• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Berbagai macam penelitian dilakukan untuk menemukan sumber energi baru dalam rangka mengurangi tingkat ketergantungan terhadap sumber energi fosil. Geothermal, fuelcell, angin, cahaya matahari adalah beberapa contoh sumber penghasil energi yang sedang dikembangkan untuk pemakaian energi massal di Indonesia. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bagi pengembangan sumber-sumber energi baru lain seperti sumber-sumber energi yang dihasilkan dari aktivitas mikroba.

2.1 Fuel Cell

Fuel cell adalah teknologi elektrokimia yang secara kontinyu mengkonversi

energi kimia menjadi energi listrik selama terdapat bahan bakar dan pengoksidan (Shukla et al., 2004). Fuel cell tersusun atas anoda, katoda dan elektrolit (membran)(Gambar 2.1)

Gambar 2.1 Sistem Fuel Cell (Mench, 2008)                                

(2)

Anoda berperan sebagai tempat terjadinya pemecahan hidrogen (H2) menjadi proton dan elektron (listrik). Katoda berperan sebagai tempat terjadinya reaksi penggabungan proton, elektron dan oksigen untuk membentuk air. Elektrolit adalah media untuk mengalirkan proton.

Konversi energi fuel cell biasanya lebih effisien daripada jenis pengubah energi lainnya. Efiensi konversi energi dapat dicapai hingga 60-80%. Keuntungan lain fuel

cell adalah mampu menyuplai energi listrik dalam waktu yang cukup lama. Tidak

seperti baterai yang hanya mampu mengandung material bahan bakar yang terbatas,

fuel cell dapat secara kontinu diisi bahan bakar (hidrogen) dan oksigen dari sumber

luar. Fuel cell merupakan sumber energi ramah lingkungan karena tidak menimbulkan polutan dan dapat digunakan terus-menerus jika ada suplai hidrogen yang berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbarui.

2.1.1 Prinsip Fuel Cell

Prinsip kerja fuel cell hampir sama dengan sel volta, yaitu mengubah energi kimia menjadi energi listrik. Bagian yang terpenting pada fuel cell adalah 2 (dua) lapis elektroda dan elektrolit. Prinsip pada fuel cells berbahan bakar hidrogen yaitu ketika molekul hidrogen melakukan kontak dengan anoda, molekul tersebut terpisah menjadi ion hidrogen dan elektron. Elektron mengalir melalui sirkuit luar menuju katoda, menimbulkan aliran listrik. Ion hidrogen melewati elektrolit (membran) juga menuju katoda, lalu bergabung dengan elektron dan oksigen dari udara membentuk molekul air (Anonim 1, 2006).

                               

(3)

Gambar 2.2 Prinsip Kerja Fuel Cell (Sumber: Anonim 1, 2006)

Reaksi keseluruhan yang terjadi yaitu:

Anoda: H2 2H+ + 2ē (2.1)

Katoda: O2 + 4ē 2O2- (2.2)

Total: H2 + 1 2

 O2 H2O 6G= -237 kJ/mol (2.3)

Proton yang dihasilkan akan mengalir menuju katoda melalui Proton

Exchange Membrane (PEM), sedangkan elektron akan mengalir menuju katoda

melalui kawat listrik. Oksigen pada katoda akan bereaksi dengan elektron dan proton menghasilkan air (Carrettre, 2001).

                               

(4)

2.1.2 Tipe Fuel Cell

Saat ini berbagai jenis fuel cell telah diteliti dan dikembangkan. Jenis Fuel

Cell ditentukan oleh material yang digunakan sebagai elektrolit yang mampu

menghantar proton.

1. Fuel Cell Kimiawi

Fuel cell adalah alat yang mampu menghasilkan listrik arus searah. Alat ini

terdiri dari dua buah elektroda, yaitu anoda dan katoda yang dipisahkan oleh sebuah membran polimer yang berfungsi sebagai elektrolit. Membran ini sangat tipis dengan ketebalan beberapa mikrometer. Berbagai tipe fuel cell kimiawi dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jenis fuel cell anorganik

Tipe fuel cell Ion Suhu operasi (°C)

Alkalin (AFC) OH- 50-200

Proton exchange membran

(PEMFC)

H 50-100

Phosphoric acid (PAFC) H 220

Molten carbonat (MCFC) CO32- 650

Solid oxide (SOFC) O2- 500-1000

Sumber: Larminee dan Dicks (2000)

• Alkalin (AFC)

Alkaline Fuel Cell (AFC) memerlukan bahan baku gas hidrogen dan oksigen

sebagai bahan bakar, elektrolit KOH atau kalium hidroksida, dan dioperasikan pada suhu 50-200 oC.

• Proton Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC)

Proton Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC) mempergunakan membran

plastik tipis sebagai elektrolit, dioperasikan pada suhu 80oC. Untuk mempercepat reaksi dipergunakan katalis platina pada kedua sisi membran.

                               

(5)

• Phosphoric Acid Fuel Cell (PAFC)

Phosphoric Acid Fuel Cell (PAFC) mempergunakan elektrolit asam posfat,

dioperasikan pada suhu 150-200oC dan mempergunakan platina sebagai elektroda.

• Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)

Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC) mempergunakan garam karbonat cair

sebagai elektrolit pada suhu 650oC. Ion karbonat (CO3-) mengalir dari katoda menuju anoda.

• Solid Oxide Fuel Cell (SOFC)

Solid Oxide Fuel Cell (SOFC) mempergunakan elektrolit keramik atau oksida

padat yang dioperasikan pada suhu 1000oC. Elektrolit berupa Zirconium Yttrium, Cerium, Lanthanum, Tungsten.

2. Biological Fuel Cell

Fuel cell yang menggunakan komponen biologis seperti organisme disebut biological fuel cell (BFC). Biofuel cell adalah sebuah peralatan yang mengubah

energi biokimia menjadi energi listrik secara langsung. Energi penggerak biofuel cell adalah reaksi redoks dari substrat karbohidrat seperti glukosa dan metanol menggunakan mikroorganisme atau enzim sebagai katalis.

Biological Fuel cell ini dibagi menjadi dua ketegori, yaitu microbial fuel cell

(MFC) dan enzymatik fuel cell. Biological fuel cell yang menggunakan mikroorganisme disebut Microbial Fuel Cell (MFC), sedangkan yang menggunakan enzim disebut Enzymatic Fuel Cell (EFC). Prinsip kerja biofuel cell mirip dengan fuel

cell. Perbedaan utamanya terletak pada katalis dimana pada biofuel cell katalis yang

digunakan adalah mikroorganisme atau enzim. Produk samping yang dihasilkan oleh BFC pada kondisi ideal hanya berupa gas karbondioksida dan air (Justin, 2004).                                

(6)

Tabel 2.2 Perbandingan Fuel Cell Biologis dan Fuel Cell Kimiawi

No. Parameter Fuel Cell Biologis Fuel Cell Kimiawi

1 Katalis Mikroorganisme / enzim Logam mulia

2 pH 7.0-9.0 (pH<1)

3 Temperatur 22-25 ° C >200 ° C

4 Elektrolit Larutan fosfat Asam fosfat

5 Kapasitas Rendah Tinggi

6 Efisiensi Lebih dari 40 % 40 – 60 %

7 Tipe Bahan Bakar Karbohidrat dan hidrokarbon Gas alam, H2, dll. Sumber: Anonim 4, 2009

2.2 Microbial Fuel Cell

Microbial fuel cell (MFC) dikenal sebagai teknologi yang dapat menghasilkan

energi listrik melalui proses degradasi bahan organik oleh mikroorganisme melalui reaksi katalitik atau melalui mekanisme sistem bioelektrokimia dari mikroorganisme (Logan, 2008). Berbagai mikroorganisme berperan dalam MFC, mulai dari yang bersifat aerob, anaerob fakultatif maupun anaerob obligat (Kim et al., 2007). MFC mempunyai berbagai kelebihan dibandingkan dengan teknologi yang menghasilkan energi dari sumber biomassa lainnya, diantaranya memiliki tingkat efisiensi yang tinggi, kondisi operasi yang lunak, tidak dibutuhkannya energi input, dan dapat diaplikasikan pada berbagai tempat yang memiliki infrastruktur listrik yang kurang (Rabaey & Verstraete, 2005).

Bagian utama rangkaian MFC umumnya terdiri atas anoda, katoda dan peralatan elektronik (Logan et al. 2006). Berbagai bahan anoda yang telah diuji coba pada MFC adalah perak (Liu & Mattiasson, 2002), stainless steel (Dumas et al., 2007), dan platina (Schroder, 2007).

                               

(7)

2.2.1 Prinsip Microbial Fuel Cell

MFC merupakan seperangkat alat yang menggunakan mikroorganisme sebagai biokatalisis untuk mengoksidasi senyawa organik dan anorganik, dan menghasilkan arus (Schroder, 2007). Prinsip kerja MFC mirip dengan hidrogen fuel

cell, yaitu terdapat aliran proton dari ruang anoda menuju ruang katoda melalui

membran elektrolit dan aliran elektron yang bergerak ke arah yang sama melalui kabel konduksi (Hoogers, 2002). Prinsip kerja MFC secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Prinsip kerja Microbial fuel cell (Sumber: Maranowski, 2011)

Dilihat dari gambar 2.3, prinsip kerja MFC adalah memanfaatkan mikroba yang melakukan metabolisme terhadap medium di anoda untuk mengkatalisis pengubahan materi organik menjadi energi listrik dengan mentransfer elektron yang diperoleh dari substrat yang telah dioksidasi dan ditransfer ke anoda (Reguera et al.                                

(8)

2005). Elektron yang diterima di anoda kemudian dialirkan melalui sirkuit eksternal sebelum bereaksi dengan penerima elektron di katoda.

Elektron yang dihasilkan dari sel mikroorganisme harus dipindahkan dari dalam membran sel menuju elektroda untuk menghasilkan arus listrik. Setiap aktivitas metabolisme yang dilakukan mikroba umumnya melibatkan pelepasan elektron bebas ke medium (Madigan et al., 1997). Elektron ini dapat dimanfaatkan langsung pada anoda dalam MFC untuk menghasilkan arus listrik. Ion-ion elektron dan proton inilah yang menghasilkan perbedaan potensial listrik sehingga dapat dihasilkan energi (Fikri, 2011).

2.2.2 Mikroorganisme dalam Microbial Fuel Cell

Organisme yang digunakan dalam MFC terdahulu adalah ragi roti, namun dalam penelitian selanjutnya ditemukan bakteri yang berasal dari dasar teluk Finlandia. Alasan yang menyebabkan penggunaan bakteri adalah karena bakteri lebih bersifat tahan terhadap lingkungan yang ekstrem seperti pH (derajat keasaman yang tinggi atau basa yang tinggi) sehingga potensial anoda lebih rendah. Oleh karena itu, perbedaan potensial yang tinggi akan terjadi di antara ujung-ujung elektroda.

MFC merupakan fuel cell dengan memanfaatkan materi organik sebagai nutrien dan substrat pertumbuhan bagi mikroba dalam melakukan aktivitas metabolisme (Mohan et al., 2007). Bakteri yang dipakai dalam MFC ini berada dalam keadaan konsorsium, artinya tidak dalam koloni murni yang sejenis, tetapi banyak jenisnya.

Sebagian besar bakteri yang telah diidentifikasi mampu menghasilkan listrik pada fuel cell adalah bakteri pereduksi logam, seperti Geobacter sulfurreducens (Pham et al. 2003), Geobacter metallireduncens (Bond dan Lovley, 2003),

Shewanella putrefaciens (Kim et al. 2002), Clostridium butyricum (Park et al., 2001), Rhodoferax ferrireduncens (Chaudhuri dan Lovley, 2003), dan Aeromonas hydrophila (Pham et al., 2003). Penelitian terakhir menunjukkan pembangkit listrik

MFC dapat dihasilkan oleh bakteri penghasil mediator atau penukar elektron dari                                

(9)

sekelompok bakteri yang terdiri dari Alcaligenes faecalis, Enterococcus faecium, dan

Pseudomonas aeruginosa (Rabaey et al., 2004).

2.2.3 Komponen Microbial Fuel Cell

Komponen penyusun dari MFC terdiri dari elektrolit (anoda, katoda), elektroda dan membran penukar kation. Anoda berperan sebagai tempat terjadinya pemecahan hidrogen (H2) menjadi proton dan elektron (listrik). Katoda berperan sebagai tempat terjadinya reaksi penggabungan proton, elektron dan oksigen untuk membentuk air.

1. Elektrolit

Elektrolit adalah media untuk mengalirkan proton. Pada kompartemen anoda berisi limbah tekstil sedangkan pada kompartemen katoda yang digunakan pada penelitian ini menggunakan variasi KMnO4. Pada penelitian ini elektrolit yang digunakan yaitu Kalium permanganat (KMnO4).

Kalium permanganat (KMnO4) merupakan senyawa kimia yang mempunyai berat molekul 158,03 g/mol yang berwarna ungu. Kalium permanganat merupakan oksidator kuat yang mampu mengoksidasi sebagian besar reduktor (Mulyono, 2006).

Persamaan setengah reaksi untuk ion permanganat dalam larutan asam dapat dilihat pada persamaan 2.1.

MnO4- + 8H+ + 5ē ↔ Mn2+ + 4H2O E°= 1,51 Volt (2.1)

Kalium permanganat biasa digunakan dalam larutan netral atau larutan yang bersifat basa dalam kimia organik. Pengasaman kalium permanganat cenderung untuk lebih meningkatkan kekuatan destruktif agen pengoksidasi, dan memecah ikatan-ikatan karbon-karbon.

2. Elektroda

Ada bermacam material yang dapat digunakan sebagai elektroda dalam sistem MFC, seperti platina, platina hitam, grafit, carbon-cloth, karbon pasta, dan lain-lain. Pemilihan material elektroda akan sangat berpengaruh terhadap kinerja MFC.                                

(10)

Material yang digunakan sebagai elektroda pada MFC harus konduktif, secara kimia stabil dalam larutan reaktor, dan sesuai untuk makhluk hidup. Hal ini dikarenakan sifat mikroba yang sensitif terhadap lingkungan sehingga mikroba dapat menempel pada elektroda.

3. Membran penukar kation

Membran penukar kation pada fuel cell dapat pula digunakan sebagai membran penukar kation pada MFC. Membran penukar kation merupakan komponen penting dalam sistem fuel cell. Fungsi dari membran pada fuel cell adalah sebagai elektrolit dan pemisah dua gas reaktan. Sebagai elektrolit, membran fuel cell menjadi sarana transportasi ion hidrogen yang dihasilkan oleh reaksi anoda menuju katoda, sehingga reaksi pada katoda yang menghasilkan energi listrik dapat terjadi (Kordesch, 1996 dan Yohan, dkk, 2005).

Salah satu membran fuel cell yang digunakan secara komersial adalah membran tetrafluoro-polietilen dengan cabang gugus asam sulfonat (Nafion®, 2012). Selain itu, membran lain yang memiliki potensi yang sama sebagai membran penukar kation yaitu jembatan garam.

a) Nafion (PEM-FC Membran)

Nafion tergolong dalam ionomer. Ionomer berarti polimer yang memiliki sifat-sifat ionik. Membran ini bersifat selektif semipermeabel terhadap proton dan memiliki sifat elektrik yang baik sebagai konduktor. Sifat konduktivitas tersebut ditunjukkan dengan tetapan dielektriknya yang kecil. Membran Nafion mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya adalah temperatur kerja yang terbatas, tidak ekonomis dan belum dapat mencegah parasitik metanol crossover secara baik (Thomas et al., 2002). Membran ini termasuk dalam polimer yang mahal (Nafion 117 dengan dimensi 10 x 10 cm ± Rp 780.000) (Anonim 3, 2009) dan kinerja membran Nafion menurun diatas 80°C.

                               

(11)

Kelemahan membran Nafion merupakan penghalang dalam usaha untuk mengkomersialkan PEMFC (Proton Exchange Membrane Fuel cell), karena membran mengkerut pada kelembaban rendah dan akan merusak sistem sambungan permukaan membran dengan elektroda serta menurunkan kinerja PEMFC. Kelemahan lainnya, yaitu dimana konduktivitas membran Nafion murni turun dengan drastis pada kelembaban rendah. Hal ini disebabkan karena konduktivitas proton sangat tergantung kepada kadar air di dalam membran. Semakin tinggi kadar air, konduktivitas semakin tinggi dan sebaliknya. Untuk mengatasi hal itu ada dua pendekatan yaitu modifikasi Nafion atau mencari pengganti Nafion.

b) Jembatan Garam

Jembatan garam berupa larutan garam/elektrolit kuat dalam agar-agar, misal NaCl, KNO3 dan K2SO4. Jembatan garam berfungsi untuk menjaga kenetralan muatan listrik pada larutan. Jembatan garam dapat berperan sebagai penukar kation antara dua reaktor. Jembatan garam akan melengkapi rangkaian menjadi sebuah rangkaian/sel yang tertutup karena listrik hanya dapat mengalir pada rangkaian tertutup. Dengan adanya jembatan garam terjadi aliran elektron yang kontinu melalui kawat pada rangkaian luar dan aliran ion-ion melalui larutan sebagai akibat dari proses yang berlangsung. Selain harganya yang murah juga konduktivitasnya cukup tinggi dan dapat menghantarkan proton tanpa air. Fungsi penggunaan agar-agar yaitu menjaga agar larutan pada reaktor tidak mengalir ke reaktor lainnya karena sifat agar yang memadatkan larutan elektrolit KNO3. Sehingga transfer proton dari anoda ke katoda dapat berlangsung dengan baik. Dengan demikian jembatan garam dapat menjadi alternatif penggganti membran Nafion.

2.2.4 Tipe-Tipe MFC

Banyaknya penelitian yang telah dilakukan mengenai MFC ini menyebabkan para peneliti mencoba berbagai desain untuk mendapatkan hasil yang maksimal untuk proses batch maupun sinambung (continous). Berikut tipe-tipe MFC:

                               

(12)

a) MFC dua ruang dengan oksigen sebagai penerima elektron pada katoda b) MFC satu ruang dengan katoda udara (Liu dan Logan 2005)

c) MFC satu ruang dengan katoda udara dan cloth electrode assembly separator d) A cassette-electrode MFC (Shimoyama et al. 2008)

Keterangan: M (Mediator); CHO (organics) ; PEM (Proton Exchange Membrane).                                

(13)

Desain yang banyak digunakan serta murah dari segi ekonomi untuk penelitian MFC adalah jenis two chamber dengan tipe H-Shape. (Logan, 2006). Desain MFC yang sering digunakan ialah sistem tipe H dengan dua kompartemen, karena biaya pembuatannya relatif murah (Kurniawati, 2007). Sistem ini terdiri dari dua botol yang dihubungkan oleh tabung pemisah, biasanya berupa membran pertukaran proton (PEM) seperti Nafion. Hal yang penting dalam sistem ini adalah pemilihan membran yang dapat melewatkan proton secara optimal, namun tidak melewatkan substrat atau akseptor elektron dalam kompartemen katoda (Suhanda, 2007).

Gambar 2.4 Desain Bentuk H-Shape (Sumber: Muralidharan, A dan K Ramasamy, 2012)

Umumnya sistem tipe H ini menghasilkan densitas energi yang rendah karena dibatasi oleh hambatan internal yang tinggi serta tegangan yang hilang pada sambungan elektroda. Jumlah energi yang dihasilkan dalam sistem ini bergantung pada luas permukaan katoda dan anoda sera permukaan membran (Logan, 2006).

Produksi energi juga dipengaruhi oleh perbandingan luas permukaan PEM dengan volume yang ada dalam sistem. Hambatan dalam sistem MFC akan menurunkan seiring meningkatnya luas permukaan PEM.

                               

(14)

2.3 Limbah Industri Tekstil

Limbah dari industri tekstil dapat berupa limbah cair dari proses basah tekstil, debu dan kebisingan terutama dari proses-proses pemintalan, penenunan, perajutan, serta limbah padat berupa potongan serat, benang, kain dan bekas kemasan serta lumpur dari unit pengolahan limbah cair.

2.3.1 Sumber dan Jenis Zat Limbah Tekstil

1) Sumber

Pada proses penyempurnaan tekstil akan dihasilkan limbah cair dari berbagai proses, diantaranya pengelantangan (bleaching), merserisasi (pengkilapan), penyempurnaan dengan asam, penyempurnaan krep, pewarnaan tekstil, proses pencelupan, penyempurnaan kanji, dan penyempurnaan anti ngengat, jamur, dan busuk. Semua proses penyempurnaan ini memberikan limbah cair yang besar dan berbahaya terutama pada proses pewarnaan (Jumaeri et al., 1977).

2) Jenis Zat Limbah Tekstil

Larutan penghilang kanji biasanya langsung dibuang dan ini mengandung zat kimia pengkanji dan penghilang kanji (pati), polivinil alkohol (PVA), carboxy methyl

cellulose (CMC), enzim, dan asam. Penghilangan kanji biasanya menyebabkan BOD

paling banyak dibanding dengan proses-proses lain. Pemasakan dan merserisasi kapas serta pemucatan semua kain adalah sumber limbah cair yang penting, yang menghasilkan asam, basa, COD, BOD, padatan tersuspensi dan zat-zat kimia yang lainnya. Proses-proses ini menghasilkan limbah cair dengan volume besar, pH yang sangat bervariasi dan beban pencemaran yang tergantung pada proses dan zat kimia yang digunakan.

Pewarnaan dan pembilasan menghasilkan air limbah yang berwarna dengan COD yang tinggi dan bahan-bahan lain dari zat warna yang dipakai, seperti fenol dan logam (Shanty, 2007). Beberapa jenis senyawa anorganik yang ditemukan pada limbah diantaranya: (a) logam berat terutama As, Cd, Cr, Pb, Cu, Zn, (b) hidrokarbon                                

(15)

terhalogenasi (dari proses dressing dan finishing), (c) pigmen, zat warna dan pelarut organik, Tensioactive (surfactant).

Sumber utama limbah B3 pada industri tekstil adalah penggunaan zat warna. Beberapa zat warna dikenal mengandung Cr, seperti senyawa Na2Cr2O7 atau senyawa Na2Cr3O7. Industri batik menggunakan senyawa Naftol yang sangat berbahaya. Senyawa lain dalam kategori B3 adalah H2O2 yang sangat reaktif dan HClO yang bersifat toksik (Utami, 1994).

2.3.2 Limbah Cair Tekstil

Limbah cair merupakan masalah utama dalam pengendalian dampak lingkungan industri tekstil karena memberikan dampak yang paling luas, disebabkan oleh karakteristik fisik maupun kimianya yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Limbah cair terutama dihasilkan dari proses penyempurnaan tekstil. Limbah cair akan mengandung bahan-bahan yang dilepas dari serat, sisa bahan kimia yang ditambahkan pada proses penyempurnaan tersebut, serta serat yang terlepas dengan cara kimia atau mekanik selama proses produksi berlangsung (Madja, 2008).

2.3.3 Karakteristik Limbah Cair Tekstil

Karakteristik air limbah menurut Junaidi (2006) dapat menjadi tiga yaitu: 1) Karakteristik Fisika

Karakteristik fisika ini terdiri dari beberapa parameter, yaitu Total Solid (TS),

Total Suspended Solid (TSS), warna, kekeruhan, temperatur, bau.

2) Karateristik Kimia

Terdiri dari Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Dissolved Oxygen (DO), ammonia (NH3), sulfida fenol, derajat keasaman (pH), logam berat.

3) Karakteristik Biologi

Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Dissolved Oxygen (DO), minyak dan lemak.

                               

(16)

Limbah cair tekstil memiliki karakteristik alkalinitas, padatan tersuspensi (SS), suhu dan kebutuhan oksigen biokimia (BOD) yang tinggi. Namun demikian, tinggi rendahnya kandungan BOD dalam limbah tekstil sangat dipengaruhi oleh bahan baku tekstil yang digunakan dalam proses produksi. Dalam Nemerow (1978) antara lain disebutkan bahwa limbah cair tekstil dari bahan baku rayon menghasilkan BOD (1200-1800 mg/ L) lebih tinggi dibandingkan dengan limbah cair tekstil dengan bahan baku katun yang menghasilkan kadar BOD berkisar antara 220-600 mg/L. (Nemerow, 1978). Berikut karakteristik limbah cair dari proses penyempurnaan beberapa bahan tekstil dapat dilihat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Karakteristik Limbah Cair Dari Proses Penyempurnaan Beberapa Bahan Tekstil Parameter Unit Kadar

Pencemaran dari Proses Pencucian Bahan Kapas dan

Sintetik

Kadar Pencemaran dari Proses Pencelupan

Bahan Kapas dan Sintetik Bahan Mutu Limbah Cair Industri Tekstil Kadar Maksimum BOD5 TSS COD Minyak/Lemak Krom, Total Fenol Sulfida Warna pH mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/ mg/l ADM - 100-850 40-495 425-1440 - 0.05 0.04-0.27 0.20-2.72 325-400 7-11 75-340 25-75 200-1010 - 0.013 0.12 - 500 7-12 85 60 250 5.0 2.0 1.0 - - 6.0-9.0 Sumber : Arena Tekstil, No.24 tahun 1995 dan baku Mutu limbah cair Lampiran A.IX Keputusan Menteri Neg. lingkungan Hidup No.Kep-51/MENLH/10/1995.

2.3.4 Karakteristik Bakteri Penjernih Air Limbah Tekstil

Berdasarkan penelitian dari Hariyadi (2003) bahwa mikroba yang dominan pada proses biodekolorisasi air limbah tekstil ini ada 2 jenis bakteri, yaitu

Stenotrophomonas maltophilia (Xanthomons maltophilia) dan Sphingomonas paucimobilis dengan probabilitas masing-masing 97,8 dan 99,8 %. Dua jenis bakteri                                

(17)

ini secara sinergistik telah mampu mendekolorisasi air limbah tekstil berwarna biru dalam rentang waktu yang relatif singkat (7-10 hari) dalam percobaan secara batch.

2.3.5 Jenis-Jenis Zat Warna Tekstil 2.3.5.1 Zat Warna

Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh dengan kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom sebagai pengikat warna dengan serat. Zat organik tidak jenuh yang dijumpai dalam pembentukan zat warna adalah senyawa aromatik antara lain senyawa hidrokarbon aromatik dan turunannya, fenol dan turunannya serta senyawa-senyawa hidrokarbon yang mengandung nitrogen. Gugus kromofor adalah gugus yang menyebabkan molekul menjadi berwarna (Arifin, 2008).

2.3.5.2 Penggolongan Zat Warna

Zat warna dapat digolongkan menurut sumber diperolehnya, yaitu zat warna alam dan zat warna sintetik. Van Croft menggolongkan zat warna berdasarkan pemakaiannya, misalnya zat warna yang langsung dapat mewarnai serat disebutnya sebagai zat warna substantif dan zat warna yang memerlukan zat-zat pembantu supaya dapat mewarnai serat disebut zat reaktif. Kemudian Henneck membagi zat warna menjadi dua bagian menurut warna yang ditimbulkannya, yakni zat warna monogenetik apabila memberikan hanya satu warna dan zat warna poligenatik apabila dapat memberikan beberapa warna. Penggolongan zat warna yang lebih umum dikenal adalah berdasarkan konstitusi (struktur molekul) dan berdasarkan aplikasi (cara pewarnaannya) pada bahan, misalnya didalam pencelupan dan pencapan bahan tekstil, kulit, kertas dan bahan-bahan lain (Irvan, 2004). Penggolongan zat warna atas dasar sistem kromofor yang berbeda seperti zat warna Azo, Antrakuinon, Ftalosia, Nitroso, Indigo, Benzodifuran, Okazin, Polimetil, Di- dan Tri-Aril Karbonium, Poliksilik, Aromatik Karbonil, Quionftalen, Sulfer, Nitro, Nitrosol dan lain-lain (Heaton, 1994).

                               

(18)

Zat warna azo merupakan jenis zat warna sintetis yang cukup penting dan merupakan zat warna reaktif yang sering digunakan pada industri tekstil. Zat warna azo mempunyai sistem kromofor dari gugus azo (-N=N-) yang berikatan dengan gugus aromatik (Heaton, 1994).

2.4 Parameter Pengujian Limbah Cair Tekstil

Parameter untuk pengujian limbah cair tekstil yang biasanya diuji adalah pH, TSS, BOD, COD, fenol, amoniak (NH3) dan sulfida (S).

• Derajat keasaman (pH)

Kondisi pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena ia mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. pH dapat mempengaruhi kehidupan biologi dalam air. Bila terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat mematikan kehidupan mikroorganisme. pH normal untuk kehidupan air adalah 6–8. Prinsip dari metode pengukuran pH berdasarkan pengukuran aktivitas ion hidrogen secara potensiometri/elektrometri dengan menggunakan pH-meter.

• TSS (Total Suspended Solid)

Padatan tersuspensi total atau kadang-kadang disebut residu yang tidak dapat disaring, ditetapkan dengan cara menyaring sejumlah volume air limbah melalui filter membran. Prinsipnya yaitu contoh uji yang telah homogen disaring dengan kertas saring yang telah ditimbang. Residu yang tertahan pada saringan dikeringkan sampai mencapai berat konstan pada suhu 103ºC sampai dengan 105ºC. Kenaikan berat saringan mewakili padatan tersuspensi total (TSS). Jika padatan tersuspensi menghambat saringan dan memperlama penyaringan, diameter pori-pori saringan perlu diperbesar atau mengurangi volume contoh uji. Untuk memperoleh estimasi TSS, dihitung perbedaan antara padatan terlarut total dan padatan total.

                               

(19)

• Oksigen Terlarut (dissolved oxygen)

DO adalah kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk respirasi aerob mikroorganisme. Semakin banyak jumlah DO maka kualitas air semakin baik. Kelarutan oksigen dalam air sangat dipengaruhi oleh suhu, tekanan udara dan gerak dari air (turbulensi). Prinsipnya yaitu oksigen terlarut bereaksi dengan ion mangan (II) dalam suasana basa menjadi hidroksida mangan dengan valensi yang lebih tinggi (Mn (IV). Dengan adanya ion yodida (I-) dalam suasana asam, ion mangan (IV) akan kembali menjadi ion mangan (II) dengan membebaskan yodin (I2) yang setara dengan kandungan oksigen terlarut. Yodin yang terbentuk kemudian dititrasi dengan sodium thiosulfat dengan indikator amilum.

• COD (Chemical Oxygen Demand)

Dalam air buangan terdapat zat organik yang terdiri, dari unsur karbon, hidrogen dan oksigen dengan unsur tambahan yang lain seperti nitrogen, belerang dan lain-lain yang cenderung menyerap oksigen. Oksigen tersebut dipergunakan untuk menguraikan senyawa organik. Pada akhirnya kadar oksigen dalam air buangan menjadi keruh dan kemungkinan berbau. Pengukuran ini diperlukan untuk mengukur kebutuhan oksigen terhadap zat organik yang sukar dihancurkan secara oksidasi. Oleh karena itu dibutuhkan bantuan pereaksi oksidator yang kuat dalam suasana asam. COD merupakan jumlah kebutuhan oksigen dalam air untuk proses reaksi secara kimia guna menguraikan unsur pencemar yang ada (Fachturrizki, 2012). COD dinyatakan dalam ppm (part per milion) atau ml O2/ liter. Nilai BOD selalu lebih kecil daripada nilai COD diukur pada senyawa organik yang dapat diuraikan maupun senyawa organik yang tidak dapat berurai (Alaerts dan Santika, 1984).

Prinsipnya yaitu zat organik atau zat anorganik dalam jumlah tertentu dalam sampel air dioksidasi oleh kalium bikromat berlebih pada keadaan panas dan asam. Kelebihan bikromat dititrasi dengan larutan standar garam Fe (II) terhadap indikator feroin.                                

(20)

• BOD (Biological Oxygen Demand)

Menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan–bahan buangan di dalam air. Pemeriksaan parameter BOD didasarkan pada reaksi oksidasi zat organik dengan oksigen di dalam air dan proses tersebut berlangsung karena adanya bakteri aerobik. Untuk menguraikan zat organik memerlukan waktu ± 2 hari untuk 50% reaksi, 5 hari untuk 75% reaksi tercapai dan 20 hari untuk 100% reaksi tercapai.

• Fenol

Istilah fenol dalam air limbah tidak hanya terbatas pada fenol (C6H5 – OH) tetapi bermacam-macam campuran organik yang terdiri dari satu atau lebih gugusan hidroksil. Fenol yang dengan konsentrasi 0,005 mg/liter dalam air minum menciptakan rasa dan bau apabila bereaksi dengan klor membentuk klorofenol (Fachturrizki, 2012).

Dasar penetapan dari analisis fenol adalah semua fenol dalam air akan bereaksi dengan 4-aminoantipirin pada pH 7,9 ± 0,1 dalam suasana larutan kalium ferri sianida akan membentuk warna merah kecoklatan dari antipirin. Warna yang terbentuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 460 nm atau 500 nm.

• Ammonia (NH3)

Ammonia adalah penyebab iritasi dan korosi, meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan mengganggu proses desinfeksi dengan klor (Soemirat, 1994). Ammonia terdapat dalam larutan dan dapat berupa senyawa ion ammonium atau ammonia tergantung pada pH larutan. Prinsipnya yaitu ammonia bereaksi dengan hipoklorit dan fenol yang dikatalisis oleh natrium nitroprusida membentuk senyawa biru indofenol.                                

(21)

• Sulfida

Sulfat dalam jumlah besar akan menaikkan keasaman air. Ion sulfat dapat terjadi secara proses alamiah. Ion sulfat oleh bakteri direduksi menjadi sulfida pada kondisi anaerob dan selanjutnya sulfida diubah menjadi hidrogen sulfida. Dalam suasana aerob hidrogen sulfida teroksidasi secara bakteriologis menjadi sulfat. Dalam bentuk H2S bersifat racun dan berbau busuk. Pada proses digester lumpur gas H2S yang bercampur dengan metan CH4 dan CO2 akan bersifat korosif. H2S akan menghitamkan air dan lumpur yang bila terikat dengan senyawa besi membentuk Fe2S. Sulfat direduksi menjadi sulfida dalam sludge digester dan dapat mengganggu proses pengolahan limbah secara biologi jika konsentrasinya melebihi 200 mg/L. Gas H2S bersifat korosif terhadap pipa dan dapat merusak mesin (Sugiharto, 1987). Prinsipnya yaitu ion sulfat bereaksi dengan barium klorida dalam suasana asam akan membentuk suspensi barium sulfat dengan membentuk kristal barium sulfat yang sama besarnya diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 420 nm.

• Minyak dan Lemak

Lemak dan minyak ditemukan mengapung di atas permukaan air meskipun sebagian terdapat di bawah permukaan air. Lemak dan minyak merupakan senyawa ester dari turunan alkohol yang tersusun dari unsur karbon, hidrogen dan oksigen. Lemak sukar diuraikan bakteri tapi dapat dihidrolisa oleh alkali sehingga membentuk senyawa sabun yang mudah larut. Adanya minyak dan lemak di atas permukaan air merintangi proses biologi dalam air sehingga tidak terjadi fotosintesa (Fachturrizki, 2012).

Prinsipnya yaitu minyak dan lemak dalam contoh uji air diekstraksi dengan pelarut organik dalam corong pisah dan untuk menghilangkan air yang masih tersisa digunakan Na2SO4 anhidrat. Ekstrak minyak dan lemak dipisahkan dari pelarut organik secara destilasi. Residu yang tertinggal pada labu destilasi ditimbang sebagai minyak dan lemak.

                               

Gambar

Gambar 2.1 Sistem Fuel Cell (Mench, 2008)                 
Gambar 2.2 Prinsip Kerja Fuel Cell  (Sumber: Anonim 1, 2006)
Tabel 2.1 Jenis fuel cell anorganik
Tabel 2.2 Perbandingan Fuel Cell Biologis dan Fuel Cell Kimiawi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui nilai bangkitan dan tarikan lalu lintas saat kegiatan operasional Pengembangan Hotel Sheraton, maka penting untuk diketahui jumlah volume lalu lintas yang

(2) Dalam penyerahan dan penambahan penyerahan urusan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah Tingkat I atau kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, tata cara pengalihan perangkat,

Berdasarkan hasil uji statistik deskriptif yang di hasilkan software E-views pada 17 perusahaan Perdagangan Eceran 2016-2019 maka di dapatkan nilai rata-rata

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji secara empirik pengaruh permainan simulasi terhadap pengambilan keputusan studi lanjut pada peserta didik di SMP Negeri 1

a) Voltage and current control. Voltage and current control atau trafo las berfungsi sebagai pengatur arus dan tegangan output yang dibutuhkan untuk pengelasan busur

Terdapat 6 jenis permainan di dalam Taman Gratifikasi, antara lain: Mengenal Gratifikasi yang digambarkan dengan permainan berjenis scrabble yang dimana Grato

Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk menjelaskan dan meneliti tentang makna ziarah sebagai media komunikasi transendental di pemakaman Nangka Beurit kabupaten