NYERI MIOFASIAL
Oleh:
dr. Ida Ayu Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp. S Putu Yonika Budiarisma
Shaantiieni Govindasamy
BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/
RSUP SANGLAH 2017
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya tinjauan kepustakaan dengan judul “Nyeri Miofasial”
ini dapat selesai pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian tinjauan kepustakaan ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. dr. AA Bagus Ngurah Nuartha, Sp.S(K) selaku Kepala Bagian/Kepala SMF di Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan saya kesempatan untuk menyelesaikan karya tulis ini;
2. Dr.dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K) selaku Kepala divisi Nyeri di Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan pengarahan, kritik, dan saran dalam pembuatan tinjauan kepustakaan ini;
3. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan tinjauan kepustakaan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari kata sempurna sehingga saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan tinjauan kepustakaan ini. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om.
Denpasar, Mei 2017
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ……….iii
BAB 1 PENDAHULUAN……….4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEFINISI ... 7
2.2 EPIDEMIOLOGI ... 8
2.3 ETIOLOGI ... 8
2.4 PATOFISIOLOGI... 12
2.5 MANIFESTASI KLINIS ... 17
2.6 DIAGNOSIS BANDING ... 17
2.7 DIAGNOSIS ... 18
2.8 TATALAKSANA ... 18
2.9 PROGNOSIS………...22
BAB 3 SIMPULAN………23 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
Nyeri menurut The International Association for the Study of Pain merupakan bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.
Sindrom nyeri miofasial adalah suatu kondisi nyeri otot atau fasia, akut maupun kronik, menyangkut fungsi sensorik, motorik, atau otonom yang berhubungan dengan myofascial trigger points (MTrPs). Istilah nyeri miofasial dan nyeri muskuloskeletal seringkali membingungkan dan tumpang tindih satu sama lain, padahal nyeri muskuloskeletal adalah semua tipe nyeri yang terjadi di otot, sedangkan nyeri miofasial merujuk pada sindrom spesifik yang disebabkan oleh trigger points (TrPs) dalam otot atau fasia.1.2
Trigger points yang dimaksud adalah suatu titik atau tempat yang hipersensitif atau hiperiritabel di struktur otot atau fasia yang menegang dan menimbulkan nyeri lokal jika ditekan, dan jika cukup hiperiritabel dapat menimbulkan nyeri menjalar serta fenomena otonomik. MTrPs sering ditemukan di sekitar daerah leher dan punggung. MTrPs dapat dibagi menjadi dua secara klinis, yaitu aktif atau laten.2,4,5
MTrPs aktif akan menimbulkan rasa nyeri spontan jika diprovokasi, sehingga mencegah pemanjangan otot secara maksimal, melemahnya otot, memediasi respon kedutan lokal bila distimulasi, dan menyebabkan nyeri alih di area nyeri yang bersangkutan. MTrPs aktif dapat menimbulkan gangguan rentang gerak sendi dan kelemahan. MTrPs aktif dikaitkan dengan sindrom nyeri miofasial. MTrPs laten biasanya tidak bergejala, tidak menimbulkan nyeri pada aktivitas sehari-hari, tetapi suatu ketika dapat terjadi nyeri apabila diberi stimulasi eksternal, seperti dipalpasi, dan dapat teraktivasi jika otot tegang, lelah, atau
cedera. MTrPs laten dapat memiliki gejala klinis seperti MTrPs aktif, namun kualitasnya lebih ringan, sehingga dapat dikatakan fase pre klinis dari sindrom nyeri miofasial. MTrPs laten penting untuk diidentifikasi secara tepat untuk mencegahnya berubah menjadi MTrPs aktif.3,4
Sindrom nyeri miofasial merupakan masalah kesehatan yang signifikan, dimana 85% populasi umum pernah mengalami nyeri miofasial pada satu waktu dalam hidupnya dengan prevalensi per tahun sekitar 46%. Insiden antara laki-laki dan perempuan hampir sama, yaitu 54% terjadi pada perempuan dan 45% laki-laki.
Salah satu studi menemukan bahwa TrPs merupakan sumber nyeri pada 30%
pasien yang datang dengan keluhan nyeri menuju layanan primer, dan menjadi penyebab 85% pasien dengan keluhan nyeri mengunjungi layanan tersier.
Sindrom nyeri miofasial juga didiagnosis pada 21% pasien yang datang ke klinik ortopedi dan 30% pasien yang mengunjungi dokter penyakit dalam. Studi sebelumnya menemukan bahwa sindrom nyeri miofasial sebagai penyebab nyeri yang paling umum di populasi klinik, dan bertanggung jawab atas 54,6% nyeri kepala dan leher kronis, 85% pada nyeri punggung.
Studi lainnya menunjukkan MTrPs berhubungan dengan beberapa kondisi nyeri, seperti migren, tension-type headache, gangguan temporomandibular, nyeri leher, nyeri bahu, epicondylalgia, carpal tunnel syndrome, low back pain, nyeri pelvis, dan sindrom whiplash.7 Sindrom nyeri miofasial terutama terjadi pada rentang usia 30-60 tahun,2 dan lebih banyak terjadi pada individu yang kurang beraktivitas.6
Sindrom nyeri miofasial seringkali tidak terdiagnosis, padahal merupakan penyebab utama disabilitas kerja dan penyebab kedua terbanyak disabilitas di Amerika Serikat.2,4 Sindrom nyeri miofasial, khususnya jika sudah menjadi nyeri kronik, juga dapat menimbulkan berbagai gangguan psikologis, seperti depresi dan cemas. Beberapa penelitian terakhir mengindikasikan pasien dengan TrPs yang tinggi lebih sering mengonsumsi psikotropika dibandingkan populasi umum.5,6
Kesalahan diagnosis atau kondisi yang tidak terdiagnosis pada sindrom nyeri miofasial dapat terjadi akibat kurangnya pengetahuan terkait karakteristik nyerinya, tidak adanya kriteria diagnostik yang divalidasi secara internasional,
dan seringkali tumpang tindih dengan gejala gangguan musculoskeletal lainnya.
Banyaknya kesalahan diagnosis juga karena kurangnya keterampilan palpasi khusus pada praktisi kesehatan yang jarang diajarkan di kurikulum kedokteran.
Beberapa praktisi merasa bahwa kondisi ini kontroversial dan sulit untuk didiagnosis dengan tes objektif atau pencitraan, sehingga ketika nyeri akut yang menjadi kronik pada seorang pasien, praktisi kesehatannya menjadi bingung dan mengabaikan kondisi otot sebagai penyebab dan mengobati kondisi lain, misalnya masalah sendi yang lebih tampak pada pencitraan.3,5,6
Berdasarkan kondisi-kondisi di atas, maka penting untuk diketahui terkait etiologi, patofisiologi, penegakkan diagnosis, terapi, serta prognosis sindrom nyeri miofasial, karena sindrom nyeri miofasial tidak hanya terkait dengan penurunan fungsi akibat nyeri musculoskeletal, namun juga dapat menimbulkan penurunan kualitas kehidupan.4,5,6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Otot skeletal merupakan sistem organ manusia terbesar. Nyeri miofasial berasal dari kata "Myo" yang erat hubungan dengan otot sementara "fascial"
mengacu pada jaringan yang menutupi otot. Bisa disimpulkan nyeri miofasial sebagai nyeri yang berasal dari otot dan jaringan yang menutupi otot itu sendiri.
Sindrom nyeri miofasial adalah gangguan rasa sakit kronis dimana tekanan pada titik sensitif pada otot anda yang dapat diklasifikasikan sebagai titik pemicu yang menyebabkan rasa sakit pada bagian tubuh yang tampaknya tidak terkait. Titik pemicu sering ditandai dengan dua kriteria utama dan dua kriteria sekunder.
Kriteria tipe utama, serat otot yang tegang atau taut band dapat dilokalisasi dengan melakukan palpasi. Sedangkan kriteria sekunder, ada penurunan kemampuan gerak otot dan ada respon kedutan lokal pada saat dilakukan insersi dengan needle.
Titik picu biasanya dibedakan dengan tender poin, ada beberapa tinjauan yang menyebutnya sebagai bagian dari satu spektrum klinis. Perbedaan yang dilaporkan utama adalah titik pemicu menghasilkan rasa sakit yang berpola, sedangkan titik tender menimbulkan rasa sakit di tempat palpasi. Poin pemicu diklasifikasikan lebih lanjut sebagai aktif dan laten. Titik pemicu laten menimbulkan sensasi yang menyakitkan hanya dengan dilakukannya kompresi langsung. Titik pemicu aktif menimbulkan nyeri secara spontan dan juga dengan kompresi. Hal ini juga dapat disimpulkan sebagai nyeri yang dirujuk dan istilah deskriptif yang digunakan untuk menentukan kondisi nyeri otot muskuloskeletal akut atau kronis. Karakteristik dilakukan dengan temuan sensorik, motorik, dan otonom yang terkait dengan poin pemicu myofascial (MTrPs). Sindrom ini akhirnya terjadi setelah kontraksi otot berulang yang mungkin disebabkan oleh gerakan berulang sebelum pekerjaan atau hobi atau oleh ketegangan otot yang berhubungan dengan stres. Sering kali melibatkan leher dan punggung.
Pengalaman rasa sakit adalah proses multidimensi yang mencakup komponen
sensorik dan persepsi sehingga dapat menyebabkan perilaku tidak menyenangkan, yang semuanya melibatkan aktivasi berbagai area pada sistem saraf pusat dan perifer. Sementara kebanyakan dari kita mengalami ketegangan otot, ketidaknyamanan yang terkait. Dengan sindrom nyeri myofascial hanya bertahan atau memperburuk situasi.1
2.2 EPIDEMIOLOGI
Studi prevalensi dari sindrom nteri miofasial masih terdapat banyak kekurangan data dikarenakan oleh kurangnya konsensus tentang kriteria yang digunakan untuk mendiagnosa. Belum ditemukan studi prevalensi sindrom nyeri miofasial dalam populasi secara keseluruhan. Sindrom nyeri miofasial dengan titik picu yang bersifat latent ditemukan sekitar 11 persen pada sekelompok orang di Thailand. Pada penelitian yang dilakukan di Kanada ditemukan jumlah prevalensi kasus nyeri musculoskeletal adalah sekitar 20 persen. Pada sebuah rumah sakit universitas pendidikan kesehatan ditemukan pasien yang memiliki keluhan nyeri sekitar 32 persen dari total sampel 172 pasien. Sebagian besar penelitian prevalensi untuk sindrom nyeri miofasial dilakukan pada populasi khusus. Sebuah studi dari 243 perempuan operator mesin jahit ditemukan sindroma nyeri miofasial 15,2 persen pada otot leher dan bahu.2,3
2.3 ETIOLOGI 1. Taut Band
Penyebab titik pemicu adalah masalah spekulasi. Tampaknya terlihat dari pemeriksaan klinis bahwa titik pemicu terbentuk sebagai titik pemicu laten terlebih dahulu dan kemudian menjadi nyeri saat otot digerakkan. Urutan kejadian ini diasumsikan karena titik pemicu laten ada tanpa rasa sakit spontan. Selanjutnya, titik pemicu nyeri tidak terjadi kecuali di daerah kekerasan otot, namun daerah kekerasan otot terjadi tanpa rasa sakit lokal atau yang dirujuk. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa kekerasan otot atau pita tegang yang terjadi tanpa rasa sakit adalah kelainan pertama, dan titik pemicu aktif adalah tahap yang lebih aktif atau sekunder dari titik pemicu.
2. Sindrom Otak Terlalu Berguna dan Sindroma Myofascial Pain Syndrome Pemikiran saat ini, sesuai dengan Hipotesis Terpadu yang Terintegrasi dari Titik Pemicu, adalah bahwa iskemia lokal dikaitkan dengan perkembangan akut titik pemicu dan dengan pemeliharaannya. Iskemia lokal merupakan kompresi kapiler yang dihasilkan dari gaya yang dihasilkan di dalam pita yang kencang. Pada gilirannya, pelepasan zat vasodilatasi seperti CGRP dan zat P menyebabkan edema non inflamasi lokal yang selanjutnya mengkompres kapiler dan berkontribusi pada iskemia yang sedang berlangsung.
3. Persimpangan Neuromuskular: Peran Junction Neuromuskular dalam Formasi Trigger Point
Trigger point pain tidak terjadi tanpa adanya taut band, seperti yang dinyatakan di atas. Mekanisme nyeri lokal dan rujuk dipahami dengan baik sebagai fenomena umum, berdasarkan pelepasan neurotransmitter lokal, ion hidrogen, ion kalium, dan sitokin perifer, dan aktivasi neuron nociceptive di tanduk dorsal secara terpusat. Penyebaran aktivasi neuronal nociceptive secara segmental juga merupakan fenomena yang digambarkan dengan baik, terlepas dari jaringan asalnya. Namun, perubahan awal otot yang terkait dengan titik pemicu nampaknya merupakan kelainan motorik, perkembangan band yang kencang.
Mekanisme pengembangan band yang tegang tetap menjadi masalah spekulasi, dan belum terbukti. Peran modulasi simpatik SEA adalah konsep yang paling penting, karena peran penting yang dimainkan oleh sistem saraf simpatik dalam menjaga aktivitas listrik abnormal di titik pemicu. Sebuah postsynaptic disfungsi otot yang meningkatkan konsentrasi kalsium intraselular melalui saluran kalsium reseptor Ryanodine yang bocor pada membran retikulum sarkoplasma, atau melalui sistem messenger kedua yang dimediasi adrenergik yang melibatkan protein kinase C dan siklik-AMP, yang memulai interaksi aktin myosin, juga dapat menyebabkan kontraksi otot, Dan merupakan pertimbangan tambahan untuk pengembangan kontraksi yang terus-menerus. Daerah
endapan otot dari persimpangan neuromuskular dianggap sebagai domain disfungsi fisiologis yang menyebabkan perkembangan titik pemicu.
4. Sensitisasi Sensitivitas Peripheral pada Myofascial Pain Syndrom
Sensitisasi saraf perifer dikenal dengan baik dalam sindrom nyeri kronis yang belum ditangani pada MPS dimana penekanan telah ditempatkan lebih pada perubahan otot daripada di saraf. Meskipun demikian, tampaknya masuk akal bahwa sensitisasi saraf perifer adalah konsekuensi dari nyeri myofascial kronis seperti pada sindrom nyeri kronis lainnya.
Beberapa manifestasi syaraf MTrP jelas terkait dengan tulang belakang, seperti gejala kedutan lokal. Penelitian lain menunjukkan bahwa ada integrasi sentral pada tingkat sumsum tulang belakang pada model titik pemicu hewan Peran saraf perifer pada sambungan neuromuskular dan hubungannya dengan fungsi selada anterior di MPS, sedikit banyak dipelajari. Satu studi tentang perubahan saraf pada MPS menunjukkan bahwa jitter neuromuskuler dengan elektromiografi elektrik tunggal yang dirangsang memiliki perbedaan bermakna berturut-turut yang signifikan pada otot sikat trapezius dan lift pada subyek dengan MPS dibandingkan dengan kontrol. Ketidakstabilan fungsi periferal perifer dapat dikaitkan dengan degenerasi dan regenerasi aksonal motor perifer motorik, atau degenerasi motor neuron dengan pengembangan reinnervasi agunan. Ini berarti bahwa MTrP memiliki disfungsi motor perifer dan / atau sentral yang kompleks serta kelainan sensorik dengan hipersensitisasi perifer dan / atau pusat.
5. Hipoksia dan Iskemia
Zona pemicu atau daerah myofascial bersifat hipoksia, konsisten dengan konsep bahwa ada kompresi kapiler dan iskemia. Iskemia dan hipoksia pasti terkait. Ada daerah desaturasi oksigen yang parah pada inti yang diduga, dikelilingi oleh daerah peningkatan oksigenasi, seolah-olah intinya adalah iskemik dan dikelilingi oleh zona hiperemik. Demikian juga, studi suhu pada zona pemicu dilaporkan, menunjukkan adanya kenaikan suhu di daerah titik pemicu. Ini akan konsisten dengan daerah hyperemic sekitarnya zona pemicu, tetapi tidak konsisten dengan inti zona hipoksia
pemicu. Dengan berbagai tetapi alamat hanya jaringan titik pra-trigger, dan bukan inti dari titik pemicu itu sendiri.
6. Biokimia dari Trigger Point Daerah
Peningkatan substansi P, CGRP, bradikinin, serotonin, dan sitokin ditemukan di aktif titik pemicu relatif terhadap Konsentrasi lingkungan zat ini titik di daerah laten dan otot yang normal memicu. Sebagai probe maju Menuju titik pemicu, Konsentrasi sejumlah zat Peningkatan, Sampai kedutan terjadi dan konsentrasi zat ini jatuh Menjelang berbagai standar, tapi kemudian perlahan-lahan naik ke Konsentrasi tinggi awal selama 10 sampai 15 menit. PH wilayah titik pemicu rendah pada pH 4 sampai 5 Dibandingkan dengan pH normal 7.4. DEMIKIAN, pemicu titik aktif Shows lokal Peningkatan substansi P lingkungan yang Bisa Meningkatkan kebocoran kapiler Menyebabkan edema lokal, dan dapat mempotensiasi aktivasi nociceptive perifer. Bradikinin ditinggikan zat lain Itu adalah mempotensiasi reseptor nosiseptif. CGRP Juga meningkat, adalah reseptor aktif Kedua sensorik pada sambungan neuromuskuler dan pada. pH rendah dapat mencerminkan iskemia, dan dapat menghambat aktivitas acetylcholinesterase. Peningkatan kadar sitokin Berkorelasi Dengan rasa sakit lokal. The Konsentrasi beberapa zat ini berada pada daerah titik pemicu Juga aktif ditinggikan Dibandingkan dengan daerah tidak ada titik pemicu pada otot lokasi jauh. The Konsentrasi PALING zat ini meningkat pada daerah tanpa titik pemicu di sebuah situs yang jauh di mata pelajaran Dengan poin pemicu aktif Dibandingkan dengan subyek Dengan hadir atau laten poin memicu.
4. Hipermobilitas
Hipermobilitas atau kelemahan ligamen Tampaknya menjadi faktor risiko untuk pengembangan relevan MPSS. Mekanisme ini dianggap lebih kontraksi konstan otot yang diperlukan untuk stabilitas sendi Bahwa ligamen tidak dapat memberikan. Orang-orang Dengan dislokasi sendi berulang besar atau subluksasi tampaknya berisiko lebih tinggi terkena pemicu poin.1,4
2.4 PATOFISIOLOGI
Sindrom nyeri myofascial adalah sebuah kondisi nyeri otot ataupun fascia, akut maupun kronik, menyangkut fungsi sensorik, motorik, ataupun otonom, yang berhubungan dengan myofascial trigger points (MTr Ps). Gejala motorik dapat berupa disfungsi motorik atau kelemahan otot akibat inhibisi motorik, terbatasnya gerakan dan kekakuan otot. Gejala sensorik dapat berupa nyeri tekan, nyeri alih, hiperalgesia, ataupun alodinia. Gejala otonom dapat seperti berkeringat, aktivitas pilomotor, perubahan suhu kulit, lakrimasi, dan salivasi. Aktivitas sistem saraf simpatis akan meningkatkan aktivitas motorik dan menyebabkan nyeri.
Myofascial trigger points adalah suatu titik/ tempat hiperiritabel berlokasi di struktur otot atau fascia yang menegang, jika ditekan dapat menyebabkan nyeri lokal atau menjalar. MTrPs sering ditemukan di sekitar daerah leher dan punggung.5
Nyeri myofascial dapat bersifat lokal atau regional, seperti pada leher, bahu, punggung atas dan bawah, biasanya unilateral atau lebih berat di salah satu sisi.
Nyeri otot dapat menetap dengan variasi dari ringan hingga sangat berat; biasanya tidak hilang dengan sendirinya. Ciri khas nyeri ini adalah terdapatnya trigger point.
Terdapat 7 ciri khas sindrom nyeri myofascial disebabkan trigger points yaitu:
(a) Nyeri lokal TP (trigger points) (b) Nyeri referred
(c) Pemendekkan sarkomere (d) Respon Kedutan Lokal (LTR) (e) Kesulitan Metabolik
(f) Efek theraputik yang timbul dari meregangkan otot yang berkaitan (g) Kelemahan dan kelelahan
4.1. Nyeri Lokal TP
Mekanisme Nyeri lokal yang disebabkan oleh TP boleh dijelaskan oleh sensitisasi akhir saraf grup III dan grup IV nosisepsi otot. Sensitisasi adalah salah satu mekanisme yang bertanggungjawab terhadap Nyeri lokal TP dan nyeri yang berkait dengan jaringan yang rosak dan proses inflamasi6. Sensitisasi pada saraf aferen seperti polymodal nociceptor akan menyebabkan saraf tersebut memberikan respon terhadap ambang yang lebih rendah untuk meningkatkan respon kepada suatu rangsangan. Oleh kerana itu, sensitisasi saraf akan menyebabkan pemicuan spontan saraf yang selalunya tidak memicu dengan spontan. Zat-zat yang selalunya mensensitisasi jaringan adalah zat potassium, bradykinin, prostaglandins, serotonin, substans P, histamine dan leukotriene. Satu studi klinis yang dikerjakan oleh Frost7. secara spesifik mengimplikasikan prostaglandins sebagai agen sensitisasi TP. Beliau menemukan bahwa menyuntik suatu agen inhibisi prostaglandin seperti diclofenac ke dalam myofascial TP memberikan efek yang lebih baik daripada lidocaine.
4.2. Nyeri referred
Sensitisasi saraf akhir grup III dan grup IV juga dapat menghasilkan impuls yang disalahartikan oleh otak dan diprojeksi sebagai nyeri referred dan Nyeri.
Empat mekanisme fisiologis boleh menyebabkan terjadinya nyeri referred yaitu;
(i) Convergence-projection
- Apabila satu sel tunggal di saraf medulla spinalis menerima nosisepsi melalui saraf pada organ, otot atau kulit, otak tidak bisa menentukan jika impuls ini diterima dari organ somatik atau dari viscera. Menurut mekanisme ini, otak akan menginterpretasi sinyal ini sebagai datang dari kulit atau otot dan bukan dari organ visera
(ii) convergence facilitation
- Kebanyakkan saraf sensori mempunyai aktivitas dorman sehingga aktivitas ini berganda apabila berespon terhadap satu stimuli yang boleh merosakkan jaringan. Apabila mengikuti mekanisme ini aktivitas yang sebelumnya dorman akan bertambah impulsnya pada traktus
spinothalamikus oleh impuls berlebihan yang didapatkan dari organ viscera atau dari suatu TP.
(iii) serabut perifer nosiseptor aferen primer
- Dengan axon yang bercabang dari satu saraf sensori bisa ke bagian tubuh yang lain sering kali bisa dimisinterpretasi oleh otak supaya datang dari bagian tubuh yang lain
(iv) aktivitas nervus simpatetik
- Saraf simpatetik bisa menengahi nyeri referred sebagai berasal dari TP dengan melepaskan zat yang bisa mensensitisasi aferen akhir primer pada regio nyeri referred. Saraf simpatetik selai itu, juga dapat menimbulkan nyeri dengan mengkonstriksi aliran darah pada pembuluh-pembuluh darah yang suplai saraf sensori5.
Band Tegang yang Teraba
Band tegang yang teraba (Palpable taut band) adalah satu tanda karakteristik TP miofascial dan sangat berguna untuk identifikasi TP apabila memeriksa otot superfisial. Karateristik band tegang bisa digambarkan dengan lebih jelas pada mekanisme pemendekkan sarcomere dan local twitch response (LTR).
4.3. Pemendekkan Sarkomere
Untuk mekanisme pemendekkan sarcomere, palpasi pada otot berkait akan menunjukkan tegangan otot secara berlebihan oleh kerana tautness dari band teraba. Saraf motorik yang mensuplai otot yang berkait akan mempamerkan eksitibilitas yang berlebihan pada aktivitas sukarela dan bisa dianggap suatu spasme otot. Otot yang berada paralel dan berdekatan dengan otot berkait pula bisa mempamerkan protective splinting (spasme) yang bisa diukur sebagai aktivitas elektromiografi. Untuk mengkompensasi pemendekkan sarcomere pada suatu TP, sarcomere yang berada jauh dari TP pada persimpangan musculotendinous akan menjadi lebih panjang dari ukuran yang biasa. Dengan memperkirakan susunan serial sarcomere pada serat otot dan perubahan jelas pada
kekuatan sarcomere pada perubahan panjang dan fungsi normal bergantung pada semua sarcomere mempunyai panjang yang sama sewaktu pemanjangan ataupun pemendekkan, fenomena ini bisa menjelaskan kenapa dapat dirasakan nodule dan bukan band. Secara klinis pasien akan mengalami nyeri apabila tegangan pada serat otot tersebut meningkat. Seperti yang bisa dilihat pada gambar di bawah.
Gambar 1 : Gambar diatas menunjukkan sarcomere yang panjangnya selaras pada otot yang sihat dan dibandingkan dengan distribusi yang tidak seragam pada serat palpable taut. Pemendekkan sarcomere pada region TP akan meningkatkan tekanan pada otot berkait.
4.4. Respon Kedutan Lokal (local twitch response)
Manakala, local twitch response (LTR) adalah satu kontraksi sementara yang terjadi hanya pada serat otot dalam band tegang dan berkait dengan respon kedutan. LTR bisa dilihat sebagai suatu kedutan sementara berdekatan dengan serat musculotendinous. Sehingga sekarang, observasi klinis yang bisa diperhatikan pada projeksi LTR ( apabila palpasi pada band tegang pada satu otot menimbulkan respon LTR pada otot berbeda tapi berdekatan) mengindikasi bahwa terjadinya mekanisme reflek spinal.
4.5. Kesulitan Metabolik
Regio TP adalah region yang juga terjadi kesulitan metabolik akibat berkurangnya ATP. Disfungsi metabolik yang terjadi mungkin juga menjadi penyebab generasi zat sensitisasi dan kompromi klinis suplai tenaga bisa memburukkan lagi kesulitan metabolic yang menyebabkan lagi disfungsi TP.
Terdapat beberapa bukti eksperimental yang mengatakan region TP mengalami
distress metabolik oleh kerana kombinasi peningkatan permintaan tenaga dan penurunan suplai oksigen dan tenaga mungkin disebabkan oleh restriksi sirkulasi lokal dan kombinasi ini bisa berterusan dalam satu siklus jika tidak dikoreksi, seperti yang digambarkan pada gambar dibawah.
Gambar 2: Proses ini akan bermula dengan pelepasan calcium yang terionisasi dari reticulum sarkoplasmik yang pecah. Lalu aktivitas kontraktilitas yang kuat meningkatkan permintaan metabolik lokal. Pemendekkan sarkomere secara kuat dan cepat akan pula menyebabkan terjejasnya sirkulasi lokal dan menimbulkan keadaan anemi hipoksia yang menjejaskan suplai tenaga adenosine triphosphate (ATP) kepada sarkoplasmik reticulum. Pompa kalsium yang rusak pada sarkoplasmik reticulum ini akan menyebabkan kalsium yang terionisasi bebas untuk menimbulkan aktivitas kontraktilitas.
4.6 Efek therapeutik yang timbul akibat regangan otot
Meregangkan sarcomere yang berkenan adalah sangat sukar tetapi segera akan menimbulkan efek therapeutik kerana permanfaatan ATP akan berhenti dan tegangan kontraktilitas akan dilepaskan dan keseimbangan metabolisme akan kembali secara biasa. Jika distres metabolic sebelumnya melepaskan zat sensitisasi seperti prostaglandins yang menimbulkan iritasi TP, menyeimbangkan metabolisme akan menyingkirkan sumber sensitisasi dan menghapuskan Nyeri lokal dan fenomena nyeri referred.
Kebaikan meratakan panjang setiap sarcomere pada otot menjelaskan manfaat atlet-atlet melakukan aktivitas regangan otot sebelum dan setelah aktivitas fizik.
4.7. Kelemahan dan Kelelahan
Kelemahan dan kelelahan yang dapat diperhatikan pada pasien TP mungkin terjadi kerana berkurangnya sirkulasi dan hipoksia pada otot-otot yang berkenan.8
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Pasien dengan nyeri miofasial biasanya datang dengan keluhan nyeri yang meluas dan tidak dapat dilokalisir pada otot dan persendian. Selain itu terdapat keluhan sensoris seperti mati rasa. Manifestasi klinis lain yang dikeluhkan oleh pasien yaitu:9
1. Secara khas trigger point dapat meningkatkan terjadinya nyeri ketika terstimulasi.
2. Durasi dari terjadinya reffered pain bervariasi, dalam hitungan detik, jam ataupun hari.
3. Dipersepsikan sebagai nyeri yang dirasakan dalam, sakit dan membakar walaupun kadang-kadang dirasakan sebagai nyeri superfisial.
4. Nyeri dapat dirasakan menyebar ke arah kaudal maupun kranial.
5. Intensitas dan luas area nyeri yang dirasakan berkaitan erat dengan tingkat aktivitas (iritabilitas) dari trigger point.
2.6 DIAGNOSIS BANDING 1. Fibromialgia
Nyeri miofasial didefinisikan sebagai keluhan sensorik, motorik dan otonom, yang disebabkan oleh adanya titik pemicu atau Trigger Point (TrP). Sedangkan pada fibromialgia dapat ditegakkan dengan anamnesis berdasarkan rasa sakit umum dan rasa sakit pada minimal 11 dari 18 titik nyeri yang dapat ditentukan lokasinya secara tepat.
Pasien dengan fibromialgia bisa disertai dengan keluhan-keluhan lainnya yang sangat tidak spesifik. Membedakan nyeri miofasial
dengan gangguan otot lainnya hanya dapat dilakukan dengan melakukan palpasi pada trigger point.10
2.7 DIAGNOSIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk menegakkan diagnosis.
Anamnesis dilakukan berdasarkan “Sacred Seven and Basic Four”. Selain itu dilakukan juga pemeriksaan fisik. Kriteria diagnosis untuk nyeri miofasial menurut IASP 2009 ada tiga kriteria minimum (1-3) dan enam sembilan kriteria lainnya (4-9):9
1. Dirasakan taut band saat dilakukan palpasi pada otot skeletal 2. Terdapat titik hipersensitif pada taut band
3. Dihasilkannya sensasi reffered pain pada titik yang distimulasi
4. Terdapat respon kedutan lokal dan terasa gertakan pada palpasi taut band
5. Terdapat “jump sign”
6. Pasien merasakan adanya peningkatan nyeri 7. Terdapat pola pada referred pain
8. Kelemahan otot atau kontriksi otot
9. Nyeri saat melakukan peregangan kontraksi pada otot yang mengalami nyeri
2.8 TATALAKSANA
Terdapat dua tatalaksana yang tertentu untuk menangani nyeri miofascial yang bisa dibagi kepada
(a) Farmakologis (b) Non-farmakologis
Tatalaksana farmkologis dapat dibagi lagi ke 4 jenis obatan yang sering digunakan yaitu obat analgesia, obat penenang otot, obat antikonvulsan dan obat antidepresi.
1. Obat analgesia
Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) adalah obat yang paling umum digunakan untuk MPS karena tersedia dan memiliki profil efek samping yang relatif ringan. Penggunaannya sangat menarik karena sifat analgesik dan anti-inflamasinya. Meskipun penggunaannya meluas, tidak ada uji coba terkontrol acak (RCT) yang secara khusus mengevaluasi NSAID oral dalam pengobatan MPS. Oleh karena itu, ada kekurangan bukti kuat untuk peran antiinflamasi pada MPS1. Beberapa penelitian ada yang menunjukkan bukti kuat untuk mendukung NSAID dalam mengobati gangguan MSK akut, terutama nyeri punggung bawah (LBP)
Manakal, penghambat siklooksigenase-2 (COX-2) memiliki efek analog terhadap NSAID tradisional dengan profil efek samping yang relatif lebih dapat ditolerir. Serupa dengan NSAID, hanya ada beberapa RCT pendukung dan bukti keberhasilannya di MPS. Penelitian telah menunjukkan bahwa COX-2-selective inhibitor adalah agen yang efektif dan dapat ditolerir dengan baik untuk LBP akut1.
Tropisetron adalah antagonis reseptor 5-HT3 dan agonis reseptor alfa-7- nikotin baru-baru ini digunakan sebagai analgesik untuk fibromyalgia dan nyeri myofascial dengan ketersediaan komersial terbatas. Efeknya mulai cepat dan bertahan lebih lama dibanding anestesi lokal. Meskipun ini mungkin tampak sebagai pengobatan yang menjanjikan bagi MPS.
Lidocaine patch adalah persiapan anestesi lokal transdermal yang mengubah kemampuan saraf untuk melakukan impuls nyeri. Lidokain topikal telah menunjukkan harapan sebagai terapi untuk MPS dan sangat menarik karena ini bukanlah obat sistemik oral.
2. Obat Pelemas otot
Tizanidine adalah agonis alfa-2-adrenergik terpusat, yang mengurangi kejang otot. Sebuah studi label dosis terbuka titrasi tizanidin untuk MPS mendukung penurunan intensitas nyeri dan kecacatan yang signifikan dari awal (P <0,01), dan dengan periode studi tidur yang lebih baik. Khasiatnya dalam mengobati LBP akut juga telah didokumentasikan. Studi telah
menyarankan bahwa tizanidin harus dipertimbangkan sebagai agen lini pertama untuk pengobatan MPS1.
Thiocolchicoside (TCC) adalah antagonis GABAA yang kompetitif dan agonis glycine yang juga berfungsi sebagai anti-inflamasi dan analgesik, serta relaksan otot. A RCT dalam setting nyeri myofascial serviks menunjukkan peningkatan keparahan nyeri secara statistik yang signifikan (P <0,001) dan ROM pada mereka yang diobati dengan TCC topikal. RCT double-blind yang mengevaluasi LBP akut yang terkait dengan kejang otot, mendukung keefektifan TCC dan tizanidin karena plasebo dalam memperbaiki rasa sakit saat istirahat, walaupun tizanidin menyebabkan mengantuk. Ada potensi TCC sebagai pengobatan pada nyeri myofascial;
Namun, ada bukti terbatas saat ini.
3. Obat Antikonvulsan
Gabapentin dan pregabalin memiliki aktivitas analgesik, anxiolytic, dan antikonvulsan, yang mengurangi pelepasan beberapa bahan kimia saraf, termasuk glutamat, noradrenalin, dan zat P. MPS dapat dimediasi di tingkat tulang belakang; Oleh karena itu, antikonvulsan dapat dipertimbangkan dalam perawatannya.
4. Obat Antidepresi
Antidepresan trisiklik (TCAs) adalah kelas pengobatan yang telah diindikasikan untuk nyeri kronis, fibromyalgia, dan nyeri neuropatik. Efek mitigasi rasa sakit mereka tidak jelas, namun dipostulasikan bahwa TCA bekerja pada sinyal serotonergik dan noradrenergik sentral, yang mempengaruhi jalur nyeri pusat. Meski penggunaannya meluas, ada studi terbatas khusus untuk pengobatan MPS. Studi lain meneliti penggunaan amitriptyline dalam pengobatan gangguan gangguan temporomandibular kronis dan menunjukkan penurunan yang signifikan secara statistik pada semua skor nyeri setelah 6 minggu pengobatan (keefektifan pengobatan global, P = 0,007) [37]. Saat ini, tidak ada indikasi penggunaan obat- obatan ini dalam pengobatan MPS; Namun, bukti pembuktian untuk
kemanjurannya pada sindrom nyeri kronis menunjukkan adanya peningkatan peran pada MPS saat perawatan konvensional gagal6.
Manakala, untuk penanganan non-farmakologis terdapat pula teknis ‘dry needling’, injeksi trigger point (MTrPs) dan terapi manual seperti yang dihuraikan di bawah.
1. Dry Needling
Suntikan ke MTrPs adalah pengobatan yang umum dan efektif, mungkin karena gangguan mekanis oleh jarum dan penghentian aktivitas disfungsional motor penutup yang terjadi. Suntikan MTrP dapat menggunakan jarum kering, anestesi pendek atau panjang, atau steroid.
Kering jarum secara tradisional digunakan sebagai salah satu cara tercepat dan paling efektif untuk menonaktifkan MTrPs dan membantu meringankan rasa sakit yang menyertainya. Jarum ditempatkan pada MTrP dengan teknik in-and-out di berbagai arah, untuk menonaktifkan MTrP.
2. Injeksi Trigger Points
Trigger point suntikan mirip dengan dry needling; Namun, mereka menyuntikkan berbagai solusi, biasanya obat bius lokal. Studi menunjukkan kemanjuran yang serupa pada jarum kering namun dengan sedikit ketidaknyamanan1. Sebuah artikel terbaru tentang terapi jarum untuk MTrPs menemukan bahwa, berdasarkan bukti medis terkini, "sifat zat yang disuntikkan tidak membedakan hasilnya dan bahwa jarum basah tidak secara terapi lebih unggul dari jarum kering".
3. Terapi Manual
Terapi manual adalah pengobatan yang umum digunakan untuk MPS karena telah dianggap sebagai salah satu teknik paling efektif untuk inaktivasi MTrPs. Ada berbagai sumber dalam literatur, yang secara khusus menggambarkan modalitas yang efektif, termasuk pijat bertekanan dalam, terapi peregangan dengan semprotan (di mana sebuah band yang kencang diregangkan segera setelah semprotan dingin), panas yang dangkal, dan pelepasan myofascial. Meskipun ada banyak teknik yang
telah dijelaskan dalam merawat MPS dengan hasil yang efektif, belum ada studi terkontrol yang membuktikan efektivitas jangka panjang yang signifikan5.
2.9 PROGNOSIS
Prognosis nyeri miofasial sangat tergantung pada durasi penyakit dan faktor pemicu yang dapat dikendalikan. Diagnosis dini dan penanganan segera akan menghasilkan luaran yang baik. Nyeri yang memiliki etiologi jelas biasanya memiliki prognosis baik.8 Trigger point yang aktif dapat dihilangkan dengan penanganan adekuat sehingga pasien dapat merasakan ruang gerak penuh tanpa nyeri. Pasien dengan nyeri alih yang stabil dan tidak disertai dengan penyebaran ke otot sekitarnya biasanya merespon lebih baik (bisa sembuh dengan mengoreksi faktor pemicu dan penanganan adekuat) ketimbang nyeri yang berlangsung progresif memburuk. Apabila penanganan yang diberikan tidak adekuat dan nyeri menetap lama, sensitisasi sentral segmental dapat terjadi yang akhirnya berujung pada nyeri kronis. Pada kasus tersebut, apabila sensitisasi sentral menyebar maka akan terjadi nyeri kronis yang menyebar luas dan fibromyalgia.8,9
Meskipun trigger point aktif tampaknya sudah dinonaktifkan, beberapa trigger point aktif dapat berubah menjadi trigger point laten. Trigger point laten dapat menjadi aktif kembali ketika otot bekerja berlebihan atau terekspos faktor pemicu lagi. Disabilitas dan keterbatasan ruang gerak yang ditimbulkan oleh trigger point laten bisa menetap hingga bertahun-tahun. Masih tidak jelas mengapa ada trigger point yang bisa sembuh total dan mengapa ada yang justru berubah menjadi laten. Beberapa orang tampaknya lebih rentan mengalami pembentukan trigger point dan lebih sulit untuk mencegah reaktivasi trigger point laten dalam dirinya. Pada orang-orang tersebut, trigger point bisa berakumulasi sepanjang hidupnya sehingga penting untuk terus menerus menghindari faktor pemicu dan mencegah kerja otot berlebih. Pada semua kasus, faktor pemicu nyeri harus sebisa mungkin dihilangkan, pasien harus diposisikan seoptimal mungkin, serta dilakukan program latihan yang optimal di rumah.10
BAB 3 SIMPULAN
Sindrom nyeri miofasial adalah suatu kondisi nyeri otot atau fasia, akut maupun kronik, menyangkut fungsi sensorik, motorik, atau otonom yang berhubungan dengan myofascial trigger points (MTrPs). Sindrom nyeri miofasial merupakan masalah kesehatan yang signifikan, dimana 85% populasi umum pernah mengalami nyeri miofasial pada satu waktu dalam hidupnya dengan prevalensi per tahun sekitar 46% dan insiden antara laki-laki dan perempuan hampir sama.
Nyeri miofasial dapat bersifat lokal atau secara regio, seperti pada leher, bahu, punggung atas dan bawah, biasanya unilateral atau lebih berat di salah satu sisi. Nyeri otot dapat menetap dengan variasi dari ringan hingga sangat berat, dan biasanya tidak hilang dengan sendirinya. Terdapat 7 ciri khas sindrom nyeri miofasial disebabkan trigger points yaitu nyeri lokal trigger points, nyeri alih, pemendekkan sarcomere, respon kedutan lokal (LTR), masalah metabolik, efek theraputik yang timbul dari meregangkan otot yang berkaitan, kelemahan dan kelelahan.
Diagnosis nyeri myofasial dapat ditegakan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis dilakukan berdasarkan “Sacred Seven and Basic Four”. Pada anamnesis biasanya pasien mengeluhkan nyeri tekan, nyeri gerak pada otot, nyeri pada leher dan bahu sering menjalar ke atas dan menyebabkan sakit kepala sedangkan pada pemeriksaan fisik dilakukan inspeksi, palpasi untuk menentukan trigger point dapat dilakukan dengan tiga teknik manuver dasar yaitu tekanan jari langsung, palpasi rata, dan palpasi menjepit. Saat palpasi ditemukan taut band yaitu berbentuk seperti tali yang membengkak pada badan otot yang membuat pemendekan serabut otot terus menerus, sehingga terjadi peningkatan ketegangan serabut otot.
Penegakkan diagnosis nyeri miofasial dapat menggunakan kriteria dari Simons dkk atau IASP. Fibromyalgia adalah diagnosis banding terdekat dan terpenting nyeri miofasial karena keduanya muncul sebagai nyeri otot dan sering muncul bersama-sama. Penanganan nyeri miofasial dapat dibedakan menjadi
nonoperatif dan operatif. Penanganan nonoperatif diawali dengan tindakan awal, kemudian dilakukan terapi untuk meredakan nyeri, menghilangkan trigger point, dan mengembalikan fungsi normal otot. Manajemen operatif adalah pilihan terakhir bagi pasien. Prognosis nyeri miofasial akan lebih baik bila durasi penyakit singkat, faktor pemicu berhasil dikendalikan, deteksi dini, dan segera mendapat terapi yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Simons DG, Travell JG, Simons L. Travell Simons’ myofascialpain and dysfunction: the trigger point manual. 2 ed. Vol. 1,Upper half of the body.
1999, Baltimore: Williams & Wilkins.
2. Fernendes de las penas ,c, Cuadrodo M L Ardent Neils L.Simsns D G Pareja J A (2007).Myofacial trigger points and sensitization an update pain model for tension type eadache . Cephalgia 27(5) ,383-393
3. Gerwin R D (2001) Classifications, Epidemiology and naturals history of myofascial pain syndrome . current pain and headache eports 5(5), 412- 420
4. Bron C. Dommerholt JD (2012) Etiology of myofacial trigger points Current Pain and headache reports 16(5),439-444
5. Simons, David MD : Myofascial Pain Syndrome due to trigger points, November 1987
6. Frost A: Diclofenac versus lidocaine as injection therapy in myo-fascial pain. Scand J Rheumatol 15:153-156, I986
7. Perl ER: Unraveling the story of pain. In: Advances in Pain Research and Therapy, Vol. 9, edited by H.L. Fields, et al. Raven Press, New York, I985 (pp. 1-29).
8. Desai, M., Saini,Vickramjeet., Saini, Shawnjeet.,: Myofasical Pain Syndrome
9. IASP. 2009. Global Year Against Musculoskeletal Pain: Myofascial Pain 10. Chochowska, Molgarzata. 2015. Differential Diagnosis between
fibromyalgia syndrome and myofascial pain syndrome. Journal of Pre- Clinical and Clinical Reasearch.