6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Rainwater Harvesting System (RWHS)
Terdapat beberapa metode yang digunakan dalam memenuhi kebutuhan air bersih, salah satunya Rainwater Harvesting System (RWHS). Rainwater Harvesting System (RWHS) merupakan sistem alternatif penyedia air bersih dengan memanen air hujan. Dalam memanfaatkan air hujan terdapat portable dan non portable. Terdapat dua teknik pengumpulan air hujan, yaitu teknik roof top rain water harvesting (pemanenan air hujan dengan atap bangunan), dan teknik surface rain water harvesting (pemanenan air hujan di aliran permukaan) dengan bangunan reservoir (Harsoyo, 2010). Pengimplementasian teknik penggunaan air hujan dilihat berdasarkan kondisi lapangan, dari teknik roof top rain water harvesting yang dimanfaatkan untuk skala perumahan, sedangkan surface rain water harvesting dimana digunakan pada skalanya lebih luas lagi, biasanya untuk suatu lahan pertanian dalam suatu wilayah DAS ataupun sub DAS.
Pemanfaatan RWHS secara potable dimana air dimanfaatkan sebagai selain untuk kegiatan sehari-hari dapat dimanfaatkan sebagai air minum, sedangkan Pemanfaatan RWHS secara non-potable dimana air hujan dimanfaatkan hanya untuk kehidupan sehari-hari (Rahman dkk., 2014). Dari pemanfaatan yang berbeda akan mempengaruhi cara pengolahan air hujan.
Pemanenan air hujan memiliki 3 komponen utama, yaitu Catchment Area (area penangkapan), Conveyance System (sistem pembawa/pengaliran), dan Collection System (sistem pengumpul). Berikut penjelasan dari setiap komponen:
1. Catchment Area (Area Penangkapan)
Komponen yang pertama yang ada pada RWHS merupakan Catchment Area (area penangkapan). Komponen ini digunakan sebagai area tempat menangkap hujan yang dimana luas penangkap mempengaruhi pengambilan jumlah air hujan yang akan ditampung. Penangkapan air hujan terdapat 2, yaitu roof top rain water harvesting dan surface rain water harvesting, tergantung pengimplementasiannya.
Pada area penangkapan memiliki koefisien limpasan, dimana merupakan nilai perbandingan antara jumlah limpasan permukaan dengan jumlah hujan yang jatuh.
7 Nilai koefisien limpasan bervariasi tergantung dari tipe limpasan yang digunakan.
Menurut (Biswas, 2014), koefisien limpasan untuk setiap area tangkapan adalah rasio volume air yang mengalir dari permukaan ke volume curah hujan yang jatuh di permukaan.
Pada permukaan atap dapat terbuat dari berbagai jenis material seperti beton, ubin, lembaran seng bergelombang galvanis, dan plastik bergelombang (Biswas, 2014).
Tabel 1. Koefisien limpasan berdasarkan tipe atap (Biswas dan Mandal, 2014) Tipe Atap Koefisien
Limpasan Lembaran besi
galvanis >0.9 Lembaran logam
bergelombang 0.7-0.9 Genteng 0.8-0.9
Beton 0.6-0.8
Trotoar bata 0.5-0.6 Tangkapan
berbahan batu alami
0.2-0.5 Tanah miring 0.3
Area hijau 0.05–0.1 2. Conveyance System (Sistem pembawa/pengaliran)
Komponen yang kedua pada RWHS merupakan Conveyance System (sistem pembawa/pengaliran), yang membawa air hujan menuju ke pengolahan dan penyimpanan.
Conveyance System berupa gutter, pipa, dan lainnya yang mampu mengalirkan air hujan. Pemilihan Conveyance System ditentukan dari jumlah air hujan yang di alirkan dan banguna yang akan digunakan derdasarkan pengimplementasiannya.
8 Gambar 2. Gutter pada atap bangunan (Worm, 2006)
3. Collection system (sistem pengumpul)
Komponen yang ketiga pada RWHS merupakan Collection System (sistem pengumpul) yang menampung air hujan setelah dialirkan melewati Conveyance System.
Conveyance System berupa reservoir, tandon, atau dalam bentuk penampungan yang lainnya. Penampungan air hujan di pengaruhi dalam jumlah penggunaan air dan air yang dapat dikumpulan selama hujan terjadi.
Pada Conveyance System, air hujan yang telah diolah akan ditampung ke dalam Collection System dalam bentuk reservoir, tandon, atau dalam bentuk penampungan yang lainnya. Reservoir merupakan penyimpanan dalam struktur banguan yang dapat ditanam atau di atas permukaan tanah, menyesuaikan kebutuhan, sedangkan tandon merupakan salah satu tempat penyimpanan air yang dapat diletakan pada tempat tertentu sesuai dengan kebutuhan.
2.2. Kebutuhan Air Bersih
Kebutuhan air bersih dihitung berdasarkan pada jumlah penduduk dan jenis kota yang akan dihitung. Perencanaan dalam pendistribusian air bersih perlu
9 melihat jumlah dan kondisi kota yang terlayani. Besar kecilnya suatu kota dan jumlah penduduk mempengaruhi jumlah penggunaan air bersih. Menurut (Binilang et al., 2017) ketentuan penggunaan air bersih alternatif dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Ketentuan kebutuhan air bersih (Ditjen Cipta Karya Dinas PU, 1996)
NO URAIAN
KATEGORI KOTA BERDASARKAN JUMLAH PENDUDUK (JIWA)
> 1.000.000 500.000 s/d 1.000.000
100.000 s/d 500.000
20.000 s/d
100.000 < 20.000
METRO BESAR SEDANG KECIL DESA
1 Unit SR (l/o/hr) 190 170 150 130 30
2 Unit HU (l/o/hr) 30 30 30 30 30
3 Kehilangan air (%)
20 – 30 20 – 30 20 – 30 20 – 30 20
4 Faktor
Maximum Day
1.15 1.15 1.15 1.15 1.15
5 Faktor Peak – Hour
1.5 1.5 1.5 1.5 1.5
6 Jumlah Jiwa Per SR
5 5 6 6 10
7 Jumlah Jiwa Per HU
100 100 100 100 – 200 200
8 Sisa tekan di jaringan
10 10 10 10 10
distribusi (mka)
9 Jam operasi 24 24 24 24 24
10 Volume
reservoir (%)
20 20 20 20 20
(Maks Day Demand)
11 SR : HU 50:50 s/d
80:20
50:50 s/d 80:20
80:20 70:30:00 70:30:00
12 Cakupan
Pelayanan (*)
**) 90 **) 90 **) 90 **) 90 ***) 70
2.3. Baku Mutu Air Hujan
Baku mutu air dapat dilihat dari lingkungan dan bermulanya air bersih, salah satunya air hujan. Air hujan terjadi akibat siklus hidrologi yang terjadi akibat proses evaporasi dari matahari. Selama air terjadi evaporasi, air akan terangkat tanpa membawa kontaminan pada air tersebut, tetapi disaat hujan aku akan turun menuju
10 permukaan mengakibatkan air terkontaminasi menyesuaikan kontaminan pada lingkungan.
Pada Rainwater Harvesting, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap air hujan yang ditampung dan tergantung dari bagaimana air akan digunakan secara potable atau non-potable.
Pengolahan air hujan perlu mengikuti aturan dalam memenuhi baku mutu air hujan agar dapat digunakan. Baku mutu air hujan dapat dilihat dalam World Health Organization (WHO) atau melihat dalam peraturan nasional. Berdasarkan Biswas, 2014 baku mutu air hujan menurut standar WHO adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Baku mutu air hujan standar WHO (Biswas, 2014) Parameter
(unit)
Metode yang digunakan
Standar WHO Chloride
(mg/L)
Mohr’s 200–300
Iron (mg/L) Colorimetric 0.3
Nitrate (mg/L) Cd reduction 50 pH Membrane electrode 6.8–7.3 Turbidity
(NTU)
Spectrophotometric 5
TDS (mg/L) Conductivity 1000
Total hardness (mg/L)
EDTA 40
Alkalinity (mg/L)
Mohr’s 40
Sebagai perbandingan, tabel dibawah ini menunjukkan baku mutu air hujan standar nasional berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 32 Tahun 2017.
Tabel 5. Parameter Fisik dalam Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan untuk Media Air untuk Keperluan Higiene Sanitasi (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2017) No. Parameter Wajib Unit
Standar Baku Mutu
(kadar maksimum)
1. Kekeruhan NTU 25
11 No. Parameter Wajib Unit
Standar Baku Mutu
(kadar maksimum)
2. Warna TCU 50
3. Zat padat terlarut (Total Dissolved
Solid)
mg/l 1000
4. Suhu oC suhu udara ± 3
5. Rasa tidak berasa
6. Bau tidak berbau
Tabel 6. Parameter Biologi dalam Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan untuk Media Air untuk Keperluan Higiene Sanitasi (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2017) No. Parameter
Wajib Unit
Standar Baku Mutu
(kadar maksimum)
1. Total coliform CFU/100ml 50
2. E. coli CFU/100ml 0
Tabel 7. Parameter Kimia dalam Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan untuk Media Air untuk Keperluan Higiene Sanitasi (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2017)
No. Parameter Unit
Standar Baku Mutu (kadar maksimum) Wajib
1. pH mg/l 6,5 – 8,5
2. Besi mg/l 1
3. Fluorida mg/l 1,5
4. Kesadahan (CaCO3) mg/l 500
5. Mangan mg/l 0,5
6. Nitrat, sebagai N mg/l 10
7. Nitrit, sebagai N mg/l 1
8. Sianida mg/l 0,1
9. Deterjen mg/l 0,05
10. Pestisida total mg/l 0,1
Tambahan
1. Air raksa mg/l 0,001
2. Arsen mg/l 0,05
12
No. Parameter Unit
Standar Baku Mutu (kadar maksimum)
3. Kadmium mg/l 0,005
4. Kromium (valensi 6) mg/l 0,05
5. Selenium mg/l 0,01
6. Seng mg/l 15
7. Sulfat mg/l 400
8. Timbal mg/l 0,05
9. Benzene mg/l 0,01
10. Zat organik (KMNO4)
mg/l 10
2.4. Metode Perhitungan
Metode perhitungan untuk menemukan kelayakan RWHS dimulai dari menemukan curah hujan rencana, proyeksi penduduk, hingga menemukan jumlah jumlah air hujan yang dapat di tangkap.
1. Curah Hujan Rencana
Pada distribusi air hujan terdapat 4 metode yaitu metode metode distribusi normal, metode distribusi log normal, metode distribusi gumbel dan metode distribusi log pearson type III (Lestari, 2016).
a) Distribusi normal
𝑋𝑇𝑟 = 𝑋 + 𝐾𝑇𝑟 . 𝑆𝑋 2.1
𝑋 = ∑ 𝑋𝑛1 𝑖
𝑛 2.2
𝑆𝑋 = √∑(𝑋𝑖− 𝑋)2 𝑛 − 1
2.3
Dengan:
𝑋𝑇𝑟 = besarnya curah hujan rencana untuk periode ulang T tahun 𝑋 = harga rata-rata dari data
𝐾𝑇𝑟 = Variabel reduksi Gauss 𝑆𝑋 = simpangan baku
b) Distribusi Log Normal
13 𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑇𝑟 = 𝐿𝑜𝑔 𝑋 + 𝐾𝑇𝑟 . 𝑆𝐿𝑜𝑔 𝑋
2.4 𝐿𝑜𝑔 𝑋 = ∑ 𝐿𝑜𝑔 (𝑋𝑛1 𝑖)
𝑛 2.5
𝑆𝐿𝑜𝑔 𝑋 = √∑(𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑖 − 𝐿𝑜𝑔 𝑋)2 𝑛 − 1
2.6
Dengan:
𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑇𝑟 = besarnya curah hujan rencana untuk periode ulang T tahun 𝐿𝑜𝑔 𝑋 = harga rata-rata dari data
𝐾𝑇𝑟 = Variabel reduksi Gauss 𝑆𝐿𝑜𝑔 𝑋 = simpangan baku
c) Distribusi Gumbell
𝑋𝑇𝑟 = 𝑋 + 𝐾 . 𝑆𝑋
2.7 𝑋 = ∑ 𝑋𝑛1 𝑖
𝑛 2.8
𝑆𝑋 = √∑(𝑋𝑖− 𝑋)2 𝑛 − 1
2.9
Dengan:
XTr = besarnya curah hujan rencana untuk periode ulang T tahun X = harga rata-rata dari data
K = faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang (return period) dan tipe frekuensi
14 SX = simpangan baku
Menghitung faktor frekuensi Gumbel mengambil harga 𝐾 = 𝑌𝑡− 𝑌𝑛
𝑆𝑛 2.10
Dengan:
Yt = reduksi sebagai fungsi dari probabilitas
Yn dan Sn = besaran yang merupakan fungsi dari jumlah pengamatan
d) Distribusi Log Pearson Type III
𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑇𝑟 = 𝐿𝑜𝑔 𝑋 + 𝐾𝑇𝑟 . 𝑆𝐿𝑜𝑔 𝑋
2.11 𝑋 = ∑ 𝐿𝑜𝑔 (𝑋𝑛1 𝑖)
𝑛 2.12
𝑆𝑙𝑜𝑔 𝑋 = √∑(𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑖− 𝐿𝑜𝑔 𝑋)2 𝑛 − 1
2.13
Dengan:
Log XTr = besarnya curah hujan rencana untuk periode ulang T tahun Log X = harga rata-rata dari data
KTr = koefisien frekuensi, didapat berdasarkan hubungan nilai Cs dengan periode ulang T
SLog X = simpangan baku
Menghitung CS sebagai berikut:
𝐶𝑆 = 𝑛 . ∑ (𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑛1 𝑖 − 𝐿𝑜𝑔 𝑋)3 (𝑛 − 1) . (𝑛 − 2) . (𝑆𝐿𝑜𝑔 𝑋)3
2.14
15 Untuk menghitung intensitas curah hujan terdapat 3 metode yaitu Hasper Der Weduwen, Van Breen, dan Bell Tanimoto (Fajriyah, 2020a).
a) Metode Hasper Der Weduwen
Persamaan metode hasper der weduwen didapat berdasarkan curah hujan harian yang cenderung memiliki waktu atau durasi hujan (t) lebih kecil dari 1 jam atau lebih dari 1 jam sampai 24 jam.
𝑅𝑡 = 𝑅𝑇( 1218𝑡 + 54 𝑅𝑇(1 − 𝑡) + 1272𝑡)
2.15
1 < 𝑡 < 24, maka 𝑅 = √11300𝑡𝑡+3,12[𝑅𝑡
100]
2.16
0 < 𝑡 < 1, maka 𝑅 = √𝑡+3,1211300[𝑅𝑡
100]
2.17
𝐼𝑇 = 𝑅
𝑡 2.18
Dengan:
RT = Curah hujan harian maksimum pada PUH T (mm) Rt = Curah hujan menurut Hasper Der Weduwen (mm) t = Durasi hujan (jam)
IT = Intensitas hujan pada PUH T (mm/jam) b) Van Breen
Metode ini memperhitungkan waktu durasi hujan harian terpusat dalam 4 jam dari hujan yang turun selama 24 jam dengan hujan efektif sebesar 90%.
Persamaan sebagai berikut:
𝐼𝑇 = 54𝑅𝑇 + 0,07𝑅𝑇2
𝑡 + 3𝑅𝑇 2.19
16 Dengan:
IT = Intensitas hujan pada PUH T (mm/jam)
RT = Curah hujan harian maksimum pada PUH T (mm) t = durasi hujan (menit)
c) Bell Tanimoto
Data frekuensi hujan dianalisis dengan mempertimbangkan data curah hujan minimal 20 tahun atau lebih. Bila data curah hujan tidak tersedia, dan data yang digunakan berdasarkan data curah hujan selama enam puluh menit dengan periode ulang 10 tahun, maka untuk menentukan curah hujan dengan lama hujan 5-20 menit dengan periode ulang 2-100 tahun dapat menggunakan rumus Bell Tanimoto.
𝑅𝑇𝑡 = (0.2 𝑥 ln 𝑇 + 0.52)(0.54𝑡0.25− 0.5)𝑅𝑇𝑡 2.20
Intensitas hujan (mm/jam) menurut Bell dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
𝐼𝑇𝑡 = 60 𝑡 𝑅𝑇𝑡
2.21 Dengan:
R : curah hujan (mm)
T : periode ulang (tahun) (2 ≤ T ≤ 100 ) tahun t : durasi hujan (menit) (5 ≤ t ≤ 120 ) menit
R1 R2 : besarnya curah hujan pada distribusi jam ke 1 menurut Tanimoto
Perhitungan terakhir yang dibutuhkan yaitu intensitas hujan dengan kala ulang 2, 5, 10, 25, 50, dan 100 tahun untuk tiap durasi dengan metode Ishiguro, Talbot, dan Sherman.
a) Ishiguro
Dr. Ishiguro mengemukakan rumus ini pada tahun 1953.
17 𝐼 = 𝑎
√𝑡 + 𝑏 2.22
𝑎 = ∑𝑛𝑖=1(𝐼 . √𝑡) . ∑𝑛𝑖=1(𝐼2) – ∑𝑛𝑖=1(𝐼2 . √𝑡) . ∑𝑛𝑖=1(𝐼 )
𝑛 . ∑𝑛𝑖=1(𝐼2) – (∑𝑛𝑖=1𝐼)2 2.23
𝑏 = ∑𝑛𝑖=1(𝐼) . ∑𝑛𝑖=1(𝐼 . √𝑡) – 𝑛. ∑𝑛𝑖=1(𝐼2 . √𝑡)
𝑛 . ∑𝑛𝑖=1(𝐼2) – (∑𝑛𝑖=1𝐼)2 2.24
Dengan:
I = Intensitas hujan (mm/jam) t = Durasi hujan (jam)
a dan b = Konstanta b) Talbot
Profesor Talbot mengemukakan rumus ini pada tahun 1981.
𝐼 = 𝑎 𝑏 + 𝑡
2.25
𝑎 = ∑𝑛𝑖=1(𝐼 . 𝑡) . ∑𝑛𝑖=1(𝐼2) – ∑𝑛𝑖=1(𝐼2 . 𝑡) . ∑𝑛𝑖=1(𝐼 ) 𝑛 . ∑𝑛𝑖=1(𝐼2) – (∑𝑛𝑖=1𝐼)2
2.26
𝑏 = ∑𝑛𝑖=1(𝐼) . ∑𝑛𝑖=1(𝐼 . 𝑡) – 𝑛. ∑𝑛𝑖=1(𝐼2 . 𝑡) 𝑛 . ∑𝑛𝑖=1(𝐼2) – (∑𝑛𝑖=1𝐼)2
2.27
c) Sherman
Profesor Sherman mengemukakan rumus ini pada tahun 1985.
𝐼 = 𝑎
𝑡𝑛 2.28
log 𝑎 = ∑𝑛𝑖=1(log 𝐼) . ∑𝑛𝑖=1(log 𝑡)2 – ∑𝑛𝑖=1(log 𝑡 . log 𝐼) . ∑𝑛𝑖=1(log 𝑡 )
𝑛 . ∑𝑛𝑖=1(log 𝑡2) – (∑𝑛𝑖=1log 𝑡)2 2.29
18 𝑛 = ∑𝑛𝑖=1(log 𝐼) . ∑𝑛𝑖=1(log 𝑡) – 𝑛 . ∑𝑛𝑖=1(log 𝑡 . log 𝐼)
𝑛 . ∑𝑛𝑖=1(log 𝑡2) – (∑𝑛𝑖=1log 𝑡)2 2.30
2. Debit Air Hujan
Perhitungan dalam menemukan debit air hujan dengan menggunakan metode Rasional Jepang. Dalama rumus terdapat debut yang di cari, intensitas hujan yang telah ditemukan, koefisien limpasan dan luas DAS, dan dalam penelitian ini luas yang digunakan yaitu area tangkapan. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
𝑄 = 𝐶 . 𝐼 . 𝐴 2.31
Berdasarkan (Lestari, 2016), dalam kepraktisan dalam satuan rumus, maka rumus sebagai berikut:
𝑄 = 0,00278 . 𝐶 . 𝐼 . 𝐴 2.32
Dengan:
Q = debit puncak (m3/det) C = koefisien limpasan
I = Intensitas hujan (mm/jam) A = luas permukaan (km2) 3. Volume Air Hujan
Pada data curah hujan dan luas atap bangunan maka diperoleh perhitungan air hujan yang dapat ditampung dari persamaan berikut (Sylviana, 2018):
𝑆 =𝐴 . 𝑀 . 𝐹
1000 2.33
Dengan:
S = supply air hujan yang dapat diterima (m3) A = luas area penangkapan air hujan (m2) M = curah hujan dalam satu bulan
19 F = koefisien pengaliran atau run-off (0,95)
4. Cost and Benefit
Setelah mendapatkan volume air yang dapat ditampung, analisis ekonomi merupakan tahap terakhir dalam perhitungan. Cost (biaya) adalah biaya yang dikeluarkan untuk modal pembuatan RWHS dan pemeliharaannya sedangkan Benefit (Keuntungan) adalah keuntungan yang di dapatkan dengan melakukan RWHS seperti penghematan air bersih dan air hujan yang dihasilkan oleh pemasangan sistem pemanenan air hujan. Analisis ekonomi menggunakan persamaan Net Present Value (NPV) sebagai berikut:
𝑁𝑃𝑉𝑇 = ∑(𝐵𝑡− 𝐶𝑡) (1 + 𝑖)𝑡
𝑇
𝑡=0
2.34
Dengan:
B = Benefit (Keuntungan) C = Cost (biaya)
i = Discount Rate
Untuk Discount Rate perlu dilakukan perhitungan dengan persamaan Discount Factor (DF) berikut:
𝐷𝐹 = 1
(1 + 𝑟)𝑡 2.35
Dengan:
r = Discount Rate
Setelah itu, NPV yang diperoleh mengikuti ketentuan sebagai berikut (Yasuha, 2017):
- NPV ≥ 0: Usulan investasi dapat diterima - NPV ≤ 0: Usulan investasi ditolak
- NPV = 0: Usulan investasi diterima
20 2.5. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu menjelaskan penelitian yang telah dilakukan bersangkutan dengan Rainwater Harvesting System (RWHS). Penelitian tersebut menemukan potensi, kelayakan, dan proses Rainwater Harvesting System (RWHS) yang baik dan benar secara sistematis.
Tabel 8. Penelitian Terdahulu terkait Rainwater Harvesting System (RWHS) Judul Nama Peneliti Hasil Penelitian Potensi Pemanenan
Air Hujan (Rainwater Harvesting) Kampus UNNES Sebagai Pendukung UNNES Konservasi
Hari Dwi Jayanti, Liesnoor Setyowati, &
Tukidi, 2012
Hasil penelitian, jumlah pemanenan air hujan melalui:
- atap bangunan adalah selama 1 tahun 172.275.513 liter/tahun
- embung adalah 2.715.898.080 liter/bulan - sumur resapan adalah 4.271.881
liter/bulan
- lubang resapan biopori 85.535.460 liter/bulan
Prospek pemanfaatan hasil PAH yang ada di lingkungan kampus Unnes yaitu dari hasil penelitian dan perhitungan Air yang digunakan masyarakat Unnes untuk kebutuhan sehari-hari adalah kurang dari 5 liter per orang
Construction and Evaluation of
Rainwater Harvesting System for Domestic Use in a Remote and Rural Area of Khulna, Bangladesh
Biswas & Mandal, 2014 Kualitas air hujan di India telah memenuhi standar baku mutu air hujan berdasarkan WHO
Perancangan Sistem Rain Water
Harvesting, Studi Kasus: Hotel Novotel Yogyakarta
Fathi, Utami, &
Budiarto, 2014
Rata-rata air hujan yang dapat ditampung dalam satu bulan yaitu 478.820 liter dan dalam satu tahun dapat terkumpul sebesar 5.745.809 liter. Pada musim hujan, air hujan pada Hotel Novotel dapat memasok hingga 21% dari total kebutuhan air bersih dalam satu bulan. Rata-rata konsumsi air yang dapat ditangani oleh air hujan dalam setahun adalah 8,6%.
Pemanfaatan Sistem Pemanenan Air Hujan (Rainwater Harvesting System) Di
Ali, Suhardjono, &
Hendrawan, 2017
Dari hasil penelitian diperoleh potensi curah hujan yang dapat dipanen:
- Permukaan atap sebesar 147.009,86 m3/tahun
21 Perumahan Bone Biru
Indah Permai Kota Watampone Dalam Rangka Penerapan Sistem Drainase Berkelanjutan
- Sisa limpasan hujan yang bersumber dari atap sebesar 25.829,86 m3/tahun
- Total kapasitas tampungan sarana PAH yang dibutuhkan sebesar 4.743,20 m3. Dengan penerapan sistem PAH, mampu mereduksi jumlah limpasan drainase yang terjadi sebesar 85,38% yakni 7835,814 m3 dari 9178,032 m3 total limpasan yang terjadi, sekaligus juga dapat mengefektifkan fungsi saluran-saluran dan gorong-gorong drainase eksisting yang ada di perumahan ini.
Analisis Potensi Pemanenan Air Hujan Dengan Teknik Rainwater Harvesting Untuk Kebutuhan Domestik
Silvia & Safriani, 2018 Analisis potensi Rainwater Harvesting di Gampong Leuhan menunjukkan 887.892 liter/hari, dengan rata-rata potensi Rainwater Harvesting di setiap rumah adalah 862.031 liter/hari. Perbandingan antara jumlah air yang dipanen sebesar 887.892 liter/hari dengan total penggunaan air untuk kebutuhan masyarakat Gampong Leuhan sebesar 482.346,90 liter/hari, menunjukkan bahwa dengan teknik pemanenan air hujan akan mencukupi dan mampu menjadi salah satu alternatif dalam penyediaan air bersih.