• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

4.2.2. Pengaruh Waktu Kontak

Untuk menentukan daya serap lempung berdasarkan pengaruh waktu kontak gambar 3 dengan variasi waktu kontak 5, 60, 120, ,300 dan 420 menit. Adsorpsi kation Pb2+ oleh lempung Talanai berjalan sangat cepat dalam 60 menit pertama, setelah itu mulai melambat dan mendekati kesetimbangan pada waktu 120 menit untuk 105oC. Pada waktu 300 dan 420 menit daya serap semakin berkurang dengan kata lain lempung mengalami desorpsi. Namun seiring dengan bertambahnya waktu kontak maka jumlah situs aktif permukaan semakin berkurang sehingga laju adsorpsi kation Pb(II) berkurang sampai mencapai kesetimbangan (Muhdarina dkk, 2012). Pada awal adsorpsi, peristiwa adsorpsi lebih dominan dibandingkan dengan peristiwa desorpsi, sehingga adsorpsi berlangsung cepat. Pada waktu tertentu peristiwa adsorpsi berlangsung lambat, dan sebaliknya laju desorpsi cenderung meningkat. Peristiwa desorpsi terjadi karena

pengocokan pada larutan tetap dilakukan yang mengakibatkan ikatan adsorben dengan adsorbat putus karena tidak terikat kuat. Ikatan yang terjadi adalah ikatan Vander Walls (Nasution, 2009).

Gambar 4.2.2.1. Grafik daya serap lempung berdasarkan pengaruh waktu dengan konsentrasi awal 10 mg/L adsorben 0,2 gram dan suhu 30oC

Pada L1 bahwa ion logam dengan lempung berinteraksi dan mulai melambat dan hampir mendekati kesetimbangan pada waktu 300 menit. Pada awal adsorpsi, situs aktif pada permukaan lempung terbuka seutuhnya untuk Pb(II). Hal ini menyebabkan lebih banyak ion Pb(II) yang terserap pada permukaan adsorben, setelah permukaan lempung jenuh dengan Pb(II) maka tidak terjadi lagi peningkatan daya serap. Bertambahnya waktu kontak maka jumlah ion logam yang teradsorpsi semakin banyak, namun pada waktu tertentu jumlah ion logam yang teradsorpsi semakin berkurang karena sebagian besar permukaan aktif lempung telah berikatan dengan kation logam. Pada batas waktu tertentu tercapai keadaan setimbang (lempung tidak mampu menyerap logam) atau permukaan lempung telah jenuh. Penyebab lain, dengan bertambahnya waktu maka semakin banyak terbentuk kation terhidrat dengan jari-jari yang lebih besar dari pada jari-jari ion logamnya sehingga menghalangi proses adsorpsi (Erdem dkk, 2004).

4.3. Adsorpsi Pb(II) oleh Abu Sekam

Kesetimbangan Adsorpsi Pb padaabu sekam padi didekati dengan model isoterm Langmuir dan didapat nilai Cs dan K seperti ditampilkan pada tabel 4.3.1.

Tabel 4.3.1. Parameter-parameter Pada model Isoterm Langmuir

Dari tabel 1 terlihat bahwa nilai CS berkurang dengan kenaikan suhu seperti dinyatakan oleh Do (1998). Nilai K yang bertambah dengan kenaikan suhu berarti proses adsorpsi ini merupakan adsorpsi yang endotermik.

Tabel 4.3.2. Data Konstanta Desorpsi pada Berbagai Suhu dan Berat Adsorben

Tabel 4.3.3. Data Parameter Ed dan Kd∞

Pada tabel 4.3.2 terlihat bahwa jika suhu dinaikkan maka konstanta desorpsi (kd) justru menurun dan pada tabel 3 bisa dilihat bahwa Ed bernilai negatif. Ini berarti desorpsi yang terjadi adalah secara eksotermik, berlawanan dengan adsorpsi yang terjadi yaitu secara endotermik.

Gambar 4.3.1. Grafik Hubungan Konsentrasi Pb dalam urutan dengan waktu untuk berat adsorben 1 gram

Gambar 4.3.2. Grafik Hubungan Konsentrasi Pb dalam larutan dengan waktu untuk berat adsorben 5 gram

Gambar 4.3.3. Grafik Hubungan Konsentrasi Pb dalam larutan dengan waktu untuk berat adsorben 8 gram

Gambar 4.3.3. Grafik Hubungan Konsentrasi Pb dalam larutan dengan waktu untuk berat adsorben 15 gram

Terlihat pada gambar 4.3.2, 4.3.3, 4.3.4 dan 4.3.5, kenaikkan suhu ternyata justru menurunkan laju adsorpsi terutama untuk berat adsorben yang relatif besar. Ini menunjukkan bahwa laju adsorpsi yang terjadi (secara endotermik) lebih kecil dari pada laju desorpsi (secara eksotermik). Terlihat pula bahwa model kinetika Langmuir cukup baik dalam mendekati data percobaan, sehingga mekanisme yang menganggap adsorpsi ini terjadi secara fisika bisa diterima

terutama pada berat adsorben yang kecil, sedangkan untuk berat adsorben yang besar kurang sesuai.

Gambar 4.3.2, 4.3.3, 4.3.4 dan 4.3.5, serta tabel 4.3.1 dan 4.3.2 menunjukkan bahwa makin banyak berat adsorben yang ditambahkan akan mempercepat laju adsorpsi sekaligus makin memperbesar jumlah yang terjerap. Jumlah adsorben yang makin banyak akan memberikan luas permukaan yang makin besar bagi adsorbat untuk terdesorpsi. Selain itu makin banyak jumlah adsorben juga akan member kesempatan kontak yang makin besar dengan molekul-molekul adsorbat.

4.4. . Adsorpsi Pb(II) oleh Asam Humat

Untuk mengetahui laju adsorpsi Cd(II) dan Pb(II) pada asam humat, dilakukan penelitian dengan cara menginteraksikan asam humat dengan Cd(II) dan Pb(II) dengan konsentrasi tertentu dan waktu interaksi yang bervariasi. Waktu interaksi yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan adsorpsi dapat digunakan sebagai ukuran laju reaksi. Semakin sedikit waktu interaksi, maka semakin tinggi laju reaksi. Apabila keseimbangan adsorpsi telah tercapai, penambahan waktu interaksi tidak menambah jumlah logam yang teradsorp.

Oscik (1982) menyatakan bahwa adsorpsi dari fase gas maupun larutan umumnya adsorbat menuju ke permukaan adsorben dalam waktu relatif pendek, sedangkan keseimbangan adsorpsi memerlukan waktu yang lebih lama. Hasil penelitian pengaruh waktu interaksi terhadap adsorpsi Pb(II) dan Cd(II) pada asam humat ditunjukkan pada Gambar 4.4.1.

Gambar 4.4.1. Pengaruh Waktu interaksi terhadap adsorpsi Pb(II) dan Cd(II) pada asam humat

Berdasarkan Gambar 4.4.1 terlihat bahwa adsorpsi Cd(II) dan Pb(II) pada asam humat memiliki kecenderungan yang sama yaitu terus meningkat dengan meningkatnya waktu interaksi dan adsorpsi berlangsung relatif cepat sebelum 5 menit. Pada interaksi 5-60 menit, baik Cd(II) maupun Pb(II) menunjukkan peningkatan adsorpsi yang cukup signifikan, namun demikian pertambahan waktu interaksi yang semakin besar relatif tidak menambah jumlah logam yang teradsorp. Dengan kata lain pertambahan jumlah logam yang teradsorp tidak sebanding dengan pertambahan waktu interaksi. Hal ini dapat dikatakan bahwa adsorpsi telah mencapai keseimbangan. Telah diketahui bahwa, asam humat baik fraksi terlarut maupun fraksi tak larut dapat berinteraksi dengan ion logam. Oleh karena itu, pada penelitian ini juga dipelajari interaksi Cd(II) dan Pb(II) dengan asam humat baik fraksi tak larut maupun fraksi terlarut. Hasil penelitian pengaruh waktu interaksi terhadap spesiasi Cd(II) dan Pb(II), yaitu Cd(II) dan Pb(II) yang teradsorp, terhidrat maupun yang membentuk kompleks dengan asam humat ditunjukkan pada Gambar 4.4.2 dan 4.4.3.

Gambar 4.4.2. Pengaruh waktu interaksi terhadap spesiasi Cd(II) dengan asam humat

Gambar 4.4.3. Pengaruh waktu interaksi terhadap spesiasi Pb(II) dengan asam humat

Hasil penelitian yang terlihat pada Gambar 4.4.2 dan 4.4.3 menunjukkan bahwa jumlah Cd(II) dan Pb(II) yang membentuk kompleks dengan asam humat terlarut semakin menurun dengan meningkatnya waktu interaksi. Pada gambar tersebut juga terlihat bahwa proporsi jumlah Cd(II) yang membentuk kompleks Cd(II)-humat dengan jumlah logam Cd yang teradsorp

hamper sama. Hal ini sangat berbeda dengan Pb(II), dimana Pb(II) lebih banyak yang teradsorp dibandingkan yang membentuk kompleks Pb(II)-humat. Hal ini mengindikasikan bahwa Cd(II) lebih mudah membentuk kompleks dibandingkan Pb(II). Mudahnya Cd(II) membentuk kompleks Cd(II)-humat dibandingkan Pb(II) kemungkinan disebabkan Cd(II) memiliki orbital terluar d yang energinya match (setara) dengan orbital atom donor (atom ligan) sehingga saat ligan mendekati Cd(II) terjadi pemisahan (splitting) orbital d dan dihasilkan energi. Energi inilah yang digunakan untuk membentuk kompleks Cd(II)-humat. Akibat pembentukan kompleks Cd(II)-humat, kemungkinan Cd(II) memiliki kemampuan “membongkar‟ ikatan makromolekul asam humat baik antar maupun inter makromolekul asam humat, untuk membentuk ikatan Cd(II)-humat terlarut.

4.5. Adsorpsi Pb(II) oleh Karbon Aktif Kayu Matoa

Dalam percobaan ini menggunakan 2 model isoterm adsorbsi yaitu model adsorbsi Langmuir dengan pembuatan grafik hubungan C/ (x/m) vs C dan model adsorbsi Freundlich dengan pembuatan grafik hubungan log (x/m) vs log C. Dari kedua model adsorbsi kemudian didapat nilai konstanta KL dan q0 yang kemudian digunakan dalam pembuatan nilai isoterm adsorbsi menggunakan grafik hubungan antara konsentrasi akhir vs kapasitas adsorbsi model.

Langkah terakhir dilakuan penentuan model kinetika adsorbsi menggunakan 5 variasi waktu dengan 2 model kinetika adsorbsi. Model kinetika adsorbsi Langmuir dilakukan pembuatan grafik hubungan ln (Co/C) / Co-Cs vs t / (C0-C) sedangkan model kedua yaitu model Langmuir- Hinshelwoods-Santosa (LHS) denngan grafik hubungan t/C vs ln (Co/C) / C. Setelah didapat model regresi kemudian didapatkanlah nilai konstanta dari masing-masing.

Setelah semua data dianalisis didapatkan hasil bahwa karbon aktif yang dihasilkan dengan pengaktifan H2SO4 5% dan pemanasan pada suhu 300oC secara umum memenuhi Standar Industri Indonesia No.0258-79. Oleh karena itu, kayu matoa yang digunakan sebagai bahan pembuatan karbon aktif dapat digunakan sebagai bahan penjerap limbah cair yang mengandung logam berat khususnya timbal (II). Karakteristik penjerapan karbon aktif dan karbon pada penelitian ini mengikuti isoterm adsorpsi Langmuir dimana diasumsikan kontak adsorbat terhadap adsorben terjadi pada lapisan tunggal situs-situs aktif yang berada pada permukaannya. Model kinetika adsorpsi karbon dan karbon aktif menggunakan model kinetika

adsorpsi Langmuir-Hinshelwood-Santosa (LHS). Pada penelitian ini nilai adsorpsi karbon aktif lebih baik bila dibandingkan dengan karbon, dimana bertambahnya konsentrasi polutan mengakibatkan konsentrasi akhir yang didapat akan semakin besar namun peningkatan konsentrasi akhir karbon aktif tidak sebesar penambahan konsentrasi akhir pada karbon.

BAB V

Dokumen terkait