• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF BAB III LANDASAN TEORI - Repository UNISBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PDF BAB III LANDASAN TEORI - Repository UNISBA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

15 3.1 Definisi Emas

Emas adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki simbol Au (aurum) dengan nomor atom 79. Sebuah logam transisi (trivalen dan univalen) yang mengkilap dan berwarna kuning. Emas dapat melebur menjadi bentuk cair pada suhu 10000C. (Klein,1985).

Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa, kekerasannya berkisar antara 2,5-3 (skala Mohs), serta berat jenisnya tergantung pada jenis dan kandungan logam lain yang berpadu dengannya. Mineral pembawa emas biasanya berasosiasi dengan mineral ikutan (gangue minerals). Mineral ikutan tersebut umumnya kuarsa, karbonat, turmalin, flourpar, dan sejumlah kecil mineral non logam. Mineral pembawa emas juga berasosiasi dengan endapan sulfida yang telah teroksidasi (Sutardi, 2006).

Di bumi, umumnya emas ditemukan dalam bentuk logam yang terdapat dalam retakan-retakan batuan kuarsa dan dalam bentuk mineral. Emas juga ditemukan dalam bentuk alluvial yang terbentuk karena proses pelapukan batuan yang mengandung emas / gold bearing rocks. (Huheey,1993).

3.2 Alterasi dan Mineralisasi

Pada umumnya, kedua proses ini terjadi akibat adanya aktivitas larutan magma ataupun persentuhannya dengan atmosfer bumi. Kedua proses ini selalu sejalan bersamaan dengan terjadinya proses pembentukan endapan mineral.

(2)

Alterasi merupakan suatu proses yang mengakibatkan terbentuknya mineral- mineral baru pada tubuh batuan yang merupakan hasil dari ubahan mineral-mineral yang telah ada sebelumnya. Sedangkan mineralisasi adalah suatu proses pembentukan mineral-mineral baru pada tubuh batuan yang diakibatkan oleh proses magmatik ataupun proses lainnya, namun mineral yang dihasilkan bukanlah mineral yang sudah ada sebelumnya.

Bateman (1981), menyatakan bahwa larutan hidrotermal adalah suatu cairan atau fluida yang panas, kemudian bergerak naik ke atas dengan membawa komponen-komponen mineral logam, fluida ini merupakan larutan sisa yang dihasilkan pada proses pembekuan magma.

Mineralisasi adalah proses pembentukan endapan mineral logam atau non logam yang terkonsentrasi dari satu atau lebih mineral yang dapat dimanfaatkan (Bateman 1981). Keterdapatan mineral emas pada mineralisasi ini umumnya berasosiasi dengan galena, sphalerit, kalkopirit, dan sedikit pirit (Corbett dan Leach 1996). Alterasi dan mineralisasi adalah suatu bentuk perubahan komposisi pada satuan baik itu kimia fisika ataupun mineralogi sebagai akibat pengaruh cairan hidrotermal pada batuan. perubahan yang terjadi dapat berupa rekristalisasi, penambahan mineral baru, larutnya mineral yang telah ada, penyusunan kembali komponen kimianya atau perubahan sifat fisik seperti permeabilitas dan porositas batuan ( Pirajno, 1992).

Alterasi dan mineralisasi bisa juga termasuk dalam proses pergantian unsur- unsur tertentu dari mineral yang ada pada batuan dinding digantikan oleh unsur lain yang berasal dari larutan hidrotermal sehingga menjadi lebih stabil. Proses ini berlangsung dengan cara perrtukaran ion dan tidak melalui proses pelarutan total, artinya tidak semua unsur penyusun mineral yang digantikan melainkan hanya unsur- unsur tertentu saja.

(3)

Pola mineralisasinya yaitu mineral bijih yang mengisi rongga-rongga dan rekah (open space & cavity filling). Zona bijih biasanya dibatasi oleh struktur. tetapi juga bisa muncul pada litologi yang bersifat permeable. Urat yang lebar (memiliki lebar > 1m dengan beberapa ratus meter searah jurus) sampai urat-urat kecil dan stockworks biasanya memiliki penyebaran dan pergantian yang lebih sedikit. Mineral penyerta yang umum dijumpai pada epitermal sulfidasi rendah adalah: kuarsa, ametis. kalsedon, struktur kalsit yang kemudian digantikan oleh kuarsa, kalsit, adularia, serisit, barit, fluorit, rhodokrosit, hematit dan klorit.

Menurut Bateman (1981) secara umum proses mineralisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor pengontrol, meliputi :

a. Larutan hidrotermal yang berfungsi sebagai larutan pembawa mineral.

b. Zona lemah yang berfungsi sebagai saluran untuk lewat larutan hidrotermal.

c. Tersedianya ruang untuk pengendapan larutan hidrotermal.

d. Terjadinya reaksi kimia dari batuan induk/host rock dengan larutan hidrotermal yang memungkinkan terjadinya pengendapan mineral bijih (ore).

e. Adanya konsentrasi larutan yang cukup tinggi untuk mengendapkarj mineral bijih (ore).

Menurut Lindgren, (1993) faktor yang mengontrol terkonsentrasinya mineral- mineral logam (khususnya emas) pada suatu proses mineralisasi dipengaruhi oleh adanya :

a. Proses diferensiasi, Pada proses ini terjadi kristalisasi secara fraksional (fractional crystalization), yaitu pemisahan mineral-mineral berat pertama kali dan mengakibatkan terjadinya pengendapan kristal kristal magnetit kromit dan ilmenit. Pengendapan kromit sering berasosiasi dengan pengendapan intan dan platinum, larutan sulfida akan terpisah dari magma panas dengan membawa mineral Ni, Cu, Au, Ag, Pt, dan Pd.

(4)

b. Aliran gas yang membawa mineral-mineral logam hasil pangkayaan dari magma, Pada proses ini, unsur silika mempunyai peranan untuk membawa air dan unsur-unsur volatil dari magma. Air yang bersifat asam akan naik membawa C02, N, senyawa S, fluorida. klorida, fosfat, arsenik, senyawa antimon, selenida dan telurida. Pada saat yang bersamaan mineral logam seperti Au, Ag, Fe, Cu, Pb, Zn, Bi, Sn. tungten, Hg, Mn, Ni, Co, Rd dan Uakan naik terbawa larutan. Komponen-komponen yang terbawa dalam aliran gas tersebut berupa sublimat pada erupsi vulkanik dekat permukaan dan membentuk urat hidrotermal atau terendapkan sebagai hasil penggantian (replacement deposits) di atas atau di dekat intrusi batuan beku.

3.2.1. Proses Hidrotermal

Alterasi hidrotermal merupakan proses yang kompleks yang melibatkan perubahan mineralogi, kimiawi, tekstur. dan hasil interaksi fluida dengan batuan yang dilewatinya. Perubahan-perubahan tersebut akan bergantung pada karakter batuan dinding, karakter fluida (Eh, pH), kondisi tekanan maupun temperatur pada saat reaksi berlangsung, konsentrasi, serta lama aktifitas hidrotermal. Walaupun faktor- faktor di atas saling terkait, tetapi temperatur dan kimia fluida kemungkinan merupakan faktor yang paling berpengaruh pada proses alterasi hidrotermal.

Menurut Corbett dan Leach (1996), faktor yang mempengaruhi proses alterasi hidrotermal adalah sebagai berikut:

a. Temperatur dan tekanan, peningkatan suhu membentuk mineral yang terhidrasi lebih stabil, suhu juga berpengaruh terhadap tingkat kristalinitas mineral, pada suhu yang lebih tinggi akan membentuk suatu mineral menjadi lebih kristalin, menurut White (1996), kondisi suhu dengan tekanan dapat dideterminasi berdasarkan tipe alterasi yang terbentuk. Temperatur dan tekanan juga berpengaruh terhadap kemampuan larutan hidrotermal untuk

(5)

bergerak,bereaksi dan berdifusi. melarutkan serta membawa bahan - bahan yang akan bereaksi dengan batuan samping.

b. Permeabilitas, permeabilitas akan menjadi lebih besar pada kondisi batuan yang terekahkan serta pada batuan yang berpermeabilitas tinggi hal tersebut akan mempermudah pergerakan fluida yang selanjutnya akan memperbanyak kontak reaksi antara fluida dengan batuan.

c. Komposisi kimia dan konsentrasi larutan hidrotermal, komposisi kimia dan konsentrasi larutan panas yang bergerak, bereaksi dan berdifusi memiliki pH yang berbeda-beda sehingga banyak mengandung klorida dan sulfida, konsentrasi encer sehingga memudahkan untuk bergerak.

d. Komposisi batuan samping, komposisi batuan samping sangat berpengaruh terhadap penerimaan bahan larutan hidrotermal sehingga memungkinkan terjadinya alterasi. Pada kesetimbangan tertentu, proses hidrothermal akan menghasilkan kumpulan mineral tertentu yang dikenal sebagai himpunan mineral (mineral assemblage) (Corbett & Leach, 1996).

Proses alterasi hidrotermal akan tergantung dari pada kondisi-kondisi geologi zona jebakan, antara Iain aspek fisik, kimia, dan temperatur baik dari pengaruh larutan magma maupun dari pengaruh-pengaruh luar lainnya. Proses-proses alterasi hidrotermal tersebut antara lain :

a. Kaolinisasi :Menurut Ries dan Watson (1958) bahwa alkali feldspar dan plagioklas asam dapat terubah menjadi mineral kaolin karena proses pelapukan yang intensif dan disertai dengan penggantian unsur K secara sempurna.

Kaolin dapat pula terjadi di bawah kondisi hydrothermal. Pada ortoklas, mineral kaolin akan terlihat seperti kabut, sedangkan pada plagioklas asam kaolin akan terlihat seperti bintik-bintik dalam satu warna. Kaolinisasi terjadi

(6)

karena pengaruh larutan sisa magma dan dapat pula terjadi karena sirkulasi vertikal ataupun lateral dari air permukaan.

b. Serisitisasi

Menurut Ries dan Watson (1958), proses pelapukan mineral feldspar teralterasi menjadi serisit. Proses ini disebabkan oleh larutan sisa magma dan gas air permukaan yang mengandung gas CO. Pada umumnya proses serisitisasi terjadi pada daerah dekat dengan vein dan dekat dengan sumber panas. Biasanya proses serisitisasi mengakibatkan penambahan mineral serisit dan kuarsa sekunder yang berasal dari feldspar. Mineral serisit yang terbentuk akan terlihat seperti bintik-bintik halus bersama kuarsa halus dalam feldspar.

c. Silisifikasi

Proses ini terjadi karena introduksi (pemasukan) silikat oleh larutan magma akhir. Silisifikasi biasanya terbentuk dari alterasi yang berhubungan dengan pengendapan bijih primer dan dapat pula terjadi pada "post alteration", yaitu suatu pengisian pada rongga atau rekahan dari pengaruh luar atau pengaruh dari dalam batuan itu sendiri. Peristiwa ini sering terjadi pada batuan asam, dan sangat arang dijumpai pada batuan basa. Kadang-kadang kuarsa terbentuk sebagai rijang dan struktur asli dari batuan masih terlihat.

d. Propilitisasi

Menurut Walstrom propilitisasi adalah hasil alterasi hidrotermal yang disertai pemasukan yang terbentuk setempat. Kemungkinan mineral yang terbentuk adalah karbonat silikat sekunder, klorit dan sulfida sekunder. Proses akan terjadi secara maksimal jika batuan berbutir sedang pada daerah mesotermal ataupun epitermal bawah.

(7)

Proses propilitisasi terjadi disebabkan larutan hidrotermal mengandung asam sulfida pada batuan beku asam sampai intermediet. Proses ini merupakan campuran dari kuarsa. klorit alkali feldspar, zeolit dan disertai adanya pirit.

Banyak propilit ditemukan berhubungan dengan tubuh bijih. Kenampakan alterasi ini pada tingkat awal, ditandai dengan warna hijau kecoklatan yang disebabkan oleh perubahan hornblende dan biotit menjadi klorit.

e. Saussuritisasi

Proses ini teriadi karena pengaruh larutan hidrotermal dan sirkulasi air permukaan yang mengakibatkan terubahnya plagioklas menjadi mineral- mineral saussurit, yaitu : klorit, albit, kalsit, hornblende, aktinolit, prehnit. dan epidot.

Berdasarkan jauh dekat terjadinya proses alterasi hidrotermal, serta temperatur dan tekanan pada saat terbentuknya mineral-mineral, Lingrend (1983) dan Bateman (1962) membagi tiga golongan alterasi hidrotermal. yaitu :

1. Endapan Hipotermal dengan ciri sebagai berikut:

a. Endapan berasosiasi dengan dike (korok) atau vein (urat) dengan kedalaman yang besar.

b. "Wall Rock Alteration", dicirikan oleh adanya replacement yang kuat dengan asosiasi mineral : albit, biotit, kalsit, pirit. kalkopirit- kasiterit. emas.

hornblende, plagioklas. dan kuarsa.

c. Asosiasi mineral sulfida dan oksida pada intrusi granit sering diikuti pembentukan mineral logam, yaitu : Au, Pb, Sn, dan Zn.

d. Tekanan dan temperatur relatif paling tinggi yaitu 500°C - 600°C e. Merupakan jebakan hidrotermal paling dalam

2. Endapan mesotermal mempunyai ciri-ciri :

(8)

a. Endapan berupa "cavity filling" dan kadang-kadang mengalami proses replacement dan pengkayaan.

b. Asosiasi mineral: klorit. emas, serisit, kalsit, pirit. kuarsa.

c. Asosiasi mineral sulfida dan oksida batuan beku asam dan batuan beku basa dekat dengan permukaan.

d. Tekanan dan temperatur medium, yaitu : 300°C - 372°C.

e. Terletak di atas hipotermal.

3. Endapan epitermal mempunyai ciri-ciri :

a. Endapan dekat dengan permukaan dan replacement tidak pernah dijumpai.

b. Asosiasi mineral : kalsit, klorit, kalkopirit, dolomit, emas, kaolin, muskovit, zeolit, dan kuarsa.

c. Asosiasi mineral logam (Au dan Ag) dengan mineral gangue.

d. Tekanan dan temperatur rendah yaitu 50°C - 300°C.

3.2.2 Tipe Alterasi Hidrothermal

Secara umum himpunan mineral kunci atau asesoris yang dihasilkan dari proses hidrothermal akan mencerminkan jenis atau tipe alterasinya. Berdasarkan pada himpunan mineral kunci atau asesoris atau keterdapatan jenis mineral kunci atau asesoris, maka tipe alterasi dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe alterasi dapat dilihat pada (Tabel 3.1). Sedangkan untuk Pengelompokan berdasarkan intensitas hidrotermal dapat dilihat pada (Tabel 3.2).

Tabel 3.1

Tipe-Tipe Alterasi Berdasarkan Himpunan Mineral

Tipe Mineral

Kunci

Mineral Asesoris

Keterangan Propilitik Klorit Epidot Karbonat Albit Kuarsa Kalsit

Pirit

Lempung/illit Oksida besi

Temperatur 200 300°C, salinitas

beragam, pH mendekati netral. daerah dengan permeabilitas rendah

(9)

Argilik Smektit MontmoriIonit Illit – smektit Kaolinit

Pirit Klorit Kalsit Kuarsa

Temperatur 100 - 300°C, salinitas rendah, pH asam - netral.

Advanced Argilik flow

lemperalwe)

Kaolinit Alunit

Kalsedon Kristobalit Kuarsa Pirit

Temperatur 1800C. pH asam

advanced Vgilik (high :emperaiwej)

Pirofilit Diaspor Andalusii

Kuarsa Tourmalin Enagit Luzonit

Temperatur 2500 C-3500 C. pH asam

Potasik Adularia Biotit Kuarsa

Klorit Epidot Pirit Illit-serisit

Temperalur > 300 °C.

salinitas tinggi, dekat dengan batuan intrusif Filik Kuarsa Serisit

Pirit

Anhidrit Pirit Kalsit Rutil

Temperatur 230 - 400°C, salinitas beragam, pH asam neutral, zona permeable pada batas urat . Serisitik Serisit (illit)

Kuarsa Muskovit

Pirit Illit-serisit

Silisik Kuarsa Pirit

lllil-serisrt Adularia

Skarn Garnet

Piroksen Amfibol

Epidot Magnetit

Wolastonit Klorit Biotit

Temperatur 300 - 700°C, salinitas tinggi, umum pada batuan samping karbonat

Sumber : Creasey, 1966; Lowell dan Guilbert, 1970

Tabel 3.2

Pengelompokkan Intensitas Ubahan Hidrotermal

Intensitas Keterangan

Tidak berubah Tidak ada mineral sekunder Lemah Kandungan mineral sekunder < 25%

Sedang Kandungan mineral sekunder berkisar antara 25-75%

Kuat Kandungan mineral sekunder > 75%

Intens Seluruh mineral primer terubah (kecuali kuarsa, zircon dan apatit) tetapi tekstur primernya masih terlihat

Total Seluruh mineral primer terubah (kecuali kuarsa, zircon dan apatit) serta tekstur primernya tidak terlihat lagi

Sumber : Morrison, 1997

(10)

3.3 Pengolahan Biji Emas

Pengolahan bijih emas diawali dengan proses kominusi (pengecilan ukuran) kemudian dilanjutkan dengan proses ekstraksi atau konsentrasi yang disusul dengan proses metalurgi baik pyro, hydro serta electro metallurgy.

3.3.1 Kominusi (Communition)

Kominusi adalah proses reduksi ukuran dari bijih (ore) agar mineral satu dengan lainnya yang terkandung dalam batuan induknya atau bijih terutama mineral berharga yang mengandung logam emas dapat terbebas sempurna (terliberasi sempurna). Kominusi merupakan langkah awal dari kegiatan pengolahan bahan galian, yaitu proses pemecahan ore secara mekanis dilakukan dalam 2 tahap yang disebut crushing dan grinding yang di dalam prosesnya biasanya diikuti oleh pengayakan (screening). Tujuan liberasi bijih ini antara lain agar:

1. Membebaskan ikatan (interlock) di-antara mineral yang terkandung dalam bijih.

2. Mengurangi kehilangan emas yang masih terperangkap dalam batuan induk.

3. Kegiatan konsentrasi dilakukan tanpa kehilangan emas berlebihan.

4. Meningkatkan kemampuan ekstraksi emas.

Bijih mempunyai ukuran optimum yang ekonomis agar dapat dipisah secara mekanik dengan memanfaatkan sifat-sifat fisiknya. Ukuran optimumnya tergantung pada ukuran liberasi dari mineral yang diinginkan atau yang tidak diinginkan (gangue mineral) dan ukuran pemisahan yang diperlukan pada proses berikutnya.

Bijih yang kurang tergerus, akan menghasilkan bijih berukuran kasar dan mineral berharga tidak terbebaskan dari ikatannya dengan gangue. Hasil konsentrasi tidak optimum, yang direpresentasikan oleh recovery yang rendah atau kadar yang rendah. Kurang tergerusnya bijih dapat dilihat dari pemakaian energi yang rendah.

(11)

Sebaliknya bila bijih tergerus berlebihan, maka penggerusan akan menghasilkan ukuran bijih yang terlalu halus. Hal ini dapat menghasilkan bijih dengan liberasi yang tinggi. Hasil pemisahan dapat meningkatkan kadar mineral berharga dalam konsentrat, namun ukuran yang terlalu halus dapat menurunkan recovery. Bijih yang tergerus berlebihan menyebabkan pemakaian energi yang besar.

Proses kominusi ini terutama diperlukan pada pengolahan bijih emas primer, sedangkan pada bijih emas sekunder. bijih emas merupakan emas yang terbebaskan dari batuan induknya yang kemudian terendapkan. Derajat liberasi yang diperlukan dari masing-masing bijih untuk mendapatkan perolehan emas yang tinggi, pada proses ekstraksinya berbeda-beda bergantung pada ukuran mineral emas dan kondisi keterikatannya pada batuan induk.

Pengecilan ukuran (kominusi) berdasarkan jenis alat, mekanisme gaya yang berkerja serta tahapan proses kerjanya dapat dibagi dalam beberapa kelompok (Yıldırım B.G., 2016) yaitu :

1. Alat pengecilan ukuran yang didasarkan pada mekanisme gaya yang berkerja serta media yang digunakan, dapat dibagi sebagai berikut:

a. Crushing merupakan suatu proses pengecilan ukuran terhadap ore (bijih) hasil penambangan dengan gaya berkerja gaya gerus (roll) dan gaya impact, alatnya disebut Crusher yang terdiri dari Jaw Crusher, Gyratory Crusher, Cone Crusher dan Roll Crusher.

b. Tumbling mill merupakan suatu proses pengecilan ukuran terhadap ore (bijih) hasil penambangan dibedakan dengan tanpa media penggiling alatnya disebut autogenous (AG) mill, sedangkan jenis alat penggiling yang memakai media dari bola-bola baja atau batang baja alatnya disebut semi-autogenous (SAG) mill, rod mill dan ball mill.

(12)

c. Stirred mill suatu jenis alat pengecilan ukuran (grinding) dengan sistem umpan bijih seolah-olah seperti diaduk untuk dilumatkan contoh alatnya adalah disc mill, vertical pin dan horizontal pin.

Sumber : Mesto, 2010

Gambar 3.1

Alat Pengecialan Ukuran dengan Hasil Produknya

Secara skematik diagram dari alat pengecilan ukuran menurut Yıldırım B. G., 2016 dapat dikelompokkan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3.1.

1. Alat kominusi yang didasarkan pada tipe serta tahapan pengecilan ukuran, yang dibagi ke dalam dua tahap yaitu crushing dan grinding:

a. Crushing adalah merupakan suatu proses pengecilan ukuran terhadap ore (bijih) hasil penambangan yang mana bijih diremuk dengan gaya yang bekerja selain gaya impact juga gaya compression, alatnya disebut Jaw Crusher, Gyratory Crusher, Cone Crusher dan Roll Crusher

b. Grinding adalah merupakan suatu proses pengecilan ukuran terhadap ore (bijih) hasil penambangan yang mana bijih digiling halus dengan gaya yang bekerja selain gaya impact juga gaya abrasion dari media yang bergerak bebas alatnya seperti pebbles mill, rod mill dan ball mill dan sebagainya.

Pada peremukkan ore (bijih) hasil penambangan bila gaya yang bekerja compression produknya berbentuk halus (fine-sized) sedangkan bila gaya yang

(13)

bekerja tensile produknya berbentuk kasar (coarse-sized). Selain itu juga proses crushing umumnya dioperasikan pada pengecilan ukuran proses kering (dry proces), sedangkan proses grinding umumnya dioperasikan pada pengecilan ukuran proses basah (wet process)

Berdasarkan tahapan proses yang dilakukan dan produk ukuran bijih yang dihasilkan (Suprapto, S.J. 2006), kominusi dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

1. Refractory ore processing, bijih dipanaskan pada suhu 100 – 1100C, biasanya sekitar 10 jam sesuai dengan moisture. Proses ini sekaligus mereduksi sulfur pada batuan oksidis.

2. Crushing merupakan suatu proses peremukan ore (bijih) dari hasil penambangan melalui perlakuan mekanis, dari ukuran batuan tambang <40 cm dengan persentae 1%.

3. Milling merupakan proses penggerusan lanjutan dari crushing, sehingga mencapai ukuran slurry dari hasil milling yang diharapkan yaitu minimal 80%

adalah berkuruan lolos ayakan 200 Mesh (-200#), misalnya dengan menggunakan Hammer Mill, Ball Mill, Rod Mill, Disc Mill dan lain–lain.

3.3.2 Hubungan Tingkat Alterasi dan Pengecilan Ukuran

Perbedaan antara bentuk endapan bijih yang teralterasi dan yang tidak teralterasi yang muncul dan terjadi dari proses dalam sistem pembentukannya.

Intensitas alterasi dapat ditentukan dengan membandingkan bentuk asli bijih dengan bentuk yang teralterasi dari kompleksitas serta kuantitas atau banyaknya sejumlah mineral yang teralterasi. Dengan kata lain, jumlah mineral yang lebih tinggi tingkat teralterasinya akan menghasilkan bijih dengan komposisi mineral yang sangat kompleks, yang dapat secara signifikan mempengaruhi penggilingan dan kelimpahan

(14)

mineral spesifik pada proses pengolahannya. Pada (Gambar 3.2) dapat dilihat ilustrasi konsep sederhana model pembentukan sistem porphyry tembaga (Cu) dari awal adanya bijih asli yang belum teralterasi menjadi bijih porphyry tembaga dengan adanya proses serta penyertaan larutan hidrotermal (Yıldırım B. G., 2016).

Sumber : Yildrim B. G., 2016

Gambar 3.2

Ilustrasi Konsep Sederhana Model Pembentukan Sistem Porphyry Tembaga (Cu) Dapat dilihat pada (Gambar 3.3) adalah gambaran hubungan dua zona dengan tingkat grindabilitas ditunjukkan Zona warna merah mendefinisikan antara alterasi intens dan alterasi moderat (sedang) yang mana ini mengindikasikan memiliki tingkat ketergerusan (grindability) dengan variabilitas tinggi. Sedangkan zona yang ditampilkan dengan warna hijau menunjukkan tingkat alterasi dari lemah ke tingkat alterasi moderat yang merupakan zona yang sangat prediktif artinya perilaku grindabilitas pemrosesan mineral dari rendah mendekati tinggi. Pada zona warna hijau ini tekstur asli masih mudah dan dapat dikenali dimana batuannya mengalami alterasi lemah, batuan atau bijih jenis ini bila digiling menghasilkan output yang rendah dan lebih tinggi dari pada bijih dengan tingkat alterasi yang lemah (Yıldırım B.

G., 2016).

(15)

Sumber : Yildrim B. G., 2016

Gambar 3.3

Konsep Hubungan Grindabilitas dengan Tingkat Alterasi dan Tekstur dari Bijih

3.4 Indeks Kerja Giling

Indeks kerja giling adalah energi yang dibutuhkan untuk menggiling satu ton bahan galian yang dinyatakan dalam satuan kilowatt-jam dengan standar Bond Ball Mill. Beban sirkulasi giling (circulating load) adalah umpan balik dari seluruh ukuran contoh hasil giling yang tidak lolos lubang ayakan P1 µm ke Ball Mill seperti terlihat pada Gambar 3.4

Perbandingan beban sirkulasi giling (circulating load ratio) adalah berat contoh hasil giling tidak lolos ayakan P1 = 149 µm, dibagi dengan berat penambahan umpan baru dikalikan seratus persen.

Penentuan indeks kerja giling didasarkan pada standar Bond dengan cara menggiling contoh bahan galian pada sistem aliran tertutup (closed circuit) secara berulang. Secara umum telah diamati bahwa dalam proses ukuran reduksi, ukuran dimensi partikel luas permukaan dari partikel meningkat. Begitu ukuran dari luas permukaan sebelum dan sesudah direduksi ukuran akan menunjukkan besaran energi yang dikeluarkan dalam proses kominusi. Karenanya jika E adalah energi yang digunakan untuk yang pengurangan ukuran, yang mengakibatkan perubahan luas permukaan S dan k konstanta dan fungsi dari kekuatan, maka persamaannya :

(16)

dE = k [ Sn dS ] ………. 3.1

Telah ditemukan bahwa Rittinger, n = - 2, berlaku untuk ukuran kasar reduksi sedangkan Kick, n = - 1, lebih tepat untuk pengurangan ukuran yang lebih halus yang memiliki area permukaan partikel yang luas terlihat seperti dalam kasus operasi penggilingan. Nilai tengah ikatan 1,5 mencakup hampir seluruh jajaran partikel.

Mengganti n = - 1,5 dalam persamaan diatas dan mengintegrasikan antara ukuran partikel umpan, F, dan ukuran partikel produk, P, menghasilkan ekspresi umum Bond untuk energi yang dibutuhkan dalam ukuran reduksi :

E = 2k. [ 1

√P√F1 ] ………. 3.2

k adalah konstanta dan fungsi dari karakteristik bijih. Untuk pengurangan ukuran bijih dalam proses reduksi sirkuit tertutup. Bond menghasilkan energi spesifik untuk grinding sebagai:

E = 10. Wi. [ 1

√P801

√F80 ] ………. 3.3 Dalam praktek bukannya ukuran tertentu dari umpan, penyebaran ukuran partikel ditambang, sebagai hasil peledakan, dan dibebankan pada proses reduksi ukuran. Sebagai akibat dari operasi penghancuraan, penyebaran ukuran produk yang lebih kecil diperoleh dan diumpankan ke pabrik penggilingan.

Oleh karena itu menggunakan Persamaan diatas yang menganggap kerja energi yang dibutuhkan untuk reduksi dari partikel umpan yang melewati 80% dari saringan tertentu ke ukuran partikel produk yang dilewati 80% dari pembukaan saringan.

Bentuk terakhir dari persamaan Bond untuk pengurangan ukuran massa umpan, MF, secara tertutup penggilingan sirkuit sekarang ditulis sebagai:

E = 10. Wi. [ 1

√P801

√F80 ] . MF ………. 3.4 Dimana :

Wi = Konstanta Bijih

(17)

P80 = Ukuran butiran contoh hasil giling yang mencapai 80% lolos standar lubang ayakan tertentu.

F80 = Ukuran butiran contoh umpan yang mencapai 80% lolos standar lubang ayakan tertentu

Sumber : Ngurah Ardha, 1993

Gambar 3.4

Sistem penggilingan aliran tertutup

3.4.1 Prinsip Kerja

Uji giling pertama dimulai dengan jumlah putaran Ball Mill secara bebas. Pada akhir putaran Ball Mill, keluaran hasil giling harus diayak memakai standar lubang ayakan P1.

Keluaran hasil giling tidak lolos ayakan P1 dikembalikan sebagai umpan Ball Mill dengan ditambah sejumlah umpan baru dengan berat total sama dengan berat umpan awal.

Pada tahap uji giling berikutnya jumlah putaran Ball Mill harus dihitung.

Demikian seterusnya hingga diperoleh berat hasil giling (Gbp) konstan. Penentuan indeks kerja giling ini memerlukan 6 - 10 kali penggilingan. Dari data penggilingan, nilai indeks kerja giling dan energi listrik yang diperlukan dapat dihitung.

3.4.2 Persyaratan

Persyaratan yang harus dipenuhi adalah :

(18)

a. Spesifikasi alat giling Bond Ball Mill seperti pada gambar 3.5

b. Bahan galian yang akan digiling berukuran 100 % lolos lubang ayakan 3360 µm (- 6 mesh).

c. Kecepatan putar alat Bond Ball Mill harus konstan 70 putaran per menit (rpm).

d. Volume umpan Ball Mill harus 700 ml.

e. Komposisi bola penggiling dari bahan besi bearing. Seperti pada tabel 3.3 dibawah.

Tabel 3.3

Persyaratan Ukuran, Jumlah Dan Berat Total Bola-Bola Besi Penggiling Garis Tengah

Bola Besi (mm)

Jumlah (Buah)

Berat Total (KG)

36,5 43 8,6

30,2 67 7,0

25,4 10 0,6

19,1 71 2,0

15,9 94 1,3

Total 285 19,5

Sumber : Ngurah Ardha, 1993

3.4.3 Peralatan

a. Perangkat uji berupa satu set Bond Ball Mill dengan Spesifikasi dan bentuk seperti pada Gambar 3.5 di bawah ini. Alat ini berbentuk silinder terbuat dari pelat besi baja dengan garis tengah silinder dan panjang silinder bagian dalam masing- masing 305 mm. tebal pelat silinder 10 mm. lubang untuk memasukkan dan mengeluarkan bola-bola besi serta contoh berukuran 200 mm x 100 mm. kecepatan putarnya harus konstan 70 rpm.

b. Satu set ayakan yang mempunyai lubang standar antara 3360 µm hingga 75 µm.

(19)

Sumber : Ngurah Ardha, 1993

Gambar 3.5

Spesifikasi alat Bond Ball Mill

Prosedur penentuan indeks kerja giling suatu bijih atau mineral dapat dilakukan seperti pada Gambar 3.6

Sumber : Ngurah Ardha, 1993

Gambar 3.6

Bagan Alir Prosedur Penentuan Indeks Kerja Giling Bahan Giling

(20)

3.4.4 Cara Perhitungan

Pada Tabel 3.4 merupakan penggilingan tahap pertama dengan perhitungan sebagai berikut :

1. Jumlah putaran Ball Mill (N)

Jumlah putaran Ball Mill ditentukan terlebih dahulu yaitu sebanyak 400 putaran dan untuk jumlah putaran ballmill selanjutnya didapat dengan perhitungan.

N = Perkiraan hasil giling lolos P1 (gr)

Gbp (gr/putaran) ………. 3.5 2. Hasil giling tidak lolos ayakan

Merupakan berat material yang tidak lolos ayakan 100 mesh (149 mikron) yang didapat langsung dari penimbangan sampel.

3. Penambahan umpan baru

Merupakan berat umpan baru yang perlu ditambahkan untuk proses penggilingan. Penambahan umpan baru didapat dari berat umpan awal dikurangi hasil giling tidak lolos ayakan 149 mikron.

4. Jumlah lolos P1 (149 mikron) sebelum digiling tahap ini Perhitungan tahap awal didapat menggunakan rumus :

Jumlah lolos P1 sebelum digiling tahap awal (gr)= W (gr) x u … 3.6 W (gr) : Berat sampel awal sebanyak 700 ml lalu ditimbang

u : Persen dari hasil berat sampel yang lolos 100 mesh (149 mikron) yang didapat pada uji ayak sebelum giling.

5. Jumlah lolos P1 (149 mikron) sebelum digiling tahap berikutnya

Jumlah lolos P1 sebelum digiling tahap berikutnya didapat menggunakan perhitungan penambahan umpan baru x u (Persen dari hasil berat sampel yang lolos 100 mesh)

(21)

6. Jumlah lolos ayakan P1 (149 mikron) setelah digiling

Berat ini didapat dari berat penambahan umpan baru dikurangi dengan jumlah lolos P1 (149 mikron) sebelum digiling.

7. Perkiraan hasil giling lolos ayakan P1 (149 mikron) dalam satuan gram W

3,5 x Jumlah lolos sebelum giling tahap berikutnya ……. 3.7

8. Perbandingan berat sirkulasi

Merupakan pembagian hasil tidak lolos giling dengan penambahan umpan baru, kemudian dikalikan 100 %. Jika perbandingan berat sirkulasi mencapai 250 % maka dapat dikatakan hasil giling optimum dan efesien.

9. Gbp (gram per putaran).

Merupakan berat contoh hasil giling yang lolos P1 (149 mikron) dalam putaran per gram yang didapat dari pembagian Jumlah contoh lolos digiling terhadap jumlah putaran.

10. Perkiraan jumlah putaran Ball Mill untuk uji giling berikutnya

Nilai yang digunakan untuk tahap selanjutnya didapat dari pembagian antaran perkiraan hasil uji giling dengan nilai Gbp.

(22)

Tabel 3.4

Cara Perhitungan Ketergilingan Bahan Galian

Sumber : Ngurah Ardha, 1993

Selanjutnya nilai energi indeks kerja giling (Wi) dapat dihitung menggunakan persamaan :

Wi =

44.5

𝑃1 (µ𝑚)0,23 𝑥 𝐺𝑏𝑝0,82 ( 10

√𝑝80(µ𝑚) 10

√𝐹80(µ𝑚)

𝑥 1,10 𝑡𝑜𝑛

…… 3.8

Dimana :

Wi = Indeks kerja giling (kWjam/ton).

P = Ukuran standar lubang ayakan (µm).

P1 = Ukuran standar lubang ayakan yang yang digunakan untuk mengayak hasil uji giling (µm).

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Jumlah putaran Ball Mill Hasil giling tidak lolos ayakan P1 (gr) Penambahan umpan baru Berat butiran lolos P1 sebelum

digiling awal (gr) Berat butiran lolos P1 sebelumdigiling tahap berikutnya (gr) Berat butiran lolos ayakan P1 contoh setelah digiling (gr) Target hasil giling lolosayakan P1 (gr) Perbandingan beben sirkulasi Gbp (gr/putaran) Perkiraan jumlah putaran BallMill uji giling berikutnya

No N a w-a (3) x u (3- 4) W/3,5 – (5) (2)/(3)x100 (6) / (1) (7) / (9)

1 400 2 3

Nilai rata – rata

(23)

Gbp = Berat contoh hasil giling yang lolos P1 yang dinyatakan dalam gr/putaran.

P80 = Ukuran butiran contoh hasil giling yang mencapai 80%

lolos standar lubang ayakan tertentu.

F80 = Ukuran butiran contoh umpan yang mencapai 80% lolos standar lubang ayakan tertentu

Penulisan hasil uji indeks-kerja giling harus diikuti dengan penulisan ukuran butir lolos ayakan P 1

3.4.5 Perhitungan Menggunakan 2 dan 3 Fraksi Ukuran

Indeks kerja Bond pada prakteknya diolah dilaboratorium tekmira menggunakan 2 fraksi Ukuran yaitu -100 mesh + 140 mesh dan -140 mesh.

Tujuan menggunakan 2 fraksi ukuran yaitu menunjukkan bahwa - 100 mesh sudah cukup halus dalam proses penggerusan, sedangkan menggunakan 3 fraksi ukuran bertujuan untuk menghendaki P1 nya lebih tinggi dari 140 mesh, tergantung tujuan untuk proses apa, apakah itu untuk sianidasi atau untuk proses lain yang di aplikasikan kepada 4 jenis bijih emas.

Referensi

Dokumen terkait

Metode Penambahan Gravitasi Gravity Increase Method Prinsip dari metode penambahan gravitasi yaitu nilai gravitasi diaikan secara bertahap sampai terbentuk suatu mekanisme keruntuhan

Beberapa hal yang patut diamati apabila batubara yang dipakai sebagai bahan bakar mengandung sulfur dalam jumlah yang cukup signifikan adalah :  Apabila sulfur di dalam abu terdapat

Peta iso-ketebalan : untuk mengetahui variasi ketebalan dari batubara, sehingga jika disyaratkan ketebalan minimum yang akan dihitung, maka peta ini dapat digunakan sebagai faktor

Jari-jari tikungan jalan angkut juga harus memenuhi keselamatan kerja di tambang atau memenuhi faktor keselamatan kerja dan keamanan, yaitu jarak pandang bagi pengemudi di tikungan,

Menurut Bambang, Triatmodjo, 2015 untuk menentukan dugaan hipotesa distribusi sebaran data sesuai parameter statistik adalah sebagai berikut : Tabel 3.3 Analisis Distribusi Frekuensi

3.5 Kinerja Fan Main fan atau kipas utama merupakan hal utama dalam proses pengaliran udara dengan tekanan yang cukup yang dibutuhkan untuk operasi kendaraan dan aktifitas pekerja

ADCP biasanya digunakan untuk mengukur topografi bawah permukaan air, sedimentasi bawah permukaan air, suhu air, dan kecepatan arus air pada rentang kedalaman menggunakan efek doppler

Reciprocating Feeder, merupakan tipe pengumpan yang cara kerjanya adalah mendorong material yang ada di dalam hopper dengan kecepatan teratur, pengumpan tipe ini terdiri dari alat