BIMBINGAN TEKNIS ANALISIS DEBIT BANJIR DESAIN DENGAN MENGGUNAKAN DATA HUJAN SATELIT
Juni 2022
Balai Teknik Bendungan – Ditjen SDA i Juni 2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya pengembangan Modul 1 – Analisis Curah Hujan sebagai materi inti/substansi dalam pelatihan analisis debit banjir menggunakan data hujan satelit. Modul ini disusun untuk memenuhi kebutuhan kompetensi dasar Aparatur Sipil Negara (ASN), maupun perencana profesional di bidang sumber daya air.
Pelatihan analisis debit banjir menggunakan data hujan satelit merupakan rangkaian 3 (tiga) topik, yaitu analisis curah hujan, analisis debit banjir, dan pemodelannya. Penyusunan modul yang sistematis diharapkan mampu mempermudah peserta pelatihan dalam memahami dan menerapkan materi dasar-dasar perencanaan alur dan bangunan sungai.
Penekanan orientasi pembelajaran pada modul ini lebih menonjolkan partisipasi aktif dari para peserta.
Akhirnya, ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada Tim Penyusun dan Narasumber, sehingga modul ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyempurnaan maupun perubahan modul di masa mendatang senantiasa terbuka dan dimungkinkan mengingat akan perkembangan situasi, kebijakan dan peraturan yang terus menerus terjadi. Semoga Modul ini dapat memberikan manfaat bagi peningkatan kompetensi ASN/perencana professional di bidang SDA.
Jakarta, Juni 2022
Kepala Balai Teknik Bendungan,
Duki Malindo, ST., M.CM NIP. 19751015200112 1 007
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR ISTILAH ... vi BAB 1 Pendahuluan ... 1-1 1.1 Latar Belakang ... 1-1 1.2 Tujuan Pembelajaran ... 1-2 1.3 Acuan Standar, Pedoman dan Manual ... 1-2 BAB 2 Pengumpulan Data Hujan ... 2-1
2.1 Data Pos Hujan ... 2-1 2.2 Data Hujan Satelit ... 2-1 2.2.1 TRMM dan GPM ... 2-2 2.2.2 Data Hujan Satelit Lain ... 2-3 BAB 3 Pemeriksaan Data Hujan ... 3-1 3.1 Uji Outlier ... 3-1 3.2 Uji Trend ... 3-2 3.3 Uji Stabilitas (mean dan variance) ... 3-3 3.4 Uji Independensi ... 3-4 BAB 4 Koreksi Data Hujan Satelit ... 4-1
4.1 Pemilihan Data Stasiun Hujan ... 4-2 4.2 Koreksi Hujan Harian ... 4-4 4.3 Pemeriksaan Lengkung Distribusi HHMT ... 4-6 BAB 5 Analisis Frekuensi ... 5-1
5.2 Distribusi Probabilitas Yang Umum Digunakan ... 5-3 5.2.1 Distribusi Probabilitas General Extreme Value (GEV) ... 5-3 5.2.2 Distribusi Log Normal 2-Parameter... 5-4 5.2.3 Distribusi Log Normal 3-Parameter... 5-5
Balai Teknik Bendungan – Ditjen SDA iii Juni 2022
5.2.4 Distribusi Gumbel-1 ... 5-5 5.2.5 Distribusi Pearson III dan Log-Pearson III ... 5-6 5.3 Uji Kecocokan Probabilitas ... 5-7
5.3.1 Uji Chi-Square ... 5-7 5.3.2 Kolmogorov-Smirrnoff ... 5-8 BAB 6 Analisis Curah Hujan Maksimum Boleh Jadi ... 6-1 6.1 Analisis Metode Hershfield ... 6-1 6.2 Peta Isohyet PMP ... 6-3 BAB 7 Curah Hujan Wilayah ... 7-1
7.1 Hujan Titik dan Hujan Rata-rata Wilayah ... 7-1 7.2 Rata-rata Aritmatik ... 7-1 7.3 Poligon Thiessen ... 7-2 BAB 8 Penentuan Durasi dan Distribusi Curah Hujan ... 8-1
8.2 Penentuan Durasi Hujan Rencana ... 8-2 8.2.1 Pencatatan Hujan ... 8-2 8.2.2 Klasifikasi Ukuran DAS... 8-2 8.3 Distribusi Hujan Rencana ... 8-2
8.3.1 Distribusi PSA-007 ... 8-3 8.3.2 Distribusi Huff-1 ... 8-6 8.3.3 Distribusi SCS ... 8-7 8.3.4 Pemilihan Distribusi Hujan ... 8-10 BAB 9 Faktor Reduksi Hujan ... 9-1
9.1 Reduksi Hujan Terhadap Luas ... 9-1 9.2 Reduksi Hujan Terhadap Durasi Temporal ... 9-2 REFERENSI ... viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4-1. Diagram alir penggunaan dan koreksi data hujan satelit ... 4-1 Gambar 4-2. Peta pola curah hujan musiman/ iklim di Indonesia ... 4-5 Gambar 4-3. Contoh perbandingan error hujan harian yang dihasilkan sebelum dan sesudah koreksi ... 4-6 Gambar 4-4. Contoh lengkung probabilitas untuk koreksi data hujan harian TRMM ... 4-6 Gambar 4-5. Contoh lengkung probabilitas untuk koreksi data hujan harian maksimum tahunan TRMM... 4-7 Gambar 5-1. Contoh Cumulative Distribution Function ... 5-3 Gambar 6-1. Faktor pengali terhadap deviasi (Km) ... 6-2 Gambar 6-2. Faktor koreksi Xn ... 6-2 Gambar 6-3. Faktor koreksi Sn ... 6-3 Gambar 6-4. Peta Isohyet PMP Sumatera ... 6-4 Gambar 7-1. Poligon Thiessen ... 7-2 Gambar 8-1. Penentuan durasi dan distribusi hujan ... 8-1 Gambar 8-2. Distribusi hujan kumulatif PSA007 ... 8-4 Gambar 8-3. Distribusi hujan PSA007 untuk durasi 6, 12 dan 24 jam peride ulang 50 tahun
... 8-5 Gambar 8-4. Distribusi hujan kumulatif Huff-1 ... 8-6 Gambar 8-5. Distribusi hujan kumulatif SCS Tipe I ... 8-7 Gambar 8-6. Distribusi hujan kumulatif SCS Tipe IA ... 8-8 Gambar 8-7. Distribusi hujan kumulatif SCS Tipe II ... 8-8 Gambar 8-8. Distribusi hujan kumulatif SCS Tipe III ... 8-9 Gambar 8-9. Kerangka pikir pemilihan distribusi hujan ... 8-10 Gambar 9-1. ARF untuk Pulau Jawa dengan berbagai periode hujan ... 9-2 Gambar 9-2. Rasio hujan durasi tertentu terhadap hujan 24 jam ... 9-3
Balai Teknik Bendungan – Ditjen SDA v Juni 2022
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Standar analisis debit banjir desain ... 1-2 Tabel 1.2. Pedoman teknis analisis debit banjir desain ... 1-3 Tabel 1.3. Manual analisis debit banjir desain ... 1-3 Tabel 2.1. Perbandingan data hujan satelit GPM dan TRMM ... 2-3 Tabel 3.1. Konstanta uji outlier ... 3-2 Tabel 4.1. Contoh Koefisien koreksi TRMM ... 4-4 Tabel 5.1. Faktor frekuensi distribusi log normal 2 parameter ... 5-4 Tabel 5.2. Faktor frekuensi distribusi log normal 3 parameter ... 5-5 Tabel 5.3. Reduced mean, Yn ... 5-6 Tabel 5.4. Reduced standard deviation, Sn ... 5-6 Tabel 5.5. Nilai koefisien distribusi Pearson III dan Log-Pearson III ... 5-7 Tabel 5.6. Nilai kritis Kolmogorov-Smirnov ... 5-9 Tabel 8.1. Klasifikasi Luas DAS ... 8-2 Tabel 8.2. Distribusi curah hujan 24 jam pada berbagai periode ulang ... 8-3 Tabel 8.3. Contoh Distribusi hujan kumulatif PSA007 ... 8-5 Tabel 8.4. Distribusi hujan kumulatif Huff-1 ... 8-6 Tabel 8.5. Distribusi hujan kumulatif NRCS/SCS ... 8-9 Tabel 9.1. Faktor reduksi hujan terhadap durasi temporal ... 9-2
DAFTAR ISTILAH
Banjir
Peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai atau genangan air yang terjadi pada daerah yang rendah dan tidak bisa terdrainasikan
Bendungan
Bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, dan beton, yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan menampung limbah tambang, atau menampung lumpur sehingga terbentuk waduk
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan
Debit Banjir Rencana
Debit maksimum dari suatu sungai, atau saluran yang besarnya didasarkan/terkait dengan periode ulang tertentu
Hidrograf Satuan
Hidrograf (hubungan antara muka air/debit dan waktu) yang terbentuk dari satu satuan hujan efektif, dengan durasi waktu curah hujan tertentu
Hujan Efektif
Curah hujan dikurangi infiltrasi dan evaporasi/evapotranspirasi Hujan Harian Maksimum Tahunan (HHMT)
Akumulasi curah hujan yang terjadi selama satu hari dan tercatat sebagai curah hujan paling tinggi dalam satu tahun
Hujan Wilayah
Curah hujan rata-rata dalam suatu daerah aliran sungai
Hujan Maksimum Boleh Jadi/Probable Maximum Precipitation (PMP)
Tebalnya curah hujan turun dan merupakan batas atas secara fisik untuk suatu durasi dan daerah aliran sungai tertentu
Hujan Rencana
Hujan dengan periode ulang tertentu
Balai Teknik Bendungan – Ditjen SDA vii Juni 2022
Periode Ulang
Selang waktu pengulangan suatu kejadian (terlampaui) pada kurun waktu tertentu (T) Pencilan (Outlier, Data Bias)
Data yang keluar dari populasinya dan jarang terjadi serta besarannya jauh dari yang lainnya, nilainya bisa sangat besar atau kecil dibandingkan dengan yang lainnya
Probabilitas
Kejadian debit banjir kemungkinan terjadinya banjir pada sembarang tahun (p) Tinggi Curah Hujan
Tinggi tampungan air dalam mm yang diukur dengan alat penakar hujan Waktu Konsentrasi
Waktu yang diperlukan air hujan untuk mengalir dari titik terjauh pada suatu DAS ke titik yang ditinjau yang terletak di bagian hilir sungai
Debit Banjir Maksimum Boleh Jadi (BMB)/Probable Maximum Flood (PMF)
Debit banjir terbesar yang mungkin terjadi dengan mengandaikan semua faktor secara kebetulan menghasilkan curah hujan dan limpasan terbesar dan tidak akan terlampaui Penelusuran Banjir
Proses pelacakan banjir untuk menentukan waktu kejadian, muka air di dalam waduk, dan debit masuk waduk maupun keluar melalui pelimpah secara berurutan
Probability Density Function (Fungsi Kepekatan Probabilitas)
Sekumpulan fungsi yang digunakan untuk menjelaskan perilaku suatu distribusi probabilitas teoretis dari sekumpulan data
Waduk
Wadah buatan yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bendungan, selain memiliki manfaat yang besar, juga memiliki potensi bahaya besar.
Peristiwa keruntuhan bendungan akan menyebabkan banjir yang parah sampai jauh ke hilir yang akan menyebabkan banyak korban jiwa, properti, fasilitas umum dan kerusakan lingkungan yang parah di daerah hilir. Untuk mencegah bencana tersebut, perancangan bendungan harus didesain dengan baik, serta bendungan yang sudah ada harus dipantau dan dipelihara dengan baik. Pelimpah, dalam hal ini merupakan infrastruktur yang sangat penting dalam pengendalian banjir bendungan. Untuk meningkatkan keamanan bendungan, diperlukan kajian mengenai kapasitas pelimpah untuk mengalirkan debit banjir sesuai dengan periode ulang yang ditetapkan.
Analisis debit banjir merupakan salah satu aspek penting baik untuk perencanaan bendungan maupun sebagai aspek yang perlu diperhatikan. Permasalahan muncul karena umumnya di negara berkembang termasuk di Indonesia, data yang dapat digunakan dalam analisis debit banjir, terutama data curah hujan, sangat terbatas atau bahkan tidak tersedia.
Salah satu solusi yang dapat digunakan sebagai data hujan adalah data hujan satelit. Akan tetapi berdasarkan kajian lain diketahui bahwa curah hujan satelit memiliki deviasi dibandingkan dengan data stasiun hujan sehingga perlu dilakukan koreksi terlebih dahulu sebelum kemudian dihitung menjadi hujan rencana.
Hujan rencana kemudian digunakan dalam analisis hujan efektif yang kemudian ditransformasi menjadi debit banjir menggunakan metode hidrograf satuan melalui proses kalibrasi sesuai dengan SNI 2415:2016. Apabila kalibrasi tidak dapat dilakukan, maka analisis debit banjir perlu dibandingkan dengan beberapa metode baik dalam analisis hujan efektif maupun hidrograf satuan. Debit banjir yang dihitung menggunakan berbagai periode ulang termasuk dalam kondisi Probable Maximum Flood (PMF) dan kemudian digunakan sebagai dasar dalam analisis penelusuran banjir. Dalam analisis penelusuran banjir, dapat diketahui besaran elevasi muka air waduk dengan dimensi pelimpah tertentu yang menjadi acuan dalam kondisi keamanan bendungan mengikuti SNI 3432:2020.
Modul 1 “Analisis Curah Hujan” ini merupakan bagian pertama dari tiga modul yang disiapkan untuk kegiatan bimbingan teknis “Analisis Debit Banjir Desain dengan Menggunakan Data Hujan Satelit”. Setelah melewati bimbingan teknis ini diharapkan peserta dapat melakukan analisis data hujan, termasuk menggunakan data satelit, hingga memperoleh debit banjir dan dapat mengkaji keamanan bendungan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Balai Teknik Bendungan – Ditjen SDA 1-2 Juni 2022
1.2 TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti rangkaian pembelajaran dengan bahan yang tertera pada modul ini, diharapkan peserta mampu memahami langkah analisis curah hujan baik menggunakan data stasiun hujan maupun menggunakan data hujan satelit. Analisis curah hujan dalam modul ini mencakup pemeriksaan data hujan, koreksi data hujan satelit, analisis frekuensi menggunakan distribusi probabilitas GEV, analisis curah hujan maksimum boleh jadi, analisis hujan wilayah, penentuan durasi & distribusi hujan rencana, dan penentuan faktor reduksi hujan.
1.3 ACUAN STANDAR, PEDOMAN DAN MANUAL
Berkaitan dengan analisis curah hujan dalam hubungannya dengan keamanan bendungan, dikumpulkan beberapa dokumen standar, pedoman dan manual yang berkaitan dengan modul ini. Daftar seluruh dokumen yang terkait dengan modul ini dapat dilihat pada Tabel 1.1, Tabel 1.2, dan Tabel 1.3 di bawah. Salah satu pedoman teknis yang dirumuskan pada tahun 2017 di bawah Balai Teknik Bendungan bahkan secara spesifik telah membahas sedikit banyak mengenai perhitungan debit banjir pada bendungan dengan memanfaatkan data hujan satelit TRMM. Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi, petunjuk teknis ini perlu diperbaharui, salah satunya dilakukan melalui pekerjaan bahan ajar ini.
Tabel 1.1. Standar analisis debit banjir desain
No. Nomor SNI Judul SNI Ruang Lingkup
1 SNI 1731:1989
Tata Cara Keamanan Bendungan
Acuan dan pegangan dalam kegiatan desain, konstruksi, eksploitasi, pemeliharaan dan penghapusan bendungan serta pengawasan kegiatan untuk menjamin kemanan bendungan.
Kegiatan tersebut mencakup aspek desain hidrologi dan hidraulika, struktur, pemantauan, perencanaan dan desain waduk, petunjuk inspeksi keamanan, rencanan darurat dan tata cara, aspek kemanan desain yang berkaitan dengan sungai perbatasan dan pengesahan desain.
2 SNI 7746:2012
Tata Cara Perhitungan Hujan Maksimum Boleh Jadi dengan Metode Hersfield
Tata cara perhitungan hujan maksimum boleh jadi:
1. Data yang digunakan 2. Penyaringan data
3. Perhitungan hujan maksimum boleh jadi dengan hersfield yang hanya berlaku untuk hujan titik dan bukan untuk hujan wilayah 4. Evaluasi hasil perhitungan hujan maksimum
boleh jadi (HMBJ) 3 SNI
2415:2016
Tata Cara Perhitungan Debit Banjir Rencana
Metode dan cara perhitungan debit banjir rencana di saluran atau sungai untuk keperluan perencanaan bangunan air yang mencakup berbagai ketersediaan data, persyaratan dan metode yang umum digunakan untuk terutama untuk aliran yang tidak dipengaruhi oleh arus balik
Tabel 1.2. Pedoman teknis analisis debit banjir desain
No. Tahun Judul Pedoman Ruang Lingkup
1 Maret 2003 Pedoman Kriteria Umum
Desain Bendungan Analisis Hidrologi yang mencakup:
1. Pengumpulan data hidrologi dan meteorologi
2. Pemeriksaaan data
3. Analisis probabilitas banjir desain 4. Perkiraan banjir desain dari data hujan 5. Ketersediaan air waduk
6. Tinggi jagaan 7. Sedimentasi 2 Mei 2020 Pedoman Inspeksi dan
Evaluasi Keamanan Bendungan
Salah satu pokok kegiatan inspeksi dan evalyasi desain hidrologi yang mencakup:
1. Karakteristik hidrologi dan pola banjir 2. Pengendalian operasi waduk
3. Kondisi air buri (tail water) 4. Pengendalian banjir
5. Pengelolaan sungai dan DPS
Tabel 1.3. Manual analisis debit banjir desain
No. Tahun Judul Ruang Lingkup
1 1999 Panduan Perencanaan Bendungan Urugan Volume II (Analisis Hidrologi)
Perencanaan hidrologi bendungan yang mencakup:
1. Pengolahan data 2. Banjir desain 3. Ketersediaan air 4. Kapasistas waduk, dan Sedimentasi waduk
2 2017 Petunjuk Teknis Perhitungan
Debit Banjir Bendungan 1. Penyaringan data hujan dan debit 2. Analisis curah hujan rencana 3. Analisis curah hujan wilayah 4. Penentuan pola/distribusi hujan 5. Penentuan faktor reduksi luas 6. Perhitungan debit banjir dengan
mempertimbangkan variasi ketersediaan data di lapangan termasuk pemanfaatan data satelit TRMM untuk daerah aliran sungai tidak terukur, dan
7. Debit banjir yang terhitung yang disebabkan oleh hujan satu hari (terdistribusi 24 jam) atau lebih
Balai Teknik Bendungan – Ditjen SDA 2-1 Juni 2022
BAB 2
PENGUMPULAN DATA HUJAN
2.1 DATA POS HUJAN
Dalam perhitungan banjir, data hujan yang diperlukan adalah tinggi curah hujan harian maksimum tahunan (HHMT), intensitas hujan dengan berbagai durasi curah hujan, pola distribusi curah hujan, jaringan pos hujan yang mampu memantau karakteristik hujan di dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan periode pencatatan curah hujan yang memadai.
Data hujan bersumber dari pos penakar hujan yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
▪ Penakar hujan manual (PHM), pos penakar hujan mencatat variabel tinggi hujan setiap hari (satuan mm/hari).
▪ Penakar hujan otomatik (PHO), pos penakar hujan otomatik mencatat variabel tinggi hujan setiap menit, jam (satuan mm/jam).
Data hujan jam-jaman dan atau harian pada beberapa kejadian banjir tertentu dibutuhkan untuk melakukan proses kalibrasi dan verifikasi model hidrologi. Data HHMT diperlukan untuk penentuan besaran curah hujan rencana. Panjang data HHMT yang dibutuhkan paling tidak sebanyak 20 tahun. Data tersebut diperoleh dari pos hujan yang biasanya dikelola oleh BWS/BBWS, BMKG, Dinas PSDA.
Data curah hujan yang bersumber dari pos penakar hujan pada umumnya terbatas secara ruang dan waktu. Keterbatasan secara ruang artinya sebaran pos penakar hujan tidak merata pada DAS dan keterbatasan secara waktu artinya panjang data tidak sama untuk disetiap pos dan panjang data kurang dari 20 tahun. Akibat dari keterbatasan ini data hujan dari pos penakar hujan sering mengandung sampling error.
2.2 DATA HUJAN SATELIT
Untuk mengatasi minimnya dan atau tidak tersedianya data hujan, dalam beberapa tahun terakhir telah dilakukan sejumlah studi tentang penggunaan data hujan berbasis satelit sebagai komplemen data hujan yang diukur di lapangan. Data minim ditemui dalam beberapa wilayah dengan kasus berupa data cukup panjang tetapi kualitasnya kurang baik, sementara tidak tersedianya data hujan berarti sama sekali tidak ada pos hujan di dalam maupun di sekitar DAS yang bersangkutan.
Berdasarkan beberapa penelitian mengenai penggunaan data hujan satelit, terdapat error atau perbedaan nilai antara hujan satelit dengan pos hujan. Perbedaan dapat berupa overestimate maupun underestimate, bergantung kepada wilayah studi. Untuk mengatasi perbedaan tersebut, data hujan satelit perlu dikoreksi terlebih dahulu sebelum digunakan untuk analisis hidrologi.
2.2.1 TRMM dan GPM
Diluncurkan pada 27 November 1997, TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) adalah misi yang dilakukan bersama antara Amerika Serikat dan Jepang untuk memperoleh data secara detail dan komprihensif untuk curah hujan pada daerah tropis (40º Lintang Utara sampai 40º Lintang Selatan). Selama lebih dari 15 tahun, TRMM telah menjadi salah satu sumber data utama untuk penelitian meteorologi, hidrologi dan penelitian lain di seluruh dunia. Pada bulan April 2015, TRMM berhenti dan dilanjutkan oleh GPM (Global Precipitation Mission). Untuk analisis data TRMM yang paling relevan untuk digunakan adalah data TMPA (TRMM Multi-satellite Precipitation Analysis) 3B42 harian dan 3 jam-an.
Data tersebut terdistribusi secara spasial dengan luas 0,25º (NCAR Climate Data Guide, 2016).
Dengan keberhasilan TRMM, perencanaan misi pengukuran hujan berikutnya, GPM, dimulai pada awal 2000-an. GPM dikembangkan untuk menyediakan tidak hanya kontinuitas data, tetapi juga peningkatan kualitas dari data TRMM. Meskipun GPM hanya memiliki dua instrumen dibandingkan lima instrumen pada TRMM, kedua instrumen ini (Dual-frequency Precipitation Radar/DPR dan radiometer yang disebut GPM Microwave Imager/GMI) adalah peralatan yang paling canggih yang pernah dikembangkan untuk mengukur curah hujan menggunakan satelit. DPR adalah satu-satunya radar frekuensi ganda di luar angkasa, dan mampu membuat profil 3-D serta perkiraan intensitas curah hujan. GMI memiliki rentang frekuensi yang lebih besar daripada TRMM (13 channels dibandingkan 9 channels), yang memungkinkan GPM mengukur intensitas dan pola curah hujan melalui lapisan awan menggunakan petak data yang lebih luas. Peningkatan kualitas data GPM penting lainnya melalui TRMM adalah penggunaan beberapa satelit milik Amerika Serikat dan internasional untuk mengkalibrasi data. Kalibrasi tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa data hujan yang dikumpulkan dari beberapa satelit tersebut memiliki struktur yang seragam.
Berdasarkan ketersediaan data, tahun data hujan TRMM yang secara efektif dapat digunakan untuk HHMT adalah 1998 hingga 2019. Sedangkan, tahun data hujan GPM yang dapat digunakan adalah tahun 2001 sampai dengan 2020. Meskipun TRMM dan GPM saat ini sama-sama menyediakan hampir 20 tahun lebih data curah hujan kontinu, kedua misi ini menggunakan algoritma yang berbeda untuk menghasilkan data hujan. Oleh karena itu, penggunaan kedua data ini terutama dalam tahap koreksi tidak disarankan untuk digunakan bersamaan.
Untuk memungkinkan studi jangka panjang yang lebih mudah menggunakan data ini dan membuat pengumpulan data yang lebih terintegrasi dan terstandarisasi, tim GPM Amerika Serikat mengembangkan Integrated Multi-satellite Retrievals untuk GPM (IMERG). Sistem serupa, Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP), juga dikembangkan oleh JAXA dengan sponsor Japan Science and Technology Agency.
Balai Teknik Bendungan – Ditjen SDA 2-3 Juni 2022
Tabel 2.1. Perbandingan data hujan satelit GPM dan TRMM Data Hujan
Satelit GPM-IMERG TRMM
Panjang Data
01 Juni 2000 – sekarang
(H-2 hari untuk versi Early Run, H-3 hari untuk versi Late Run, H-4 bulan untuk versi Final Run)
01 Januari 1998 – 31 Desember 2019
Cakupan 60N - 60S 35N -35S
Resolusi Grid 0.1 derajat lat/lon 0.25 derajat lat/lon
Resolusi
Temporal 30 menit 3 jam
2.2.2 Data Hujan Satelit Lain
Dalam modul ini, data hujan satelit yang dibahas dan digunakan secara mendetail adalah data TRMM/GPM. Data hujan satelit lain dapat digunakan dengan prosedur pengunaan yang sama dengan data TRMM/GPM melalui tahap pemeriksaan dan koreksi sebelum digunakan lebih lanjut. Tiga data hujan satelit lain yang umum digunakan dalam beberapa studi adalah GSMaP, CMORPH dan PERSIANN.
The Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) menggunakan algoritma yang dikembangkan berbasis model yang handal, untuk mendapatkan intensitas curah hujan menggunakan data observasi dari microwave radiometer (imagers, sounders, and imager/sounders) dan Precipitation Radar (PR) pada satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM). Proyek GSMaP mengembangkan sebuah metode untuk menginterpolasi data Microwave Imager dengan memanfaatkan informasi dari Infrared Imager pada lima satelit geostasioner, yaitu satelit MTSAT / Himawari JMA, dua satelit GOA NOAA, dan satelit Meteosat EUMETSAT, sehingga mencapai produksi peta curah hujan global per jam dalam lintang / bujur lintang 0.1 derajat. JAXA telah menyediakan produk GSMaP near real time (GSMaP_NRT) dengan ketersediaan data empat jam setelah pengamatan melalui situs JAXA Global Rainfall Watch (http://sharaku.eorc.jaxa.jp/GSMaP/) sejak tahun 2008 sebagai prototipe dari Global Precipitation Measurement (GPM). Untuk memastikan ketersediaan data yang mendekati real-time, sistem GSMaP_NRT menyederhanakan sebagian algoritma dan prosedur pemrosesannya. Oleh karena itu, produk GSMaP_NRT memberi prioritas lebih tinggi pada latency (kecepatan ketersediaan data baru) daripada akurasi.
Climate Prediction Center Morphing Method (CMORPH) merupakan data hujan satelit yang telah diolah dan dikoreksi menggunakan Morphing Technique (MORPH) oleh Climate Prediction Center (CPC). CMORPH mengukur curah hujan dari data gelombang mikro pasif. CMORPH menggunakan vektor gerakan yang berasal dari citra satelit geostasioner dengan interval setengah jam (Joyce et al., 2004). Data yang dihasilkan adalah berupa grid dengan resolusi spasial 8 km x 8 km dengan resolusi temporal minimum 30 menit. Data CMORPH tersedia mulai dari Januari 1998 sampai saat ini.
Selama 2 dekade terakhir, rangkaian produk Precipitation Estimation from Remotely Sensed Information using Artificial Neural Networks (PERSIANN) telah dikembangkan di Center for Hydrometeorology and Remote Sensing (CHRS) di University of California,
Irvine, bekerja sama dengan NASA, NOAA, dan program UNESCO untuk Water and Development Information for Arid Lands (G-WADI). PERSIANN telah dikembangkan untuk mengukur curah hujan dari geosynchronous satellite longwave infared imagery (GOES-IR) pada resolusi 0,25° × 0,25° dengan interval waktu setengah jam (Sorooshian et al., 2000).
Keakuratan produk curah hujan ditingkatkan dengan menyesuaikan parameter jaringan secara adaptif menggunakan perkiraan curah hujan dari Tropical Rainfall Measurement Mission (TRMM) (produk TMI 2A12), dan kesalahan acak selanjutnya dikurangi dengan akumulasi ke resolusi 1° × 1° setiap hari.
Balai Teknik Bendungan – Ditjen SDA 3-1 Juni 2022
BAB 3
PEMERIKSAAN DATA HUJAN
Sebelum dilakukan analisis, suatu seri data hujan dari pos penakar hujan maupun dari data satelit perlu diperiksa terlebih dahulu kelayakannya melalui beberapa buah uji, mencakup uji pencilan (outlier test), uji kecenderungan (trend test), uji kestabilan terhadap rata-rata dan simpangan baku (stability test to mean and variance) dan uji kemandirian (independency test). Sebelum dilakukan uji kelayakan, terdapat satu persyaratan awal yang harus dipenuhi, yaitu semua data hujan yang memiliki nilai dibawah 50 mm harus dibuang terlebih dahulu. Dalam hal penyusunan hujan rencana, data hujan yang harus diperiksa adalah seri data hujan harian maksimum tahunan (HHMT). Secara terperinci, proses dari masing-masing uji tersebut adalah sebagai berikut.
3.1 UJI OUTLIER
Outlier, dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan terminologi ‘pencilan’, merupakan nilai suatu datum dari suatu seri data yang memiliki nilai sangat berbeda dengan datum-datum lainnya, baik terlalu besar ataupun terlalu kecil. Meskipun hujan merupakan kejadian yang stokastik, tetapi normalisasi besaran nilai suatu hujan dapat didekati secara statistik.
Kemungkinan kesalahan pencatatan hujan, baik oleh manusia ataupun alat pencatat hujan, dapat menyebabkan kesalahan pada tahap analisis. Oleh karena itu, suatu seri data hujan perlu diperiksa terlebih dahulu batas outliernya. Pemeriksaan adanya outlier pada seri data hujan harian maksimum tahunan, baik outlier atas maupun outlier bawah dilakukan dengan metode yang dikembangkan oleh Water Resource Council (1981).
Menurut Water Resource Council, bila:
Koefisien skewness dari data sampel > +0,4, maka perlu dilakukan pemeriksaan outlier atas,
Koefisien skewness dari data sampel < -0,4, maka perlu dilakukan pemeriksaan outlier bawah,
-0,4 < koefisien skewness< +0,4, maka perlu dilakukan pemeriksaan outlier atas dan outlier bawah sekaligus sebelum menghilangkan data yang dipandang sebagai outlier
Bila terdapat outlier atas, maka perlu dilakukan pemeriksaan atas kebenaran data tersebut.
Apabila terdapat outlier bawah, maka data outlier dapat langsung dibuang. Jika data tersebut tidak dapat dibuktikan benar secara ilmiah, maka data outlier tersebut harus dibuang terlebih dahulu sebelum suatu seri data digunakan untuk analisis hidrologi lebih lanjut.
Persamaan frekuensi untuk mendeteksi adanya outlier adalah:
𝑌𝐻,𝐿 = 𝑦̅ ± 𝐾𝑛𝑆𝑦
Keterangan:
𝑌𝐻,𝐿 : Batas (threshold) dari outlier atas dan bawah, dalam logaritma 𝑦̅ : Nilai rata-rata dari data dalam bentuk logaritma
𝐾𝑛 : Konstanta uji outlier, merupakan fungsi dari jumlah data sampel 𝑆𝑦 : Simpangan baku dari data dalam bentuk logaritma
Nilai dari konstanta uji outlier dapat dilihat pada tabel di bawah.
Tabel 3.1. Konstanta uji outlier Sample
size n Kn Sample
size n Kn Sample
size n Kn Sample
size n Kn
10 2,036 24 2,467 38 2,661 60 2,837
11 2,088 25 2,486 39 2,671 65 2,866
12 2,134 26 2,502 40 2,682 70 2,893
13 2,175 27 2,519 41 2,692 75 2,917
14 2,213 28 2,534 42 2,700 80 2,940
15 2,247 29 2,549 43 2,710 85 2,961
16 2,279 30 2,563 44 2,719 90 2,981
17 2,309 31 2,577 45 2,727 95 3,000
18 2,335 32 2,591 46 2,736 100 3,017
19 2,361 33 2,604 47 2,744 110 3,049
20 2,385 34 2,616 48 2,753 120 3,078
21 2,408 35 2,628 49 2,760 130 3,104
22 2,429 36 2,639 50 2,768 140 3,129
23 2,448 37 2,650 55 2,804
3.2 UJI TREND
Sebelum digunakan untuk analisis, suatu seri data hidrologi harus dipastikan terlebih dahulu bebas dari adanya trend (kecenderungan), yaitu korelasi antara urutan data dengan peningkatan (atau penurunan) besarnya nilai data tersebut. Secara umum, uji trend dilakukan untuk periode seluruh data yang ada, walaupun dapat juga dilakukan hanya pada periode data yang dicurigai terdapat trend.
Untuk mengetahui adanya trend, digunakan metode Spearman’s rank-correlation. Metode ini didasarkan pada Spearman rank-correlation coefficient, Rsp, yang didefinisikan sebagai:
𝑅𝑆𝑃 = 1 −6 × ∑𝑛𝑖=1𝐷𝑖2 𝑛 × (𝑛2− 1) 𝐷𝑖= 𝐾𝑥𝑖− 𝐾𝑦𝑖
Keterangan:
n : jumlah data sampel
𝐷𝑖 : perbedaan antara rank variabel xi, Kxi, (data diurutkan dari kecil ke besar) dan rank berdasarkan nomor urut data asli, Kyi.
Bila ada ties, yaitu ada dua atau lebih data dengan nilai sama, maka rank Kxi diambil sebagai nilai rata-rata.
Balai Teknik Bendungan – Ditjen SDA 3-3 Juni 2022
Uji eksistensi trend dilakukan dengan menggunakan formulasi berikut:
𝑡𝑡 = 𝑅𝑠𝑝√ 𝑛 − 2 1 − 𝑅2𝑠𝑝
Dimana tt mempunyai distribusi Student’s t dengan derajat kebebasan = n – 2. Distribusi Student’s t dengan significance level 5% dapat dilihat pada lampiran. Seri data yang diuji tidak mengandung trend bila memenuhi:
𝑡{v, 2,5 %} < 𝑡𝑡 < 𝑡{v, 97,5 %}
3.3 UJI STABILITAS (MEAN DAN VARIANCE)
Dalam uji kestabilan ini dilakukan untuk mengetahui data stasioner atau tidak. Secara umum terdapat dua uji yang dilakukan varian dan mean berupa uji F dan T, dimana uji F distribusi dari rasio variannya mengikuti distribusi normal dan mengindikasikan stabilitas dari varian. Uji F digambarkan dengan persamaan:
𝐹𝑡 =𝜎21 𝜎22=𝑠21
𝑠22 Keterangan:
Ft : stabilitas yang indikasinya dapat diterima 𝜎 : deviasi standar skala populasi
s : deviasi standar skala sampel
Dua persamaan yang digunakan untuk menghitung s sebagai berikut:
𝑠 = [∑𝑛𝑖=1(𝑥𝑖2) − (∑𝑛𝑖=1(𝑋𝑖))2/𝑛
𝑛 − 1 ]
0.5
𝑠 = [∑𝑛𝑖=1(𝑥𝑖2) − 𝑛 × 𝑋2
𝑛 − 1 ]
0.5
Keterangan:
Xi : data pengamatan
n : jumlah total data sampel 𝑥̅ : rata-rata nilai data
Data menunjukkan kestabilan varian dengan tingkat kesalahan 5% apabila Ft <
F{𝑣1, 𝑣2,97.5%}
Pemeriksaan stabilitas mean dilakukan dengan menggunakan uji T (distribusi Student’s t).
Dalam uji ini, seperti halnya uji stabilitas variance, maka data dibagi dua atau tiga sama besar, kemudian dihitung nilai rata-rata (mean) dari masing-masing sub-sampel tersebut dan dibandingkan. Kesamaan nilai mean ini diuji secara statistik sebagai berikut:
𝑡𝑡 = 𝑥̅̅̅ − 𝑥1 ̅̅̅2
√(𝑛1− 1)𝑠12+ (𝑛2− 1)𝑠22 𝑛1+ 𝑛2− 2 × (1
𝑛1+ 1 𝑛2) Keterangan:
n : banyaknya data
𝑥̅ : nilai rata-rata sub sampel s : variance
Nilai mean dari sampel dikatakan stabil bila:
𝑡{𝑣, 2.5%} < 𝑡𝑡< 𝑡{𝑣, 97.5%}
3.4 UJI INDEPENDENSI
Untuk melakukan pemeriksaan independensi dari seri data digunakan serial-correlation coefficient. Apabila seri data adalah acak sempurna, maka fungsi auto-correlation dari populasi akan sama dengan nol untuk semua lag, kecuali nol. Untuk pemeriksaan independensi ini cukup dilakukan perhitungan digunakan serial-correlation coefficient, yaitu korelasi antara data pengamatan yang berdekatan dalam seri data.
Menurut Box dan Jenkins (1970), serial-correlation coefficient, r1, adalah:
𝑟1=∑𝑛−1𝑖=1(𝑥𝑖− 𝑥̅) × (𝑥𝑖+1− 𝑥̅)
∑𝑛𝑖=1(𝑥𝑖− 𝑥̅)2
Seri data dikatakan independen apabila memenuhi persamaan:
{−1, (−1 − 1.96√𝑛 − 2/(𝑛 − 1)} < 𝑟1< {(−1 + 1.96√𝑛 − 2 / (𝑛 − 1), +1}
Balai Teknik Bendungan – Ditjen SDA 4-1 Juni 2022
BAB 4
KOREKSI DATA HUJAN SATELIT
Secara umum langkah penggunaan data hujan satelit hingga data hujan dapat digunakan dapat dilihat dalam bentuk diagram alir pada Gambar 4-1 berikut. Data hujan satelit dapat digunakan pada kondisi data stasiun hujan terbatas dalam segi spasial maupun temporal. Keterbatasan spasial disini dalam artian lokasi stasiun hujan yang berada jauh dari DAS yang dikaji, sementara keterbatasan temporal berarti panjang data hujan yang tersedia terlalu pendek atau memiliki banyak data kosong. Berdasarkan kajian-kajian terdahulu, diketahui bahwa data hujan satelit memiliki error apabila dibandingkan dengan data stasiun hujan/groundstation. Oleh karena itu, sebelum digunakan untuk analisis selanjutnya, data hujan satelit perlu dikoreksi terlebih dahulu.
Gambar 4-1. Diagram alir penggunaan dan koreksi data hujan satelit
Langkah koreksi yang dijelaskan dalam modul ini dapat diterapkan baik untuk data hujan satelit GPM, TRMM maupun data satelit lain dengan langkah yang sama. Dalam kasus tidak ditemukan sama sekali data hujan dengan kualitas baik pada DAS yang dikaji, maka disarankan untuk memperluas daerah kajian dan mencari data stasiun hujan pada DAS sekitar.
4.1 PEMILIHAN DATA STASIUN HUJAN
Kebanyakan pos hujan di Indonesia saat ini belum melalui proses Quality Control sebagaimana yang diharuskan mulai dari kondisi alat, lingkungan dan SDM yang mengoperasikan dan mengelola datanya. Di lain sisi, data hujan GPM/TRMM perlu dikoreksi menggunakan data groundstation, sehingga data groundstation yang dijadikan acuan koreksi benar-benar harus berkualitas baik. Proses koreksi TRMM akan berjalan dengan baik dan menghasilkan nilai koreksi yang optimum jika kondisi data ground tersebut tercapai. Seleksi data groundstation cukup sederhana, dengan mengacu pada makalah BMKG yaitu membandingkan hujan bulanan groundstation dan TRMM, karena pada dasarnya hujan bulanan TRMM mendekati hujan bulanan groundstation (Mamenun et al., 2014).
Dalam interval harian, dapat terjadi lag atau kelambatan dalam pencatatan data hujan. Lag dapat terjadi karena pencatatan data stasiun biasanya dilakukan setiap pagi pukul 07:00 sementara data satelit direkam mulai pukul 00:00, sehingga data hujan pada tanggal yang sama dalam kedua data memiliki nilai berbeda. Sementara dalam interval bulanan, seri data hujan stasiun dan satelit memiliki kemiripan, sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk mengeliminir data stasiun hujan yang memiliki kualitas kurang baik.
Dalam pemilihan data groundstation, direkomendasikan untuk menggunakan/
melibatkan sebanyak mungkin stasiun hujan dan grid data satelit yang sesuai dengan koordinat lokasi stasiun hujan tersebut. Apabila pada daerah studi tidak tersedia data hujan dengan kualitas yang baik maka diperlukan data hujan lain yang dapat diperoleh dari lokasi lain yang dekat dengan daerah studi serta memiliki karakteristik meteorologis yang mirip dengan daerah studi.
Perbandingan data curah hujan satelit dan data curah hujan groundstation dilakukan menggunakan analisis statistik dengan menghitung nilai korelasi (r) dan RMSE (Root Mean Square Error). Pada tahapan ini dipilih pos hujan mana yang dapat digunakan, berdasarkan pengelompokan data yang sudah dilakukan. Yang dibutuhkan sebagai input pemodelan untuk analisis banjir adalah hujan harian maksimum tahunan (HHMT) yang akan digunakan sebagai dasar penentuan hujan rencana.
Koefisien korelasi (r) dihitung dengan menggunakan persamaan:
𝑟 = ∑𝑛𝑖=1(𝑌𝑖− 𝑌̅)(𝑌̂𝑖− 𝑌̂)
√∑𝑛𝑖=1(𝑌𝑖− 𝑌̅)2√∑𝑛𝑖=1(𝑌̂ − 𝑌̂)𝑖 2
Balai Teknik Bendungan – Ditjen SDA 4-3 Juni 2022
dimana:
𝑟 : koefisien korelasi antara data satelit TRMM dengan data curah hujan ground station
𝑌𝑖 : data satelit TRMM pada periode ke– i dengan i: 1, 2, ….n 𝑌̅ : nilai rata–rata data satelit TRMM
𝑌̂𝑖 : data curah hujan ground station pada periode ke– i dengan i: 1, 2, ….n 𝑌̂ : nilai rata–rata curah hujan ground station
𝑛 : panjang periode.
Untuk nilai RMSE dinyatakan dengan rumus di bawah ini:
𝑅𝑀𝑆𝐸 = √1
𝑛∑(𝑦𝑖−
𝑛
𝑘=1
𝑦̂𝑖)2
dimana:
𝑦 : nilai hasil observasi ŷ : nilai hasil prediksi
𝑖 : urutan data pada database 𝑛 : jumlah data
Untuk mengetahui kesamaan meteorologis dari suatu wilayah, maka dapat dibuat matriks yang menunjukan suatu nilai korelasi dan nilai RMSE antara seluruh groundstation dan grid TRMM yang ada. Kegunaan pembuatan matriks ini, untuk melihat secara keseluruhan RMSE yang wajar didaerah bersangkutan (mayoritas) karena matriks ini mengabaikan faktor jarak. Mamenun (2014) melakukan penelitian dengan judul “Validasi dan Korelasi Data Satelit TRMM pada Tiga Pola Hujan di Indonesia.” yang dilakukan untuk validasi dan koreksi data satelit TRMM terhadap data observasi pada tiga pola hujan berbeda di Indonesia (Mamenun et al., 2014). Analisis dilakukan menggunakan analisis statistika, perhitungan galat dan pengembangan faktor koreksi untuk data satelit TRMM di wilayah dengan pola hujan monsun (Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Selatan), pola hujan equatorial (Sumatera Utara, Kalimantan Barat), dan pola lokal (Maluku). Hasil validasi data satelit TRMM terhadap data observasi menunjukkan nilai korelasi tinggi di wilayah pola monsun (>0.80), cukup tinggi pada pola equatorial (>0.60) dan pola lokal (>0.75). Nilai RMSE lebih rendah di wilayah pola hujan monsun (RMSE = 58-84), dibandingkan wilayah pola hujan equatorial (RMSE=97-158) dan local (RMSE=173). Hasil koreksi data satelit TRMM diperoleh faktor koreksi dengan bentuk persamaan geometrik untuk pola monsun dan equatorial, serta linier untuk pola lokal. Penelitian tersebut dapat menjadi dasar dalam studi yang berhubungan dengan penggunaan data hujan TRMM untuk perencanaan bangunan air.
4.2 KOREKSI HUJAN HARIAN
Pada analisis selanjutnya dilakukan analisis untuk mendapatkan faktor koreksi yang kemudian digunakan untuk mengoreksi data TRMM. Dengan memasukan data TRMM ke dalam persamaan koreksi yang dihasilkan akan diperoleh TRMM terkoreksi.
Tabel 4.1 hanya merupakan contoh faktor koreksi berjenjang yang biasa digunakan, tidak berlaku secara umum diseluruh Indonesia.
Tabel 4.1. Contoh Koefisien koreksi TRMM Interval hujan
[mm] Koefisien Koreksi
<10 0,60
10-20 0,80
20-40 1,00
40-60 1,15
60-90 1,20
90-110 1,25
>110 1,25
Hujan harian TRMM disemua grid dikoreksi oleh ground station yang terpilih berdasarkan proses seleksi hujan bulanan. Apabila hujan bulanan dapat dicari kekuatan dari hubungannya oleh koefisien korelasi yang lebih dari 0,6 dan RMSE nya tidak dapat diterima maka hujan harian tidak dapat diberlakukan seperti hal yang sama dengan hujan bulanan.
Hujan harian TRMM tidak dapat dikorelasikan dengan ground station karena kejadian hujan TRMM seringkali bergeser beberapa hari sebelum dan sesudah ground station, jadi hubungan antara keduanya hanya dapat dilakukan jika faktor waktu dihilangkan sehingga menjadi lengkung probabilitasnya. Faktor koreksi selayaknya sama untuk seluruh grid data satelit yang memiliki kesamaan pola iklim. Wilayah dengan kesamaan pola iklim ini dapat dilihat pada Gambar 4-2. Pencarian faktor koreksi dilakukan dengan Trial and Error dengan fungsi objektif Mean Absolut Error (MAE) dimana error dihitung dari selisih probabilitas dari kejadian hujan yang sama.
Balai Teknik Bendungan – Ditjen SDA 4-5 Juni 2022
Gambar 4-2. Peta pola curah hujan musiman/ iklim di Indonesia
Data ground station mempunyai lengkung kumulatif probablitas yang berbeda dengan lengkung kumulatif probablitas yang dihasilkan oleh TRMM. Dari berbagai percobaan yang telah dilakukan, koreksi terhadap TRMM yang paling sesuai adalah melalui koreksi linear berjenjang secara trial and error, sampai nilai error yang terkecil tercapai. Koefisien koreksi yang paling optimal ditentukan oleh error yang digambarkan oleh rata-rata absolute penyimpangan kedua variabel tersebut. Proses tersebut melalui Coba-coba atau Trial and Error.
Sebelum koreksi dilakukan, MAE dihitung berdasarkan probabilitas hujan harian TRMM 1998-2018 atau GPM 2000-sekarang, dan semua data ground station yang tersedia dengan mengabaikan periode yang sama. Setelah melalui proses koreksi, lengkung probabilitas TRMM bergeser serta nilai MAE berubah seharusnya menjadi lebih kecil jika faktor koreksi yang dipilih mengarah ke true value. Contoh hasil perhitungan error melalui MAE dapat dilihat pada Gambar 4-3 dan contoh hasil perbandingan lengkung probabilitas untuk hujan harian dapat dilihat pada Gambar 4-4.
Gambar 4-3. Contoh perbandingan error hujan harian yang dihasilkan sebelum dan sesudah koreksi
Gambar 4-4. Contoh lengkung probabilitas untuk koreksi data hujan harian TRMM 4.3 PEMERIKSAAN LENGKUNG DISTRIBUSI HHMT
Selain pada skala harian, perlu diperiksa juga lengkung probabilitas kumulatif untuk seri HHMT yang dijadikan dasar analisis hujan rencana. Contoh perbandingan kurva lengkung probabilitas kumulatif HHMT dapat dilihat pada Gambar 4-5. Gambar tersebut menunjukkan lengkung probabilitas kumulatif hujan satelit sebelum koreksi dimana titik-titik kuning posisinya cenderung di sebelah kiri atau lebih kecil dari kumpulan pos hujan. Setelah koreksi, posisi titik-titik dengan warna merah bergeser ke tengah kumpulan pos hujan.
Faktor koreksi HHMT ini sudah barang tentu merupakan lanjutan dari seri hujan harian dimana HHMT ditentukan. Khusus untuk Hujan Harian Maksimum Tahunan (HHMT) dilakukan pemeriksaan lebih rinci karena akan menjadi penentu bagi besaran banjir
Balai Teknik Bendungan – Ditjen SDA 4-7 Juni 2022
rencana. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap besaran hujan rencana berbagi periode ulang dengan membandingkan besaran hujan rencana antara pos hujan dengan data hujan satelit, baik sebelum maupun sesudah koreksi. Penjelasan lebih lanjut akan ditambahkan pada bagian awal Bab 5.
Gambar 4-5. Contoh lengkung probabilitas untuk koreksi data hujan harian maksimum tahunan TRMM
BAB 5
ANALISIS FREKUENSI
Dalam melakukan analisis hidrologi, seringkali ditemukan kejadian-kejadian ekstrim, terutama banjir. Kejadian ekstrim tersebut menuntut perlunya perencanaan bangunan air agar dapat melewatkan debit banjir maksimum yang mungkin terjadi. Untuk mencari hubungan antara besarnya kejadian ekstrim terhadap frekuensi kejadian dengan menggunakan distribusi probabilitas, digunakanlah metode analisis frekuensi. Besarnya magnitude kejadian ekstrim mempunyai hubungan terbalik dengan probabilitas kejadian, dinyatakan dengan hubungan:
𝑃(𝑥) =1 𝑇 Keterangan:
𝑃(𝑥) : probabilitas terjadinya kejadian yang sama besar atau lebih besar dari x 𝑇 : periode ulang rencana (tahun)
Dalam aplikasinya, analisis frekeuensi dapat diterapkan untuk data debit sungai atau data hujan. Data yang digunakan umumnya adalah data debit atau hujan maksimum tahunan, yaitu data terbesar yang terjadi selama satu tahun, yang terukur selama beberapa tahun.
Secara umum, analisis frekuensi suatu seri data curah hujan harian maksimum tahunan memiliki persamaan:
𝑥𝑇 = 𝑥 + 𝑘 ⋅ 𝑠 keterangan:
𝑥𝑇 : tinggi curah hujan rencana dengan periode ulang T tahun (mm) 𝑥 : rata-rata tinggi curah hujan dari seri data yang dimiliki (mm) 𝑘 : koefisien yang bergantung dari jenis distribusi seri data 𝑠 : standar deviasi tinggi curah hujan dari seri data yang dimiliki
Oleh karena rumus umum seperti di atas, maka akurasi dari hasil analisis frekuensi amat bergantung pada jenis distribusi data yang dimiliki. Distribusi probabilitas yang disarankan dalam modul ini adalah distribusi probabilitas GEV. Beberapa alasan mengapa GEV merupakan distribusi probabilitas yang paling baik untuk pemodelan banjir rencana adalah sebagai berikut:
Filosofi yang melatarbelakangi jenis distrbusi probabilitas (LN-2, LN-3, LP-3, Gumbel, GEV) adalah sejatinya satu jenis distribusi untuk satu wilayah dengan kesamaan iklim.
Perbedaan jenis distrbusi dengan pos-pos hujan disekeliling lebih banyak disebabkan oleh sampling error (perbedaan periode dan panjang data).
Akibat perubahan iklim yang berdampak pada seri data Hujan Harian Maksimum Tahunan (HHMT) akan merubah besaran periode ulang. Dalam masa transisi ini,
Balai Teknik Bendungan – Ditjen SDA 5-2 Juni 2022
meninggalkan Analisis Frekuensi yang membutuhkan seri HHMT menuju era baru menggunakan Global Climate Model yang mampu memberi informasi proyeksi hujan ekstrim beberapa puluh tahun mendatang, sebaiknya menggunakan satu jenis distrbusi probabilitas saja. Dengan demikian tidak perlu lagi, dipilih berdasarkan uji S-K, Chi- Squre, RMSE dan lain-lain
Menimbang kedua butir tersebut di atas, disarankan untuk memilih distribusi probabilitas GEV tanpa perlu pengujian (best fit) seperti diketahui bersama jenis distribusi GEV diterapkan di negara India, Malaysia, Cina, Banglades, Perancis, Inggris, Qatar, Brazil. Taiwan (Villafuerte & Matsumoto, 2015)
Di samping distribusi probabilitas GEV, terdapat pula beberapa distribusi lain yang umum digunakan di Indonesia seperti Log Normal 2 Parameter, Log Normal 3 Parameter, Gumbel- 1, Pearson III, dan Log-Pearson III. Dalam penggunaan distribusinya, perhitungan nilai debit atau hujan rencana dengan periode ulang yang lebih dari 200 tahun, disarankan menggunakan perangkat lunak Hydrognomon (yang akan dijelaskan pada Modul 3).
Dari berbagai macam distribusi tersebut, dapat dilakukan uji kecocokan probabilitas menggunakan uji chi-square atau Kolmogorov-Smirnov. Hal yang perlu diperhatikan dalam analisis frekuensi dengan uji kecocokan probabilitas adalah bahwa dalam satu area kajian harus digunakan distribusi probabilitas yang sama.
Pemeriksaan kewajaran dari curah hujan rencana yang dihitung dapat dilakukan melalui perbandingan periode ulang 100 tahun (R100) terhadap hujan periode ulang 2 tahun (R2).
Rasio R100/R2 sebaiknya diatas 1,7 dan kurang dari 3,2. Rasio R100/R2 lebih kecil dari 1,7 berarti hujan rencana periode ulang tinggi terlalu kecil, sementara rasio R100/R2 lebih besar dari 3,2 mengindikasikan hujan rencana periode ulang tinggi terlalu besar.
Error! Reference source not found. di bawah menunjukkan contoh kurva hujan rencana t erhadap periode ulang atau dapat disebut Cumulative Distribution Function (CDF) dimana pada gambar terdapat tiga grid TRMM (Grid 6,7, dan 10) yang melenceng dari family curve stasiun hujan lain. Oleh karena itu ketiga grid yang digambarkan dengan garis putus-putus tersebut sebaiknya tidak digunakan dalam analisis. Pengecualian dapat dilakukan apabila letak dari ketiga grid data satelit tersebut dipengaruhi hujan konvektif. Jika hal tersebut terjadi, maka hujan dari grid yang melenceng dari family curve tersebut masih dapat digunakan.
Gambar 5-1. Contoh Cumulative Distribution Function
5.2 DISTRIBUSI PROBABILITAS YANG UMUM DIGUNAKAN 5.2.1 Distribusi Probabilitas General Extreme Value (GEV)
Distribusi probabilitas General Extreme Value (GEV) merupakan distribusi probabilitas kontinu yang dikembangkan berdasarkan teori nilai ekstrem yang mencakup distribusi Gumbel, Frechet, dan Weibull. Sesuai dengan teori tersebut, distribusi GEV adalah satu- satunya distribusi yang menormalisasi nilai maksimum atas serangkaian data identik dan independen yang terdistribusi secara acak. Persamaan PDF (Probability Density Function) dari GEV dengan parameter lokasi µ, parameter skala σ, dan parameter bentuk k ≠ 0 adalah sebagai berikut.
y = f(x|k, μ, σ) = (1
σ) exp (− (1 + k(x − μ)
σ )
−1 k
) (1 + k(x − μ)
σ )
−1−1 k
Untuk
1 + k(x − μ) σ > 0 Untuk k = 0, maka
y = f(x|0, μ, σ) = (1
σ) exp (−exp (−(x − μ)
σ ) −(x − μ) σ )
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900
0 200 400 600 800 1000 1200
Rainfall (mm)
Return Period (year)
Wiwirano-GEV TRMM13-GEV TRMMCor2 TRMMCor3
TRMMCor5 TRMMCor6 TRMMCor7 TRMMCor8
TRMMCor9 TRMMCor10 TRMMCor11 TRMMCor12
TRMMCor13 TRMMCor14 TRMMCor15
Balai Teknik Bendungan – Ditjen SDA 5-4 Juni 2022
keterangan:
k = Parameter bentuk σ = Parameter lokasi μ = Parameter skala
5.2.2 Distribusi Log Normal 2-Parameter
Distribusi log normal dua parameter merupakan distribusi yang terdiri dari dua parameter yaitu µn dan 𝜎2𝑛, masing-masing merupakan harga tengah dan variansi untuk fungsi logaritma dari variabelnya. Persamaan PDF-nya adalah sebagai berikut:
𝑃(𝑥) = 1 𝑥 𝜎𝑦 √2𝜋𝑒−
1 2(ln 𝑥−𝜇𝑦
𝜎𝑦 )
2
Variasi nilai koefisien distribusi log normal dua parameter, bergantung pada peluang kumulatif, periode ulang rencana dan koefisien variasi dari data yang dimiliki, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.1. Faktor frekuensi distribusi log normal 2 parameter Koefisien
Variasi Peluang Kumulatif P(%):P(X)
(Cv)
50 80 90 95 98 99
Periode Ulang (Tahun)
2 5 10 20 50 100
0,05 -0,0250 0,8334 1,2965 1,6863 2,1341 2,4570 0,10 -0,0496 0,8222 1,3078 1,7247 2,2130 2,5489 0,15 -0,0738 0,8085 1,3156 1,7598 2,2899 2,2607 0,20 -0,0971 0,7926 1,3200 1,7911 2,3640 2,7716 0,25 -0,1194 0,7746 1,3209 1,8183 2,4318 2,8805 0,30 -0,1406 0,7647 1,3183 1,8414 2,5015 2,9866 0,35 -0,1604 0,7333 1,3126 1,8602 2,5638 3,0890 0,40 -0,1788 0,7200 1,3037 1,8746 2,6212 3,1870 0,45 -0,1957 0,6870 1,2920 1,8848 2,6731 3,2799 0,50 -0,2111 0,6626 1,2778 1,8909 2,7202 3,3673 0,55 -0,2251 0,6379 1,2613 1,8931 2,7613 3,4488 0,60 -0,2357 0,6129 1,2428 1,8915 2,7971 3,5211 0,65 -0,2185 0,5879 1,2226 1,8866 2,8279 3,3930 0,70 -0,2582 0,5631 1,2011 1,8786 2,8532 3,3663 0,75 -0,2667 0,5387 1,1784 1,8677 2,8735 3,7118 0,80 -0,2739 0,5118 1,1548 1,8543 2,8891 3,7617 0,85 -0,2801 0,4914 1,1306 1,8388 2,9002 3,8056 0,90 -0,2852 0,4686 1,1060 1,8212 2,9071 3,8140 0,95 -0,2895 0,4466 1,0810 1,8021 2,9103 3,8762 1,00 -0,2929 0,4254 1,0560 1,7815 2,9098 3,9035
5.2.3 Distribusi Log Normal 3-Parameter
Distribusi log normal tiga parameter merupakan distribusi yang hampir sama dengan log normal dua parameter, akan tetapi batas bawahnya tidak selalu sama dengan nol sehingga diperlukan modifikasi parameter dengan batas bawah β. Kemungkinan fungsi kerapatannya (probability density function) ditunjukkan pada persamaan berikut:
𝑃(𝑥) = 1
ln(𝑥 − 𝑎) √2𝜋𝑒
[−1 2(
ln(𝑥−𝑎)−μy 𝜎𝑦 )
2
]
Variasi nilai koefisien distribusi log normal tiga parameter, bergantung pada peluang kumulatif, periode ulang rencana dan koefisien variasi dari data yang dimiliki, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.2. Faktor frekuensi distribusi log normal 3 parameter Koefisien Variasi Peluang Kumulatif P(%):P(X&X)
(Cv)
50 80 90 95 98 99
Periode Ulang (Tahun)
2 5 10 20 50 100
-2,0 0,2366 -0,6144 -1,2437 -1,8916 -2,7943 -3,5196 -1,8 0,2240 -0,6395 -1,2621 -1,8928 -2,7578 -3,4433 -1,6 0,2092 -0,6654 -1,2792 -1,8901 -2,7138 -3,3570 -1,4 0,1920 -0,6920 -1,2943 -1,8827 -2,6615 -3,2601 -1,2 0,1722 -0,7186 -1,3067 -1,8696 -2,6002 -3,1521 -1,0 0,1495 -0,7449 -1,3156 -1,8501 -2,5294 -3,0333 -0,8 0,1241 -0,7700 -1,3201 -1,8235 -2,4492 -2,9043 -0,6 0,0959 -0,7930 -0,3194 -1,7894 -2,3600 -2,7665 -0,4 0,0654 -0,8131 -0,3128 -1,7478 -2,2631 -2,6223 -0,2 0,0332 -0,8296 -0,3002 -1,6993 -2,1602 -2,4745
0,0 0 0 0 0 0 0
0,2 -0,0332 0,8296 0,3002 1,6993 2,1602 2,4745 0,4 -0,0654 0,8131 0,3128 1,7478 2,2631 2,6223 0,6 -0,0959 0,793 0,3194 1,7894 2,3600 2,7665
0,8 -0,1241 0,77 1,3201 1,8235 2,4492 2,9043
1,0 -0,1495 0,7449 1,3156 1,8501 2,5294 3,0333 1,2 -0,1722 0,7186 1,3067 1,8696 2,6002 3,1521
1,4 -0,192 0,692 1,2943 1,8827 2,6615 3,2601
1,6 -0,2092 0,6654 1,2792 1,8901 2,7138 3,3570 1,8 -0,224 0,6395 1,2621 1,8928 2,7578 3,4433 2,0 -0,2366 0,6144 1,2437 1,8916 2,7943 3,5196 5.2.4 Distribusi Gumbel-1
Koefisien distribusi Gumbel tipe I ditunjukan pada Persamaan berikut.
𝑘 =(𝑌 − 𝑌𝑛) 𝑆𝑛 keterangan:
𝑌𝑛 : nilai rata-rata dari reduced variant 𝑆𝑛 : deviasi standar nilai variant