom-atom karbon tersusun dan terikat secara kovalen dalam tatanan atom-atom heksagonal. Gambar 2.11 menunjukkan skema struktur karbon aktif. Setiap garis pada Gambar 2.11 menunjukkan lapisan atom-atom karbon yang berbentuk heksagonal dan adanya mikrokristalin dengan struktur grafit pada karbon aktif (Sudibandriyo, 2003).

Gambar 2.11 Ilustrasi skema karbon aktif (Sudibandriyo, 2003).

(44)

Adanya lapisan atom-atom karbon yang berbentuk heksagonal dan adanya mikrokristalin pada karbon aktif ditunjukkan pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12 (a) Lapisan atom karbon heksagonal dan (b) Struktur mikrokristalin karbon aktif (Sudibandriyo, 2003 dan Pujiyanto, 2010).

2.7.5 Struktur Kimia Karbon Aktif

Selain terdiri dari atom karbon, karbon aktif mengandung sejumlah kecil hidrogen dan oksigen yang terikat pada gugus fungsi misalnya karboksil, fenol, dan eter. Gugus fungsi ini dapat berasal dari bahan baku karbon aktif. Selain itu, gugus fungsi pada karbon aktif juga terbentuk selama proses aktivasi oleh karena adanya interaksi radikal bebas permukaan karbon dengan oksigen atau nitrogen yang berasal dari atmosfer.

Gugus fungsi ini menjadikan permukaan karbon aktif reaktif secara kimia dan dapat mempengaruhi sifat adsorpsinya (Murti, 2008). Ilustrasi struktur kimia karbon aktif dapat dilihat pada gambar 2.13.

Gambar 2.13 Ilustrasi struktur kimia karbon aktif (Sudibandriyo, 2003).

(45)

2.7.6 Jenis-jenis Karbon Aktif

Berdasarkan bentuknya, karbon aktif dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (Sukir, 2008):

1. Bentuk serbuk.

Karbon aktif berbentuk serbuk dengan ukuran lebih kecil dari 0.18 mm.

Terutama digunakan dalam aplikasi fasa cair dan gas. Digunakan pada industri pengolahan air minum, industri farmasi, terutama untuk pemurnian monosodium glutamat, bahan tambahan makanan, penghilang warna asam furan, pengolahan pemurnian jus buah, penghalus gula, pemurnian asam sitrat, asam tartarik, pemurnian glukosa dan pengolahan zat pewarna kadar tinggi.

2. Bentuk granular.

Karbon aktif bentuk granular/tidak beraturan dengan ukuran 0.2-0.5 mm. Jenis ini umumnya digunakan dalam aplikasi fasa cair dan gas. Beberapa aplikasi dari jenis ini digunakan untuk pemurnian emas, pengolahan air, air limbah dan air tanah, pemurni pelarut dan penghilang bau busuk.

3. Bentuk pellet.

Karbon aktif berbentuk pellet dengan diameter 0.8-5 mm. Kegunaaan utamanya adalah untuk aplikasi fasa gas karena mempunyai tekanan rendah, kekuatan mekanik tinggi dan kadar abu rendah. Digunakan untuk pemurnian udara, kontrol emisi, tromol otomotif, penghilang bau kotoran, dan pengontrol emisi pada gas buang.

(46)

Berdasarkan pori-porinya, karbon aktif dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (Sukir, 2008):

1. Makropori

Merupakan bagian paling luar dari karbon aktif, dengan jari-jari lebih besar dari 50 nm dengan volume pori-pori 0.2-0.5 cm3/gram dan luas permukaan 0.2-2 m2/gram. Makropori dan mesopori memberikan kapasitas adsorbsi karbon aktif dan kegunaanya terbentuk selama aktivasi.

2. Mesopori

Memiliki jari-jari 2-50 nm dengan volume pori-pori mencapai 0.02-0.01 cm3/gram dengan luas permukaan 1-100 m2/gram. Mesopori merupakan cabang setelah makropori dan berfungsi sebagai sarana transportasi.

3. Mikropori

Merupakan pori-pori terkecil dengan jari-jari kurang dari 2 nm dengan volume pori 0.15-0.5 cm3/gram dan luas permukaan mencapai 100-1000 m2/gram.

Berdasarkan fungsinya, karbon aktif dibedakan menjadi dua, yaitu (Setyaningsih, 1995):

1. Karbon penyerap gas (gas adsorbent carbon).

Jenis arang ini digunakan untuk menyerap kotoran berupa gas. Pori-pori yang terdapat pada arang jenis ini adalah mikropori yang menyebabkan molekul gas akan mampu melewatinya, tapi molekul dari cairan tidak bisa melewatinya.

Karbon jenis ini dapat ditemui pada karbon tempurung kelapa.

(47)

2. Karbon fasa cair (liquid phase carbon).

Arang jenis ini digunakan untuk menyerap kotoran atau zat yang tidak diinginkan dari cairan atau larutan. Jenis pori-pori dari karbon ini adalah makropori yang memungkinkan molekul besar untuk masuk. Arang jenis ini biasanya berasal dari batu bara dan selulosa.

2.7.7 Standar Kualitas Arang Aktif

Kualitas arang aktif tergantung dari jenis bahan baku, teknologi pengolahan, cara pengerjaan dan ketepatan penggunaannya. Oleh karena itu, bagi produsen arang aktif yang perlu diketahui adalah kualitas apa yang ingin dihasilkan dengan menggunakan bahan baku yang ada, serta untuk tujuan apa kegunaan arang aktif tersebut. Berbagai versi standar kualitas arang aktif telah dibuat oleh negara maju seperti Amerika, Inggris, Korea, Jepang dan Jerman. Indonesia telah membuat pula standar mutu arang aktif menurut Standar Industri Indonesia yaitu SII 0258- 79 yang kemudian direvisi menjadi SNI 06-3730-1995. Meskipun demikian, beberapa industri atau instansi membuat persyaratan sendiri dalam menerima kualitas arang aktif yang ditawarkan, misalnya persyaratan kualitas menurut Kementrian Kesehatan, persyaratan kualitas bagi pengolahan minyak bekas, untuk industri gula, monosodium glutamate, dan lain- lainnya. Tabel 2.4 sampai 2.6 merupakan beberapa persyaratan kualitas yang dikemukanan oleh SII, SNI dan FAO:

Referensi

Dokumen terkait

REB-AB menggunakan komponen-komponen elektroda dengan Alumunium sebagai elektroda positif (anoda) dan Besi sebagai elektroda negatif (katoda). Dalam proses reaksi

Sebagai contoh, adanya reaksi di udara yang mengubah nitrogen monoksida (NO) yang terkandung di dalam gas buang kendaraan bermotor menjadi nitrogen dioksida (NO

Prinsip dasar kerja dari turbin udara (Gambar 2.5) adalah mengubah energi mekanis dari tekanan udara menjadi energi putar pada turbin, lalu putaran turbin digunakan untuk

Suatu material elektrokimia dapat berfungsi baik sebagai elektroda anoda maupun katoda bergantung pada pemilihan material yang akan menentukan karakteristik perbedaan nilai

bahan katoda dan anoda memberikan fleksibilitas untuk merancang baterai untuk kebutuhan aplikasi yang spesifik, namun di sisi lain dalam jumlah yang besar, kemungkinan

Beberapa karakteristik yang harus dipenuhi suatu material yang digunakan sebagai katoda antara lain material tersebut terdiri dari ion yang mudah melakukan

yang rendah dilewatkan melalui blok karbon (anoda) yang dicelupkan dalam elektrolit cair (bath), kemudian melewati lapisan aluminium cair (molten) yang mengumpul diatas katoda

Proses pelapisan terjadi jika suatu benda yang akan dilapisi berfungsi sebagai katoda dan benda pelapis sebagai anoda dicelupkan kedalam larutan elektrolit dengan