Sehagai seorang Diana Taylor, Ven. Tenzin Chonyi dulunya adalah seorang psikolog di Layanan Konseling Monash University dan setelahnya membuka praktik pribadi.Ketika sedang mengambil gelar doktor di Monash University, beliau juga mempelajari agama Buddha dan membesarkan tiga orang anaknya. Beliau menyelenggarakan lokakarya tentang ekspresi diri dan kesadaran diri bersama dengan Community Communications pada awalnya dan kemudian dengan Kag yu Evam Buddhist Institute. Beliau telah mengajar di Buddhist Summer School pada beberapa kesempatan. Ketika masih berstatus sebagai umat biasa di Tara Institute, Melbourne, beliau membimbing kelas meditasi dan berpartisipasi dalam Healing Workshops. Setelah menerima pentahbisan dari Yang Mulia Dalai Lama, beliau menjadi bhiksuni yang menetap di Atisha Centre dan aktif di kelompok bantuan sosial yang bertujuan meringankan penderitaan orang sakit serta di Karuna Hospice, Bendigo. Kemudian beliau menghabiskan empat tahun untuk mempelajari filosofi dan psikologi Agama Buddha di Chenrezig Nuns Community (cabang dari The Foundation for the Preservation of Mahayana Tradition) dengan Geshe Tashi Tsering melalui Buddhist Studies Program. Beliau diangkat menjadi `Gego' di Chenrezig Nuns Community dan meneruskan program pengajaran yang aktif sebagai seorang guru Barat terkenal yang mengajarkan Agama Buddha Tibet.
Selama tiga tahun berada di Sydney sebagai guru Barat di Vajrayana Institute, beliau telah mengajarkan Agama Buddha dari tingkat yang paling sederhana sampai dengan tingkat tinggi. Ven. Chonyi telah mengadakan lokakarya untuk kalangan umum, mengajar di konferensi antar agama dan menyelenggarakan lokakarya untuk psikolog dan ahli kesehatan lainnya untuk Buddhist Library di Camperdown. Beliau menulis artikel dan puisi untuk majalah Mandala, Dharma Vision, dan Sangha Magazine.
Saat ini beliau sedang menulis sebuah buku mengenai kecanduan dengan menggunakan psikologi Barat dan psikologi Buddhis. Beliau secara khusus ingin menjelaskan bagaimana ajaran Agama Buddha bisa relevan bagi semua orang dari segala jenis latar belakang dan segala jalur spiritual. Nenek lima cucu ini menemukan bahwa kehidupan keluarga membuatnya tetap terhubung dengan umat biasa dari segala usia. Beliau diwawancarai oleh The Star
tanggal 5 Mei 2006.
Beliau berbicara dalam seminar tentang Pikiran dan Potensinya tanggal 27 Agustus 2006 di Holiday Villa, Subang Jaya. Untuk rinciannya, silahkan buka situs: www.buddhistseminar.com untuk mendapatkan rincian acara yang juga menghadirkan Venerable Mahinda dan Dr. Tan Eng Kong dari Australia.
sama dengan makan coklat. Coklat membuat kita merasa nyaman. Demikian pula dengan seks. Begitu juga dengan dicintai. Semuanya berkaitan dengan hormon endorphin yang memuluskan sisi tajam dari pikiran kita. Jika hati ini hanya tentang coklat, maka kita cukup menyimpan sebatang di tangan, berikan sensasi endorphin pada diri kita dan lupakan
hubungan kita. Kenapa harus repot mempraktikkan kesabaran dengan orang yang nyata jika Anda dapat menyelesaikannya dengan sebatang coklat? Kita memiliki banyak hubungan dan banyak pengalaman yang berhubungan dengan kemarahan, rasa sakit, cemburu, kecewa, baik dalam hubungan orang tua anak, anak orang tua, teman teman, guru murid, murid -guru, dan lain-lain. Ada kebahagiaan di luar sana untuk yang mencari, andai saja kita dapat meraihnya.
Kita semua menginginkan kebahagiaan
Mari kita tinjau dari cinta romantis terlebih dahulu. Cinta romantis membuat kecanduan. Ekstasi pertama, seorang asing yang menarik di seberang ruangan, harapan bahwa pada akhirnya semua penderitaan kita akan hilang membuat endorphin kita naik tinggi. Kita sedang jatuh cinta. Kita menginginkan lebih. Dan itu adalah permulaan dari kecanduan: percaya bahwa pada akhirnya, inilah penawar penderitaanku. Inilah pangeran pujaan, putri cantik, yang akan memenuhi semua impianku dan membawakan kebahagiaan padaku. Proses kimia
sedang berlangsung.
Untuk hubungan-hubungan lain, mungkin kita tidak begitu merasakan lonjakan endorphin. Dalam dekapanku ada seorang anak yang akan menjadi apa yang tidak pernah kucapai, atau teman yang tidak akan pernah meninggalkanku, atau guru yang menjadi pengganti yang
sempurna dari orang tuaku. Sejak pertama kita merasakan kehangatan kasih sayang terhadap dan/atau dari orang tersebut, kita menginginkan lebih, dan lebih. Inilah definisi yang sering dimaksud ketika orang-orang membicarakan keintiman, perasaan hangat yang kuat dan terjadi tiba-tiba. Kita pikir bahwa dengan kehangatan hati ini, kita menginginkan kebahagiaan untuk orang tersebut, tetapi kita tidak melihat kondisi lanjutannya yang membahayakan: Aku ingin orang ini bahagia karena nantinya aku akan bahagia.
Permasalahannya adalah bahwa kita tidak tahu bahwa kita mungkin tertipu. Ada dua suara dari dalam diri kita yang berbisik di telinga. Bisikan pertama mengatakan `Aku ingin orang ini bahagia'. Ini adalah suara hati yang menyenangkan, penuh kebajikan, suara yang
membahagiakan orang lain. Suara hati yang lain mengatakan 'Aku ingin bahagia'. Ini juga merupakan suara yang menyenangkan. Aku tidak ingin menjadi tidak bahagia. Suara had kedua mengutarakan bahwa hubungan apa pun adalah tentang aku, tentang mimpi-mimpiku, kebahagiaanku. Kecanduannya adalah pada kebahagiaanku, untuk merasa senang.
Kita mencari keintiman, dan kita tidak tahu bahwa sebenarnya, kita menjauhkan diri kita dari kemungkinan untuk menjadi intim.
Kemelekatan, dalam pengertian Agama Buddha, adalah menilai aspek positif dari sesuatu secara berlebihan dan mengabaikan atau meminimalkan segala aspek negatifnya. Tidaklah sulit untuk melihat bagaimana 'jatuh cinta' menjadi contoh bagus dari kemelekatan. Seorang asing di seberang ruangan tidak memiliki kesalahan, seorang pasangan yang sempurna, walaupun kita belum pernah bertemu. Hal yang sama dapat terjadi dalam bentuk hubungan apa pun: anak-anak kita, peliharaan kita, teman-teman baik kita, bahkan ponsel kita. Jika kita melakukan kesalahan dengan menilai terlalu tinggi aspek-aspek positifnya, maka tak
terhindarkan lagi bahwa pada akhirnya kita akan menjadi tertipu. Ini karena kita memiliki sedikit harapan untuk benar-benar melihatnya. Berharap melihat impian kita benar-benar menjadi kenyataan, kita justru kaget ketika aspek negatif dari orang tersebut sudah tidak bisa diabaikan lagi. Kita hanya tidak bisa percaya bahwa teman yang dicintai ini akan menjadi musuh terbesar kita.
Dengan kemelekatan kita mendapatkan keintiman semu dan menyangka bahwa itu adalah nyata.
Cinta Diri dan Harga Diri
Bagaimana teman yang kita sayangi bisa menjadi musuh terbesar kita? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat sifat dari cinta diri. Tetapi terutama bagi kita yang hidup dalam budaya Barat, kita juga perlu melihat cara kerja cinta diri dalam pemikiran Barat, yang
membuat kita tak berdaya terhempas dalam harga diri yang naik turun.
Harga diri yang kelihatan begitu penting bagi kita ternyata tidak dapat diterjemahkan dengan mudah ke dalam bahasa Tibet. Konsep harga diri yang rendah begitu asing bagi masyarakat Tibet sehingga pada awalnya, His Holiness Dalai Lama tidak mengerti artinya' dan terkejut ketika menemukan bagaimana perasaaan emosi yang asing mi mendarah daging di Barat. Jadi kenapa orang Barat begitu menderita akibat sesuatu yang bahkan tidak ada namanya dalam bahasa Tibet? Mengapa psikolog terus mengatakan bahwa bangsa Barat harus membangun harga dirinya dulu dan kemudian baru belajar untuk tidak mementingkan diri sendiri?
Semua ini berhubungan dengan kebanggaan.
menjadi superior. Ini adalah suatu bentuk keangkuhan yang memposisikan diri sendiri di atas orang lain. Buddha mungkin tidak pernah berbicara tentang harga diri, tetapi beliau tentu saja tahu bahaya dari kebanggaan.
Kita hidup dalam budaya dimana menjadi nomor satu adalah sesuatu yang sangat
diagungkan. Kita harus dan mesti menjadi yang teratas. Hal yang kita agungkan tersebut sulit untuk dicapai karena walaupun kita telah mencapai puncak dalam beberapa bidang, kita masih mempunyai dua masalah. Yang pertama adalah bahwa kita menduga bahwa kesuksesan kita didasari oleh keberuntungan atau beberapa faktor lainnya. Sebenarnya ini didasari oleh karma. Permasalahan kedua adalah bahwa kita masih belum menjadi yang terbaik dalam segala hal. Jadi hal yang kita agungkan ini berdiri di atas puncak harga diri yang turun naik dihempas angin, yaitu kebanggaan.
Keadaan turun naik ini dimulai sejak masa kanak-kanak ketika kita berusaha menyenangkan orang tua dan pengasuh kita. Kita segera belajar apa yang akan menghasilkan pujian dan perhatian serta apa yang akan berakibat kritik dan/atau ketidakpedulian. Adalah masuk akal bahwa kita menjadi berusaha mendapatkan pujian dan menghindari kritik. Pujian berarti bahwa kebanggaan naik dan harga diri naik. Kemudian, setelah berada di atas, kritik
menjatuhkan kita, kebanggaan dan harga diri runtuh. Hal ini bisa diterima jika kita menikmati naik turun ini, tetapi kebanyakan dari kita ingin tetap berada di atas.
Kita mencoba untuk mempertahankan perasaan ketika berada di atas seperti yang dinamakan oleh Karen Horney sebagai neurotic pride (red - kebanggaan yang didasari oleh gangguan mental).
Agar memiliki pikiran yang sehat, seorang anak memerlukan "atmosfir kehangatan untuk memberikan baik perasaan aman maupun kebebasan internal yang memungkinkannya untuk mempunyai pemikirannya sendiri dan untuk mengekspresikan dirinya sendiri. Dia
membutuhkan itikad baik dari orang lain, tidak hanya untuk membantunya dalam berbagai kebutuhannya tetapi untuk membimbing dan mendukungnya untuk menjadi seorang individu yang dewasa dan mandiri. Dia juga membutuhkan pergesekan yang sehat dengan harapan dan keinginan orang lain. Jika dia kemudian dapat tumbuh bersama dengan orang lain, dalam cinta dan dalam perselisihan, dia juga akan tumbuh menjadi dirinya yang sebenarnya".
Jika ini tidak terjadi, anak tersebut akan memiliki perasaan tidak aman yang kuat dan pemahaman yang tidak jelas, yang diistilahkan oleh Horney sebagai basic anxiety (Red
-kecemasan mendasar), suatu perasaan terisolasi dan tak berdaya dalam dunia yang dianggapnya tidak bersahabat. Dari sini akan terbentuk kebutuhan yang kuat untuk "mengangkat dirinya di atas orang lain", seperti pengagungan diri.
Jadi ketika kita masih kecil, kita membangun strategi untuk mengatasi kecemasan ini. Horney menjelaskan tiga strategi utama: maju, melawan, dan mundur. Bagi kita yang terutama memilih strategi `maju' akan menjadi anak-anak dan orang dewasa yang menyenangkan, kooperatif tetapi dengan bahaya berkemungkinan menjadi tidak mandiri. Anak anak yang `melawan' akan mengembangkan sifat asertif yang sehat yang dapat berubah menjadi agresif dan kemarahan. Anak yang 'mundur' merasa nyaman dengan dunianya sendiri dengan bahaya berkemungkinan menjadi anak penyendiri yang terisolasi.
Jadi bangunlah citra diri yang ideal. Untuk menjadi anak yang menyenangkan, sebaiknya hindari sifat agresif dan menarik diri. Sama halnya, anak asertif cenderung tidak percaya pada situasi yang kooperatif atau pun terisolasi dan anak yang menyendiri akan tidak mempercayai situasi yang mengharuskan interaksi, baik kooperatif maupun asertif. Apa pun yang
bertentangan dengan citra ideal didorong ke belakang. Bagian belakang ini kemudian menjadi apa yang disebut Carl Jung sebagai `bayangan'. Dalam pandangan Agama Buddha, diri ideal adalah suatu kemelekatan pada pandangan kita terhadap diri kita sendiri, penilaian yang berlebihan terhadap kualitas-kualitas diri kita yang membuat kita senang. Kita merasa bahwa diri kita hebat. Harga diri kita sangat kuat. Bayangan adalah penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak sesuai dengan yang kita lekati. Dengan penolakan muncul kemarahan terhadap bayangan tersebut. Dan dengan kemarahan, menurunkan harga diri. Karena kita tidak bisa benar-benar menghindari bayangan kita, kita terbawa dalam naik turunnya harga diri.
Bersama dengan citra diri ideal kita, kita membentuk citra ideal dari jenis orang apa dan perannya yang paling cocok dengan citra diri kita. Ketika kita menemukan seseorang yang kelihatan memenuhi citra tersebut, kita merasa senang, kita merasa aman. Namun, kita telah abai atau lupa, atau hanya tidak tahu, bahwa kita melihat proyeksi kita dan bukan orangnya. Sayangnya, ini juga berlaku pada orang lain. Sekarang kita mempunyai dua orang yang berpikir bahwa mereka berhubungan dengan satu sama lain, tetapi sebenarnya mereka berhubungan dengan citra diri pasangannya yang mereka ciptakan dan sukai sendiri. Tidak heran bahwa keintiman yang menghangatkan hati begitu sulit dicapai.
Jika kita menginginkan keintiman yang menghangatkan hati ini, maka kita perlu mulai
membuka dan membuang pikiran yang salah ini. Ini berarti bahwa daripada mempersalahkan kekurangan orang lain atas hubungan rapuh yang kita alami, kita mulai melihat ke dalam diri
kita sendiri. Terdapat banyak cara untuk melakukan ini baik dalam psikologi Barat maupun dalam Agama Buddha. Salah satu metode paling penting bagi orang Barat adalah
mengembangkan rasa ketenangan hati terhadap ego ideal dan bayangan tersebut. Saya menemukan bahwa ini adalah pengalaman yang menyentuh bagi banyak orang dalam
berbagai lokakarya yang pernah saya adakan. Singkatnya, kita mengaplikasikan meditasi yang dirancang untuk mengembangkan rasa ketenangan hati terhadap teman, musuh, dan orang asing sampai dengan teman dalam diri kita (ego ideal), musuh dalam diri (bayangan) dan bagian asing dalam diri (bagian dari diri kita yang tidak kita pedulikan). Begitu kita mulai mengembangkan ketenangan hati dan belas kasih terhadap diri kita sendiri, kita menemukan bahwa kecemasan yang membentuk hambatan dalam diri melemah dan ombak harga diri yang naik turun mulai mereda. Berdasarkan kepercayaan diri baru ini, kita mulai dapat melihat orang lain seperti adanya dan bukan seperti yang kita inginkan. Beginilah cara konsep ketidakmelekatan dalam Agama Buddha bekerja untuk membangun keintiman. Begitu kita mengurangi kemelekatan kita (menjadi terlepas dari) pandangan kita yang kaku dan penuh kecemasan terhadap diri kita sendiri, maka kita terlepas dari bayangan yang kita proyeksikan pada orang yang kita cintai (karena proyeksi muncul dari kemelekatan) dan kita dapat melihat mereka seperti apa adanya. Kita melihat mereka dari aspek ketenangan hati dan belas kasih yang sama dengan apa yang kita tujukan pada pemisahan ego ideal dan bayangan dalam diri kita.
Keintiman dan jalur spiritual kita
Apakah penyebab dari kebutuhan akan keintiman yang menghangatkan hati ini? Sebagian datang dari perasaan ketercerabutan dalam masyarakat Barat. Kita memuja individu yang sukses, kemandirian, dan mengabaikan kenyataan bahwa kesuksesan tergantung pada kebaikan orang lain dan terutama kebaikan dari banyak pesaing yang tidak mendahului kita. Kita memandang rendah atau mengabaikan individu yang tidak sukses. Jadi baik sukses atau pun tidak, kita bisa merasa kesepian.
Penyebab yang lebih mendasar dari kebutuhan akan keintiman sejati muncul dari perasaan ketidaksempurnaan kita meski pun kita telah mengurangi pembatas antara ego dan bayangan. Kita dapat merasakan bahwa terdapat sesuatu yang lebih bagi kehidupan selain kebahagiaan biasa dan kita menginginkannya. Kita bisa mencari solusi dari ketidaksempurnaan melalui orang lain, melalui keintiman. Ini mungkin membantu, tetapi pada akhirnya, ketidaksempurnaan tersebut ada dalam diri kita sendiri. Ini adalah ketidaksempurnaan dari potensi ke-Buddha-an yang belum terealisasi. Sekali lagi, kita dibalikkan pada diri kita sendiri lagi. Untuk mencapai keintiman yang sebenarnya, kita perlu mengkaji pikiran kita sendiri.
Begitu kita meraih keintiman sejati, walaupun dalam skala kecil, kita akan menemukan bahwa kita dapat melihat orang lain yang berhubungan dengan kita secara lebih jernih. Kita tidak lagi meminta orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan kita, tetapi menjadi fokus pada
kebutuhannya. Kita telah mulai mengembangkan kasih sayang dan betas kasih dan kita mulai merasakan keintiman yang menghangatkan hati seperti yang kita inginkan. Dan ini kita alami tanpa mempedulikan apakah orang tersebut meresponnya dengan kehangatan, atau
kemarahan, atau tidak meresponnya sama sekali.
Saat kita mengembangkan kepercayaan diri dalam potensi ke-Buddha-an kita, kita mengembangkan perasaan saling keterhubungan yang dalam dengan semua makhluk. Keintiman tidak lagi menjadi masalah. Keintiman telah menjadi suatu kenyataan dari sebuah kehidupan yang dikaruniai kebijaksanaan dan betas kasih.
Kutipan dari Lama Yeshe : karena kita kekurangan kebijaksanaan pengetahuan untuk mengerti sisi dalam dari satu sama lain, kualitas kemanusiaannya, kita dengan mudah tidak menghormati pasangan kita. Ketika segala sesuatu tidak terjadi sesuai dengan yang
direncanakan, ketika pasangan kita sudah tidak kelihatan menarik, pernikahan kita gagal. Ini terjadi karena pernikahan dibangun seratus persen berdasarkan ego; sepenuhnya hubungan berbasis ego. Tidak heran hubungan itu tidak berhasil.
Suatu pernikahan yang dibangun atas saling pengertian, komunikasi yang baik, dan keikhlasan untuk saling membantu akan mempunyai peluang yang jauh lebih baik untuk bertahan. Komunikasi mental jauh lebih baik dibandingkan komunikasi fisik. Itu sangatlah penting. Hubungan semu, yang berbasis terutama pada faktor-faktor luar, tidak akan bertahan lama.