• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Mengapa Kita (Harus) 1Meneliti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF Mengapa Kita (Harus) 1Meneliti"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Mengapa Kita (Harus) Meneliti

1

Putu Laxman Pendit

Pengantar

Mengapa kita meneliti? Ini pertanyaan gampang yang sulit dijawab.

Pertanyaan itu gampang karena mengandung kata “mengapa”, dan ini adalah pertanyaan yang sederhana. Saking sederhananya, setiap orang dapat mengajukan pertanyaan yang dimulai dengan “mengapa” atau “kenapa”. Memang begitu tabiat manusia, setiap hal atau setiap kegiatan manusia lain selalu dapat dipertanyakannya.

Bukannya kepo, tapi memang begitulah!

Kalau ada seseorang melakukan sesuatu, seringkali kita bertanya, “Mengapa kamu lakukan itu?” Mengapa kamu sarapan nasi pecel? Mengapa kamu nyengir-nyengir?

Mengapa kamu naik motor? Mengapa kamu pulang malam-malam? Mengapa kamu menolak cintaku? Dan pertanyaan yang paling menyebalkan tentunya adalah kenapa kamu masih jomblo. Menyebalkan sekali.

Ya. Mengapa? Mengapa kita meneliti? Pertanyaan “mengapa” ini juga terkadang samar-samar mengandung posisi sosial. Seolah-olah pihak yang bertanya memegang hak lebih tinggi dari yang ditanya. Apalagi kalau ada tuntutan, ada urgensi, di dalam nada bertanyanya. Mengapa kamu nyengir-nyengir dan menolak cintaku!? Pertanyaan ini pasti diajukan oleh orang yang kecewa dan menuntut jawaban. Dan pertanyaan itu lagi, yang paling menyebalkan, “Kenapa kamu belum menikah?!”. Menyebalkan sekali.

Namun kita juga seharusnya melihat maksud baik di balik pertanyaan

“mengapa”. Pertanyaan ini mengandung pula naluri dasar manusia, yakni naluri ingin tahu. Inilah naluri yang seringkali amat membedakan manusia dari mahluk lainnya. Sebuah pertanyaan “mengapa”

juga mengandung keingintahuan tentang maksud dan tujuan. Mengapa kamu makan nasi pecel? Mengapa tidak makan nasi goreng? Karena saya anak Malang, doyannya sego pecel!

1 Makalah pengantar - Kuliah Tamu Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya - “Fondasi Keilmuan dan Metode Penelitian di Bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi”, Malang 5 Maret 2018.

(2)

Mengapa meneliti? Dan mengapa meneliti bidang perpustakaan dan informasi?

Jawabannya pasti bukan karena saya anak Malang! Mari kita jawab satu per satu.

Meneliti dan Rasa Ingin Tahu

Kita boleh mengatakan bahwa penelitian adalah ciri khas dunia akademik, tetapi sebenarnya setiap orang berhak (dan cenderung) melakukan penelitian. Naluri dasar

“ingin tahu” adalah pendorong utamanya. Semua manusia ingin tahu, dan semua keingin-tahuan mendorong manusia melakukan penelitian. Hidup tahu!!

Bahkan dapat dikatakan, seluruh gerakan kehidupan dan peradaban manusia sebenarnya didorong oleh keingin-tahuan. Bentuk keingintahuan ini bisa sangat mendasar, misalnya dalam bentuk pertanyaan, siapa yang menciptakan semesta ini? Namun juga bisa menyangkut kesehari-harian, dalam bentuk pertanyaan, siapa dia yang begitu menarik perhatianku itu?

Pertanyaan tentang “apa” atau “siapa” memang cenderung mendasar. Lalu biasanya diikuti dengan pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana”. Pertanyaan lain, yaitu “di mana” biasanya lebih merupakan pelengkap dari keseluruhan perangkat keingintahuan manusia.

Tanpa perangkat-perangkat ini, manusia bisa kehilangan kemanusiaannya. Jika dalam keseluruhan hidup kita, tak sekali pun kita pernah mengajukan salah satu dari pertanyaan itu, maka jangan-jangan kita adalah robot.

Pendek kata, meneliti adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Unsur dasar dari penelitian adalah keingintahuan yang dapat terdiri dari pertanyaan-pertanyaan tentang Apa, Siapa, Mengapa, Bagaimana, dan Di mana. Di bidang akademik, kegiatan meneliti ini bahkan menjadi pra-syarat, sedemikian rupa sehingga kinerja seorang insan akademik cenderung diukur dengan sejauh-mana minatnya untuk meneliti.

Dalam proses belajar, setiap orang yang masuk ke dunia akademik juga harus melakukan penelitian, yang hasilnya akan dilaporkan dalam bentuk skripsi. Lalu, skripsi itu diuji dan kemudian hasilnya akan menentukan apakah orang itu berhak menyandang gelar Sarjana. Dan kalau sudah sarjana, muncul lagi pertanyaan menyebalkan itu, kenapa kamu masih jomblo?

Jadi, mengapa kamu meneliti? Karena ingin jadi Sarjana. Itu betul!

Dunia akademik agak berbeda dari dunia lainnya, sebab di dunia akademik kegiatan meneliti mendapat penghargaan dan ganjaran berupa gelar serta posisi sosial tertentu. Dunia akademik juga merupakan komunitas (masyarakat) yang dilengkapi dengan peraturan dan nilai yang bersifat khusus. Seringkali, peraturan dan nilai ini tidak dapat digunakan di luar

(3)

dunia akademik. Misalnya, tidaklah mungkin kita membuat peraturan – Semua calon pacar saya harus melakukan penelitian dan menulis skripsi. Nanti, jangan-jangan kamu malah tidak punya pacar seumur hidup!

Peraturan dan nilai di dalam dunia akademik dibuat sedemikian rupa sehingga rasa ingin tahu tersalurkan secara teratur untuk mencapai suatu tingkat kehidupan tertentu.

Tingkat kehidupan di dunia akademik ini secara khusus pula ditandai oleh tingkat pengetahuan yang semakin lama semakin tinggi. Untuk mencapainya, dunia akademik melakukan penelitian secara seksama, teratur, dan bertanggungjawab. Dengan kata lain, dunia akademik melakukan apa yang disebut dengan disiplin. Lalu, semua yang dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan itu disebut dengan ilmu. Maka jangan heran kalau kita sering mendengar pasangan kata ini – disiplin ilmu.

Jadi, mengapa kamu meneliti? Karena ingin memiliki disiplin ilmu. Itu benar!

Masyarakat akademik dan disiplin ilmunya berkembang menjadi berbagai kelompok, dan setelah ratusan tahun berkembang kini kita memiliki ratusan kelompok pula.

Tidak saja kita punya kelompok-kelompok besar seperti disiplin ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu budaya, tetapi juga kelompok-kelompok yang lebih kecil, seperti disiplin ilmu komunikasi, ilmu manajemen, psikologi, kedokteran, sastra. Dan bahkan yang lebih kecil lagi, seperti ilmu lingkungan, ilmu fisika-kedokteran, ilmu antropologi-perkotaan, ilmu rekayasa-intelegensi-buatan. Tentu saja juga: Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Jangan lupa yang satu ini!

Jadi, mengapa kamu meneliti? Karena ingin jadi Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Itu yang PALING benar!

Ontologi dan Epistemologi

Kita meneliti karena kita ingin memiliki pengetahuan tentang sebuah disiplin ilmu tertentu, agar dapat menyandang gelar Sarjana secara bertanggungjawab.

Tadi kita menyinggung-nyinggung soal disiplin dan soal masyarakat akademik.

Sebenarnya, ilmu apa pun memang tidak dapat lepas dari dua hal itu. Disiplin lah yang membuat sebuah ilmu memiliki keseksamaan dan tanggungjawab. Masyarakat akademik lah yang memastikan disiplin itu ditegakkan dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mencapai kondisi ini, masyarakat akademik membuat aturan-aturan yang ketat. Sekaligus pula, masyarakat akademik berupaya menegakkan prinsip bahwa manusia sebenarnya harus tetap tidak-sombong (atau dalam bahasa Inggris, harus humble). Bukan rendah-diri, tetapi merendah, alias rendah-hati.

Salah satu wujud dari kerendah-hatian ini adalah upaya membuat batas-batas yang cukup tegas antar berbagai disiplin ilmu, sebab manusia tidak mungkin tahu segalanya. Pengetahuan manusia amat terbatas, sehingga untuk mencapai kualitas pengetahuan yang tinggi, maka sebaiknya penelitiannya pun dibatasi secara agak ketat. Bahkan dunia akademik juga secara tegas membuat batas tentang apa yang dimaksud dengan “pengetahuan”, apa yang dimaksud dengan pengakuan bahwa kita (manusia) sudah “mengetahui” sesuatu.

(4)

Maka kita lalu bicara tentang ONTOLOGI dan EPISTEMOLOGI. Dua kata ini memang kedengarannya keren atau juga agak “mengerikan”. Padahal makna keduanya cukup sederhana.

Ontologi dapat diterjemahkan ke dalam bahasa awam dalam bentuk pertanyaan, “Apa, sih, yang kamu teliti?” Jawabannya pun bisa sangat sederhana. Misalnya, “Saya mau meneliti sego pecel”. Nah, dalam hal ini sego pecel adalah unsur ontologi. Namun di dunia akademik, jawaban seperti itu tidak memuaskan, karena kita akan dikejar oleh pertanyaan berikutnya, “Apaan, tuh, sego pecel?” Jawabannya tidak lagi bisa sesederhana yang sebelumnya. Kita harus dapat menjelaskan semua ciri-ciri sego pecel, mungkin mulai dari bentuk dan warnanya, bahan-bahannya, rasanya, tempat membelinya, tampang penjualnya, situasi sekitar tempat berjualannya, harganya, tingkat kesedapannya, jumlah butir nasinya, keragaman bumbunya, atau bahkan sampai sejarah sego pecel di Malang.

Jadi, nasi pecel -eh, ontologi- adalah sifat-sifat dasar dari apa yang kita teliti.

Ontologi ini segera berkaitan dengan epistemologi, sebab di dunia akademik kita akan dicecar dengan pertanyaan berikutnya,

Lho, bagaimana kamu bisa tahu tentang sego pecel?”. Jawabannya bisa sangat sederhana pula. Misalnya, “Lha, wong saya anak Malang!”.

Nah, dalam hal ini pengakuan ‘aku arek Malang’ adalah bagian dari epistemologi.

Namun sekali lagi di dunia akademik, jawaban seperti itu dianggap terlalu sederhana atau main-main.

Kita akan dikejar dengan pertanyaan berikutnya, “Emangnya, anak Malang itu siapaaaaaa sih?” (ini gaya bertanya yang rada kenes, gitu!). Jawabannya tidak lagi bisa sederhana. Kita harus menjelaskan siapa diri kita, bagaimana posisi kita dalam kaitannya dengan sego pecel, mungkin juga harus menjelaskan mengapa sampai terpikat sego pecel dan apakah kita punya pengalaman-pengalaman sebelumnya tentang makanan itu. Pendek kata, kita menjelaskan diri kita sebagai seseorang yang akan meneliti sego pecel.

Dalam bahasa kerennya, kita menjelaskan posisi ilmiah kita ketika berhadapan (vis a vis) dengan sego pecel. Lewat penjelasan ini, kita memastikan bahwa apa pun yang akan kita ketahui tentang sego pecel itu dapat dipertanggungjawabkan, sebab kita sudah menjelaskan bagaimana juntrungannya. Kita sudah menjelaskan epistemologi penelitian tentang sego pecel. Sekaligus, kita juga menjelaskan pedekate (pendekatan) terhadap sego pecel, yaitu cara kita memberlakukan sego pecel sebagai sesuatu yang akan kita teliti.

Tetapi ini belum cukup juga! Di dunia akademik, seseorang yang sudah menjelaskan sifat-sifat dasar hal yang ditelitinya (ontologi), dan sudah menjelaskan posisi dan pengetahuan serta pendekatannya terhadap hal yang diteliti itu (epistemologi),

(5)

dianggap belum siap meneliti kalau dia tidak bisa menjelaskan urut-urutan kegiatan yang akan dilakukannya. Dia akan dicecar dengan pertanyaan, “Gimana caranya kamu neliti sego pecel?”

Nah, jawaban tentang “bagaimana caranya meneliti” ini secara keseluruhan disebut metodologi. Di dalam metodologi inilah kita mempersoalkan langkah-langkah penelitian, sesuai dengan ontologi (sifat dasar obyek yang diteliti) dan epistemologi (posisi peneliti, cara peneliti mengetahui apa yang diteliti). Keseluruhan ontologi, epistemologi, dan metodologi ini merupakan PARADIGMA penelitian. Kata

‘paradigma’ dalam konteks akademik dan ilmu pengetahuan ini dipopulerkan oleh Thomas Kuhn yang menulis The Structure of Scientific Revolution (1962) tentang sebuah “keyakinan bersama” (shared beliefs) di kalangan sekelompok ilmuwan untuk membatasi kegiatan mereka. Batasan tersebut adalah dalam hal:

1. apa yang diteliti,

2. pertanyaan dan persoalan apa yang dapat diajukannya terhadap sesuatu yang diteliti itu,

3. bagaimana mengumpulkan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan dan persoalan yang diajukannya,

4. serta bagaimana memberikan arti bagi hasil penelitian.

Kalau kita ingin meneliti, maka sebenarnya kita ingin menjawab empat pertanyaan di atas, bukan? Kalau kita ingin meneliti bidang perpustakaan dan informasi, maka sebenarnya kita melakukan kegiatan sebagai anggota dari sekelompok ilmuwan yang terbatas. Kelompok ini punya disiplin ilmu tertentu, peraturan-peraturan tertentu, dan nilai-nilai tertentu. Jika kita ingin menjadi Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi, maka kita pun harus tahu peraturan dan nilai-nilai di kelompok ini. Ya, nggak!?

Kepustakawanan, Ilmu Perpustakaan, Ilmu Informasi

Sudah barang tentu, kita tidak ingin menjadi Sarjana Sego Pecel (yaitu sarjana yang sewaktu masih mahasiswa, makannya hanya sego pecel!). Kita ini menjadi sarjana di bidang perpustakaan dan informasi. Nah, pertanyaan yang sama dapat diajukan oleh orang lain, “Apa itu bidang perpustakaan dan informasi?” sama dengan pertanyaan,

Apa itu sego pecel?” Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita luruskan dulu beberapa pengertian yang sering rancu dan tercampur-aduk.

Pertama-tama, ada istilah kepustakawanan, atau terjemahan dari librarianships.

Akhiran –ships pada dasarnya merupakan wujud penghormatan terhadap sekelompok orang dengan keterampilan tertentu yang berharga untuk masyarakatnya. Seperti entrepeneurships (penghargaan kepada kaum yang piawai dalam wirausaha), seamanships (penghormatan untuk para pelaut), citizenships (rujukan kepada nilai tinggi beberapa warganegara terhormat). Kepustakawanan adalah keseluruhan kegiatan yang memerlukan keterampilan yang dihargai oleh masyarakatnya. Di dalam kepustakawanan ada lembaga (institusi), profesi, masyarakat pengguna, kegiatan, nilai, norma, tata krama, dan sebagainya. Jika Anda merupakan salah satu dari pekerja di lembaga ini, maka Anda adalah bagian dari kepustakawanan. Jika Anda adalah salah satu anggota masyarakat yang memanfaatkan keberadaan perpustakaan, maka Anda adalah bagian dari kepustakawanan.

(6)

Ketika masalah-masalah di bidang perpustakaan menjadi demikian pelik dan menimbulkan kebutuhan solusi-solusi yang beragam, maka mulailah terpikirkan upaya untuk mempelajari bidang ini dengan memakai sistematika dan pola yang ilmiah. Maka lahirlah Ilmu Perpustakaan. Dengan kata lain, harap dibedakan antara Kepustakawanan (sebagai kumpulan tradisi, institusi, serta praktik-praktik yang berkaitan dengan perpustakaan), dan Ilmu Perpustakaan (sebagai upaya ilmiah untuk memahami berbagai persoalan kepustakawanan).

Pada akhir Perang Dunia II, muncul pula suatu upaya untuk memahami pemanfaatan teknologi komputer dalam pengelolaan informasi. Sebenarnya, teknologi komputer dapat dilihat sebagai alat terbaru dari Kepustakawanan, sebab Kepustakawanan memang pada dasarnya merupakan tradisi mengelola informasi di dalam bacaan- bacaan umat manusia. Namun karakter dan sifat pengelolaan informasi di jaman berbantuan komputer dan di jaman tidak-ada-komputer, tentu berbeda. Sebab itu lah, kalau kita ingin mempelajari fenomena informasi di jaman berbantuan komputer, digunakanlah ilmu yang kemudian disebut Ilmu Informasi. Bagi masyarakat yang bersikukuh bahwa kepustakawanan, ilmu perpustakaan, dan ilmu informasi adalah kesinambungan yang alamiah, maka istilah yang dipakai pun adalah istilah majemuk yaitu “Ilmu Perpustakaan dan Informasi”.

Untuk lebih memahami ilmu ini, tentu saja kita perlu memahami ontologinya. Ayo kita bahas hal itu berikut ini.

Apa itu Pustaka?

Sama halnya ketika kita ingin mengetahui lebih banyak tentang sego pecel, maka kalau kita ingin mengetahui dan meneliti perpustakaan dan informasi maka kita juga harus dapat menjawab semua pertanyaan tentang apa itu perpustakaan dan informasi.

Jawaban-jawaban kita juga harus cermat dan sistematis.

Di dalam kata “perpustakaan” ada kata “pustaka”. Awalan per- dan akhiran –an menunjukkan bahwa kata perpustakaan berarti “urusan atau kegiatan yang berkaitan dengan pustaka”. Jadi kata dasarnya adalah pustaka.

Kata “pustaka” ini bukanlah kata orisinal bangsa Indonesia. Dari penelusuran tentang asal-muasal kata ini, ditemukan fakta bahwa akar-kata pustaka sudah digunakan petama kali oleh suku-suku bangsa di wilayah Persia yang kini menjadi Iran dan kemudian menyebar ke jazirah India. Lebih tepatnya, kata pustaka ini merupakan adaptasi bangsa India yang belajar tentang sistem tulisan dari bangsa Iran, khususnya dari rumpun bahasa yang biasa disebut Iran Pertengahan (Middle Iranian). Kata aslinya adalah post atau posta yang berarti “kulit binatang” dan merujuk ke material yang biasa digunakan oleh bangsa Iran untuk menerakan tulisan.. Ini menunjukkan bahwa bangsa Iran sudah lebih maju dari bangsa-bangsa lainnya di wilayah itu dari segi media dan “teknologi tulisan”.

Kata posta inilah yang dalam bahasa Sansekerta menjadi pusta dan lalu menjadi pustaka, kemudian orang Tibet mengenal poti. Dalam bahasa-bahasa Indo-Aryan kata ini muncul dalam berbagai bentuk, misalnya di bahasa Assam menjadi puthi, di

(7)

Bengali menjadi pustôk, di Bhojpuri ada kata pōthī, di Gujarat dikenal pustak, di Kashmiri menjadi pūthi, dan di Nepal menjadi pothi.

Patut juga kita pahami bahwa sejak pertama digunakan, bahasa tulisan dan teknik menerakan huruf pada medium ini merupakan sarana yang dianggap vital dan bahkan sakral. Kulit binatang sebagai medium ini kemudian dikenal sebagai perkamen (parchment). Sebelum manusia menggunakan kertas kasar sederhana (papirus) seperti yang digunakan di Timur Tengah, orang-orang Persia sudah menggunakan perkamen sebagai bahan untuk menerakan tulisan, seperti yang digunakan di arsip kerajaan Persia. Kelak kebiasaan menggunakan perkamen sebagai medium tulisan ini ditiru oleh orang-orang Romawi. Mereka segera menggunakan perkamen (yang kemudian disebut juga membrana) untuk mengganti tablet dari kayu atau tanah liat yang popular pada Abad 1 SM.

Tulisan dan perkamen dari kulit binatang ini juga kemudian berperan penting dalam penyebaran agama-agama sebelum datangnya agama-agama pewahyuan atau agama- agama samawi. Penelitian arkeologi menemukan bahwa kitab Avesta dan Zend ditulis di atas perkamen dari kulit lembu. Avesta orisinal konon ditulis di atas 12.000 lembar kulit lembu, dengan tinta emas. Karya ini dibakar bersama karya tulis lainnya ketika Alexander menyerbu dan membumihanguskan Parsgarde (Persepolis).

Begitulah kemudian kebiasaan tulis-menulis menggunakan medium yang mudah dibawa-bawa (portable) sekaligus tahan lama (durable) ini menyebar dan menjadi bagian dari setiap peradaban, termasuk peradaban berbasis Hindu di India. Walaupun orang-orang di India kemudian menggunakan bebagai bahan selain kulit binatang, namun kata pusta dan pustaka akhirnya dimaknai sebagai karya tulis yang diterakan di atas medium, khususnya dalam bentuk himpunan atau kumpulan. Lebih jauh lagi, istilah pustaka popular di abad 10 India ketika muncul penulis-penulis kawakan bangsa itu menghasilkan ke karya-karya yang dianggap bernilai tinggi, sementara untuk perpustakaan digunakan istilah lain seperti jnana bhandar (harafiah: gudang ilmu) atau sarasvati bhandar (harafiah: rumah dewi pengetahuan).

Makna yang memuliakan pustaka lebih dari sekadar medium tulisan semakin jelas terlihat dalam mitologi Hindu, khususnya yang berhubungan dengan dewi Saraswati, yang dipercaya sebagai perwujudan kuasa Tuhan dalam hal pengetahuan, seni, dan pendidikan. Dalam mitos dikatakan bahwa Dewi Saraswati memiliki empat tangan dan tangan pertama menggenggam pustaka – simbol dari dari Weda (kitab suci Hindu) sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran. Ketiga tangan lainnya masing- masing memegang mala (tasbih) sebagai simbol spiritualitas, pot air sebagai simbol penyucian pikiran, dan vina (alat musik menyerupai gitar). Simbolisasi seperti ini menandai makna pustaka yang sentral dalam perkembangan pengetahuan dan ilmu dalam mitologi Hindu.

Pustaka dan Buku

Kita di Indonesia menggunakan kata pustaka karena pengaruh kebudayaan India/Hindu di kerajaan-kerajaan Nusantara, sementara suku bangsa Melayu juga sudah menyerap kata dan makna pustaka ke dalam khasanah bahasa mereka. Patut dicatat, bahwa kata pustaka dipertahankan dan dimaknai secara spesial walaupun

(8)

bahasa Melayu (dan lalu juga bahasa kita) mengenal kata lain yang bemakna serupa, yaitu “buku”. Fakta ini menegaskan bahwa di dalam Bahasa Indonesia, arti kata pustaka sebenarnya bukan lah buku; juga bukan kitab, yang memiliki konotasi lain lagi.

Kata “buku” dibawa oleh pendatang Eropa. Di Indonesia, jelaslah bahwa kata ini diserap dari bahasa Belanda, boek, dan bahasa Inggris, book. Di kedua negara asalnya sendiri, digunakan kata yang berbeda antara boek atau book dengan bibliotheek dan library. Dengan kata lain – sama halnya dengan Indonesia dan Melayu – pustaka dan buku dimaknai secara terpisah, seperti orang Inggris membedakan antara libry dan book, atau orang Belanda membedakan antara biblio dan boek.

Kita tentu dapat menyimpulkan bahwa kata “buku” yang kita gunakan sekarang merujuk ke sebuah teknologi baru yang berbeda dari ketika kata “pustaka” digunakan di masa sebelum kolonialisme melanda Asia. Sejak awal jelas lah pula bahwa buku berhubungan dengan teknologi cetak. Dalam hal ini patut kita catat bahwa mesin cetak mekanis pertama yang menggunakan huruf Latin masuk ke Indonesia pada 14 Maret 1688 dari negeri Belanda. Mesin ini khususnya digunakan untuk penerbitan suratkabar2.

Dualisme istilah yang merujuk ke satu medium dengan latar-teknologi berbeda ini nanti dapat membantu kita memeriksa perbedaan makna yang sekarang kita gunakan antara “per-pustaka-an” dan “per-buku-an”. Patut kita garisbawahi, bahwa sebelum kolonialisme Belanda tiba di Indonesia, suku-suku bangsa di Nusantara sudah punya tradisi tulisan dan tradisi menyimpan media untuk keperluan-keperluan sosial-budaya.

Di Batak, ada kata “pustaha” yang sangat mirip dengan kata pustaka. Kata ini merujuk tak saja ke benda berbentuk buku, tetapi juga ke sebuah institusi budaya yang berkaitan dengan kepercayaan setempat, khususnya menyangkut hal yang keramat dan pernjujuman. Pustaha bukan sembarang buku, sebab mengandung penghormatan etnik terhadap kebajikan (wisdom) masa lampau.

Sedangkan di Jawa, para Raja, khususnya Raja di Solo dan di Yogyakarta, menggunakan kata pustaka misalnya dalam Rekso Pustoko dan Radya Pustaka untuk merujuk ke himpunan naskah penting yang amat berkaitan dengan falsafah hidup orang Jawa. Baik Rekso Pustoko maupun Radya Pustaka didirikan, dirawat, dan dikembangkan oleh Kerajaan; dan sampai masa tertentu hanya boleh digunakan oleh masyarakat terbatas.

Baik Pustaha maupun Pustaka, dengan kata lain, dapat diartikan "bukan buku sembarang buku"; dan bukan pula "kitab", yang kemudian juga dipakai dalam kata Alkitab. Kata pustaha maupun pustaka bukan merujuk ke bentuk (format) atau medium, melainkan ke fungsinya, dan lebih tepatnya: ke fungsi yang mulia, terhormat, berharga untuk mempertahankan suatu nilai lokal-tradisional tertentu.

2 Menarik untuk dicermati bahwa diperlukan hampir 200 tahun setelah mengimpor mesin cetak bagi Pemeintah Kolonial untuk mendirikan Percetakan Negara (berdiri pada tahun 1809 dengan nama

"Lands Drukkerij"). Setelah ada percetakan dokumen-dokumen negara, muncul pula teknologi pengarsipan yang lebih moderen, sekaligus menegaskan peran arsip dalam pemerintahan kolonal -- sebuah peran yang tidak sepenuhnya kita warisi setelah kemerdekaan.

(9)

Pengaruh Hindu, yang menggunakan bahasa Hindi, tentu tak dapat dipungkiri, namun masyarakat Indonesia rupanya sudah mengadopsi kata itu untuk keperluan khusus, dan menolak menggunakan kata yang langsung berhubungan dengan buku, seperti kitaba.

Pemerintah Kolonial Belanda menggunakan kata “pustaka” untuk sebuah institusi buatan mereka, yaitu Balai Pustaka. Dalam bahasa aslinya, institusi ini sebenarnya bernama Kantoor voor de Volklectuur, alias kantor yang mengurusi bacaan rakyat.

Institusi Belanda inilah yang memperkenalkan sebuah sistem baru yang meniru sistem di negara asal mereka, yaitu himpunan buku-buku (berbahasa Belanda maupun Indonesia) yang disediakan untuk masyarakat sebagai bacaan, baik bacaan pendidikan (khususnya di sekolah-sekolah dasar, atau sekolah rakyat) maupun untuk bacaan umum dalam bentuk “taman bacaan”.

Ketika Belanda angkat-kaki dari Indonesia, Kantoor voor de Volklectuur alias Balai Pustaka ini kita ambil alih dan dibagi menjadi dua. Pertama, tetap jadi Balai Pustaka sampai sekarang dan mengurusi penerbitan buku-buku bermutu, khususnya sastra.

Kedua menjadi biro yang mengurusi buku-buku untuk masyarakat. Biro inilah yang kemudian disebut Biro Perpustakaan. Di awal kemerdekaan, Pemerintah Indonesia mengubah semua taman-bacaan menjadi perpustakaan, dan itulah cikal bakal dari apa yang kini kita sebut Perpustakaan.

Apa itu Informasi?

Kata information mulai digunakan orang Inggris pada akhir Abad 14. Mereka mengambil kata ini dari bahasa Perancis Kuna, informacion, enformacion yang bermakna pemberian advis atau instruksi. Pada gilirannya orang Perancis mengambil dari bahasa Latin informationem (nomina informatio) yang bermakna "gagasan, konsep, atau pola pikir"3. Secara lebih spesifik, kamus Oxford menyatakan penggunakan kata kerja (informing) yang berkaitan dengan formasi atau pembentukan pikiran atau karakter, pertama kali terlacak tahun 1389. Kata ini digunakan dalam kegiatan pelatihan, instruksi, dan pengajaran4.

Dalam perkembangannya, pada pertengahan Abad 15, kata informasi dikaitkan dengan informare yang bermakna "pengetahuan yang dikomunikasikan". Bahkan sejak tahun 1450 sudah terlacak penggunaan kata informasi untuk menggambarkan pengkomunikasian pengetahuan tentang fakta, subjek, atau kejadian tertentu. Dengan kata lain, informasi dianggap membuat seseorang mengetahui atau terberitahu (informed).

Pembahasan etimologis ringkas di atas membuktikan bahwa sejak awal kata informasi memang berkaitan dengan hubungan antara dua pihak, dan menyangkut dua hal, yaitu (1) proses dari pemberi ke penerima, khususnya dalam pengertian pemberian advis atau instruksi, dan (2) mengandung pengetahuan yang dikomunikasikan. Selain itu,

3 Lihat Kamus Etimologi online (http://www.etymonline.com/ (diakses 27 Juni 2017).

4 The Oxford English Dictionary, 2nd edition, vol. VIII, Clarendon Press, Oxford, reprint 2006, hal.

944 – 945.

(10)

jelaslah bahwa kata informasi bersifat lebih spesifik dari kata-kata lain yang serupa, seperti pesan (message) atau berita (news), walaupun kedua yang terakhir ini juga berkaitan dengan kegiatan berkomunikasi.

Sampai dengan sebelum ditemukannya komputer, kata informasi masih berada di kisaran spesifik yang menyangkut pendidikan dan pengetahuan. Pembahasan di kalangan awam maupun akademik tak pernah memperluas makna informasi lebih dari itu. Perubahan mendasar dalam menggunakan kata informasi baru terjadi ketika kata ini disandingkan dengan kata ‘teknologi’ menjadi ‘teknologi informasi’ (information technology). Sejak itu, penggunaan kata informasi meluas sejalan dengan meluasnya penggunaan komputer dalam kehidupan manusia.

Pada tahun 1970-an mulailah popular kata-kata seperti ‘masyarakat informasi’

(information society) dan ‘era informasi’ (information era). Demikian pula pada tahun 1960-an muncul varian berupa kata informatics sebagai terjemahan langsung dari kata dalam bahasa Rusia, informatika, yang juga kita pakai di Indonesia. Khusus mengenai kata ini patut pula kita mengingat bahwa di dalam sistem pemerintahan Indonesia, Departemen Komunikasi dan Informatika dahulunya bernama Departemen Penerangan.

Semua pembicaraan di atas merujuk ke bagaimana kita mengartikan informasi, seperti halnya kita mengartikan pustaka. Tetapi apa yang sesungguhnya kita bisa tunjuk sebagai informasi, seperti kalau kita menunjuk ke buku sebagai sebuah benda. Apa sebenarnya wujud informasi itu? Untuk menjelaskannya, mari kita ambil contoh siaran langsung pertandingan sepakbola yang disiarka di televisi secara langsung.

Mungkin sedikit sekali di antara kita yang pernah bertanya, mengapa gol atau sepak- terjang di lapangan yang jauhnya puluhan-ribu kilometer itu dapat "langsung" hadir di layar yang terletak 150 cm di depan kita. Sebagian besar – kalau lah tidak dapat dikatakan semua – dari kita menerima saja bahwa itulah makna dari "siaran langsung".

Lebih sedikit lagi yang peduli, bahwa tendangan seorang pemain, misalnya Christianto Ronaldo yang ganteng itu, harus “ditangkap” terlebih dahulu oleh kamera di lapangan, lalu dikirim ke stasiun lokal, lalu ke stasiun nasional, lalu ke satelit, lalu mungkin ke satelit berikutnya, sebelum ke stasiun-stasiun di tempat lain, dan terus berjalan sepanjang kabel optik yang menjalar-jalar di atas maupun di bawah tanah (dan laut), sebelum akhirnya.... ya, akhirnya.... tiba di layar di depan kita. Sangat- sedikit di antara kita yang pernah ingin-tahu: "Ronaldo menendang bola" itu sebenar- benarnya apa? Gambar yang bergerak, kah? Semata-mata citra dan ilusi, kah? Oh..

tentu saja akan ada yang tahu: itu adalah pixels, itu adalah sebuah "permainan" sensasi mata (dan telinga, kalau kita juga mendengar suara kaki Ronaldo menghantam si kulit-bundar). Tetapi tak satu pun di antara penggemar sepakbola hendak percaya bahwa itu bukan realita. Tak satu pun percaya bahwa yang mereka lihat di layar itu bukan keadaan sebenarnya.

Padahal, yang sebenar-benarnya kita lihat di layar kaca itu adalah listrik! Listrik, lah, yang "berjalan" dari stadion ke layar kaca kita. Listrik, lah, yang "menyala" agar mata kita dapat menerima sensasinya. Listrik, lah, yang "langsung, segera, dan cepat" hadir di dua tempat sekaligus. Listrik adalah "enerji", maka sering pula disebut daya-listrik, atau bahkan "kekuatan" (power) seperti dalam kata "kekuatan listrik". Ia terdiri dari

(11)

partikel alias materi alias "sesuatu yang bersifat kebendaan" dalam bentuk amat- sangat-kecil. Partikel-partikel ini, lah, yang mengandung dan dipengaruhi daya sehingga bisa bergerak sangat cepat. Harap jangan dulu terkesima, kalau saya mengutip sebuah ukuran tentang kecepatan ini, yakni sekitar 300.000 km per detik.

Dari Surabaya, misalnya, sebuah elekron atau proton bisa sampai di Jakarta dalam waktu 0,0025 detik, atau jauh lebih cepat dari mata berkedip5.

Jadi, "Ronaldo menendang bola" adalah sekumpulan daya listrik atau sekumpulan benda-benda amat kecil, alias partikel, yang mengandung daya dan mampu melesat lebih cepat dari mata berkedip. Mungkin itu sebabnya jarang orang berkedip kalau nonton bola. Setibanya di layar kaca, partikel-partikel itu lesap ke lensa mata dan berubah menjadi reaksi kimia yang menimbulkan sensasi di otak.

Dari muasalnya di kamera di pinggir lapangan, sampai ke destinasinya di otak kita,

"siaran langsung" adalah sekumpulan partikel mengandung daya listrik. Contoh pertandingan bolakaki di atas dapat diganti dengan apa saja. Mulai dari perang di Timur Tengah, debat tentang religi antara kaum liberal dan ortodoks, harga minyak dunia, pengesahan dan kontroversi perkawinan sejenis, ramalan tentang kiamat, kampanye di Pilkada, harga daging sapi di pasaran, kekerasan dalam rumah tangga, inovasi mobil listrik, temuan arkeologi Gunung Padang, perjalanan wahana angkasa luar Galileo, korban tembakan drone di Suriah, sampai kucing-kucing jenaka di YouTube6.

Semua itu adalah listrik. Semua itu pula yang sekarang secara umum kita artikan sebagai informasi yang "sesungguhnya". Untuk sebagian (besar) dari kita, semua itulah yang merupakan realita sehari-hari. Sebagian (besar) dari kita tidak berada di Timur Tengah dalam peperangan, tidak menjadi bagian dari debat religius liberal versus ortodoks, tidak pernah punya preferensi seksual dengan sejenis, belum pernah mengalami kiamat, bukan calon dalam Pilkada mana pun, tidak terlibat dalam perdagangan daging, belum pernah mengalami kekerasan di rumah tangga, tidak punya kemampuan inovasi, tinggal jauh dari Gunung Padang, belum pernah pergi ke angkasa luar, tidak jadi korban drone, dan tidak punya kucing (apalagi yang jenaka).

Berkat listrik, semua yang tidak pernah kita alami itu kini dapat kita ketahui, sadari, akui, dan bahkan percayai "sebagaimana adanya" --sebagaimana seolah-olah kita berada di mana-mana itu! Berkat listrik pula, semua itu bersifat kini dan segera. Amat berbeda dengan masa ketika listrik belum jadi informasi (atau sebaliknya, ketika informasi belum berupa listrik). Waktu itu (mungkin sebagian dari Anda tidak

5 Sudah barang tentu, penjelasan tentang elektron, proton, dan gerakan serta kecepatannya tidaklah sederhana. Elekrtron bergerak berdasarkan percepatan yang ditimbulkan medan-listrik, selain juga karena saling bertumbukan satu sama lainnya. Semua ini terjadi di wilayah tak kasat mata yang menjadi kajian fisika kuantum. Di tulisan ini saya tak berpretensi mengulas kelistrikan secara akurat;

hanya memberikan gambaran kasar untuk ilustrasi yang menjelaskan makna kecepatan dalam konteks kelistrikan.

6 Citra dan sensasi yang ditimbulkan listrik bukanlah semata-mata "tanggungjawab" elektron dan proton. Ada proses kodifikasi yang mengubah suatu peristiwa "nyata" menjadi kode-kode tertentu yang dapat "dibaca" oleh perangkat-perangkat listrik, mulai dari kamera, sampai satelit dan pesawat televisi, komputer tablet, atau telepon genggam. Juga ada teknologi digitalisasi yang memungkinkan sinyal listrik berubah menjadi simbol dengan makna dan artian tertentu. Semua ini berlangsung secara cepat berkat bantuan teknologi yang akan terlalu rumit jika dijelaskan di sini.

(12)

mengalaminya), ke-kini-an dan ke-segera-an sebagaimana yang kita alami dan ketahui saat ini nyaris tidak ada, sebab tinta dan kertas tak bisa menghadirkan sebuah peristiwa secara "apa adanya dengan segera".

Bagaimanakah ke-listrik-an ini telah mengubah ke-informasi-an kita dan akhirnya mengubah pula ke-kini-an kita? Bagaimana pula hal-hal yang bersifat kebendaan (enerji, materi, partikel) menjadi begitu berperan dalam membentuk realita kita?

Bagaimana pula kita mengartikan semua ini dalam kaitannya dengan adagium "

information is neither matter nor energy, but it needs matter for its embodiment and energy for its communication."? Itulah yang kemudian menjadi bahan dari berbagai kajian, termasuk kajian dalam Ilmu Perpustakaan dan Informasi, terutama ketika komputer sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan mencari, menemukan, dan menggunakan informasi.

Mudah-mudahan dari penjelasan di atas, kita sudah dapat punya gambaran yang (agak) jelas tentang apa yang nanti akan kita teliti jika kita ingin meneliti di bidang Perpustakaan dan Informasi. Tentu saja, masih bayak diperlukan penjelasan untuk benar-benar dapat memahami keseluruhan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, tetapi penting untuk kita sadari bahwa hanya dua hal “kecil” yang kita perlukan untuk mencapai pemahaman yang benar dan lengkap.

Pertama, kita harus punya rasa ingin-tahu, harus punya ke-kepo-an, yang tinggi untuk bidang ini. Kedua, kita harus punya pengetahuan yang mendasar tentang ontologi sebuah ilmu. Jika kita sudah memahami apa yang dijelaskan di halaman-halaman di atas, maka kita sudah punya dua landasan itu.

Dan itu sudah cukup untuk melangkah lebih jauh, asalkan kamu mau melangkah!

Saya akan hentikan tulisan ini di sini dan akan lanjutkan pembahasan di pertemuan kita nanti.

Jatiluwih, 1 Maret 2018.

Putu Laxman Pendit

Referensi

Dokumen terkait

Ketika kita melakukan puasa, tidak ada orang lain yang tahu apakah kita benar-benar melakukannya dengan baik kecuali diri sendiri.. Tidak ada orang yang tahu kalau kita makan

Bisa juga terjadi, kalau kita adalah dai, maka kita memandang diri sebagai orang baik, sedangkan kejelekan ada pada orang yang mendengarkan ceramah kita.. Semoga

Pentingnya penafsiran beliau berhubungan dengan arti ayat dari point yang ingin dimunculkan disini yaitu tentang kematian, maka menurut penulis penting sekali kita fahami

Barangsiapa yang yang tergolong orang-orang yang sengsara[3] maka ia akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang yang sengsara itu.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa

Banyak dari kita ingin mengetahui apa yang salah ketika produk kita tidak..

Kita juga tidak perlu mencari penghormatan manusia karena kalau kita melayani dalam kebenaran, damai sejahtera, sukacita oleh Roh Kudus maka Tuhan sendiri yang

Kalau doa sudah menjadi kehidupan kita, maka reaksi pertama ketika menghadapi segala situasi adalah doa, karena kita percaya bahwa Tuhan adalah Allah di atas segala

Kita mungkin saja ingin membuat API yang dapat diakses oleh bahasa lain dengan mengembalikan interface yang generic sehingga kode client yang menggunakan API tersebut tidak