KINETIKA ADSORPSI TIMBAL (Pb) PADA BERBAGAI ABSORBAN
Oleh :
Drs. I Wayan Suarsa, M.Si
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA
2015
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan anugerah-Nya Karya Tulis yang berjudul Kinetika Adsorpsi Timbal (Pb) pada berbagai Absorban ini dapat terselesaikan.
Karya Tulis ini merupakan pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi khususnya di Universitas Udayana.
Penulis menyadari bahwa Karya Tulis ini masih banyak kekurangannya, maka saran dan kritik membangun dari semua pihak sangat diharapkan.
Harapan penulis, semoga karya kecil ini dapat bermanfaat.
Denpasar, 23 Nopember 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……….. …….. i
KATA PENGANTAR ………... ……. ii
DAFTAR ISI ……… ……. iii
BAB I PENDAHULUAN ……… …….. 1
1.1 Latar Belakang ……… …….. 1
1.2 Rumusan Masalah ……….. 3
1.3 Tujuan Penelitian ……… 3
1.4 Manfaat Penelitian ……….. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 5
2.1 Logam Berat ……….. 5
2.2 Timbal Pb ………. 7
2.3 Kitin dan Kitosan ……….. 7
2.4 Abu Sekam Padi ………. 10
2.5 Karbon Aktif ……… 12
2.6 Spektrofotometer Serapan Atom ……… 14
2.7 Persamaan Isoterm Langmuir ……… 18
2.8 Persamaan Isoterm Adsorpsi Freundlich ……….. 20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….. 21
3.1 Bahan dan Peralatan Penelitian ………. 21
3.2 Prosedur Penelitian ……….. 21
BAB IV PEMBAHASAN ………. 26
4.1 Adsorpsi Pb (II) oleh Kitosan Hasil Isolasi ………26
4.2 Adsorpsi Pb (II) oleh Lempung ………. 29
4.3 Adsorpsi Pb(II) oleh Abu Sekam ………. 32
4.3 Adsorpsi Pb(II) oleh Asam Humat ……….. 36
4.4 Adsorpsi Pb(II) oleh Karbon Aktif Kayu Matoa ……… 38
BAB V KESIMPULAN ……… 40
DAFTAR PUSTAKA ………. 41
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pencemaran yang dapat ditimbulkan oleh limbah ada bermacam - macam bentuk. Ada pencemaran berupa bau, warna, suara dan bahkan pemutusan mata rantai dari suatu tatanan lingkungan hidup atau penghancuran suatu ekosistemnya. Pencemaran yang dapat menghancurkan tatanan lingkungan hidup, biasanya berasal dari limbah -limbah yang sangat berbahaya dalam arti memiliki daya racun (toksisitas) yang tinggi. Limbah - limbah yang sangat beracun pada umumnya merupakan limbah kimia. Senyawa kimia yang sangat beracun bagi organisme hidup dan manusia adalah senyawa-senyawa kimia yang mempunyai bahan aktif dari logam - logam berat, sebagai contoh adalah logam merkuri (Hg), kadmium (Cd), timah hitam (Pb) dan khrom (Cr), serta bahan kimia lainnya yang sulit didegradasi di alam dan sangat persisten misalnya pestisida, dioksin, PCB dan lain - lain (Palar, 2004).
Logam merupakan kelompok toksikan yang unik. Logam dapat ditemukan dan menetap di alam, tetapi bentuk kimianya dapat berubah akibat pengaruh fisika kimia, biologis atau akibat aktivitas manusia. Toksisitasnya dapat berubah apabila bentuk kimianya berubah. Umumnya logam bermanfaat bagi manusia karena penggunaanya di bidang industri, pertanian atau kedokteran. Sebagian merupakan unsur penting karena dibutuhkan dalam berbagai fungsi biokimia atau faali, sebagai contohnya logam - logam atau mineral – mineral esensial tubuh yang mana jika tidak terpenuhi, maka dapat berakibat fatal. Contoh dari logam - logam berat esensial demikian ini adalah tembaga (Cu), seng (Zn) dan nikel (Ni). Di lain pihak, logam dapat berbahaya bagi kesehatan bila terdapat dalam makanan, air atau udara (Darmono, 2001).
Pencemaran yang disebabkan oleh logam berat terutama bersumber dari limbah industri, baik dalam bentuk logam murni maupun bentuk campuran. Pencemaran tersebut biasanya terjadi karena pembuangan limbah yang tidak terkontrol. Timbal merupakan salah satu logam berat yang dapat menurunkan kualitas air. Dalam kadar yang tinggi logam tersebut dapat mengganggu sistem saraf, organ dan sistem organ. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51/
Men LH/ 10/ 1998 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri ambang batas logam timbal (Pb) adalah 0,1-1 mg/L (Setyaningtyas, 2000).
Logam timbal (Pb) merupakan salah satu logam berat yang berasal dari buangan industri metalurgi yang bersifat toksik dan tergolong sebagai bahan buangan beracun dan berbahaya bagi makhluk hidup, khususnya manusia. Logam Pb dan persenyawaannya dapat berada di dalam perairan secara alamiah dan sebagai dampak aktivitas manusia. Logam ini biasanya terdapat dalam air buangan, limbah industri atau sebagai logam bawaan. Pada hewan dan manusia timbal dapat masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman yang dikomsumsi serta melalui pernapasan dan penetrasi pada kulit. Di dalam tubuh manusia, timbal dapat menghambat aktifitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit anemia.
Timbal dapat juga menyerang susunan saraf dan mengganggu sistem reproduksi dan kelainan ginjal (Iqbal dkk., 1990).
Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengurangi kandungan logam berat dari air buangan, seperti koagulasi, kompleksasi, ekstraksi pelarut, pertukaran ion, dan adsorpsi. Metode adsorpsi umumnya berdasarkan interaksi logam dengan gugus fungsional yang ada pada permukaan adsorben melalui interaksi pembentukan kompleks. Adsorpsi ini biasanya terjadi pada permukaan padatan yang kaya akan gugus fungsional seperti : -OH, -NH, -SH dan –COOH (Stumm dan Morgan, 1996).
Adsorpsi telah terbukti sebagai suatu metoda yang lebih efektif untuk menyerap logam berat dari air limbah jika dibandingkan dengan proses lain seperti pengendapan kimia, pertukaran ion, osmosis terbalik, dan elektrolisis (Eren and Afsin, 2008). Metode adsorpsi sangat efektif untuk limbah dengan konsentrasi polutan yang rendah sampai sedang. Adsorpsi adalah proses pemusatan molekul atau ion adsorbat pada lapisan permukaan adsorben, baik secara fisika atau kimia. Dengan demikian adsorben harus mempunyai sifat-sifat permukaan yang khas sesuai dengan jenis adsorbat yang teradsorpsi (Bhattacharyya and Gupta, 2007).
Adsorpsi suatu limbah dapat digunakan dengan berbagai macam adsorben, pada limbah Pb dapat digunakan berbagai macam adsorben untuk mengadsorbsi limbah Pb tersebut, seperti kitosan, asam humat, lempung alam, karbon aktif maupun abu sekam padi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan, antara lain:
1. Bagaimana adsorpsi Pb dengan menggunakan adsorben kitosan?
2. Bagaimana adsorpsi Pb dengan menggunakan adsorben asam humat?
3. Bagaimana adsorpsi Pb dengan menggunakan adsorben lempung alam?
4. Bagaimana adsorpsi Pb dengan menggunakan adsorben karbon aktif?
5. Bagaimana adsorpsi Pb dengan menggunakan adsorben abu sekam padi?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui adsorbsi logam Pb(II) dengan adsorben kitosan.
2. Mengetahui adsorbsi logam Pb(II) dengan adsorben asam humat.
3. Mengetahui adsorbsi logam Pb(II) dengan adsorben lempung alam.
4. Mengetahui adsorbsi logam Pb(II) dengan adsorben karbon aktif.
5. Mengetahui adsorbsi logam Pb(II) dengan adsorben abu sekam padi.
1.4. Manfaat Penelitian
Mampu memberikan pengetahuan mengenai adsorbsi logam Pb(II) dengan lima adsorben yang berbeda.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Logam Berat
Logam berat adalah unsur logam yang mempunyai massa jenis lebih besar dari 5 g/cm3. Logam berat ialah unsur logam dengan berat molekul tinggi. Dalam kadar rendah logam berat pada umumnya sudah beracun bagi tumbuhan dan hewan, termasuk manusia. Termasuk logam berat yang sering mencemari habitat ialah Hg, Cr, Cd, As, dan Pb (Am.geol. Inst., 1976). , antara lain Cd, Hg, Pb, Zn, dan Ni. Logam berat Cd, Hg, dan Pb dinamakan sebagai logam non esensial dan pada tingkat tertentu menjadi logam beracun bagi makhluk hidup (Subowo dkk, 1999).
Logam berat merupakan komponen alami tanah. Elemen ini tidak dapat didegradasi maupun dihancurkan. Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan, air minum, atau udara. Logam berat seperti tembaga, selenium, atau seng dibutuhkan tubuh manusia untuk membantu kinerja metabolisme tubuh. Akan tetapi, dapat berpotensi menjadi racun jika konsentrasi dalam tubuh berlebih. Logam berat menjadi berbahaya disebabkan sistem bioakumulasi, yaitu peningkatan konsentrasi unsur kimia didalam tubuh mahluk hidup (Anonimous, 2008).
Menurut Darmono (1995), faktor yang menyebabkan logam berat termasuk dalam kelompok zat pencemar adalah karena adanya sifat-sifat logam berat yang tidak dapat terurai (non degradable) dan mudah diabsorbsi.
Adanya logam berat diperairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini terkait dengan sifat-sifat logam berat, yaitu :
1. Sulit didegadasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan)
2. Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi organisme tersebut
3. Mudah terakumulasi di sediment, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena
pergerakan massa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu.
2.2. Timbal Pb
Timbal (Pb) merupakan suatu logam berat yang lunak berwarna kelabu kebiruan dengan titik leleh 327 ºC dan titik didih 1.620 ºC. Pada suhu 550– 600ºC timbal menguap dan bereaksi dengan oksigen dalam udara membentuk timbal oksida. Walaupun bersifat lentur, timbal sangat rapuh dan mengkerut pada pendinginan, sulit larut dalam air dingin, air panas dan air asam.
Timbal dapat larut dalam asam nitrit, asam asetat dan asam sulfat pekat. Bentuk oksidasi yang paling umum adalah timbal (II) dan senyawa organometalik yang terpenting adalah timbal tetra etil (TEL: tetra ethyl lead), timbal tetra metil (TML : tetra methyl lead) dan timbal stearat (Saryan, 1994. Palar, 2004 dalam Suciani, 2007).
Penyebaran logam timbal di bumi sangat sedikit. Jumlah timbal yang terdapat diseluruh lapisan bumi hanyalah 0,0002 % dari jumlah seluruh kerak bumi. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah kandungan logam berat lainnya yang ada di bumi (Palar, 2008).
Selain dalam bentuk logam murni, timbal dapat ditemukan dalam bentuk senyawa inorganik dan organik. Semua bentuk timbal (Pb) tersebut berpengaruh sama terhadap toksisitas pada manusia (Darmono, 2001).
Keterlibatan aktivitas manusia terutama dalam proses industrialisasi di abad 19 dan 20 telah mengakibatkan pencemaran lingkungan. Penggunaan logam timbal dalam industri menghasilkan polutan yang bersifat merugikan kehidupan biologik. Sumber utama polusi timbal pada lingkungan berasal dari proses pertambangan, peleburan dan pemurnian logam tersebut, hasil limbah industri, dan asap kendaraan bermotor (Darmono, 2001 dalam Kurniawan 2008).
Menurut WHO (1995) asupan yang diperkenankan dalam seminggu Acceptable Daily Intake (ADI) untuk timbal direkomendasikan bagi orang dewasa 50 μg/kg berat badan dan bayi atau anak-anak 25 μg/kg berat badan. Di alam, timbal terdapat dalam dua bentuk yaitu gas dan partikel. Timbal yang terbanyak di udara adalah timbal anorganik dan terutama berasal dari pembakaran tetraethyl Pb (TEL) dan tetramethyl Pb (TEMEL) yang terdapat dalam bahan bakar kendaraan bermotor. Selain sumber-sumber di atas, logam berat ini juga terdapat pada gelas,
pewarna, keramik, pipa, pelapis kaleng tempat makanan, beberapa obat tradisional dan kosmetik.
Pakar lingkungan sependapat bahwa timbal merupakan kontaminan terbesar dari seluruh debu logam di udara (Winarno, 1993).
2.3. Kitin dan Kitosan
Kitin adalah polisakarida alami seperti selulosa, dekstran, alginat, dan sebagainya yang dapat terdegradasi secara alami dan non-toksik. Kitin merupakan polisakarida rantai linier dengan rumus β (1-4)-2-asetamido-2-deoksi-D-glucopyranosa, sedangkan kitosan adalah deasetilasi kitin. Kitin ditemukan pada fungi dan arthropoda, merupakan komponen utama penyusun eksoskeleton (Merck Index, 1976).
Rumus bangun kitin, kitosan, dan selulosa dapat dilihat pada gambar 1. dari struktur kitin terlihat bahwa kitin muCrni mengandung gugus asetamido (NH-COCH3), kitosan murni mengandung gugus amino (NH2) sedangkan selulosa mengandung gugus hidroksida (OH).
Perbedaan gugus ini akan mempengaruhi sifat-sifat kimia kitin, kitosan, dan selulosa.
Sebenarnya kitin dan kitosan yang diproduksi secara komersial memiliki kedua gugus asetamido dan gugus amino pada rantai polimernya, dengan beragam komposis gugus tersebut (Roberts, 1992).
Udang merupakan salah satu komoditas perikanan indonesia yang mulai dilirik oleh pasar dunia. Hal ini, dapat kita lihat dengan meningkatnya permintaan dari Negara lain terhadap komoditas udang. Sebanyak 80-90% ekspor udang dilakukan dalam bentuk udang beku tanpa kepala dan kulit, sehingga limbah yang dihasilkan mencapai 50-60% dari bobot udang utuh (Sugita.2009).
Cangkang dari lobster, kumbang, dan laba-laba mengandung kitin. Kitin merupakan polisakarida terbanyak kedua yang berlimpah di alam (selulosa merupakan yang terbanyak).
Kitin merupakan bahan polimer yang memiliki struktur yang keras. Tersusun atas N-asetil-d- glukosamin yang lebih banyak dari glukosa, tetapi mempunyai struktur yang hampir sama dengan selulosa (McMurray, 2007).
Kitosan adalah biopolimer alami terutama sebagai penyusun cangkang (kulit-kulit keras), udang-udangan, dan serangga, serta penyusun dinding sel ragi dan jamur.Karena sifatnya yang
khas seperti bioaktivitas, biodegradasi, dan kelihatannya kitosan dapat memberikan kegunaan yang diterapkan dalam berbagai bidang (Manskarya.1968).
Limbah udang dinegara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat telah diisolasi kitinnya. Kitin dalam kulit udang sebesar 15-20% dan dapat diisolasi melalui proses deproteinasi yang diikuti dengan demineralisasi. Kitin juga dapat diubah menjadi
Kitosan setelah lebih dari 70% gugus asetil (CH3CO-)-nya dihilangkan. Ternyata penghilangan gugus asetil kitin meningkatkan kelarutannya, sehingga kitosan lebih banyak digunakan dari pada kitin, antara lain di industri kertas, pangan, farmasi, fotografi, kosmetika, fungisida dan tekstil sebagai pengemulsi, koagulan, pengkelat serta pengental emulsi.
Kitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β(1-4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin (Gambar 2.3.1). Kitosan juga dijumpai secara alamiah di beberapa organisme (Sugita,2009).
Gambar 2.3.1. Struktur Kitosan
Proses deasetilasi kitosan dapat dilakukan dengan cara kimiawi maupun ezimatik. Proses kimiawi menggunakan basa misalnya NaOH, dan dapat menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi, yaitu mencapai 85-93%. Namun proses kimiawi menghasilkan kitosan dengan bobot molekul yang beragam dan deasetilasinya juga sangat acak, sehingga sifat fisik dan kimia kitosan tidak seragam. Selain itu proses kimiawi juga dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan, sulit dikendalikan, dan melibatkan banyak reaksi samping yang dapat menurunkan rendemen. Proses enzimatik dapat menutupi kekurangan proses kimiawi. Pada dasarnya deasetilasi secara enzimatik bersifat selektif dan tidak merusak struktur rantai kitosan, sehingga menghasilkan kitosan dengan karakteristik yang lebih seragam agar dapat memperluas bidang aplikasinya (Sugita.2009).
Nilai yang digunakan untuk menghitung derajat deasetilasi sangat bergantung pada nisbah pita serapan yang digunakan untuk menghitungnya.Tiga nisbah yang diajukan ialah A1655/A2867, A1550/A2878, dan A1655/A3450.Dua nisbah pertama memberikan keakuratan pada %N asetilasi rendah, sedangkan A1655/A3450 lebih akurat pada %N asetilasi tinggi. Baxter memadukan metode penentuan garis dasar pada nisbah pita serapan A1655/A2867 dan A1655/A3450. Metode ini mampu diterapkan pada kisaran yang luas dari nilai N-deasetilasi kitosan. Intensitas transmitans pita amida I spektrum inframerah kitin dan kitosan dengan nilai derajat deasetilasi berbeda. Penentuan Derajat Deasetilasi dengan menggunakan spektroskopi FTIR dilakukan dengan cara sebagai berikut: kitosan dibuat menjadi pellet dengan KBr hingga membentuk suatu lapisan tipis transparan. Selanjutnya, serapan diukur dengan FTIR.Puncak tertinggi dicatat dan diukur dari garis dasar yang dipilih (Sugita.2009).
Karena adanya gugus amino, kitosan merupakan polielektrolit kationik (pKa ≈ 6,5) hal yang sangat jarang terjadi secara alami. Sifat yang basa ini menjadikan kitosan :
a. Dapat larut dalam media asam encer membentuk larutan yang kental sehingga dapat digunakan dalam pembuatan gel. Dalam beberapa variasi konfigurasi seperti butiran, membran, pelapis kapsul, serat dan spons.
b. Membentuk kompleks yang tidak larut dengan air dengan polianion yang dapat juga digunakan untuk pembuatan butiran gel, kapsul dan membran.
c. Dapat digunakan sebagai pengkelat ion logam berat dimana gelnya menyediakan system produksi terhadap efek dekstruksi dari ion (Meriaty,2002).
Kitosan juga dapat dibuat menjadi membrane film dengan cara, kitosan dilarutkan dalam asam asetat dan seterusnya dituangkan diatas plat kaca, pelarut asam tersebut dibiarkan menguap pada udara terbuka sehingga film terbentuk dan dengan mudah dapat diambil dari permukaan kaca (Agusnar, 2006).
2.3.1. Sifat Fisika-Kimia Kitosan
Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan dengan rotasi spesifik [α]D11 -3 hingga -10o (pada konsentrasi asam asetat 2%). Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik pada pH sekitar 4,0, tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5, juga tidak larut dalam pelarut air, alkohol dan aseton. Dalam asam mineral pekat seperti HCl dan HNO3, kitosan larut pada konsentrasi 0,15-1,1%, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%.
Kitosan tidak larut dalam H2SO4 pada berbagai konsentrasi, sedangkan didalam H3PO4 tidak larut pada konsentrasi 1% sementara pada konsentrasi 0,1% sedikit larut. Perlu kita ketahui, bahwa kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat deasetilasi, dan rotasi spesifiknya yang beragam bergantung pada sumber dan metode isolasi serta transformasinya.Sifat fisika dan kimia kitosan diatas telah dijadikan bagian dalam penentuan spesifikasi kitosan niaga (Sugita.2009).
Kitosan tidak larut dalam air, pelarut-pelarut organik, juga tidak larut dalam alkali dan asam-asam mineral pada pH di atas 6,5. Dengan adanya sejumlah asam, maka dapat larut dalam air - metanol, air - etanol, dan campuran lainnya.Kitosan larut dalam asam formiat dan asam asetat dan menurut Peniston dalam 20% asam sitrat juga dapat larut.Asam organik lainnya juga tidak dapat melarutkan kitosan, asam-asam anorganik lainnya pada pH tertentu setelah distirer dan dipanaskan dan asam sitrat juga dapat melarutkan kitosan.
Kitosan bersifat polikatonik yang dapat mengikat lemak dan logam berat pencemar.Kitosan yang mempunyai gugus amina yaitu adanya unsur N bersifat sangat reaktif dan bersifat basa. (Inoue. 1994).
Karena kitin dan kitosan merupakan bahan alam maka keduanya lebih bersifat biokompatibel dan biodegradabel disbanding dengan polimer sintetik.Kitin dan kitosan serta senyawa turunannya telah banyak diaplikasikan dalam berbagai industri. Nilai total perdagangan bahan-bahan tersebut pada tahun 2002 mencapai 112 trilyun rupiah (Toharisman, 2007).
2.3.2. Kegunaan Kitosan
Dewasa ini aplikasi kitin dan kitosan sangat banyak dan meluas. Di bidang industri, kitin dan kitosan berperan antara lain sebagai koagulan polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat
dan penyerap ion logam, mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak, tannin, PCB (poliklorinasi bifenil), mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentuk film dan membran mudah terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp dan produk tekstil. Sementara dibidang pertanian dan pangan, kitin dan kitosan digunakan antara lain untuk pencampur ransom pakan ternak, antimikroba, antijamur, serat bahan pangan, penstabil, pembawa zat aditif makanan, flavor, zat gizi, pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasedifikasi buah-buahan, sayuran dan penjernih sari buah. Fungsinya sebagai antimikroba dan antijamur juga diterapkan di bidang kedokteran. kitin dan kitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans dan Staphvlacoccus aureus.
Selain itu, biopolimer tersebut juga berguna sebagai antikoagulan, antitumor, antivirus, penambahan dalam obat pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan pembuat lensa kontak, aditif pada kosmetik, membran dialisis, bahan shampoo dan kondisioner rambut, penstabil liposome, bahan ortopedik, pembalut luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan, dan antiinfeksi. (Sugita.2009).
Kitosan sebagai adsorben dapat berada dalam berbagai bentuk, antara lain bentuk butir, serpih, hidrogel, dan membran (film). Kitosan sebagai adsorben sering dimanfaatkan untuk proses adsorpsi ion logam berat. Besarnya afinitas kitosan dalam mengikat ion logam sangat bergantung pada karakteristik makrostruktur kitosan yang dipengaruhi oleh sumber dan kondisi pada proses isolasi. Perbedaan bentuk kitosan akan berpengaruh pada luas permukaannya.
Semakin kecil ukuran kitosan, maka luas permukaan kitosan akan semakin besar, dan proses adsorpsi pun dapat berlangsung lebih baik.
Pembuatan kitosan dalam bentuk butiran antara lain sebanyak 3 gram kitosan berbentuk serpihan dilarutkan dalam 100 ml larutan asam asetat 1%. Larutan kitosan yang terbentuk diteteskan pada larutan basa NaOH 4%, sehingga diperoleh butiran berbentuk bola dengan diameter rata-rata 2,5 mm. Kitosan butiran yang terbentuk dikumpulkan dan dicuci dengan akuades sampai pH netral membentuk kitosan dalam bentuk butiran yang digunakan untuk proses adsorpsi catalase (Sugita. 2009).
Dalam penggunaannya kitosan tidak beracun dan mampu menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Kitosan juga dapat digunakan dalam penjernihan atau pengolahan air minum.
Pemakaian kitosan pada pengolahan air minum lebih baik dari pada memakai alum atau tawas dan Poli Aluminium Klorida (PAC), karena tawas dan PAC dapat mengakibatkan efek racun bagi kesehatan manusia (Roberts.1991).
2.4. Abu Sekam Padi
Sekam padi merupakan lapisan keras yang meliputi kariopsis yang terdiri dari dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan. Sekam padi merupakan produk sampingan yang dihasilkan dari proses penggilingan padi. Dari proses penggilingan padi biasanya diperoleh sekam sekitar 20-30% dari bobot awal gabah (Badan Pengembangan dan Penelitian Pertanian, 2001). Sejauh ini, pemanfaatan sekam padi masih terbatas yaitu sebagai bahan bakar batu bata merah, genting dan abu gosok saja, sedangkan arangnya untuk media tanaman. Jika dibandingkan dengan pemanfaatannya, masih jauh lebih banyak sekam padi yang hanya dibakar langsung karena dianggap sampah. Cara yang biasa dilakukan untuk membuang sekam padi adalah membakarnya di tempat terbuka.
Sekam padi merupakan salah satu bahan yang mengandung lignoselulosa yang ketersediaannya melimpah, berharga murah, dan belum banyak dimanfaatkan. Bahan-bahan lignoselulosa umumnya terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Menurut Sun dan Cheng (dalam Rachmaniah, 2008), perlakuan awal terhadap suatu bahan lignoselulosa dapat memecahkan ikatan lignin, merusak struktur kristal selulosa dan meningkatkan porositas bahan.
Salah satu perlakuan awal yang dapat dilakukan adalah leaching dengan asam klorida (HCl).
Leaching merupakan suatu proses pelarutan logam dari bahan padat melalui ekstraksi media cair.
HCl dikenal sebagai asam kuat yang mampu melarutkan berbagai jenis logam dan menghasilkan logam klorida dan gas hidrogen. Asam klorida (HCl) mampu menghilangkan senyawa pengotor seperti logam-logam yang menutupi pori-pori dan membersihkan permukaan pori pada sekam padi. Hal ini menyebabkan bertambahnya jumlah pori-pori pada sekam padi. Dengan bertambahnya jumlah pori-pori suatu bahan dapat meningkatkan kemampuan bahan tersebut dalam menyerap.
Hilmy pada tahun 2007 telah melakukan penelitian mengenai pengaruh konsentrasi asam klorida (0,5M, 1M, 2M, dan 4M) terhadap kristalinitas material mesopori silika SBA-15. Hilmy (2007) melaporkan bahwa konsentrasi asam klorida mempengaruhi kecepatan reaksi hidrolisis
dan kondensasi bahan yang berpengaruh pula pada kristalinitas bahan. Selain itu, Srihapsari pada tahun 2006 telah melakukan penelitian mengenai pengaruh konsentrasi HCl (1 M, 2 M, dan 3 M) terhadap kemampuan zeolit alam dalam menyerap logam-logam penyebab kesadahan air.
Srihapsari (2006) melaporkan bahwa zeolit alam yang telah diaktivasi dengan larutan HCl 2 M menghasilkan kemampuan yang maksimal dalam menjerap logam-logam penyebab kesadahan air.
Pemanasan sekam padi pada suhu yang terkontrol menghasilkan abu sekam padi yang kaya akan silika dan karbon (Sitompul, 1999). Kandungan silika pada abu sekam padi mencapai 94,5% (Lakum, 2009). Silika dari abu sekam padi umunya ditemukan berwarna putih. Silika yang berwarna putih ini dibuat pada temperatur yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa karbon yang terdapat dalam silika tersebut telah hilang selama pemanasan membentuk gas karbon dioksida. Jika pembuatan silika ini dilakukan pada suhu yang lebih rendah, memungkinkan karbon yang terdapat dalam silika tersebut tidak semuanya hilang ketika pemanasan dan menghasilkan silika yang masih mengandung karbon.Silika yang mengandung karbon ini berwarna hitam. Silika yang mengandung karbon selanjutnya disebut dengan “silika hitam”.
2.5. Karbon Aktif
Karbon aktif atau sering juga disebut sebagai arang aktif adalah suatu jenis karbon yang memiliki luas permukaan yang sangat besar. Hal ini bisa dicapai dengan mengaktifkan karbon atau arang tersebut.Pengaktifan hanya bertujuan untuk memperbesar luas permukaannya saja, serta untuk meningkatkan kemampuan adsorpsi karbon aktif itu sendiri.
Karbon aktif tersedia dalam berbagai bentuk misalnya pelet (gravel, 0,8 - 5 mm), lembaran fiber, bubuk (PAC : powder active carbon, 0,18 mm atau US mesh 80)dan butiran- butiran kecil (GAC : Granular Active carbon, 0,2 - 5 mm).
Bahan baku yang berasal dari hewan, tumbuh-tumbuhan, limbah ataupun mineral yang mengandung karbon dapat dibuat menjadi karbon aktif. Bahan tersebut antara lain tulang, kayu lunak, sekam, tongkol jagung, tempurung kelapa, sabut kelapa, ampas penggilingan tebu, ampas pembuatan kertas, serbuk gergaji, kayu keras dan batubara.
Karbon aktif merupakan bahan yang multifungsi dimana hampir sebagian besar telah dipakai penggunaannya oleh berbagai macam jenis industri.Aplikasi terhadap penggunaan karbon aktif dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Tabel 2.5.1. Tabel penggunaan karbon aktif berdasarkan ukuran partikel
No. Pemakai Kegunaan
Ukuran Partikel (Mesh) 1. Industri obat dan makanan Menyaring, penghilangan
bau dan rasa
8×30, 325
2. Minuman keras dan ringan Penghilangan warna, bau pada minuman
4×8, 4×12
3. Kimia perminyakan Penyulingan bahan mentah 4×8, 4×12, 8×30 4. Pembersih air Penghilangan warna, bau
penghilangan resin
5. Budi daya udang Pemurnian, penghilangan ammonia, nitrit, penol, dan logam berat
4×8, 4×12
6. Industri gula Penghilangan zat-zat warna, menyerap proses penyaringan menjadi lebih sempurna
4×8, 4×12
7. Pelarut yang digunakan kembali
Penarikan kembali berbagai pelarut
4x8, 4x12, 8x30 8. Pemurnian gas Menghilangkan sulfur, gas
beracun, bau busuk asap.
4×8, 4×12
9. Katalisator Reaksi katalisator
pengangkut vinil khlorida, vinil asetat
4×8, 4×30
10. Pengolahan pupuk Pemurnian, penghilangan bau
8×30
Pembuatan karbon aktif terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Dehidrasi
Dehidrasi adalah proses penghilangan air dimana bahan baku dipanaskan sampai temperatur 170°C.
2. Karbonisasi
Karbonisasi adalah pemecahan bahan-bahan organik menjadi karbon. Suhu diatas 170oC akan menghasilkan CO, CO2 dan asam asetat. Pada suhu 275oC, dekomposisi menghasilkan tar, metanol dan hasil samping lainnya. Pembentukan karbon terjadi pada temperatur 400–600oC.
3. Aktivasi
Aktivasi adalah dekomposisi tar dan perluasan pori-pori. Dapat dilakukan dengan uap atau CO2 sebagai aktivator. Aktivasi bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul–molekul permukaan sehingga karbon mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya bertambah besar dan berpengaruh
terhadap daya adsorpsi. Metode aktivasi yang umum digunakan dalam pembuatan karbon aktif adalah:
a. Aktivasi Kimia
Aktivasi ini merupakan proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan pemakian bahan-bahan kimia. Aktivator yang digunakan adalah bahan-bahan kimia seperti hidroksida logam alkali garam-garam karbonat, klorida, sulfat, fosfat dari logam alkali tanah dan khususnya ZnCl2, asam-asam anorganik seperti H2SO4 dan H3PO4.
b. Aktivasi Fisika
Aktivasi ini merupakan proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan bantuan panas, uap dan CO2. Umumnya karbon dipanaskan di dalam tanur pada temperatur 800 - 900oC.Oksidasi dengan udara pada temperatur rendah merupakan reaksi eksoterm sehingga sulit
untuk mengontrolnya.Sedangkan pemanasan dengan uap atau CO2 pada temperatur tinggi merupakan reaksi endoterm, sehingga lebih mudah dikontrol dan paling umum digunakan.
2.6. Spektrofotometer Serapan Atom
Spektrofotometri serapan atom, sering disingkat sebagai AAS atau SSA adalah suatu bentuk spektrofotometri dimana spesies pengabsorbsiannya adalah atom-atom. (Underwood, 1996 :430).
Prinsip dasar SSA adalah interaksi antara radiasi elektomagnetik dengan sampel. SSA merupakan metode yang sangat tepat untuk analisis zat pada konsentrasi rendah. Teknik ini adalah teknik yang paling umum dipakai untuk analisis unsur yang didasarkan pada emisi dan absorbansi dari uap atom. Komponen kunci pada metode ini adalah sistem (alat) yang dipakai untuk menghasilkan uap atom dalam sampel.
Cara kerja SSA berdasarkan atas penguapan larutan sampel, kemudian logam yang terkandung didalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut mengabsorbsi radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan dari lampu katoda yang mengandung unsur yang akan ditentukan. Banyaknya penyerapan radiasi kemudian diukur pada panjang gelombang tertentu menurut jenis logamnya. Jika radiasi elektomagnetik dikenakan kepada suatu atom maka akan terjadi eksitasi elektron dari tingkat dasar ke tingkat tereksitasi, setiap panjang gelombang memiliki energi yang spesifik untuk dapat tereksitasi ke tingkat yang lebih tinggi. Besarnya energi tersebut dapat dihitung menggunakan rumus:
dimana:
E = Energi
h = Tetapan Planck ( 6,63 x 10-34 J.s) c = kecepatan cahaya (3 x 108 m/s) λ = panjang gelombang (nm)
Setelah mengalami eksitasi maka akan dipancarkan energi, tetapi yang akan dideteksi oleh detektor adalah cahaya yang diserap.
Spektroskopi serapan atom terdiri dari sumber cahaya, ruang sampel dan detektor.Dalam metode ini, cahaya dari sumber langsung diteruskan dari sampel ke detektor.Semakin besar jumlah sampel, maka semakin besar pula serapan yang dihasilkan sampel.Sumber cahayanya adalah lampu berupa katoda yang terdiri dari bagian-bagian yang teratur.Setiap unsur membutuhkan lampu katoda yang berbeda.Lampu tersebut ditempatkan di dalam ruang khusus lampu.
Ruang sampel adalah pembakar sejak sumber api menyerap radiasi atom. Sinyal dari detektor dipindahkan ke komputer, dan hasilnya dapat dilihat di monitor alat SSA. Untuk sampel yang akan dianalisis di dalam pembakar, dapat dilakukan persiapan larutan sampel di dalam pelarut yang cocok, kebanyakan dalam air.
Gas dari panas mengalir ke dalam pembakar sehingga menarik cairan ke dalam tabung daari ruang sampel.Cairan ini diubah dimana ion mengalami atomisasi.Atom menyerap cahaya dari sumber. Analisis kuantitatif ini bisa dicapai dengan kadar serapan larutan dengan konsentrasi yang diketahui. Kurva kalibrasi dan persamaan garis bisa digunakan untuk menentukan konsentrasi berdasarkan serapannya.
Hubungan kuantitatif antara intensitas radiasi yang diserap dan konsentrasi unsur yang ada dalam larutan cuplikan menjadi dasar pemakaian SSA untuk analisis unsur-unsur logam.
Untuk membentuk uap atom netral dalam keadaan/tingkat energi dasar yang siap menyerap radiasi dibutuhkan sejumlah energi. Energi ini biasanya berasal dari nyala hasil pembakaran campuran gas asetilen-udara atau asetilen-N2O, tergantung suhu yang dibutuhkan untuk membuat unsur analit menjadi uap atom bebas pada tingkat energi dasar (ground state). Disini berlaku hubungan yang dikenal dengan hukum Lambert-Beer yang menjadi dasar dalam analisis kuantitatif secara SSA. Hubungan tersebut dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut (Ristina, 2006).
I = Io . a.b.c Atau, Log I/Io = a.b.c
A = a.b.c dengan,
A = absorbansi, tanpa dimensi a = koefisien serapan, L2/M
b = panjang jejak sinar dalam medium berisi atom penyerap, L c = konsentrasi, M/L3
Io = intensitas sinar mula-mula I = intensitas sinar yang diteruskan
Pada persamaan diatas ditunjukkan bahwa besarnya absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi atom-atom pada tingkat tenaga dasar dalam medium nyala. Banyaknya konsentrasi atom-atom dalam nyala tersebut sebanding dengan konsentrasi unsur dalam larutan cuplikan.
Dengan demikian, dari pemplotan serapan dan konsentrasi unsur dalam larutan standar diperoleh kurva kalibrasi. Dengan menempatkan absorbansi dari suatu cuplikan pada kurva standar akan diperoleh konsentrasi dalam larutan cuplikan. Bagian-bagian AAS adalah sebgai berikut (Day, 1986).
a. Lampu katoda
Lampu katoda merupakan sumber cahaya pada AAS. Lampu katoda memiliki masa pakai atau umur pemakaian selama 1000 jam. Lampu katoda pada setiap unsur yang akan diuji berbeda-beda tergantung unsur yang akan diuji, seperti lampu katoda Cu, hanya bisa digunakan untuk pengukuran unsur Cu.
b. Tabung gas
Tabung gas pada AAS yang digunakan merupakan tabung gas yang berisi gas asetilen.
Gas asetilen pada AAS memiliki kisaran suhu ± 20000 K, dan ada juga tabung gas yang berisi gas N2O yang lebih panas dari gas asetilen, dengan kisaran suhu ± 30000 K. Regulator pada tabung gas asetilen berfungsi untuk pengaturan banyaknya gas yang akan dikeluarkan, dan gas yang berada di dalam tabung. Spedometer pada bagian kanan regulator merupakan pengatur tekanan yang berada di dalam tabung. Gas ini merupakan bahan bakar dalam Spektrofotometri Serapan Atom
c. Burner
Burner merupakan bagian paling terpenting di dalam main unit, karena burner berfungsi sebagai tempat pancampuran gas asetilen, dan aquabides, agar tercampur merata, dan dapat terbakar pada pemantik api secara baik dan merata. Lobang yang berada pada burner, merupakan lobang pemantik api.
d. Monokromator
Berkas cahaya dari lampu katoda berongga akan dilewatkan melalui celah sempit dan difokuskan menggunakan cermin menuju monokromator. Monokromator dalam alat SSA akan memisahkan, mengisolasi dan mengontrol intensitas energi yang diteruskan ke detektor.
Monokromator yang biasa digunakan ialah monokromator difraksi grating.
e. Detektor
Detektor merupakan alat yang mengubah energi cahaya menjadi energi listrik, yang memberikan suatu isyarat listrik berhubungan dengan daya radiasi yang diserap oleh permukaan yang peka. Fungsi detektor adalah mengubah energi sinar menjadi energi listrik, dimana energi listrik yang dihasilkan digunakan untuk mendapatkan data. Detektor AAS tergantung pada jenis monokromatornya, jika monokromatornya sederhana yang biasa dipakai untuk analisa alkali, detektor yang digunakan adalah barier layer cell. Tetapi pada umumnya yang digunakan adalah detektor photomultiplier tube. Photomultiplier tube terdiri dari katoda yang dilapisi senyawa yang bersifat peka cahaya dan suatu anoda yang mampu mengumpulkan elektron. Ketika foton menumbuk katoda maka elektron akan dipancarkan, dan bergerak menuju anoda. Antara katoda dan anoda terdapat dinoda-dinoda yang mampu menggandakan elektron. Sehingga intensitas elektron yang sampai menuju anoda besar dan akhirnya dapat dibaca sebagai sinyal listrik. Untuk menambah kinerja alat maka digunakan suatu mikroprosesor, baik pada instrumen utama maupun pada alat bantu lain seperti autosampler.
f. Sistem pembacaan
Sistem pembacaan merupakan bagian yang menampilkan suatu angka atau gambar yang dapat dibaca oleh mata.
g. Ducting
Ducting merupakan bagian cerobong asap untuk menyedot asap atau sisa pembakaran pada AAS, yang langsung dihubungkan pada cerobong asap bagian luar pada atap bangunan, agar asap yang dihasilkan oleh AAS, tidak berbahaya bagi lingkungan sekitar. Asap yang dihasilkan dari pembakaran pada spektrofotometry serapan atom (AAS), diolah sedemikian rupa di dalam ducting, agar asap yang dihasilkan tidak berbahaya.
2.7. Persamaan Isoterm Langmuir
Isoterm adsorpsi Langmuir didasarkan atas beberapa asumsi, yaitu (a) adsorpsi hanya terjadi pada lapisan tunggal (monolayer), (b) panas adsorpsi tidak tergantung pada penutupan permukaan, dan (c) semua situs dan permukaannya bersifat homogen (Oscik J 1994). Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dapat diturunkan secara teoritis dengan menganggap terjadinya kesetimbangan antara molekul-molekul zat yang diadsorpsi pada permukaan adsorben dengan molekul-molekul zat yang tidak teradsorpsi. Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dapat dituliskan sebagai berikut.
C merupakan konsentrasi adsorbat dalam larutan, x/m adalah konsentrasi adsorbat yang terjerap per gram adsorben, k adalah konstanta yang berhubungan dengan afinitas adsorpsi dan (x/m)mak adalah kapasitas adsorpsi maksimum dari adsorben. Kurva isoterm adsorpsi Langmuir dapat disajikan seperti pada Gambar 2.7.1.
Gambar 2.7.1 Grafik adsorpsi Langmuir
2.8. Persamaan Isoterm Adsorpsi Freundlich
Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich didasarkan atas terbentuknyalapisan monolayer dari molekul-molekul adsorbat pada permukaan adsorben.Namun pada adsorpsi Freundlich situs-situs aktif pada permukaan adsorbenbersifat heterogen. Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich dapat dituliskan sebagai berikut.
Log (x/m) = log k + 1/n log c sedangkan kurva isoterm adsorpsinya disajikan pada Gambar 2.8.1
Gambar 2.8.1 Kurva isoterm adsorpsi Freundlich
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Bahan dan Peralatan Penelitian 3.1.1. Bahan Penelitian
Bahan - bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: abu sekam padi, aquadest, asam humat, cangkang kepiting bakau (Scylla sp), HCl, H2SO4, KBr, limbah kayu matoa (Ponetia pinnata), lempung alam, NaOH, ninhidrin, Pb(NO3)2.
3.1.2. Alat Penelitian
Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: blender, desikator, Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) type AA-6300 Shimadzu, Neraca Analitik, Timbangan OHAUS, penyaring ukuran 100 Mesh, pH meter, kertas saring Whattman no. 42, Elektroda Selektif Ion, termometer, penangas air, oven, mortar, shaker water bath, sentrifugator, pendingin Liebig, magnetic stirrer, ayakan 50 Mesh, Spektrofotometer FTIR JASTCO 5300, refluks.
3.2. Prosedur Penelitian 3.2.1. Tahap Isolasi Kitin
Cangkang Kepiting bakau (Scylla sp) dibersihkan, dicuci, dan dikeringkan pada terik matahari. Kemudian dihaluskan dan diayak dengan ayakan 50 mesh. 50 gram cangkang kepiting bakau yang telah diayak dimasukkan ke dalam labu refluks 2000 ml kemudian ditambah dengan 500 ml NaOH 1 N (b/v). Campuran cangkang kepiting bakau dan NaOH direfluks selama 12 jam pada temperatur 100° C sambil diaduk dengan magnetic stirrer. Setelah itu didinginkan, disaring dan residu dicuci dengan aquadest sampai netral, kemudian dikeringkan pada suhu 60°C selama 4 jam.
40 gram residu ditambah dengan 600 ml HCl 2 N dan mengaduknya selama 30 menit pada temperatur kamar. Setelah itu disaring dan dicuci dengan aquadest sampai filtratnya netral. Kemudian endapan dikeringkan pada suhu 60°C selama 4 jam dan diperoleh kitin. Kitin diuji dengan ninhidrin dan Spektrofotometer IR.
3.2.2. Deasetilasi Kitin (Metode Hackmann)
250 ml NaOH 50 % (b/v) ditambahkan ke dalam 25 gram kitin, kemudian direfluks selama 2 jam pada suhu 100°C. Hasil refluks didinginkan, disaring dan dicuci dengan aquades sampai filtratnya netral. Residu dikeringkan pada suhu 60 °C selama 4 jam. Hasil dari proses ini (Kitosan) diidentifikasi dengan ninhidrin dan spektrofotometer IR. Ninhidrin (triketohidrine hidrat) merupakan zat pengoksidasi yang kuat dapat bereaksi dengan gugus amina (dari senyawa kitosan). Pada pH 4-8 membentuk senyawa berwarna ungu.
3.2.3. Tahap Identifikasi Gugus Fungsional Adsorben
Sejumlah kitin dibuat dalam bentuk pellet dengan KBr. Pelet KBr dibuat dengan menghaluskan beberapa mg kitin dengan 250 mg KBr kering dan diberi tekanan dibawah vakum. Sampel dalam bentuk pelet dianalisis dengan Spektrofotometer infra merah FTIR JASTCO 5300 dan didapatkan spektra kitin. Hal yang sama dilakukan pada cangkang kepiting bakau dan kitosan hasil eksperimen.
3.2.4. Pengambilan dan Pengolahan Sampel Lempung
Sampel lempung dibersihkan dari partikel kasar secara pencucian dengan akuades sebanyak 3 kali dan disaring. Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC sampai kering, selanjutnya lempung digerus sampai halus dan diayak dengan ayakan ukuran 200 mesh. Sampel yang lolos 200 mesh. Kemudian dikalsinasi pada suhu 300 kemudian disimpan dalam desikator untuk dianalisis.
3.2.5. Pembuatan Arang
Proses pembuatan arang secara tradisional yaitu dengan menggunakan kaleng biskuit kong huan dengan tahap pengolahan sebagai berikut: Limbah kayu matoa dipotong-potong menjadi ukuran panjang 10 cm dengan ukuran lebar dan tinggi seadanya, kayu tersebut kemudian dibersihkan lalu dikering anginkan, selama lebih kurang 3 hari, limbah kayu yang telah kering dimasukan ke dalam kaleng tersebut, kemudian dimasukan ke dalam tungku pembakaran dan hanya ventilasi yang dibiarkan terbuka. Ini bertujuan sebagai jalan keluarnya asap, ketika asap yang keluar berwarna kebiru – biruan, kaleng biskuit kong huan dengan hati – hati diturunkan dari tungku pembakaran kemudian ditutup rapat, diamkan selama 24 jam, dengan hati – hati kaleng
biskuit kong huan dibuka dan dicek apakah masih ada bara yang menyala. Jika masih ada yang menyala semua pipa ditutup kembali.
3.2.6. Aktivasi Karbon
Karbon yang dihasilkan dicuci dengan aquades untuk menghilangkan abu dan kotoran – kotoran yang ada lalu dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu ± 105 0C selama 1 jam. Selanjutnya arang digiling dan diayak dengan saringan 100 mesh, setelah itu dilakukan aktivasi kimia dengan merendam arang tersebut pada larutan H2SO4 5% selama 2 jam kemudian bilas dengan aquades hingga pH netral terhadap sebagain arang tersebut. setelah arang tersebut dikeringkan kemudian dilakukan pemanasan pada suhu 300 0C selama 1 jam, sedangkan sebagian lagi dibiarkan tidak teraktivasi sebagai pembanding.
3.2.7. Adsorpsi Pb Oleh Adsorben a. Adsorpsi Pb (II) Oleh Kitosan
100 mg kitosan diinteraksikan dengan 20 ml larutan Pb(NO3)2 dengan konsentrasi awal 98,3896 mg/L pada suhu kamar dengan variasi waktu interaksi 0, 10, 30, 50, 70, 90, 110, dan 130 menit. Kemudian didekantir dan filtrat yang diperoleh diukur dengan menggunakan seperangkat alat Spektrofotometer SSA-nyala merk Non Varian BGC.
b. Adsorpsi Pb (II) Oleh Lempung
Kedalam 4 buah botol erlenmeyer 25 ml dimasukan masing-masing 0,2 gram lempung alam pemanasan 105oC (L0) dengan 20 ml Pb(NO3)2 dengan konsentrasi 8 ppm, 10 ppm, 15 ppm dan 20 ppm diaduk selama 300 menit dengan kecepatan 120 rpm di dalam shaker water bath pada temperatur 30oC. Kemudian lempung diendapkan dengan sentrifugasi, filtrat yang didapat dimasukan dalam botol selanjutnya sampel diukur dengan menggunakan Spektroskopi Serapan Atom. Dengan cara yang sama dilakukan terhadap lempung yang dikalsinasi 300oC (L1).
b.1. Pengaruh Temperatur
Kedalam 4 buah botol erlenmeyer 25 ml dimasukan masing-masing 0,2 gram sampel L0 dengan volume 20 ml Pb(NO3)2 dengan konsentrasi optimum serapan diatas. Diaduk selama 5 jam dengan kecepatan 120 rpm, di dalam shaker water bath temperatur 30oC. Kemudian lempung diendapkan dengan
sentrifugasi. Filtrat dimasukan dalam botol selanjutnya sampel diukur menggunakan Spektroskopi Serapan Atom. Dengan cara yang sama dilakukan pada temperatur 50 dan 65oC terhadap sampel L1.
b.2. Pengaruh Waktu Kontak
Kedalam 5 buah botol erlenmeyer 25 ml dimasukkan masing–masing 0,2 gram sampel 105oC dengan 20 ml Pb(NO3)2 konsentrasi serapan optimum.
Diaduk secara konstan pada kecepatan 120 rpm di dalam shaker water bath pada suhu 30oC, dengan selang waktu 5, 60, 120, 300, 420 sekon. Diukur konsentrasi sampel untuk setiap perubahan waktu. Terlebih dahulu lempung diendapkan dengan sentrifuse, filtrat yang didapat dimasukan dalam botol kecil selanjutnya sampel diukur dengan menggunakan Spektroskopi Serapan Atom. Dengan cara yang sama dilakukan terhadap sampel L1.
c. Adsorpsi Pb (II) Oleh Abu Sekam Padi
Larutan Pb(NO3)2 dengan konsentrasi 5 ppm dimasukkan ke dalam gelas beaker 1 liter. Kemudian suhu larutan diatur pada suhu tertentu. Setelah suhu yang diinginkan tercapai, abu sekam padi dengan berat tertentu yang telah diaktifkan dengan larutan asam khlorida dimasukkan ke dalam gelas beaker dan diaduk. Setiap selang waktu 10 menit dilakukan pengambilan sampel. Sampel yang telah diperoleh kemudian disaring dan dianalisa dengan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer). Percobaan dilakukan dengan variasi berat abu 1, 5, 8, dan 15 g dengan variasi suhu 35oC, 45oC dan 55oC.
d. Adsorpsi Pb (II) Oleh Asam Humat
Proses adsorpsi dilakukan dengan metode batch. Sebanyak 10 mg asam humat diinteraksikan dengan 50 mL larutan Pb(II) 50 mg/L. Interaksi dilakukan pada pH optimum untuk adsorpsi Pb(II) pada adsorben asam humat. Campuran diaduk dengan pengaduk magnet. Kadmium(II) diinteraksikan dengan asam humat selama 5, 10, 20, 30, 45, 60, 90 dan 120 menit. Kemudian sampel disaring menggunakan kertas saring whatman 42. Konsentrasi Pb(II) terhidrat dalam filtrat ditentukan menggunakan Elektroda Selektif Ion (ESI), dan konsentrasi Pb(II) total dalam filtrat ditentukan dengan Spektroskopi Serapan Atom (SSA).
Konsentrasi Pb(II) yang teradsorp ditentukan dengan rumus: konsentrasi Pb(II) awal dikurangi dengan konsentrasi Pb(II) total pada filtrat. Sedangkan konsentrasi Pb(II)
yang terkompleks dengan asam humat terlarut adalah: konsentrasi Pb(II) total pada filtrat dikurangi konsentrasi Cd(II) terhidrat pada filtrat.
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Adsorpsi Pb (II) oleh Kitosan Hasil Isolasi
Analisis data pada Tabel 4.1.1 menghasilkan harga p < 0,05 maka waktu interaksi berpengaruh terhadap adsorpsi timbal (II) oleh kitosan hasil isolasi dengan taraf signifikansi 5%.
Hasil uji lanjut HSD (α =0,05) yang terdapat pada Tabel 4.1.2 menunjukkan bahwa antar perlakuan 10 menit, 30 menit, 50 menit terdapat perbedaan yang bermakna; sedangkan antar perlakuan 70 menit, 90 menit, 110 menit tidak terdapat perbedaan bermakna. Hal ini menunjukkan terjadinya kesetimbangan adsorpsi. Pada kondisi kesetimbangan jumlah Pb (II) teradsorpsi relatif konstan karena gugus fungsi kitosan telah dijenuhi oleh Pb (II) mengisi lapisan monolayer yang menutup seluruh permukaan adsorben.
Tabel 4.1.1. Pengaruh waktu interaksi terhadap adsorpsi Pb(II) oleh kitosan hasil isolasi
Tabel 4.1.2. Data Langmuir-Hinshelwood adsorpsi ion Pb(II) oleh kitosan dengan variasi waktu interaksi
Data yang diperoleh selanjutnya dibuat grafik Kinetika Langmuir-Hinshelwood untuk mengetahui harga konstanta adsorpsi-desorpsi (K) serta harga konstanta laju adsorpsi (k1). Dari data pada Tabel 4.1.2 dapat dibuat Kurva Kinetika Langmuir Hinshelwood dengan t/CA sebagai absis dan [ln(Co/CA)]/CA sebagai ordinat.
Berdasarkan data pada Tabel 4.2 dapat dilakukan analisis secara statistik dengan regresi linier pada SPSS. Hasil analisa kurva kinetika Langmuir-Hinshelwood dengan regresi linier menghasilkan probabilitas (p) <0,05 dan nilai β = 0,981 , berarti ada hubungan linier antara t/CA
dengan [ln(Co/CA)]/CA. Dari data pada Tabel 4.2 dapat dibuat grafik, sehingga diperoleh harga K dan k1 diperoleh dari intersep dan slopenya. Grafik Kinetika Langmuir-Hinshelwood terdapat pada Gambar 4.1.1.
Gambar 4.1.1. Grafik kinetika Langmuir-Hinshelwood adsorpsi Pb(II)
Grafik Kinetika Langmuir-Hinshelwood untuk adsorpsi Pb (II) oleh kitosan dengan berbagai waktu interaksi menghasilkan persamaan : y = 0,0014 x + 1189,6. Maka dapat diperoleh harga k1 = 0,0014 menit-1 , sedangkan harga K = 1189,6 M-1. Harga K dan k1 tersebut kemudian dimasukkan kedalam persamaan:
untuk menentukan besarnya laju adsorpsi. Adapun besarnya laju adsorpsi yang terjadi dapat kita lihat pada Tabel 4.1.3.
Tabel 4.1.3. Laju adsorpsi Pb(II) oleh kitosan hasil isolasi
Berdasarkan data pada Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa semakin lama waktu interaksi maka laju pengurangan Pb (II) semakin menurun berarti semakin kecil pula ion Pb (II) yang terikat oleh adsorben. Hal ini disebabkan karena adsorben kitosan telah jenuh oleh molekul adsorbat. Menurut Smith (1981) kecepatan adsorpsi akan menurun dengan semakin meningkatnya jumlah situs kosong yang terisi oleh molekul adsorbat.
Jika diperbandingkan dengan hasil Sudin (2003) terhadap cakang kepiting rajungan, didapatkan bahwa untuk kitosan cakang kepiting rajungan pada waktu interaksi 60 menit terjadi titik kesetimbangan adsorpsi; sedangkan untuk kepiting bakau pada 50-70 menit belum tercapai kesetimbangan, dan pada waktu interaksi 90 menit baru terjadi kesetimbangan. Laju adsorpsi lebih tinggi pada kitosan cakang kepiting bakau; pada kepiting rajungan 8.5514 – 8.6734 × 10-8 mol/L menit sedangkan kepiting bakau 2.977 – 3.275 × 10-7 mol/L menit. Perbedaan tinggi laju adsorpsi tersebut menunjukkan bahwa kitosan cakang kepiting bakau lebih baik digunakan sebagai adsorben dalam pengikatan Pb daripada cangkang kepiting rajungan.
4.2. Adsorpsi Pb (II) oleh Lempung
Kenaikkan konsentrasi awal larutan Pb2+ dari 8-50 mg/L untuk massa adsorben yang sama menyebabkan penurunan daya serap.
Gambar 4.2.1. Grafik daya serap lempung berdasarkan pengaruh konsentrasi awal adsorbat dengan berat adsorben 0,2 gram, suhu 30oC dan waktu 300 menit
Menurut Bhattcharyya dan Gupta (2007) konsentrasi awal ion logam Pb yang digunakan 50 mg/L dengan daya serap 21,7 mg/g dengan persentase serapan 86,9%. Berbeda dengan penelitian ini konsentrsai awal ion logam Pb yang digunakan 10 mg/L dengan daya serap 0,7670 mg/g dengan persentase serapan lempung 95,2032%. Jumlah ion logam yang terserap per unit massa adsorben lempung meningkat secara bertahap dengan peningkatan konsentrasi ion logam dalam larutan. Pada konsentrasi rendah, rasio jumlah ion logam dengan situs adsorpsi menjadi lebih kecil dan akibatnya adsorpsi tidak tergantung pada konsentrasi awal. Ketika konsentrasi ion logam meningkat, kondisi berganti dan kompetisi pada situs adsorpsi menjadi semakin kuat.
Sebagai akibatnya, tingkat penyerapan menurun, tetapi jumlah zat yang terserap per unit massa adsorben meningkat (Gupta dan Bhattacharyya, 2008, Bhattcharyya dan Gupta, 2007).
4.2.1. Pengaruh Temperatur Terhadap Daya Adsorpsi
Pengaruh temperatur larutan terhadap daya adsorpsi dapat dilihat gambar 2. Adsorpsi yang dilakukan pada variasi suhu 30, 50, 65oC, bahwa suhu optimum yaitu 30oC yang memiliki daya serap yang tinggi dan menunjukkan penurunan kapasitas adsorpsi pada lempung alam 105oC dan lempung yang diaktivasi 300oC terjadi pelepasan panas (eksotermis) selama proses adsorpsi. Jumlah kation Pb(II) yang diadsorpsi oleh lempung Talanai tampak berkurang dengan kenaikan temperatur. Hal ini dapat terjadi karena dengan kenaikan temperatur menyebabkan terjadinya desorpsi, yang artinya adsorbat yang telah terikat pada permukaan adsorben lepas sehingga menyebabkan kapasitas penyerapan akan semakin menurun dengan kenaikan temperatur.
Gambar 4.2.1.1. Grafik daya serap lempung berdasarkan pengaruh temperatur dengan konsentrasi awal 10 mg/L berat adsorben 0,2 gram dan waktu 300 menit
Pada temperatur tinggi kelarutan ion logam di dalam air meningkat dan pada kondisi yang sama pada kation logam keluar meninggalkan permukaan fasa padat adsorben (Muhdarina, dkk., 2010). Interaksi demikian eksotermik dan ion logam akan meninggalkan fase padat pada suhu yang lebih tinggi dengan peningkatan suhu, maka kelarutan ion logam dalam fase cair cenderung meningkat dengan penurunan konsentrasi ion logam dalam fase padat dan memiliki affinitas yang kuat terhadap lempung (Echeverria et al., 2003) sehingga lebih dominan desorpsi daripada adsorpsi. Hal yang sama yang ditunjukkan oleh lempung alam dengan NaOH yang mengadsorpsi kation Pb2+.
4.2.2. Pengaruh Waktu Kontak
Untuk menentukan daya serap lempung berdasarkan pengaruh waktu kontak gambar 3 dengan variasi waktu kontak 5, 60, 120, ,300 dan 420 menit. Adsorpsi kation Pb2+ oleh lempung Talanai berjalan sangat cepat dalam 60 menit pertama, setelah itu mulai melambat dan mendekati kesetimbangan pada waktu 120 menit untuk 105oC. Pada waktu 300 dan 420 menit daya serap semakin berkurang dengan kata lain lempung mengalami desorpsi. Namun seiring dengan bertambahnya waktu kontak maka jumlah situs aktif permukaan semakin berkurang sehingga laju adsorpsi kation Pb(II) berkurang sampai mencapai kesetimbangan (Muhdarina dkk, 2012). Pada awal adsorpsi, peristiwa adsorpsi lebih dominan dibandingkan dengan peristiwa desorpsi, sehingga adsorpsi berlangsung cepat. Pada waktu tertentu peristiwa adsorpsi berlangsung lambat, dan sebaliknya laju desorpsi cenderung meningkat. Peristiwa desorpsi terjadi karena
pengocokan pada larutan tetap dilakukan yang mengakibatkan ikatan adsorben dengan adsorbat putus karena tidak terikat kuat. Ikatan yang terjadi adalah ikatan Vander Walls (Nasution, 2009).
Gambar 4.2.2.1. Grafik daya serap lempung berdasarkan pengaruh waktu dengan konsentrasi awal 10 mg/L adsorben 0,2 gram dan suhu 30oC
Pada L1 bahwa ion logam dengan lempung berinteraksi dan mulai melambat dan hampir mendekati kesetimbangan pada waktu 300 menit. Pada awal adsorpsi, situs aktif pada permukaan lempung terbuka seutuhnya untuk Pb(II). Hal ini menyebabkan lebih banyak ion Pb(II) yang terserap pada permukaan adsorben, setelah permukaan lempung jenuh dengan Pb(II) maka tidak terjadi lagi peningkatan daya serap. Bertambahnya waktu kontak maka jumlah ion logam yang teradsorpsi semakin banyak, namun pada waktu tertentu jumlah ion logam yang teradsorpsi semakin berkurang karena sebagian besar permukaan aktif lempung telah berikatan dengan kation logam. Pada batas waktu tertentu tercapai keadaan setimbang (lempung tidak mampu menyerap logam) atau permukaan lempung telah jenuh. Penyebab lain, dengan bertambahnya waktu maka semakin banyak terbentuk kation terhidrat dengan jari-jari yang lebih besar dari pada jari-jari ion logamnya sehingga menghalangi proses adsorpsi (Erdem dkk, 2004).
4.3. Adsorpsi Pb(II) oleh Abu Sekam
Kesetimbangan Adsorpsi Pb padaabu sekam padi didekati dengan model isoterm Langmuir dan didapat nilai Cs dan K seperti ditampilkan pada tabel 4.3.1.
Tabel 4.3.1. Parameter-parameter Pada model Isoterm Langmuir
Dari tabel 1 terlihat bahwa nilai CS berkurang dengan kenaikan suhu seperti dinyatakan oleh Do (1998). Nilai K yang bertambah dengan kenaikan suhu berarti proses adsorpsi ini merupakan adsorpsi yang endotermik.
Tabel 4.3.2. Data Konstanta Desorpsi pada Berbagai Suhu dan Berat Adsorben
Tabel 4.3.3. Data Parameter Ed dan Kd∞
Pada tabel 4.3.2 terlihat bahwa jika suhu dinaikkan maka konstanta desorpsi (kd) justru menurun dan pada tabel 3 bisa dilihat bahwa Ed bernilai negatif. Ini berarti desorpsi yang terjadi adalah secara eksotermik, berlawanan dengan adsorpsi yang terjadi yaitu secara endotermik.
Gambar 4.3.1. Grafik Hubungan Konsentrasi Pb dalam urutan dengan waktu untuk berat adsorben 1 gram
Gambar 4.3.2. Grafik Hubungan Konsentrasi Pb dalam larutan dengan waktu untuk berat adsorben 5 gram
Gambar 4.3.3. Grafik Hubungan Konsentrasi Pb dalam larutan dengan waktu untuk berat adsorben 8 gram
Gambar 4.3.3. Grafik Hubungan Konsentrasi Pb dalam larutan dengan waktu untuk berat adsorben 15 gram
Terlihat pada gambar 4.3.2, 4.3.3, 4.3.4 dan 4.3.5, kenaikkan suhu ternyata justru menurunkan laju adsorpsi terutama untuk berat adsorben yang relatif besar. Ini menunjukkan bahwa laju adsorpsi yang terjadi (secara endotermik) lebih kecil dari pada laju desorpsi (secara eksotermik). Terlihat pula bahwa model kinetika Langmuir cukup baik dalam mendekati data percobaan, sehingga mekanisme yang menganggap adsorpsi ini terjadi secara fisika bisa diterima
terutama pada berat adsorben yang kecil, sedangkan untuk berat adsorben yang besar kurang sesuai.
Gambar 4.3.2, 4.3.3, 4.3.4 dan 4.3.5, serta tabel 4.3.1 dan 4.3.2 menunjukkan bahwa makin banyak berat adsorben yang ditambahkan akan mempercepat laju adsorpsi sekaligus makin memperbesar jumlah yang terjerap. Jumlah adsorben yang makin banyak akan memberikan luas permukaan yang makin besar bagi adsorbat untuk terdesorpsi. Selain itu makin banyak jumlah adsorben juga akan member kesempatan kontak yang makin besar dengan molekul-molekul adsorbat.
4.4. . Adsorpsi Pb(II) oleh Asam Humat
Untuk mengetahui laju adsorpsi Cd(II) dan Pb(II) pada asam humat, dilakukan penelitian dengan cara menginteraksikan asam humat dengan Cd(II) dan Pb(II) dengan konsentrasi tertentu dan waktu interaksi yang bervariasi. Waktu interaksi yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan adsorpsi dapat digunakan sebagai ukuran laju reaksi. Semakin sedikit waktu interaksi, maka semakin tinggi laju reaksi. Apabila keseimbangan adsorpsi telah tercapai, penambahan waktu interaksi tidak menambah jumlah logam yang teradsorp.
Oscik (1982) menyatakan bahwa adsorpsi dari fase gas maupun larutan umumnya adsorbat menuju ke permukaan adsorben dalam waktu relatif pendek, sedangkan keseimbangan adsorpsi memerlukan waktu yang lebih lama. Hasil penelitian pengaruh waktu interaksi terhadap adsorpsi Pb(II) dan Cd(II) pada asam humat ditunjukkan pada Gambar 4.4.1.
Gambar 4.4.1. Pengaruh Waktu interaksi terhadap adsorpsi Pb(II) dan Cd(II) pada asam humat
Berdasarkan Gambar 4.4.1 terlihat bahwa adsorpsi Cd(II) dan Pb(II) pada asam humat memiliki kecenderungan yang sama yaitu terus meningkat dengan meningkatnya waktu interaksi dan adsorpsi berlangsung relatif cepat sebelum 5 menit. Pada interaksi 5-60 menit, baik Cd(II) maupun Pb(II) menunjukkan peningkatan adsorpsi yang cukup signifikan, namun demikian pertambahan waktu interaksi yang semakin besar relatif tidak menambah jumlah logam yang teradsorp. Dengan kata lain pertambahan jumlah logam yang teradsorp tidak sebanding dengan pertambahan waktu interaksi. Hal ini dapat dikatakan bahwa adsorpsi telah mencapai keseimbangan. Telah diketahui bahwa, asam humat baik fraksi terlarut maupun fraksi tak larut dapat berinteraksi dengan ion logam. Oleh karena itu, pada penelitian ini juga dipelajari interaksi Cd(II) dan Pb(II) dengan asam humat baik fraksi tak larut maupun fraksi terlarut. Hasil penelitian pengaruh waktu interaksi terhadap spesiasi Cd(II) dan Pb(II), yaitu Cd(II) dan Pb(II) yang teradsorp, terhidrat maupun yang membentuk kompleks dengan asam humat ditunjukkan pada Gambar 4.4.2 dan 4.4.3.
Gambar 4.4.2. Pengaruh waktu interaksi terhadap spesiasi Cd(II) dengan asam humat
Gambar 4.4.3. Pengaruh waktu interaksi terhadap spesiasi Pb(II) dengan asam humat
Hasil penelitian yang terlihat pada Gambar 4.4.2 dan 4.4.3 menunjukkan bahwa jumlah Cd(II) dan Pb(II) yang membentuk kompleks dengan asam humat terlarut semakin menurun dengan meningkatnya waktu interaksi. Pada gambar tersebut juga terlihat bahwa proporsi jumlah Cd(II) yang membentuk kompleks Cd(II)-humat dengan jumlah logam Cd yang teradsorp
hamper sama. Hal ini sangat berbeda dengan Pb(II), dimana Pb(II) lebih banyak yang teradsorp dibandingkan yang membentuk kompleks Pb(II)-humat. Hal ini mengindikasikan bahwa Cd(II) lebih mudah membentuk kompleks dibandingkan Pb(II). Mudahnya Cd(II) membentuk kompleks Cd(II)-humat dibandingkan Pb(II) kemungkinan disebabkan Cd(II) memiliki orbital terluar d yang energinya match (setara) dengan orbital atom donor (atom ligan) sehingga saat ligan mendekati Cd(II) terjadi pemisahan (splitting) orbital d dan dihasilkan energi. Energi inilah yang digunakan untuk membentuk kompleks Cd(II)-humat. Akibat pembentukan kompleks Cd(II)-humat, kemungkinan Cd(II) memiliki kemampuan “membongkar‟ ikatan makromolekul asam humat baik antar maupun inter makromolekul asam humat, untuk membentuk ikatan Cd(II)-humat terlarut.
4.5. Adsorpsi Pb(II) oleh Karbon Aktif Kayu Matoa
Dalam percobaan ini menggunakan 2 model isoterm adsorbsi yaitu model adsorbsi Langmuir dengan pembuatan grafik hubungan C/ (x/m) vs C dan model adsorbsi Freundlich dengan pembuatan grafik hubungan log (x/m) vs log C. Dari kedua model adsorbsi kemudian didapat nilai konstanta KL dan q0 yang kemudian digunakan dalam pembuatan nilai isoterm adsorbsi menggunakan grafik hubungan antara konsentrasi akhir vs kapasitas adsorbsi model.
Langkah terakhir dilakuan penentuan model kinetika adsorbsi menggunakan 5 variasi waktu dengan 2 model kinetika adsorbsi. Model kinetika adsorbsi Langmuir dilakukan pembuatan grafik hubungan ln (Co/C) / Co-Cs vs t / (C0-C) sedangkan model kedua yaitu model Langmuir- Hinshelwoods-Santosa (LHS) denngan grafik hubungan t/C vs ln (Co/C) / C. Setelah didapat model regresi kemudian didapatkanlah nilai konstanta dari masing-masing.
Setelah semua data dianalisis didapatkan hasil bahwa karbon aktif yang dihasilkan dengan pengaktifan H2SO4 5% dan pemanasan pada suhu 300oC secara umum memenuhi Standar Industri Indonesia No.0258-79. Oleh karena itu, kayu matoa yang digunakan sebagai bahan pembuatan karbon aktif dapat digunakan sebagai bahan penjerap limbah cair yang mengandung logam berat khususnya timbal (II). Karakteristik penjerapan karbon aktif dan karbon pada penelitian ini mengikuti isoterm adsorpsi Langmuir dimana diasumsikan kontak adsorbat terhadap adsorben terjadi pada lapisan tunggal situs-situs aktif yang berada pada permukaannya. Model kinetika adsorpsi karbon dan karbon aktif menggunakan model kinetika
adsorpsi Langmuir-Hinshelwood-Santosa (LHS). Pada penelitian ini nilai adsorpsi karbon aktif lebih baik bila dibandingkan dengan karbon, dimana bertambahnya konsentrasi polutan mengakibatkan konsentrasi akhir yang didapat akan semakin besar namun peningkatan konsentrasi akhir karbon aktif tidak sebesar penambahan konsentrasi akhir pada karbon.
BAB V KESIMPULAN
Dari penelitian tersebut maka dapat disimpulkan:
1. Laju adsorpsi kitosan hasil isolasi terhadap Pb (II) berkisar antara 2,977.10-7 sampai 3,275.10-7 mol/L. menit.
2. Ion logam berinteraksi dengan lempung pada waktu optimum 15 menit dan hampir mencapai kesetimbangan pada saat 300 menit untuk lempung kalsinasi 300oC (L1), sedangkan waktu optimum penyerapan pada lempung alam, yaitu 120 menit setalah itu daya serap menurun.
3. Kenaikkan suhu menurunkan laju adsorpsi Pb pada abu sekam padi. Kenaikkan berat adsorben dalam larutan akan mempercepat laju adsorpsi Pb pada abu sekam padi. Model kinetika Langmuir bisa diterapkan pada peristiwa adsorpsi Pb pada abu sekam padi terutama untuk berat adsorben yang kecil.
4. Laju adsorpsi logam Pb(II) dan Cd(II) pada asam humat merupakan orde satu. Laju adsorpsi Pb(II) lebih besar dibandingkan Cd(II) dengan konstanta laju adsorpsi Pb(II) sebesar 3,8 x 10-3 menit-1 sedangkan Cd(II) sebesar 1,2 x 10-3 menit-1.