A. L
ATARB
ELAKANGSebagai pusat pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi, DKI Jakarta menunjukkan perkembangan pembangunan yang sangat pesat.
Kota Jakarta telah berkembang menjadi salah satu Megapolitan terbesar di kawasan regional Asia.
Di pihak lain, pertumbuhan wilayah megapolitan yang cepat dan kedudukan yang strategis baik secara politik, ekonomi dan sosial telah mendorong pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat. Pada tahun 2020 penduduk Jakarta diperkirakan akan mengalami pertambahan ganda (doubling time) dari apa yang terjadi sekarang. Kepadatan penduduk akan meningkat dari sekitar 14,8 ribu jiwa/km2 menjadi 29,87 ribu jiwa/km2.
Tingkat kepadatan ini akan memberikan tekanan yang luas pada kebutuhan infrastruktur kota, pemenuhan lapangan pekerjaan dan pengelolaan fasilitas umum. Oleh karena itu, perkembangan megapolitan Jakarta akan menimbulkan peningkatan kompleksitas masalah pengelolaan kota.
Berbagai bentuk kompleksitas masalah pengelolaan kota muncul beringan dengan percepatan laju pembangunan. Sebagai contoh beberapa diantaranya adalah; Megapolitan Jakarta yang didesain untuk penduduk enam juta jiwa kini dihuni oleh lebih dari 12 juta jiwa akibatnya masalah transportasi, kemacetan, dan polusi merupakan masalah besar yang mendesak untuk dibenahi secara komrehensif. Demikian pula konsekuensi dari pembangunan kota dengan makin meluasnya lahan yang tertutup dengan berdirinya bangunan gedung, jalan raya, trotoar, dan lain-lain mengakibatkan aliran air permukaan (surface run off) menjadi sangat besar yang rentan menimbulkan masalah banjir. Di samping masalah run off, bencana banjir tahun 2002 yang lalu telah menumbuhkan kesadaran bahwa posisi Jakarta secara geografis merupakan kolam besar dan banjir bisa datang secara berkala. Pemerintah Kota Jakarta dihadapkan pula pada tuntutan penyediaan bangunan gedung untuk berbagai aktivitas warganya dan masalah ini merupakan masalah yang berat mengingat terbatasnya lahan yang tersisa. Perubahan tersebut akan pula memberikan dampak-dampak ekologis terutama yang jelas adalah koefisien penutupan tanah oleh bangunan menjadi sangat tinggi.
Di samping kompleksitas masalah pengelolaan kota yang diuraikan tersebut di atas, pada saat ini semakin disadari bahwa pengelolaan kota juga menghadapi masalah-masalah yang terkait dengan kehadiran berbagai organisme sebagai bagian dari ekosistem kota sebagai habitat manusia.
Selama dua tahun terakhir ini, virus dengue/demam berdarah (DB) yang disebarkan oleh nyamuk Aides agypti menyebabkan bencana yang mengerikan. Kejadian luar biasa hampir terjadi setiap tahun di DKI Jakarta dan beberapa kota lainnya di Indonesia. Lebih dari 24 ribu jiwa terjangkit DB dan 366 jiwa meninggal. Tidak dilupakan pula, pasca banjir 2002 dilaporkan belasan orang dirawat di rumah sakit dan tiga orang meninggal dunia akibat leptospirosis yang ditularkan tikus. Kondisi tersebut, telah menyadarkan pemerintah kota untuk secara serius menanangi masalah-masalah yang terkait dengan kehadiran organisme pengganggu, ternasuk kehadiran organisme lain yaitu rayap.
Rayap bukan vektor penyakit laiknya nyamuk atau tikus tetapi rayap adalah organisme yang dapat menimbulkan kerusakan pada bangunan gedung atau tanaman penyusun taman kota dengan bahaya yang setara dengan bahaya kehadiran vektor penyakit bahkan dengan faktor perusak bangunan lainnya seperti kebakaran. Kecenderungan bahaya rayap tampaknya terus meningkat, laporan dari beberapa pusat penelitian, khususnya di Institut Pertanian Bogor melaporkan bahwa lebih dari 78,3% bangunan di DKI Jakarta terserang rayap, tidak peduli apakah bangunan itu rumah tinggal sederhana atau mewah, bangunan bertingkat atau bukan, istana presiden, dan rumah dinas gubernur.
Kecenderungan bahaya rayap yang semakin tinggi itu, rupanya telah menginspirasi pemerintah pusat untuk menyusun kebijakan publik terkait penyelenggaraan bangunan gedung yang di dalamnya memasukan bahaya rayap sebagai bagian dari faktor perusak bangunan. Aturan legal formal tersebut dituangkan dalam UU No 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Pemerintah No 35 tahun 2005.
Bagi pemerintah DKI Jakarta implementasi aturan tersebut, dalam penyelenggaraan bangunan gedung khususnya terkait dengan penanggulangan bahaya rayap yang dituangkan dalam peraturan daerah atau bentuk-bentuk kebijakan pemerintah lainnya tampaknya merupakan sebuah
pra kondisi bagi terciptanya bangunan gedung yang handal, berjati diri, selaras dan serasi dengan lingkungannnya. Terlebih-lebih masalah rayap di DKI Jakarta memang lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya.
Tulisan ini memaparkan Logic Of Inquiry terhadap perlunya upaya penanggulangan bahaya serangan rayap pada bangunan-bangunan gedung di DKI Jakarta. Kajian didasarkan pada tinjauan terhadap aturan legal formal yang berlaku dan potensi bahaya rayap yang ada di DKI Jakarta.
B. T
INJAUANT
ERHADAPP
ERATURANY
ANGB
ERLAKUTerdapat berapa perutaran perundangan yang berlaku yang menjadi alasan perlunya penanggulangan serangan rayap dalam setiap penyelenggaraan bangunan gedung. Aturan legal formal tersebut dituangkan dalam UU No 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Pemerintah No 35 tahun 2005. Bahkan sebelum kebijakan publik dalam bentuk peraturan perundangan-undangan lahir, dalam kerangka operasional pengendalian rayap telah dirumuskan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 332/KPTS/M/2002 tanggal 21 Agustus 2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara dan Standar Nasional Indonesia (SNI), yaitu SNI No 03-2404-2000 mengenai Tata Cara pencegahan Serangan rayap pada bangunan rumah dan gedung dengan termitisida dan SNI No 03-2405-2000 tentang Tata cara penanggulangan rayap pada bangunan rumah dan gedung dengan termitisida.
Undang-Undang No 28 tentang Bangunan Gedung merupakan aturan legal formal yang mengatur seluk beluk penyelenggraan bangunan gedung sehingga setiap bangunan gedung memenuhi persyaratan administrasi dan teknis bangunan, serta harus diselenggarakan secara tertib. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang tersebut, tujuan pengaturan bangunan gedung adalah 1) mewujudkan bangunan gedung yang secara fungsional
sesuai dengan tata banganan serta serasi dan selaras dengan lingkungannya;
2) mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan yang menjamin keandalan teknis bangunan dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan, dan 3) mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggraan bangunan.
Dalam kerangka keandalan teknis bangunan, Undang-Undang memberikan porsi yang besar dan diatur dalam pasal-pasal yang terkait dengan Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung dari Pasal 16 sampai dengan Pasal 33. Kondisi tersebut, tampaknya didorong oleh landasan berpikir bahwa keandalan bangunan gedung akan sangat menentukan keselematan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan penggunaan bangunan gedung.
Penurunan keandalan bangunan tentunya akan mengakibatkan seluruh totalitas fungsional bangunan yang mempunyai nilai keselamatan, kenyamanan, kesehatan, kemudahan dan lain sebagainya terganggu sehingga memberikan dampak finansial maupun non finansial.
Secara teoritis penurunan keandalan bangunan gedung adalah hasil resultante dari proses kemunduran kualitas bangunan (building deterioration) akibat bekerjanya faktor perusak bangunan. Dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2002 Bangunan Gedung persyaratan keandalan bangunan meliputi:
1). Persyaratan keselamatan bangunan, 2). Persyaratan kesehatan bangunan
3). Persyaratan kenyamanan bangunan; dan 3). Persyaratan kemudahan
Terkait dengan masalah keselamatan bangunan sebagaimana diatur dalam pasal 17 hingga pasal 20 dapat diinventarisir beberapa faktor yang mempengaruhi keselamatan bangunan, yaitu terkait dengan:
1). Persyaratan bangunan dalam mendukung beban muatannya;
2). Kemampuan bangunan dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 18 yang dimaksud dengan persyaratan bangunan dalam mendukung beban muatannya adalah sebagai berikut:
Dengan demikian, secara rinci undang-undang menyebutkan faktor-faktor perusak bangunan terdiri dari:
1. Kerusakan akibat bahaya kebakaran 2. Bahaya petir
3. Penurunan keandalan bangunan akibat beban mutannya dan perilaku alam, meliputi
a. Menurunnya kualitas material akibat penyusutan, relaksasi, dll.
b. Gempa (tektonik dan vulkanik) c. Angin ribut/badai
d. Tanah longsor e. Banjir
f. Bahaya akibat serangga perusak dan jamur
Munculnya rayap (serangga perusak) dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2002 menunjukkan bahwa rayap sebagai faktor perusak bangunan merupakan faktor perusak yang setara dengan faktor perusak lain.
Dalam kerangka implementasi UU No 28 Tahun 2002 terhadap peraturan daerah, khususnya masalah keandalan bangunan tampaknya Pemerintah DKI Jakarta perlu memasukan berbagai faktor perusak bangunan yang ada sesuai dengan karakteristik kondisi biofisik dan geografisnya, termasuk apakah perlu menjadikan rayap sebagai faktor perusak bangunan di DKI Jakarta. Apabila kerusakan bangunan akibat serangan rayap di DKI Jakarta sangat tinggi dan menimbulkan beban ekonomi dan sosial yang tinggi bagi masyarakat maka tidak ada alasan untuk tidak menempatkan rayap sebagai bagian dari
kebijakan publik yang mengatur penyelenggaraan bangunan di wilayah DKI Jakarta.
Di samping itu, Departemen Pekerjaan Umum cq. Pusat Litbang Permukiman sejak Tahun 2000 telah menyusun SNI yang dapat dijadikan kerangka acuan operasinalisasi kegiatan penanggulangan bahaya serangan rayap.
C. P
OTENSIB
AHAYA DANS
ERANGANR
AYAPDIDKI J
AKARTAC.1. Potensi Bahaya Serangan Rayap
Pada saat ini, rayap merupakan ancaman pada bangunan gedung baik untuk fungsi hunian, perkantoran, gedung usaha seperti pusat-pusat perbelanjaan, hotel, dan gedung-gedung dengan fungsi lainnya. Tidak ada bagian dari lingkungan permukiman di Indonesia yang steril dari serangan rayap, di sebagian besar daerah di Jawa frekuensi serangan rayap tanah pada bangunan gedung lebih dari 25%. Bahkan di DKI Jakarta kasus serangan rayap mencapai 78,3%.
Besarnya potensi serangan rayap di DKI Jakarta dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu; karakteristik rayap, bangunan dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut saling terkait dalam menentukan tingkat bahaya serangan rayap.
Gambar 1. Keterkaitan Antar Faktor Penentu Bahaya Rayap
KELEMBAGAAN YANG HANDAL KARAKTERISTIK
RAYAP
KARAKTERISTIK LINGKUNGAN DERAJAT
BAHAYA RAYAP
KARAKTERISTIK BANGUNAN
Survey jenis-jenis rayap menunjukkan bahwa di Jakarta terdapat 15 jenis rayap perusak bangunan, enam jenis diantaranya merupakan jenis rayap yang paling berbahaya, yaitu dari genus Coptotermes (Gambar 1). Rayap jenis ini mampu menyerang bangunan dengan berbagai tipe konstruksi mulai dari konstruksi ringan seperti pada rumah-rumah tinggal sederhana sampai dengan tipe konstruksi beton bertulang pada bangunan-bangunan gedung bertingkat di Jakarta. Melihat karakteristik rayap yang ada dan kondisi biofisik Kota DKI Jakarta, tidak dapat disangkal bahwa ancaman bahaya rayap sangat tinggi.
Bahkan tuntutan penyediaan bangunan gedung untuk berbagai aktivitas warga DKI Jakarta akan banyak merubah peruntukan lahan. Perubahan tersebut akan pula memberikan dampak-dampak ekologis terutama yang jelas adalah koefisien penutupan tanah oleh bangunan menjadi sangat tinggi dan akan mengganggu kehidupan alami rayap.
Gambar 1. Peta Sebaran Rayap di DKI Jakarta (Nandika, et al., 2003)
Tingginya potensi serangan rayap di DKI Jakarta juga didukung oleh kondisi lingkungan edafis dan klimatis yang mendukung kehidupan rayap. Di pihak
Microtermes inspiratus Odontotermes javanicus Schedorhinotermes javanicus Microtermes intercoides Odontotermes grandiceps Coptotermes curvignathus Macrotermes gilvus Odontotermes malaccensis Coptotermes kalshoveni Coptotermes sp Coptotermes travians Coptotermes heimi
lain proses pembangunan lingkungan permukiman yang begitu cepat karena pertambahan penduduk menyebabkan tekanan yang berat terhadap kondisi habitat alami rayap. Areal terbuka hijau yang menyediakan makanan berupa tunggak kayu atau tanaman, ranting, serasah, dan lain-lain bagi rayap semakin terbatas sehingga rayap mencari sumber nutrisinya pada bangunan-bangunan yang dibangun dimana menggunakan banyak komponen kayu sebagai sumber nutrisi rayap. Tidak dapat dihindari pula, bahwa bahan material kayu yang digunakan sebagai komponen struktural maupun non struktural gedung adalah kayu-kayu dengan kelas awet yang rendah yang rentan terhadap serangan rayap.
Berdasarkan kondisi keragaman jenis rayap yang dijumpai, karakteristik lingkungan, dan bangunan tidak mengherankan apabila potensi bahaya serangan rayap di DKI Jakarta akan sangat tinggi.
C.1. Kasus Serangan Rayap
Besarnya ancaman bahaya serangan rayap juga telah disadari oleh Pemerintah DKI Jakarta. Beberapa aset bangunan gedung yang dimiliki pemerintah dan masyarakat telah banyak mengalami kerusakan akibat serangan rayap.
Bagi para pengelola bangunan di DKI Jakarta tampaknya rayap tidak hanya populer menyerang kayu sebagai bagian konstruksi bagunan rumah tinggal sederhana, tetapi telah merambah menyerang gedung-gedung bertingkat tinggi yang dari segi konstruksi hampir-hampir dikatakan aneh terserang rayap karena dilengkapi basement dengan lantai slab beton bertulang dan sangat minimal menggunakan kayu sebagai komponen struktural bangunan. Pada bangunan bertingkat tinggi itu rayap menyerang komponen-komponen kayu sebagai bagian dari ornamen bangunan, atau pelengkap isi bangunan seperti funiture, kitchen set, dan lain-lain. Bahkan pada beberapa kasus serangan rayap menghabiskan dokumen-dokumen yang berada di dalam gedung, menghancurkan wallpaper, merusak parquet, dan bahan-bahan bangunan baru seperti gipsum. Kondisi tersebut merubah status hama rayap yang populer dari an sich hama kayu menjadi hama bangunan, karena tidak hanya menyerang struktur kayu tetapi mengganggu bangunan secara keseluruhan.
Wlaupun pun belum ada data secara pasti, namun beberapa laporan menunjukkan beberapa jenis bangunan milik pemerintah DKI jakarta sudah banyak yang terserang rayap. Dokumentasi serangan rayap pada bangunan gedung di DKI Jakarta terlampir.
D. R
UMUSANK
ONSEPP
ENGENDALIANR
AYAP DIDKI J
AKARTABagi Pemerintah DKI Jakarta kehadiran bangunan gedung mempunyai peran strategis dalam memunculkan karakter, produktivitas, dan jati diri . Di samping itu, bangunan gedung merupakan bagian penting dalam kehidupan warga DKI Jakarta yang digunakan untuk berbagai jenis ragam aktivitas.
Sebagai bagian dari kebutuhan pokok maka proses pembangunan gedung harus merupakan hasil daya cipta kreasi manusia dengan berbagai pertimbangan tidak saja masalah teknis ekonomi tetapi juga menyangkut nilai- nilai keindahan bentuk (disain bentuk) dan kesesuaian dengan lingkungannya sehingga kepuasan manusia sebagai penggunannya dapat tercapai. Oleh karena itu, dalam proses penyelenggaraan bangunan gedung, harapan pemerintah DKI Jakarta selaras dengan UU No 28 Tahun 2002 adalah diarahkan bagi terciptanya 1) bangunan gedung yang secara fungsional sesuai dengan tata banganan serta serasi dan selaras dengan lingkungannya;
2) tertib penyelenggaraan bangunan yang menjamin keandalan teknis bangunan dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan, dan 3) terciptanya kepastian hukum dalam penyelenggraan bangunan.
Berdasarkan pemikiran tersebut beberapa rumusan konsep pengendalian rayap yang perlu disiapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta adalah;
1) Penguatan acuan legal formal bagi penyelenggaraan bangunan gedung di wilayah DKI Jakarta dengan mempertimbangkan peraturan-peraturan yang lebih tinggi, dalam hal ini adalah UU No 28 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah No 35 tahun 2005. Di samping itu untuk mewujudkan keandalan bangunan gedung yang diatur dalam kebijakan publik di wilayah DKI Jakarta, faktor-faktor perusak bangunan yang dominan terjadi di DKI Jakarta seperti bahaya rayap perlu mendapat perhatian yang memadai.
2. Di samping penguatan aturan legal formal seperti dalam bentuk peraturan daerah atau peraturan gubernur, aspek lain yang perlu mendapat perhatian adalah aturan kelembagaan dan sistem hubungan antara stakeholder bangunan gedung. Masalah ini penting diperhatikan karena keberhasilan penyenggaraan bangunan gedung di DKI Jakarta perlu melibatkan semua stakehorder dalam bentuk hubungan kemitraan yang strategis dan konstruktif. Pemerintah daerah merupakan fasilitator bagi pemenuhan kebutuhan publik secara luas.
Terkait dengan upaya penanggulangan bahaya rayap, bagi Pemerintah DKI mungkin tampaknya tidak perlu menunggu kehadiran kebijakan publik dalam bentuk peraturan daerah karena proses legislasinya mungkin memakan waktu padahal kerusakan akibat rayap terus terjadi dan perlu segera di atasi agar kerugian ekonomis yang terjadi tidak semakin besar. Sebagai bagian dari implementasi UU Bangunan terkait dengan kendalan bangunan maka tindakan menanggulangi bahaya serangan rayap harus segera dimulai. Oleh karena itu, melalui Kantor Tata Bangunan dan Gedung Pemerintah DKI Jakarta telah merumuskan peraturan gubernur mengenai standar penanggulangan bahaya serangan rayap pada bangunan gedung milik pemerintah DKI Jakarta.
Standar penanggulangan bahaya serangan rayap disusun sebagai sebagai panduan bagi instansi-instansi di Pemerintah DKI Jakarta dan pelaksana dalam perlakuan penanggulangan bahaya rayap untuk bangunan gedung agar penanggulangan bahaya rayap dapat dilakukan dengan sistem dan standar pelaksanaan pekerjaan yang baku sehingga efektifitas sumberdaya dan biaya dapat tercapai.Secara umum standar memuat dua aspek penting dalam penanggulangan bahaya rayap. Dua aspek penting tersebut adalah: 1).
aspek-aspek yang terkait dengan teknis operasional penanggulangan bahaya rayap dan 2) aspek-aspek yang terkait dengan sistem operasional yang memadukan kegiatan dan peran serta dari berbagai instansi pemerintah daerah dan pihak lain untuk mencapai tujuan (output) yang telah ditentukan, yaitu keandalan bangunan yang memberikan jaminan keamanan, keselematan, kesehatan, dan kenyamanan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan bahkan lebih.
Dalam tataran teknik operasional penangulangan bahaya serangan rayap pemerintah mendorong agar teknologi penanggulangan bahaya rayap mampu
mengatasi gangguan rayap, di samping itu upaya pengendalian harus efisien dan tidak memberikan dampak yang merugikan bagi lingkungan termasuk bagi masyarakat kota. Oleh karena itu, standarisasi teknis, pengaturan jenis termitisida yang ramah lingkungan, dan pengaturan pelaksana pekerjaan oleh pengendali rayap yang profesional dan ditunjang oleh tenaga pengawas yang handal menjadi sangat penting dalam operasional penanggulangan bahaya rayap di DKI Jakarta. Sementara itu, aspek sistem hubungan kelembagaan juga merupakan aspek yang harus dikendalikan. Terkait dengan hal tersebut, beberapa staholeder yang terlibat adalah sebagai berikut :
1) Unit Pengelola Bangunan/Pengguna Anggaran 2) Unit Teknik Perencanaan Fisik Bangunan 3) Unit Teknik Pengawasan Lingkungan (BPLHD)
4) Unit Teknik Pengawasan (Supervisi) Bangunan Gedung 5) Perusahaan Pengendali Rayap (termite control operation)
Konsep hubungan antara masing-masing pihak dapat dikembangkan dalam pola hubungan kemitraan sebagaimana disajikan dalam bentuk bagan sebagai berikut:
Gambar 2. Diagram Keterkaitan Antara Unit Penanggulangan Bahaya Rayap PCO
PENGAWASANUNIT LINGKUNGAN
Garis instruksi / perintah Garis koordinasi
PENGELOLA BANGUNAN
UNIT TEKNIK PERENCANAAN FISIK BANGUNAN
UNIT TEKNIK PENGAWASAN
GEDUNG
Berdasarkan diagram tersebut, masing-masing pihak yang terkait dalam penanggulangan bahaya rayap memiliki wewenang dan tanggung jawab yang terpisah namun saling berhubungan sehingga kelemahan pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab dari satu pihak akan berpengaruh pada pelaksanaan penanggulangan bahaya rayap secara umum. Oleh karena itulah hubungan kemitraan yang konstruktif sangat diperlukan.
D. K
ESIMPULANBangunan gedung yang handal, berjati diri, serasi dan selaras`dengan lingkungannya adalah harapan bagi setiap penyelenggaraan bangunan gedung. Bangunan gedung tidak saja merepresentasikan wajah kota Jakarta tetapi turut menentukan karakter, produktivitas, dan jati diri kota. Oleh karena itu, UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2005 merupakan acuan legal formal bagi Pemeirntah DKI Jakarta dalam merumuskan berbagai kebijakan publik mengenai bangunan gedung. Tidak dapat pungkiri pula bahwa kebijakan-kebijakan publik di daerah sebagai acuan operasional dari aturan kebijakan yang lebih tinggi perlu disusun dengan mempertimbangkan kondisi khas daerah baik masalah persyaratan administrasi, maupun teknis bangunan termasuk faktor- faktor yang mempengaruhi keandalan bangunan gedung.
Bagi Pemerintah DKI Jakarta, masalah gangguan keandalan bangunan gedung oleh serangan rayap merupakan masalah yang besar. Gangguan rayap telah menyebabkan kerusakan pada banyak bangunan gedung tidak saja bangunan milik pemerintah tetapi juga bangunan publik. Oleh karena itu, sebagai bentuk implementasi UU No 28 Tahun 2002, pemerintah DKI Jakarta memandang perlu merumuskan peraturan daerah atau bentuk kebijakan lainnya yang menjamin peningkatan mutu keandalan bangunan. Dalam kerangka itu diperlukan pula kerjasama kemitraan yang sinergis dan konstruktif antar stakeholder di DKI Jakarta.
LAMPIRAN. DOKEMENTASI FOTO SERANGAN RAYAPDI DKI JAKARTA
Gambar 1. Serangan Rayap Di Rumah Dinas Gubernur DKI
Jakarta
Gambar 2. Serangan Rayap Pada Gedung dengan Fungsi Sosial
Gambar 3. Serangan Rayap Pada Gedung Perkantoran
Gambar 4. Serangan Rayap Pada Gedung Perkantoran