5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daun Sirsak
2.1.1 Karakteristik Daun Sirsak
Menurut Zuhud (2011), daun sirsak merupakan daun yang memiliki panjang 6-18 cm, lebar 3-7 cm, bertekstur kasar, berbentuk bulat telur terbalik bentuk eliptik, ujungnya lancip pendek, daun bagian atas mengkilap hijau dan gundul pucat kusam di bagian bawah daun, berbentuk lateral saraf. Daun sirsak memiliki bau tajam menyengat dengan tangkai daun pendek sekitar 3-10 mm.
Daun yang berkualitas adalah daun sirsak dengan kandungan antioksidan yang tinggi, terdapat pada daun yang tumbuh pada urutan ke-3 sampai urutan ke-5 dari pangkal batang daun dan dipetik pukul 5-6 pagi (Zuhud, 2011). Gambar daun sirsak dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Daun Sirsak (Wibisono, 2016)
2.1.2 Kandungan Senyawa Fitokimia Daun Sirsak
Fitokimia adalah salah satu cabang ilmu kimia organik yang mengkaji mengenai senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan yang berhubungan dengan zat-zat aktif struktur kimia, biosintesis, metabolisme, efek biologis dan farmakologis. Fitokimia dapat dimanfaatkan untuk mengetahui tumbuhan yang bersifat antioksidan. Tumbuhan yang mengandung antioksidan secara kemotaksonomi ditandai dengan adanya senyawa-senyawa kimia turunan fenolat seperti flavonoid, kumarin, santon, benzofenon, tannin, lignin dan
antrakuinon (Ersam, 1999). Komposisi fitokimia daun sirsak dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Komposisi Fitokimia Daun Sirsak
Komposisi Kandungan
Alkaloid 1,66 ± 0,35
Flavonoid 1,15 ± 0,20
Tanin 0,75 ± 0,02
Fenol 0,14 ± 0,01
Saponin 2,15 ± 0,05
(Uchegbu dkk., 2017)
a. Alkaloid
Alkaloid termasuk senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen dan biasanya berupa sistem siklis. Senyawa alkaloid pada umumnya mengandung atom yang mengandung oksigen. Senyawa alkaloid banyak terkandung dalam akar, batang biji, daun, dari tumbuhan dan juga dari hewan.
Struktur kimia senyawa alkaloid dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Struktur Kimia Senyawa Alkaloid
Kegunaan alkaloid bagi tumbuhan adalah sebagai pelindung dari serangan hama, penguat tumbuhan dan pengatur kerja hormon. Dalam bidang farmakologi kegunaannya adalah untuk memacu sistem syaraf, menaikkan tekanan darah, merupakan salah satu senyawa pahit yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Pasaribu, 2009).
b. Flavonoid
Senyawa flavonoid merupakan salah satu senyawa polifenol yang mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam konfigurasi
C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan 3 karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga (Markham, 1982). Struktur kimia senyawa flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Senyawa flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan, biasanya dalam bentuk campuran dari flavonoid yang berbeda golongan, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal (Harborne, 1984).
Flavonoid berperan sebagai antikanker, antiviral, antiinflamasi, mengurangi resiko penyakit kardiovaskuler dan penangkapan radikal bebas. Kekuatan aktivitas antioksidan dari flavonoid bergantung pada jumlah dan posisi dari gugus OH yang terdapat pada molekul (Farkas dkk., 2004). Semakin banyak substitusi gugus hidroksi pada flavonoid, maka aktivitas antiradikalnya semakin besar (Amic dkk., 2003; Farkas dkk., 2004). Adanya gugus orto-katekol (3‘4‘-OH) pada cincin B flavonoid merupakan faktor penentu kapasitas antioksidan yang tinggi (Amic, dkk., 2003).
Gambar 2.3 Struktur Dasar Flavonoid (Markham, 1982)
c. Tanin
Kandungan tanin pada daun sirsak merupakan golongan bahan alam lain yang memberikan rasa kesat dan pahit dalam tanaman dan makanan. Golongan ini terdiri dari senyawa polifenol larut air, sesuai dengan namanya tanin dapat terhidrolisis oleh basa untuk membentuk asam sederhana dan gula (Heinric, dkk., 2010). Struktur inti tanin dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Struktur Inti Tanin (Sibuea, 2015)
d. Fenol
Senyawa fenolik merupakan senyawa dengan suatu gugus OH yang terikat pada cincin aromatik (Fessenden, 1982). Fenolik merupakan metabolit sekunder yang tersebar dalam tumbuhan. Senyawa fenolik dalam tumbuhan dapat berupa fenol sederhana, antraquinon, asam fenolat, kumarin, flavonoid, lignin dan tanin (Harborne, 1987). Struktur fenol dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Struktur Fenol (Harborne, 1987)
Senyawa fenolik telah diketahui memiliki berbagai efek biologis seperti aktivitas antioksidan melalui mekanisme sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkhelat logam, peredam terbentuknya oksigen singlet serta pendonor elektron (Karadeniz, dkk., 2005).
e. Saponin
Saponin merupakan suatu glikosida yang memiliki aglikon berupa sapogenin. Saponin dapat menurunkan tegangan permukaan air, sehingga akan mengakibatkan terbentuknya buih pada permukaan air setelah dikocok. Struktur kimia saponin dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Struktur Kimia Saponin
2.1.3 Manfaat Daun Sirsak
Menurut Gunawan (2014), beberapa manfaat daun sirsak yang dapat berguna untuk kesehatan tubuh yaitu:
1. Menghambat mutasi gen, pertumbuhan bakteri, perkembangan virus, perkembangan parasit, dan pertumbuhan tumor.
2. Menurunkan kadar gula, demam, dan tekanan darah tinggi.
3. Membantu menguatkan syaraf, meningkatkan produksi asi pada ibu hamil, melebarkan pembuluh darah, menyehatkan jantung, meredakan nyeri, mengurangi stres, serta merileksasi otot.
4. Menguatkan pencernaan dan meningkatkan nafsu makan.
5. Dapat menekan peradangan.
6. Membunuh cacing parasit dan sebagai anti kejang.
2.2 Teh Herbal
2.2.1 Pengertian Teh Herbal
Teh herbal merupakan produk minuman teh, bisa dalam bentuk tunggal atau campuran herbal. Selain dikonsumsi sebagai minuman biasa, teh herbal juga dikonsumsi sebagai minuman yang berkhasiat untuk meningkatkan kesehatan.
Khasiat yang dimiliki setiap teh herbal berbeda, tergantung bahan bakunya.
Campuran bahan baku yang digunakan merupakan herbal atau tanaman obat yang secara alami memiliki khasiat untuk membantu mengobati jenis penyakit tertentu (Dewata, 2017).
Adapun bahan herbal umumnya berupa campuran dari beberapa bahan yang biasa disebut infusi. Infusi terbuat dari kombinasi daun kering, biji, kayu, buah, bunga dan tanaman lain. Teh herbal tidak dapat disebut sebagai teh seduh karna teh herbal tidak berasal dari tanaman Camellia sinenis tempat teh dibuat sebagai minuman (Ravikumar, 2014).
2.2.2 Syarat Mutu Teh Kering dalam Kemasan
Syarat mutu teh kering dalam kemasan berdasarkan SNI 3836:2013 dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Syarat Mutu Teh Kering dalam Kemasan Menurut SNI 3836: 2013
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 1.1
1.2 1.3 2 3 4 5 6
7 8
9 10 10.1 10.2 10.3 10.4 11 12 12.1 12.2 12.3
Keadaan air seduhan Warna
Bau Rasa
Kadar polifenol (b/b) Kadar air (b/b)
Kadar ekstrak dalam air (b/b) Kadar abu total (b/b)
Kadar abu larut dalam air dari abu total (b/b)
Kadar abu tak larut dalam asam (b/b) Alkalinitas abu larut dalam air (sebagai
KOH) (b/b) Serat kasar Cemaran logam
Kadmium (Cd) Timbal (Pb)
Timah (Sn) Merkuri (Hg) Cemaran arsen (As)
Cemaran mikroba : Angka lempeng total (ALT)
Bakteri Coliform Kapang
- - -
%
%
%
%
%
%
%
%
Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg
koloni/g Apm/g koloni/g
Hijau, kekuningan-
merah dan kecoklatan Khas produk teh Khas produk teh
Min. 5.2 Maks. 8.0
Min. 32 Maks. 8.0
Min. 45
Maks 1.0 01-Mar
Maks. 16.5
Maks. 0.2 Maks. 2.0 Maks. 40.0 Maks. 0.03 Maks. 1.0
Maks. 3x103
< 3 Maks. 5x102 (Badan Standar Nasional, 2013)
Produk teh harus memiliki warna, rasa dan aroma khas teh. Kadar air maksimal pada produk teh adalah 8%, dengan kadar air tersebut diharapkan dapat
memperpanjang masa simpan teh kering. Selain itu, kadar abu total dari teh kering tidak melebihi 8%. Kadar abu ini mempengaruhi kandungan organik dari teh kering (Badan Standarisasi Nasional, 2013).
2.3 Teh Herbal Daun Sirsak
2.3.1 Proses Pengolahan Teh Herbal Daun Sirsak
Menurut Adri dan Wikanastri (2013), cara dalam pengolahan teh herbal, sama dengan cara pengolahan teh pada umumnya, yaitu :
1. Pemetikan dan Seleksi
Pada tahap ini, dilakukan seleksi bahan yakni dengan memilah daun yang telah dipetik dengan cara memisahkan daun yang masih muda dan terlalu tua dan menggunakan daun yang muda namun tidak terlalu tua. Daun yang berlubang akibat hama dan daun yang terkena penyakit dengan ciri- ciri memiliki bintik putih, kuning ataupun hitam dibuang dipisahkan dengan daun yang akan digunakan.
2. Pencucian
Tahap ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang terdapat pada permukaan daun kemudian daun ditiriskan hingga air yang menempel pada daun berkurang.
3. Pelayuan
Pada tahap ini, daun yang telah dicuci ditiriskan dan dianginkan- anginkan. Pembuatan teh daun sirsak didasarkan pada penelitian Tuminah (2004) dalam Adri dan Wikanastri (2013), daun teh dilayukan pada suhu 70oC selama 15 menit. Kondisi operasi pelayuan ini diacu sebagai kondisi optimum pelayuan daun sirsak.
4. Pengeringan
Secara tradisional, makanan dikeringkan dengan sinar matahari tetapi sekarang beberapa makanan didehidrasi dibawah kondisi pengeringan yang terkendali dengan menggunakan aneka ragam metoda pengeringan salah satunya dengan menggunakan oven. Tahap pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air pada daun hingga mencapai 10%. Sedangkan proses pengeringan daun sirsak dilakukan pada suhu < 60oC. Perubahan zat gizi
dalam makanan terjadi pada beberapa tahap selama pemanenan, persiapan, pengolahan, distribusi, dan penyimpanan. Pengolahan dengan panas mengakibatkan kehilangan beberapa zat gizi terutama zat-zat labil yang tidak tahan suhu tinggi seperti asam askorbat, tetapi teknik dan peralatan pengolahan dengan panas yang modern dapat memperkecil kehilangan zat gizi. Semua perlakuan pemanasan harus di optimisasi untuk mempertahankan nilai gizi dan mutu produk serta menghancurkan mikroba (Buckle, dkk., 2013).
5. Penggilingan
Proses penggilingan bertujuan untuk memperkecil ukuran daun sirsak kering sehingga mudah dalam proses pengemasan.
6. Pengemasan
Pengemasan merupakan sistem yang terkoordinasi untuk menyiapkan barang menjadi siap untuk ditransportasikan, didistribusikan, disimpan, dijual dan dipakai. Adanya wadah atau pembungkus dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi produk yang ada didalamnya, melindungi dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik (gesekan, benturan, getaran) (Mareta dan Shofia, 2011). Menurut Rassi (2010), macam teh berdasarkan kemasan antara lain teh celup, teh seduh (daun teh), teh yang dipres, teh stik dan teh instan. Teh celup merupakan teh yang kemasannya tercipta tanpa sengaja. Teh dikemas dalam kantong kecil yang biasanya dibuat dari kertas. Teh celup sangat popular karena praktis.
2.3.2 Analisis Teh Herbal Daun Sirsak 1. Analisis Kimia
a. Kadar air
Kadar air merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena kandungan air pada bahan pangan dapat mempengaruhi penampakan, tekstur dan citarasa pada bahan pangan. Tingginya kadar air pada bahan pangan dapat mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang biak (Harun dkk, 2014).
Penentuan kadar air berguna untuk menyatakan kandungan zat dalam tumbuhan sebagai persen bahan kering. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran dan keawetan bahan makanan tersebut.
Sebagian besar dari perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan makanan itu sendiri. Adanya air mempengaruhi kemerosotan mutu makanan secara kimia dan mikrobiologi.
(Kumalaningsih, 2006).
Penentuan kadar air dapat dilakukan dengan metode gravimetri yakni dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105oC selama ± 3-5 jam. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan.
Selama proses pengovenan terjadi penurunan berat yang disebabkan berkurangmya kadar air dalam bahan makanan (Kumalaningsih, 2006). Perhitungan untuk menentukan kadar air menggunakan rumus berikut:
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟(%) =𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 − 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥100%
(AOAC, 2005)
b. Kadar abu
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan pangan.
Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya merupakan bahan anorganik berupa mineral yang disebut dengan abu (Winarno, 1991). Menurut Deman (1997), pembakaran yang dilakukan pada suhu 600oC akan merusak senyawa organik dan meningggalkan mineral pada sampel yang diuji kadar abunya, namun jika pembakaran dilakukan pada suhu lebih dari 600oC akan menghilangkan nitrogen dan natrium klorida pada bahan yang dianalisis.
Analisis kadar abu pada bahan makanan bertujuan untuk mengetahui kandungan mineral yang ada pada bahan yang diuji, menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, memperkirakan kandungan bahan utama yang digunakan dalam pembuatan suatu produk, dan juga
digunakan sebagai parameter nilai gizi bahan makanan (Sudarmadji, dkk., 2007).
Perhitungan untuk menentukan kadar abu menggunakan rumus berikut:
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢(%) = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑏𝑢
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100%
(Andarwulan, 2011)
c. Penentuan aktivitas antioksidan
Antioksidan merupakan suatu zat yang dapat menetralkan radikal bebas sehingga melindungi tubuh dari berbagai macam penyakit dengan cara mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif yang dapat merusak sel (Winarsi, 2007). Radikal bebas adalah salah satu bentuk dari senyawa oksigen reaktif yang memiliki elektron tidak berpasangan. Radikal bebas bersifat tidak stabil dan sangat reaktif yakni cenderung bereaksi dengan molekul lainnya untuk mencapai kestabilan. Radikal dengan kereaktifan yang tinggi ini dapat memulai sebuah reaksi berantai dalam sekali pembentukannya sehingga menimbulkan senyawa yang tidak normal dan memulai reaksi berantai yang dapat merusak sel-sel penting dalam tubuh (Badarinath dkk, 2010). Radikal bebas dapat diatasi dengan penggunaan antoksidan. (Mandal dkk, 2009).
Senyawa antioksidan alami dalam tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik dan polifenolik, seperti golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki fungsi sebagai antioksidan meliputi flavon, flavanol, isoflavon, katekin dan kalkon, sedangkan turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain. (Febriani, 2012).
Aktivitas antioksidan pada daun sangatlah berpengaruh pada suhu pengeringan yang digunakan seperti suhu pengeringan 55oC yang merupakan suhu paling optimal. Hal ini dikarenakan penggunaan suhu diatas 55oC memiliki pengaruh tidak baik untuk aktivitas antioksidan teh atau penurunan aktivitas antioksidan yang dihasilkan karena akan mengakibatkan zat aktif pada simplisia (bahan alamiah) akan mengalami kerusakan pada suhu 60oC (Putri, 2016).
Menurut Anjani dkk. (2015), penentuan aktivitas antioksidan pada simplisia biasanya dilakukan menggunakan metode DPPH (1.1-diphenyl-2-picrylhydrazyl).
Uji DPPH digunakan untuk mengukur dan memperkirakan efisiensi kerja dari substansi yang berperan sebagai antioksidan. Menurut Ananda (2009) dalam Harun dkk. (2014), prinsip kerja dari metode uji DPPH ini adalah proses reduksi senyawa radikal bebas DPPH oleh antioksidan, serta menghilangkan warna untuk mengukur kapasitas antioksidan yang langsung menjangkau radikal DPPH dengan pemantauan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Yu, 2008).
DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang stabil sehingga apabila digunakan sebagai pereaksi dalam uji penangkapan radikal bebas cukup dilarutkan, dan bila disimpan dalam keadaan kering dengan kondisi penyimpanan yang baik dan stabil selama bertahun-tahun. Nilai absorbansi DPPH berkisar antara 515-520 nm. (Vanselow, 2007). DPPH digunakan untuk mengevaluasi aktivitas peredaman radikal bebas dari suatu antioksidan alami dan berfungsi sebagai senyawa radikal bebas. Struktur kimia DPPH dapat dilihat pada Gambar 2.7 berikut:
Gambar 2.7 Struktur Kimia DPPH (Molyneux, 2004)
DPPH yang berwarna ungu dapat berubah menjadi senyawa yang stabil dengan warna kuning oleh reaksi dengan antioksidan. Metode peredaman radikal bebas DPPH didasarkan pada reduksi dari larutan methanol radikal bebas DPPH yang berwarna oleh penghambatan radikal bebas. Ketika larutan DPPH yang berwarna ungu bertemu dengan bahan pendonor elektron maka DPPH akan tereduksi, menyebabkan warna ungu akan memudar dan digantikan warna kuning yang berasal dari gugus pikril. (Prayoga, 2013).
Reaksi antara DPPH dengan atom H dari senyawa antioksidan dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Reaksi pemerangkapan radikal DPPH oleh senyawa antioksidan (Yamaguchi, dkk., 1998)
Aktivitas antioksidan dari ekstrak dinyatakan dalam persen penghambatannya terhadap radikal DPPH. Persentase penghambatan ini didapatkan dari perbedaan serapan antara absorban DPPH dalam metanol dengan absorban sampel yang diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 516 nm. Selanjutnya, persamaan regresi yang diperoleh dari grafik hubungan antara konsentrasi sampel dengan persen penghambatan DPPH digunakan untuk mencari nilai IC50. Besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan nilai IC50, yaitu konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal bebas DPPH (Andayani dkk., 2008). Perhitungan nilai konsentrasi efektif atau IC50 menggunakan rumus sebagai berikut:
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑟𝑎𝑑𝑖𝑘𝑎𝑙 𝑏𝑒𝑏𝑎𝑠 (%) =𝐴𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙− 𝐴𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝐴𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑥 100%
Keterangan:
Akontrol = Absorbansi tidak mengandung sampel Asampel = Absorbansi sampel
Metode DPPH dipilih karena pengujiannya sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya memerlukan sedikit sampel. Menurut Ariyanto (2006), tingkatan kekuatan antioksidan pada metode DPPH dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Tingkatan Aktivitas Antioksidan pada Metode DPPH
Nilai Tingkatan
IC50 < 50 μg/mL Sangat kuat
IC50 50-100 μg/mL Kuat
IC50 101-150 μg/mL Sedang
IC50 > 150 μg/mL Lemah
(Ariyanto, 2006)
2. Analisis Sensoris
Analisis sensoris (uji organoleptik) merupakan pengujian yang dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap mutu produk, dengan mengandalkan panca indera. Analisis sensoris dapat dilakukan dengan atribut yang dipresepsi oleh organ- organ kelima panca indera yakni peraba, perasa, penglihatan, penciuman dan pendengaran. Seperti warna, aroma, bau, rasa, tekstur, sentuhan dan kebisingan (Setyaningsih dkk., 2010).
Kualitas teh merupakan kumpulan sifat yang dimiliki teh, baik sifat fisik, kimia maupun organoleptik. Sifat organoleptik teh memegang peranan penting dalam penentuan tingkat penerimaan peminumnya. Sifat organoleptik pada teh kering dapat menghasilkan informasi mengenai mutu teh maupun mutu pengolahannya. Dari hasil uji ini dapat ditentukan kebijakan maupun pemasaran produk teh kering pada konsumen (Dymas, 2008).
Sifat organoleptik teh pada umumnya melibatkan indera penglihatan, pencicipan, dan pembauan. Pada dasarnya sifat organoleptik terdiri atas beberapa kelompok penilaian yaitu penilaian terhadap kenampakan, cita rasa dan warna air seduhan. Keseluruhan hasil penilaian merupakan gambaran lengkap mutu organoleptik teh serta pengolahan yang telah dilakukan (Dymas, 2008).
Teh mempunyai sifat bentuk teh kering dan minuman teh meliputi : 1) Bentuk teh kering (Dymas, 2008)
- Warna teh kering : hijau muda dan hijau coklat-coklatan;
- Tekstur: permukaan daun teh kasar;
- Ukuran : homogen dan tidak tercampur remukan;
- Bentuk : tergulung.-Aroma : wangi sampai kurang wangi, tidak apek.
2) Bentuk minuman teh (Dymas, 2008)
- Seduhan : jernih dalam bentuk minuman;
- Warna pada minuman teh pada umumnya berwarna hijau atau kecoklat- coklatan;
- Rasa : rasa khas teh hijau, sedikit pahit, dan lebih sepat.
2.4 Pengeringan
2.4.1 Pengertian Pengeringan
Pengeringan merupakan suatu cara untuk menurunkan kandungan air yang terdapat didalam suatu bahan (Treyball, 1981). Sedangkan menurut Hall (1957) proses pengeringan adalah proses pengambilan atau penurunan kadar air sampai batas tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan biji-bijian akibat biologis dan kimia sebelum bahan diolah. Menurut Brooker, Bakker dan Hall (1974), kadar air keseimbangan dipengaruhi oleh kecepatan aliran udara dalam ruang pengering, suhu dan kelembaban udara, jenis bahan yang dikeringkan dan tingkat kematangan.
2.4.2 Tujuan Pengeringan
Tujuan pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau bahkan berhenti sama sekali. Dengan demikian, bahan yang dikeringkan mempunyai waktu simpan lebih lama (Adawyah, 2014).
2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Pengeringan
Menurut Buckle dkk. (1987), faktor yang dapat mempengaruhi pengeringan suatu bahan adalah sebagai berikut:
1. Sifat fisik dan kimia dari bahan, meliputi bentuk, komposisi, ukuran, dan kadar air yang terkandung didalamnya.
2. Pengaturan geometris bahan. Hal ini berhubungan dengan alat atau media yang digunakan sebagai perantara pemindah panas.
3. Sifat fisik dari lingkungan sekitar alat pengering, meliputi suhu, kecepatan sirkulasi udara, dan kelembaban.
4. Karakteristik dan efisiensi pemindahan panas alat pengering. Proses pengeringan juga harus memperhatikan suhu udara dan kelembaban. Suhu udara yang tinggi dan kelembaban udara yang relatif rendah dapat
mengakibatkan air pada bagian permukaan bahan yang akan dikeringkan menjadi lebih cepat menguap. Hal ini dapat berakibat pada terbentuknya suatu lapisan yang tidak dapat ditembus dan menghambat difusi air secara bebas. Kondisi ini lebih dikenal dengan case hardening (Desrosier, 1988).
2.4.4 Prinsip Dasar Pengeringan
Proses pengeringan pada prinsipnya menyangkut proses pindah panas dan pindah massa yang terjadi secara bersamaan (simultan). Pertama panas harus di transfer dari medium pemanas ke bahan. Selanjutnya setelah terjadi penguapan air, uap air yang terbentuk harus dipindahkan melalui struktur bahan ke medium sekitarnya. Proses ini akan menyangkut aliran fluida dimana cairan harus ditransfer melalui struktur bahan selama proses pengeringan berlangsung. Jadi panas harus disediakan untuk menguapkan air dan air harus mendifusi melalui berbagai macam tahanan agar dapat lepas dari bahan dan berbentuk uap air yang bebas. Lama proses pengeringan tergantung pada bahan yang dikeringkan dan cara pemanasan yang digunakan (Rahmawan, 2011).
2.4.5 Metode Pengeringan
Metode pengeringan dapat memberikan perbedaan yang nyata terhadap aktivitas antioksidan bahan yang dikeringkan (Wulandari, 2009). Hal ini dikarenakan pengeringan merupakan suatu cara untuk menurunkan kadar air bahan sampai ketingkat yang diinginkan dan menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut kandungan zat aktif.
Metode pengeringan Menurut Afrianti (2008), secara garis besar dapat dilakukan dengan pengeringan alami (natural drying) dan buatan (artificial drying).
1. Pengeringan alami (natural drying)
Pengeringan alami merupakan suatu cara mengeringkan bahan pangan menggunakan panas alami dari sinar matahari, dengan cara dijemur (sun drying) atau diangin-anginkan. Penjemuran merupakan jenis pengeringan tertua. Teknik pengeringan dilakukan langsung maupun tidak langsung (dikering-anginkan) dengan menempatkan bahan yang akan dikeringkan pada rak atau disimpan pada lantai semen bahkan tanah (Afrianti, 2008).
Gambar 2.9. Pengeringan Alami (Nuria, 2009)
Keuntungan dari penjemuran adalah biayanya relatif murah, kemampuan pengeringan memadai dan dapat dilakukan tanpa keahlian khusus. Tetapi kemampuan penjemuran hanya dapat dicapai dengan pengeringan maksimum terendahnya sampai kadar air keseimbangan. Tergantung pada keadaan cuaca, memerlukan waktu pengeringan yang lama 2-3 hari dan masalah pencemaran lingkungan sulit untuk diatasi seperti kontaminasi dari debu, insekta dan benda asing lainnya.
Hasil pengeringan dengan penjemuran pada suatu bahan pangan, biasanya memiliki kualitas yang rendah misalnya kadar antioksidan yang hilang akibat terpapar langsung oleh sinar UV dari matahari. Dengan demikian untuk mengatasi hal tersebut, pengeringan dapat dilakukan secara tidak langsung.
Misalnya, disimpan dalam pembungkus atau penutup yang dapat melindungi bahan dari gangguan luar tetapi masih mampu meneruskan tenaga matahari (Nuria, 2009).
2. Pengeringan Buatan (artificial drying)
Pengeringan buatan merupakan suatu cara mengeringkan bahan pangan menggunakan panas selain sinar matahari atau dilakukan dengan alat pengering.
Contohnya: cabinet dryer, freeze dryer, tray dryer, oven dan alat pengering lainnya (Afrianti, 2008).
Gambar 2.10. Pengeringan Buatan (Huda, 2008)
Keuntungan dari pengeringan buatan adalah suhu dan aliran udara dapat diatur, waktu pengeringan dapat ditentukan dengan tepat dan kebersihan bahan dapat diawasi. Kerugian dari cara ini yaitu memerlukan panas selain sinar matahari berupa bahan bakar, sehingga biaya yang diperlukan menjadi mahal, memerlukan peralatan yang relatif mahal harganya dan memerlukan tenaga kerja dengan keahlian tertentu. Pengaruh pengeringan terhadap sifat bahan pangan yaitu jika proses pengeringan dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi, maka hal ini dapat mengakibatkan terjadinya case hardening. Suatu keadaan dimana bagian luar (permukaan) dari bahan sudah kering sedangkan bagian sebelah dalamnya masih basah. Sehingga akan menghambat penguapan selanjutnya dari air yang terdapat di bagian dalam bahan tersebut (Huda, 2008).
2.4.6 Jenis-Jenis Alat Pengering
1. Pengeringan Putar (Rotary Dryer)
Rotary Dryer merupakan suatu alat pengering yang berbentuk silinder dan bergerak secara berputar yang berfungsi untuk mengurangi kadar air dari bahan solid dengan cara mengontakkannya dengan udara kering. Bahan yang akan dikeringkan masuk ada ujung pengering yang tinggi, dengan adanya putaran dari pengering maka produk akan keluar secara perlahan lahan pada ujung yang lebih rendah. Sumber panas untuk pengering berupa udara panas yang mengalir di dalam pengering disebut direct-heated dryer, panas tersebut dapat disuplai dari luar shell dryer disebut indirect heated dryer. Rotary dryer terdiri dari sebuah selongsong berbentuk silinder yang berputar horizontal atau gerak miring kebawah kearah luar.
Umpan masuk dari satu ujung silinder, bahan kering keluar dari ujung satu lagi (Geankoplis, 1993). Contoh alat rotary dryer dapat dilihat pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Rotary Dryer (Tian, 2015)
Rotary Dryer banyak digunakan untuk mengeringkan garam, gula, dan segala macam biji bijian dan bahan kristal yang harus selalu bersih dan tidak boleh terkena langsung pada gas pembakaran yang sangat panas. (Brooker, dkk., 1992)
2. Tray Dryer
Tray dryer mempunyai bentuk persegi dan didalamnya berisi rak-rak yang digunakan sebagai tempat bahan yang akan dikeringkan. Bahan diletakkan diatas rak (tray) yang terbuat dari logam yang berlubang, kegunaan lubang tersebut untuk mengalirkan udara panas (Geankoplis, 1993).
Gambar 2.12 Tray Dryer (Maulizar, 2020)
3. Tunnel Dryer
Bahan yang dikeringkan diangkat perlahan-lahan diatas logam atau belt, melalui kamar atau terowongan pengering yang mempunyai kipas dan pemanas (Geankoplis, 1993).
Gambar 2.13 Tunnel Dryer (Akshar, 2019)
4. Spray Dryer
Pada spray dryer bahan cair berpartikel kasar (slurry) dimasukkan lewat pipa saluran yang berputar dan disemprotkan ke dalam jalur yang kerudara bersih, kering dan panas dalam suatu tempat yang besar, kemudian produk yang telah kering dikumpulkan dalam filter kotak (Geankoplis, 1993).
Gambar 2.14 Spray Dryer (Geankoplis, 1993)
5. Oven
Oven adalah alat untuk memanaskan memanggang dan mengeringkan.
Oven dapat digunakan sebagai pengering apabila dengan kombinasi pemanas
dengan humidity rendah dan sirkulasi udara yang cukup. Pengeringan menggunakan oven lebih cepat dibandingkan dengan pengeringan menggunakan panas matahari. Akan tetapi, kecepatan pengeringan tergantung dari tebal bahan yang dikeringkan. Penggunaan oven biasanya digunakan untuk skala kecil. Oven yang paling umum digunakan yaitu elektrik oven yang dioperasikan pada tekanan atmosfer dan yang terdiri dari beberapa tray didalamnya, serta memiliki sirkulasi udara didalamnya.
Gambar 2.15 Oven
Kelebihan dari oven adalah dapat dipertahankan dan diatur suhunya, pengeringan dengan oven laju pengeringan yang lebih cepat dibandingkan dengan cara pengeringan yang lain, kelarutan produk karagenan yang mudah larut dalam pengoperasiannya. Bahan yang akan dikeringkan diletakkan pada tray-traynya, bila oven yang digunkan memiliki sirkulasi, pintu oven harus ditutup agar suhu didalam tetap terjaga. (Harrison, 2010).