• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Identifikasi Penggunaan Lahan ... - Unud

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Identifikasi Penggunaan Lahan ... - Unud"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

1

PEMANFAATAN CITRA SATELIT UNTUK IDENTIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DAN SUHU

PERMUKAAN LAHAN

Oleh:

I Gusti Agung Ayu Rai Asmiwyati

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR PERTAMANAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2018

(2)

2

KATA PENGANTAR

Tulisan ini mengkaji pustaka dari berbagai sumber mengenai pemahaman tentang karakteristik citra satelit,khususnya Landsat yang memiliki resolusi medium dan bisa diperoleh secara bebas biaya, peranan citra satelit dalam klasifikasi lahan dan deteksi suhu permukaan lahan, serta metode ekstraksi citra satelit. Pemanfaatan citra satelit dan teknik menganalis citra penting seiring dengan pesatnya penggunaan citra satelit untuk mengkaji perubahan penggunaan lahan dan panas pulau perkotaan atau yang lebih dikenal dengan istilah urban heat island (UHI) yang kini semakin mendapat perhatian seiring dengan pesatnya pembangunan di kawasan perkotaan di seluruh dunia. Kajian pustaka ini merupakan seri dari kajian pustaka sebelumnya yang berjudul Urban Heat Island dan mengutip bagian bab studi pustaka dari tesis penulis sebagai syarat menyelesaikan studi S3 di Curtin University, yang berjudul Impact of Land Use Change on Urban Surface Temperature and Urban Green Space Planning; A case Study of The Island of Bali, Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia dalam tulisan ini diharapkan dapat memudahkan pemahaman pembaca yang mengalami kesulitan dan membaca literatur mengenai UHI yang berbahasa Inggris. Semoga bermanfaat.

(3)

3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I PENDAHULUAN ... 6

II PEMBAHASAN ... 8

2.1 Pemilihan Citra RS untuk Mengukur LULC dan LST ... 8

2.2 Karakteristik Citra RS ... 9

2.2.1 Pemilihan Pencitraan Untuk Mendeteksi Efek UHI dan LULC... 15

2.3 Studi UHI Sebelumnya ... 18

2.3.1 Koreksi Geometrik ... 19

2.3.2 Koreksi Atmosfer ... 22

2.4 Memilih Sistem Klasifikasi LULC ... 24

2.5 Klasifikasi Gambar... 29

2.5.1 Metode Klasifikasi Gambar ... 29

2.5.2 Klasifikasi Berbasis Piksel Dibandingkan Metode Klasifikasi Berbasis Objek ... 32

III KESIMPULAN ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

(4)

4

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Karakteristik sumber paling umum dari data penginderaan jauh (dimodifikasi dari Loveland dan Defries, 2013) ... 13 Tabel 1.2. Karakteristik resolusi spektral dari sistem sensor orbital

(Stefanov et al., 2004) ... 14 Tabel 1.3. Klasifikasi tanah USGS di daerah perkotaan dan NLCD 92 ... 26 Tabel 1.4. LULC kelas dari studi sebelumnya di Bali

dan Standar Nasional Indonesia ... 29

(5)

5

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Timeline Landsat (USGS, 2015 ... 17 Gambar 1.2. Transformasi dalam proses koreksi geometrik (Murai, 1998) .. 21 Gambar 1.3. Metode klasifikasi (Murai, 1998) ... 31

(6)

6

I PENDAHULUAN

Pemanfaatan kombinasi ilmu penginderaan jauh/remote sensing (RS) dan sistem informasi geografis (SIG) kini semakin meluas tidak hanya untuk memonitoring dan mengidentifikasi penggunaan lahan namun juga dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kondisi panas permukaan lahan. Informasi mengenai hal tersebut diperoleh dari jarak jauh dari data sensor satelit ruang angkasa yang dapat berbentuk dari hasil variasi daya gelombang bunyi dan atau energi elektromagnetik. Gambar/citra yang diperoleh melalui RS merupakan input data dasar yang selanjutnya diolah dan disajikan oleh SIG. Peran SIG juga dapat untuk mengkoreksi posisi data dari citra RS. Dengan demikian, integrasi antara data RS dengan SIG akan memperoleh informasi yang optimal sebagai data pemanfaatan wilayah.

Sementara itu, penggunaan lahan merupakan aktivitas manusia pada lahan/tapak, yang dapat diidentifikasi tidak secara langsung dari citra. Penutupan lahan diidentifikasi dari citra konstruksi vegetasi dan buatan manusia yang menutupi permukaan lahan dan terlihat dari citra RS. Pemetaan penggunaan lahan dan penutup lahan/land use/cover sangat berhubungan dengan studi vegetasi, tanaman pertanian dan tanah. Kegiatan manusia dalam kaitannya dengan penggunaan lahan/penutupan lahan berdampak pada energi panas yang dipancarkan oleh permukaan. Energi inipun dapat diukur dan diekstrak dengan menggunakan citra satelit. Informasi penggunaan citra satelit untuk mendapatkan data permukaan lahan dan panas permukaan sangatlah penting dan diperlukan untuk membuat suatu model dalam kegiatan perencanaan lanskap.

(7)

7

Tujuan dari tulisan ini adalah mengkaji jenis citra satelit yang bisa diperoleh gratis secara online yaitu Landsat. Karakteristik dan prosedur ekstraksi data citra Landsat untuk memperoleh data penggunaan lahan dan suhu permukaan lahan juga ditelusuri. Pemilihan metode ektrasi citra dengan klasifikasi berbasis obyek disampaikan sebagai alternatif metode selain metode konvensional lain yang sudah lama dikenal untuk meningkatkan keakuratan hasil analisis citra.

(8)

8

II PEMBAHASAN

2.1 Pemilihan Citra RS untuk Mengukur LULC dan LST

Studi efek urban heat island (UHI) menunjukkan bahwa partisi panas laten dan fluktuasi dan respon suhu permukaan yang dihasilkan adalah fungsi dari berbagai kadar air, permukaan tanah, dan tutupan vegetasi (Weng et al., 2006).

Kemampuan RS dan teknologi analisis spasial telah membuat informasi tentang pola dan kondisi ruang menjadi lebih tersedia. "Pengembangan teknologi Remote Sensing (RS) dan Geographical Information System (GIS) tidak hanya menyebabkan pemahaman yang lebih besar tentang hubungan spasial antara penggunaan lahan yang berbeda, tetapi juga memfasilitasi pencatatan energi yang dipancarkan dari seluruh spektrum elektromagnetik dan memberikan bukti sejarah pada waktu-waktu tertentu" (Loveland dan Defries, 2013). Selain itu, citra RS juga bernilai untuk menentukan penggunaan lahan (LULC) dan memungkinkan pemetaan rinci suhu permukaan lahan (LST) pada saat yang bersamaan. Data termal yang disediakan oleh sensor RS menawarkan kemampuan untuk menghasilkan model akurat dari fenomena iklim perkotaan, seperti efek UHI, menghubungkan dan memodelkan LST dengan jenis LULC dan vegetasi, selain itu menjadi alat yang berguna untuk memantau peningkatan urbanisasi dan efek lingkungan. perubahan iklim regional (Aduah et al., 2012; Tursilowati, 2012).

Ketersediaan data LST dari citra termal penginderaan jauh di seluruh kota memungkinkan untuk melihat perbedaan yang jelas dalam suhu beberapa karakteristik LULC sekaligus (Yuan dan Bauer, 2007; Voogt dan Oke, 2003).

(9)

9 2.2 Karakteristik Citra RS

Peningkatan ketersediaan citra satelit menawarkan cakupan data berulang pada berbagai resolusi spasial, radiometrik, spektral, dan temporal (Stoney, 2006).

Resolusi yang tepat untuk digunakan ditentukan oleh jenis misi dan karakteristik sensor. Memilih sensor RS yang sesuai untuk studi apapun memerlukan pertimbangan tujuan penelitian, biaya gambar, dan proses teknis untuk menganalisis dan menginterpretasikan citra.

a) Resolusi spasial

Resolusi spasial dari sensor RS menggambarkan area minimum atau ukuran detail dari fitur dan pola yang dapat diidentifikasi pada gambar. Umumnya dibagi menjadi tiga kategori: resolusi kasar, moderat dan halus (Loveland dan Defries, 2013). Resolusi spasial dari data RS mengurangi ukuran kesenjangan antara lapangan dan data penginderaan jauh yang dirasakan dalam penggunaan satelit resolusi kasar (Rocchini, 2007). Sensor dengan resolusi spasial 5 m/pixel atau kurang dianggap sebagai resolusi yang sangat halus. Resolusi spasial yang lebih besar dari 5 m/pixel dan hingga 30 m/pixel dianggap moderat dan sensor dengan resolusi tanah lebih dari 30 m/pixel dianggap sebagai resolusi kasar (Stefanov et al., 2004). Banyak upaya telah dilakukan untuk menggambarkan LULC dari skala lokal ke skala global dengan menerapkan data multi-temporal dan multi-sumber dari jarak jauh yang berbeda. Data resolusi sedang-baik berguna untuk mendeteksi perubahan di kelas dan paling akurat ketika membedakan jenis LULC di daerah perkotaan yang kompleks dan heterogen (Loveland dan Defries, 2013).

(10)

10

Citra satelit resolusi moderat seperti Landsat adalah tipe data yang paling umum untuk memantau dan memetakan perubahan LULC. Ini telah berhasil digunakan untuk menilai perubahan LULC, terutama di area lahan yang telah dipengaruhi oleh aktivitas manusia dalam berbagai kondisi. Misalnya, Guangyin dkk. (2011) menggunakan Landsat Multi-Spectral Sensor (MSS), mapper Tematik Landsat (TM) dan Enhanced Thematic Mapper (ETM +) untuk mendeteksi perubahan LULC di Sungai Yangtze antara 1990 dan 2005. Reis (2008) menggunakan citra Landsat MSS dan Landsat ETM + untuk mendeteksi LULC di Turki. Namun, citra resolusi spasial relatif menengah sering tidak mampu memenuhi persyaratan proyek spesifik dari klasifikasi LULC yang kompleks, terutama di lanskap pedesaan atau perkotaan yang kompleks (Lu dan Weng, 2005). Meskipun utilitas gambar resolusi spasial menengah mungkin tidak baik untuk skala perkotaan dan lokal, namun berguna untuk skala regional, metropolitan dan yang lebih tinggi.

Penggunaan data sensor resolusi spasial yang tinggi, seperti SPOT, IKONOS dan Quickbird, memungkinkan pendeteksian LULC yang sangat rinci di daerah perkotaan dan pedesaan serta pemetaan permukaan yang tahan di daerah perkotaan (Wang et al., 2004; Lu dan Weng, 2005). Resolusi citra satelit tinggi diperlukan untuk aplikasi tanah, informasi vegetasi perkotaan, mendeteksi ruang terbuka, jalan-jalan dan bangunan individu di lingkungan perkotaan (Yüksel et al., 2008). Keuntungan utama dari gambar resolusi spasial tinggi ini adalah bahwa data tersebut sangat mengurangi masalah pixel-campuran (Lu dan Weng, 2005), memberikan potensi yang lebih besar untuk mengekstrak informasi yang jauh lebih rinci tentang struktur LULC daripada data resolusi spasial menengah atau

(11)

11

kasar. Namun, ketika menggunakan gambar resolusi spasial tinggi beberapa masalah baru muncul, terutama bayangan yang disebabkan oleh topografi, gedung tinggi, dan pohon (Zhou et al., 2008), dan variasi spektrum tinggi dalam kelas LULC yang sama. Kerugian ini dapat menurunkan akurasi klasifikasi jika metode klasifikasi tidak dapat secara efektif menangani masalah tersebut (Moran, 2010).

Gambar resolusi spasial tinggi juga jauh lebih mahal dibandingkan dengan gambar resolusi kasar-menengah yang sering tersedia secara bebas. Selain itu, kegunaan gambar resolusi spasial yang lebih tinggi pada tingkat daerah dipersulit oleh biaya berapa lama waktu yang diperlukan untuk menganalisis. Hal ini juga dapat terbukti tidak praktis karena memberikan terlalu banyak detail untuk melakukan generalisasi yang tepat dalam pengambilan keputusan.

Teknik RS dalam pemetaan LULC pada prinsipnya menggunakan sensor pasif (optik) RS yang bekerja selama siang hari ketika sensor optik merekam radiasi yang dipantulkan dalam spektrum elektromagnetik. RS pasif dapat menjadi tidak efektif di daerah tropis lembab dengan tutupan awan yang persisten, seperti yang sering terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, radar sebagai RS aktif akan menjadi sumber alternatif yang baik karena dapat menembus awan. Radar apertur sintetik (SAR) memiliki keunggulan dibandingkan data optik (gambar resolusi tinggi, sedang dan rendah) dan mampu memperoleh data siang dan malam (IPCC, 2003).

Meningkatnya ketersediaan data SAR dari satelit juga berkontribusi pada studi perkotaan di bidang pemetaan fitur perkotaan dan klasifikasi LULC (Dell'Acqua dkk., 2003). Namun, data SAR berasal dari sistem komersial yang cenderung lebih mahal dibandingkan dengan program yang dibangun dan dioperasikan

(12)

12

pemerintah. Dengan demikian, penggunaan SAR di wilayah studi besar memiliki dampak pada biaya studi yang merupakan masalah yang signifikan di negara berkembang. Selain itu, ia juga memiliki lebih sedikit informasi spektral dan masalah dengan speckle noise yang membuat deteksi LULC heterogen yang menantang (Chen, 2008). Karakteristik umum dari data penginderaan jauh ditunjukkan pada Tabel 1.1.

b) Resolusi spektral

Resolusi spektral mengacu pada jumlah dan lebar pita spektral dari sensor tertentu. Resolusi spektral yang dapat dicapai dikategorikan menjadi tiga jenis;

sensor spektral multispektral, pankromatik, dan hiper. Citra multispektral adalah alat yang ampuh untuk membedakan LULC dengan memanfaatkan beberapa band. Namun, karena bandwidth dari sensor ini umumnya cukup besar, perbedaan halus antara tipe LULC sulit dikenali. Saluran pankromatik tersedia di beberapa satelit seperti SPOT dan Landsat ETM +. Kedua sensor multispektral dan pankromatik sensitif terhadap radiasi di beberapa panjang gelombang dari spektrum spektrum inframerah hingga spektrum inframerah. Sensor spektrum hiper memiliki lebih banyak pita pencitraan daripada sensor multispektral pada bandwidth yang lebih sempit, tetapi sensor spektral hiper memiliki biaya yang jauh lebih tinggi. Informasi yang tepat dapat memungkinkan pembedaan perbedaan yang lebih halus dalam LULC. Untuk mengidentifikasi objek tertentu secara andal, resolusi spektral dari sensor harus sesuai dengan kurva pantul refleksi dari objek tertentu yang dimaksud. Cakupan spektral dari data gambar resolusi spasial tinggi sering terbatas pada inframerah dekat dan panjang gelombang yang terlihat (Jensen, 2000). Selain itu, kurangnya band termal dan

(13)

13

arsip jangka pendek yang relatif membatasi penggunaan efektif mereka untuk beberapa aplikasi dari studi temporal spasial informasi LULC dan LST.

Karakteristik resolusi spektral dari sistem sensor orbital dapat dilihat pada Tabel 1.2.

Tabel 1.1. Karakteristik umum dari data penginderaan jauh (dimodifikasi dari Loveland dan Defries, 2013)

Type Sensor/product Spatial resolution

Date of observation

Temporal resolution

Cost Coarse

resolution satellite sensor (100 to >1 km)

NOAA-TIROS 1.1 km 1978-

present 1 day

Free SPOT

VEGETATION

1.15 km 1998-

present 26 days

Free ADEOS II 7 km x 6 km,

250 m -250 km 2002-

present 10 days EOS AM and PM

(MODIS)

250-1000 m, 275 m

1999-

present 2 days

Free Envisat 350-1200 m,

150-1000 m

2002-

present 35 days

Not free and free

Moderate Resolution Satellite sensor (10- 100 m)

SPOT 20 m; 10 m 1986-

present 26 days

Not free

ERS 30 m 1995-

present 30 days

Not free and free

Radarsat 10-100 m 1995-

present 24 days

Not free

Landsat 83, 30 m 1984-

present 16 days

Free

Landsat 15-100 m 2013 16 days Free

EOS 15-90 m 1999-

present 16 days

Not free and free

JERS 18 m, 18 m x

24

1992-1998

41 days

Not free High

resolution satellite sensor (<10 m)

IKONOS 1 m

panchromatic

2000-

present 3-5 days

Not free 4 m

multispectral QuickBird 0.61 m

panchromatic;

2.44 m multispectral

2001- present

3-7 days

Not free

Geo eye 34 cm

panchromatic;

2008

< 3 days

Not free 1.36 m

multispectral RADAR (ALOS

PALSAR)

10 m 2006 2 days Not free

(14)

14 c) Resolusi radiometrik

Resolusi radiometrik berarti jumlah level kuantifikasi digital yang digunakan untuk menyimpan data. Semakin besar jumlah kuantifikasi digital semakin besar detail informasi yang dikumpulkan oleh sensor.

d) Resolusi sementara

Resolusi temporal menandakan laju revisit sensor. Untuk melihat perubahan spesifik LULC dan LST, pemetaan akurat bergantung pada perolehan citra pada waktu tertentu dalam setahun. Data Landsat adalah data yang paling umum digunakan karena sejarah panjang pengumpulan data berbasis ruang pada skala global (Morran; 2010).

Tabel 1.2 Karakteristik resolusi spektral dari sistem sensor orbital (Stefanov et al., 2004)

Sensor Spatial resolution Wavelength (bands) Temporal coverage

TM 30/120 VSWIR (6) 1984-

TIR (1)

ETM+ 15/30/60 PanVNIR (1) 1999-

VSWIR (6) TIR (1)

ASTER 15/30/90 VNIR (1) 1999-now

SWIR (6) TIR (5) SPOT HRV

(Visible high- resolution)

10/20 Pan VNIR (1) 1986-1996

SPOT HRVIR (Visible and infrared high- resolution)

10/20 VNIR (3) or

VSWIR (4)

1998-2013

IKONOS 1/4 Pan VNIR (1) 1999-2015

VNIR (4)

Quickbird 0.6/70 Pan VNIR (1) 2001-

2.4/2.8 VNIR (4)

RADARSAT 10-100 5.7 cm (C-band) 1995-

(15)

15

2.2.1 Pemilihan Pencitraan Untuk Mendeteksi Efek UHI dan LULC

Secara tradisional, data LST untuk studi UHI dikumpulkan dari stasiun klimatologi tetap. Akuisisi informasi distribusi spasial suhu secara rinci sulit diperoleh karena lokasi yang terbatas untuk pengukuran suhu (Zhang dan Wang, 2008). Cara lain untuk menilai secara bersamaan secara bersamaan di seluruh area yang luas adalah dengan menggunakan platform satelit RS yang menawarkan cara untuk menangkap data mengenai kuantitatif LST di seluruh kategori LULC secara rinci. LST direkam oleh sensor dalam rentang spektrum inframerah termal (TIR).

Sensor TIR menangkap pancaran puncak atmosfer (TOA) (Zhang dan Wang, 2008).

Perbandingan sebelumnya telah menunjukkan bahwa hasil pengamatan TIR dengan pengukuran langsung (Mallick & Rahman, 2012). Namun, radiasi yang direkam oleh sensor sering dipengaruhi oleh konstituen atmosfer. Untuk mendapatkan nilai yang realistis, data asli ini perlu dikoreksi untuk emisivitas dan efek atmosferik (Weng, et al., 2003). Suhu koreksi radiometrik dapat digunakan untuk menghitung LST dalam derajat Kelvin atau Celcius (Voogt and Oke, 2003).

Studi awal efek UHI menggunakan pengukuran LST yang diturunkan dari satelit NOAA Advanced Data Radiometer Resolusi Tinggi (AVHRR) untuk pemetaan LST skala regional (Streutker, 2003). Baru-baru ini, data satelit lain seperti Landsat dan MODIS juga telah digunakan untuk memeriksa LULC dan LST secara bersamaan. Di antara semua satelit ini, Landsat adalah yang paling terkenal karena datanya yang sering dan berkualitas tinggi.

(16)

16

Band spektral Landsat telah diidentifikasi sebagai alat yang efektif tidak hanya untuk mengidentifikasi LULC dan tingkat urbanisasi (Koutsias dan Karteris, 2003), tetapi juga untuk mengukur perubahan dalam LST, tutupan vegetasi dan untuk analisis hotspot global (Loveland dan Defries, 2013). Data Landsat TM dan ETM + thermal infrared (band 6) dengan resolusi spasi 120 m dan 60 m masing- masing, memberikan resolusi spasial yang memadai untuk studi efek UHI dan metode yang cukup akurat untuk mengukur LST. Mereka telah digunakan untuk studi skala lokal efek UHI (Weng, 2001) dan untuk analisis SUHI pada tingkat lokal (kota-lebar) dan mikro (struktur besar) (Yuan dan Bauer, 2007).

Keterbatasan utama Landsat terpusat pada penyediaan gambar beresolusi sedang dan jadwal akuisisi tetap di tempat tertentu pada waktu tertentu. Namun demikian, arsip besar data Landsat dari Landsat 1 yang dimulai dari 1972 ke Landsat 8 yang dimulai dari 2013, sangat ideal untuk digunakan dalam pemantauan jangka panjang. Pada 1 Maret 1984, Landsat 5 diluncurkan yang membawa instrumen Scanner Multispektral (MSS) dan instrumen Thematic Mapper (TM). Namun, sejak tahun 1997 hanya Landsat 5 TM yang berfungsi dengan baik. Landsat 6 kemudian diluncurkan pada 5 Oktober 1993 tetapi gagal mencapai orbit. Pada 15 April 1999, Landsat 7 ETM + kemudian berhasil diluncurkan. Namun, dari 2003 Landsat 7 ETM + menunjukkan kesenjangan linear karena kegagalan korektor scan-line. Akibatnya, dari tahun 2003 hanya Landsat TM yang masih mampu menyediakan gambar yang lebih baik, tetapi berhenti berfungsi pada tahun 2011 karena komponen elektronik yang sangat menurun. Kesenjangan linear Landsat 7

(17)

17

ETM + kemudian digantikan dengan peluncuran Landsat 8 pada 11 Februari 2013 (USGS, 2015). Gambar 1.1 menunjukkan garis waktu Landsat

Gambar 1.1 Timeline Landsat (USGS, 2015)

Kombinasi data dari sumber satelit lain untuk waktu tertentu diperlukan untuk mengatasi ketidaktersediaan citra RS yang baik dari sensor yang sama. Beberapa peneliti telah bekerja untuk menggabungkan data sensor yang berbeda untuk pemantauan sementara LULC dan perubahan LST. Wen (2011) menggunakan kombinasi data Landsat MSS dan Quick Bird. Zoran dan Anderson (2006) menggunakan data satelit multi-spektral dan multi-temporal dari ASTER, MODIS, SAR ERS, Landsat MSS, TM, dan ETM. Penggunaan satelit AVHRR dan MODIS NOAA ditemukan hanya cocok untuk pemetaan skala meso LST karena resolusi spasial kasarnya dengan 1 dan 1,1 km / piksel, masing-masing membatasi penggunaannya untuk memeriksa hubungan antara LULC dan LST di tingkat skala lokal dan mikro. Instrumen satelit lainnya, ASTER, menyediakan data resolusi spasial yang lebih tinggi yang dapat dikombinasikan dengan Landsat, seperti yang dilakukan dalam studi yang dilakukan oleh Liu dan Zhang (2011).

ASTER beroperasi di wilayah spektrum yang lebih luas dengan 14 band mulai

(18)

18

dari band termal pada 90 m per pixel dan band multispektral pada 15 m dan 30 m per pixel dengan cakupan dari tahun 2000 hingga sekarang (Abrams, 2000;

NASA, 2015). Baik Landsat dan ASTER memiliki siklus penutupan tanah 16 hari yang dapat memastikan sejarah periode yang konsisten. Citra satelit resolusi moderat dari kedua Landsat dan ASTER ideal ketika memonitor perubahan LULC (Franklin dan Wulder, 2002).

Citra ASTER berharga untuk menilai tidak hanya peta LULC, tetapi juga untuk menghubungkan pemetaan LST secara simultan. Resolusi spasial ASTER memungkinkan untuk membedakan lebih banyak dan berbagai material permukaan terutama untuk daerah sub-urban dan perkotaan yang memiliki struktur permukaan yang biasanya kompleks. Kerugian utama ASTER adalah bahwa pita SWIR dari 4, 5, dan 6 belum dapat digunakan sejak April 2008 karena kejenuhan nilai dan striping yang parah (ASTER Science Office, 2009).

2.3 Studi UHI Sebelumnya

Menggabungkan analisis RS dan SIG menggunakan teknologi RS termal memungkinkan studi tentang distribusi UHI dan LST di daerah perkotaan.

Analisis UHI menggunakan GIS untuk memperoleh informasi lebih rinci tentang SUHI telah digunakan secara luas. Lo et al. (1997) menggunakan data dari sensor inframerah termal untuk mempelajari UHI dan menemukan bahwa sangat membantu untuk memperjelas distribusi lokasi UHI melalui penambahan pada lapisan data GIS seperti jalur, jalan, aliran dan distribusi bangunan. Liu dan Zhang (2011) mempelajari perubahan LST menggunakan alat GIS di Hongkong. Weng

(19)

19

(2003) melakukan analisis fraktal SUHI di kota Guangzhou untuk tahun 1989, 1996 dan 1997 dengan menggunakan data Landsat TM.

Penelitian lain telah meneliti dampak SUHI dan menemukan banyak faktor terkait yang mempengaruhi SUHI, seperti sifat kekasaran permukaan tanah dan kelembaban tanah (Liu dan Zhang, 2011) dan populasi kepadatan (Malick dan Rahman, 2012). Dalam beberapa penelitian, banyak perhatian telah diberikan kepada hubungan antara kelimpahan vegetasi dan LST (Weng et al., 2007) mempelajari hubungan antara LST dan fragmentasi perkotaan di Indianapolis , Weng (2001) dan Solecki dkk. (2005) menunjukkan dampak ekspansi perkotaan pada LST menghasilkan saran-saran konstruktif mengenai manajemen di New Jersey. Jelas bahwa efek UHI bervariasi pada waktu dan musim yang berbeda. Liu and Weng (2008) menemukan bahwa perbedaan terbesar dari efek UHI terjadi ketika langit cerah pada malam musim panas.

2.3.1 Koreksi Geometrik

Citra RS mentah tidak dapat langsung digunakan untuk identifikasi LULC karena masih mengandung kesalahan geometrik. Ada dua kesalahan utama; sistematis dan tidak sistematis. Sebagian besar kesalahan dapat diprediksi dan sistematis yang berasal dari distorsi eksternal yang disebabkan oleh parameter eksternal selain sensor (yaitu bantuan topografi, posisi platform, variasi sikap, dan kelengkungan Bumi). Jenis kesalahan ini dapat dijelaskan dengan pemodelan akurat dari sensor dan gerakan platform, serta hubungan geometrik platform ke Bumi. Kesalahan yang tidak sistematis atau acak disebabkan oleh sensor (variasi

(20)

20

laju sampling, distorsi lensa, pengaturan detektor yang tidak tepat), yang tidak dapat dimodelkan dan dikoreksi (Murai, 1998). Kompensasi distorsi ini adalah tujuan koreksi geometrik sehingga representasi geometrik dari citra sedekat mungkin dengan dunia nyata (Lillesand et al., 2008).

Registrasi geometrik dapat dilakukan dengan menggunakan pendaftaran gambar- ke-gambar atau gambar-ke-peta. Dalam registrasi gambar-ke-gambar, gambar didaftarkan ke gambar lain (Gambar 1.2). Proses pendaftaran gambar-ke-peta atau gambar dilakukan sesuai dengan langkah-langkah berikut:

a) Langkah 1: Identifikasi koordinat gambar (kolom dan baris) dari beberapa titik yang jelas pada gambar terdistorsi atau ground control point (GCP).

b) Langkah 2: Cocokkan mereka dengan posisi sebenarnya di koordinat dasar (garis lintang, garis bujur) peta.

c) Langkah 3: Ketika pasangan GCP telah diidentifikasi dan informasi koordinat diproses, persamaan transformasi yang tepat ditentukan dan kemudian diterapkan untuk mengubah koordinat peta/gambar asli ke koordinat ground baru mereka.

(21)

21

Gambar 1.2 Transformasi dalam proses koreksi geometrik (Murai, 1998)

Untuk membetulkan geometrik gambar terdistorsi asli, prosedur pengambilan sampel ulang diterapkan untuk menghitung nilai piksel untuk kisi yang disearahkan dari kisi data asli. Ada tiga metode umum untuk pengambilan sampel ulang; tetangga terdekat, interpolasi bilinear dan konvolusi kubik (Pusat Pemetaan dan Pengamatan Bumi Kanada, 2015):

a) Penghitungan ulang tetangga terdekat mengambil nomor digital (DN) dari piksel dalam gambar asli yang terdekat dengan lokasi piksel baru pada gambar yang dikoreksi. Re-sampling tetangga terdekat tidak mengubah nilai asli dan merupakan metode paling sederhana dan tidak mengubah nilai asli. Namun, proses ini dapat menghasilkan tampilan gambar yang tersumbat atau terputus- putus, beberapa duplikasi dan hilangnya nilai piksel.

(22)

22

b) Pengulangan sampling ulang bilinear menggunakan rata-rata tertimbang dari empat piksel dalam gambar asli yang terdekat dengan lokasi piksel baru.

Akibatnya, DN yang sama sekali baru dalam gambar output dibuat sebagai DN asli diubah. Ini mungkin tidak diinginkan untuk analisis klasifikasi LULC lebih lanjut yang didasarkan pada respon spektral. Dengan demikian, sampling ulang harus diterapkan setelah proses klasifikasi jika metode ini digunakan untuk klasifikasi LULC.

c) Pengukuran ulang sampling kubik-ulang dengan rata-rata tertimbang jarak dari sebuah blok 16 piksel dari gambar asli yang mengelilingi lokasi piksel output baru. Metode ini juga menciptakan nilai piksel yang benar-benar baru. Namun, penampilan gambar yang dibuat menggunakan metode interpolasi bilinear dan kubik kubik jauh lebih tajam dan kurang berblok dalam penampilan daripada menggunakan metode tetangga terdekat dan menjadi keuntungan dari metode ini.

2.3.2 Koreksi Atmosfer

Sensor jarak jauh memerlukan radiasi matahari untuk melewati atmosfer untuk merekam radiasi elektromagnetik dari permukaan Bumi. Selama perjalanan dari permukaan Bumi ke sensor RS, sinyal radiasi elektromagnetik dimodifikasi oleh gas dan aerosol. Akibatnya, nilai yang dicatat di lokasi piksel apa pun pada gambar RS juga mencakup informasi tentang atmosfer dan tidak mewakili pancaran permukaan tanah pada titik tersebut (Hadjimitsis dan Clayton, 2008).

Dengan demikian, menghilangkan pengaruh atmosfer sangat penting dalam banyak aplikasi analisis RS yang melibatkan klasifikasi dan deteksi perubahan dari waktu ke waktu untuk menempatkan data multi-temporal pada skala

(23)

23

radiometrik yang sama. Tujuan dari koreksi atmosfer adalah untuk menghasilkan nilai reflektansi permukaan yang lebih akurat dan berpotensi meningkatkan ekstraksi parameter permukaan dari citra satelit (Chrysoulakis, 2010).

Dua pendekatan utama untuk koreksi atmosfer adalah pendekatan relatif (metode berbasis Gambar) dan pendekatan absolut (Radiative Transfer Modeling) (Kayadibi, 2011). Pendekatan relatif menggunakan pemodelan atmosfer (misalnya Garis Emperical, Flat Field, Log Residual dan IAR Reflectance) sementara pendekatan absolut sering mengambil reflektansi target dengan akurasi yang relatif tinggi menggunakan data ground selama satelit overpass (misalnya FLAASH, ATCOR, dan ACORN) (Kayadibi , 2011). Namun, model ini membutuhkan informasi atmosfer pada saat overflight satelit, misalnya ketebalan optik spektral dari beberapa elemen atmosfer (Hadjimitsis dan Clayton, 2008) yang kadang-kadang sulit diperoleh (Kayadibi, 2011). Para peneliti telah membuat studi koreksi atmosfer pada gambar RS yang berbeda dengan menggunakan banyak metode koreksi atmosfer. Kayadibi (2011) menerapkan dan membandingkan empat metode koreksi atmosfer untuk citra Landsat 7 ETM + dan ASTER. Perbandingan menunjukkan bahwa model analisis atmosfer cepat hiper- kubik dari hyper-cubes (FLAASH) dan Atmospheric correction (ATCOR) mencapai hasil yang ideal dan lebih baik daripada metode relatif dari koreksi atmosfer (Guo & Zeng, 2012).

Metode FLAASH dirancang untuk mengoreksi panjang gelombang di daerah spektrum inframerah yang terlihat, dekat-inframerah dan gelombang pendek

(24)

24

(ENVI, 2009). Prinsip FLAASH dalam melakukan model koreksi atmosfernya didasarkan pada mode transfer radiasi atmosferik yang menggabungkan perhitungan MODTRAN (resolusi spektrum atmosferik moderat). Selain itu, FLAASH dapat menghilangkan sebagian besar pengaruh yang udara, cahaya dan faktor-faktor lain miliki pada pemantulan untuk mendapatkan parameter akurat reflektifitas, emisivitas, suhu permukaan dan model fisik nyata lainnya dari fitur permukaan (ENVI, 2009). Oleh karena itu, pendekatan FLAASH dapat digunakan di aplikasi tingkat lokal yang terkait dengan LULC. Manakos et al., (2011) meneliti efek dari koreksi atmosfer pada klasifikasi LULC dan menemukan bahwa FLAASH mengungguli modul atmospheric dan topographic correction (ATCOR).

2.4. Memilih Sistem Klasifikasi LULC

Pemilihan skema klasifikasi LULC memainkan peran penting karena mempengaruhi hasil dan interpretasi. Menurut Jensen (2000) sistem klasifikasi yang baik harus informatif, lengkap dan dapat dipisahkan. Dalam mengusulkan sistem klasifikasi USGS, Anderson et.al (1976) menyatakan bahwa sistem klasifikasi LULC yang efektif harus memenuhi kriteria berikut:

a) Tingkat akurasi interpretasi terendah dalam kategori LULC setidaknya 85%. Namun, Monserud dan Leemans (1992) menyatakan bahwa statistik kappa keseluruhan sebesar 0,55 untuk matriks kesalahan sampel menunjukkan klasifikasi keseluruhan yang baik.

b) Keakuratan kelas harus sama.

c) Dapatkan hasil yang berulang dari penerjemah yang berbeda dan waktu pencitraan RS.

(25)

25

d) Sistem klasifikasi yang berlaku di seluruh area yang luas.

e) Sistem kategorisasi harus mengizinkan tipe LULC untuk digunakan sebagai pengganti aktivitas.

f) Cocok digunakan untuk waktu yang berbeda sepanjang tahun.

g) Penggunaan subkategori yang efektif yang dapat diperoleh dari survei lapangan.

h) Kemungkinan untuk menggunakan skala yang lebih besar atau meningkatkan data RS dan ke kelompok agregasi.

i) Kemungkinan untuk membandingkan dengan LULC masa depan dan untuk mengenali banyak penggunaan lahan.

Dalam sistem klasifikasi LULC yang digunakan oleh USGS untuk daerah perkotaan/yang dibangun, kategori standar dicirikan oleh bangunan, beton, taman dan jalan. Kategori urban/built-up dapat dipecah menjadi klasifikasi seperti perumahan, komersial, industri, transportasi, tanah campuran dan rekreasi (USGS, 2012). Sistem klasifikasi ini memiliki fleksibilitas untuk memecah klasifikasi LULC lebih rinci untuk memenuhi tujuan tertentu pada tingkat ketiga dan keempat. Tingkat klasifikasi sistem USGS ditentukan oleh resolusi spasial gambar. Resolusi maksimum untuk klasifikasi pada level 3 adalah 0,9 m, level 2 adalah 2,5 m, dan level 1 adalah 80 m. Dalam sistem klasifikasi LULC NLCD 92, klasifikasi LULC Anderson dimodifikasi dan memiliki 21 LULC kelas (USGS, 2012). Tabel 3.3 menunjukkan sistem klasifikasi LULC ASLC dan NLCD.

(26)

26

Tabel 1.3. Klasifikasi tanah USGS di daerah perkotaan dan NLCD 92

LULC classification

system

Level 1 Level 2 Level 3

USGS Urban/built up development

Residential High density

residential Low density residential Commercial and services

Industrial

Transportation, communications and services

Industrial and commercial complexes

Mixed urban/build-up land Other urban/built-up land

NLCD 92 Water Open water

Snow

Developed areas low intensity residential high intensity residential commercial/industry/transportat ion

Barren bare rock/sandy/clay gravel pits

transitional Forested upland deciduous forest

evergreen forest mixed forest Shrub land shrub land Non-natural

woody

orchard/vineyard/other Herbaceous upland grassland/herbaceous Planted/cultivated pasture/hay

row crops small grain fallow

urban/recreational grasses

wetland woody wetlands

emergent herbaceous wetland

Karena penelitian ini mempelajari area non-homogen dengan kompleksitas spektrum, klasifikasi LULC berbasis gambaran yang rinci mungkin memberikan kejelasan yang lebih baik dari pola spasial dinamis dan distribusi LST. Selain itu, pemahaman yang lebih besar tentang pengaruh kegiatan antropogenik pada dinamika UHI dapat tercapai. Beberapa penelitian sebelumnya telah menghasilkan

(27)

27

peta LULC yang diterapkan untuk memantau UHI di kota-kota besar di seluruh dunia dan jenis klasifikasi LULC yang digunakan dalam hal ini bervariasi. Zhou dkk. (2014) mengklasifikasikan jenis LULC perkotaan utama ke dalam air, tanah tandus, pengembangan rendah, pengembanga menengah, pengembanga tinggi, pengembanga ruang terbuka, lahan pertanian, hutan, semak belukar, padang rumput, padang rumput, dan lahan basah. Nagayama dkk. (2012) membuat peta LULC untuk simulasi UHI dengan kombinasi data ASTER dan mengklasifikasikan LULC untuk sebuah kota di Jepang ke dalam lahan sawah, hutan gugur, hutan hijau sepanjang tahun, padang rumput, lahan pertanian, lahan basah, air, daerah kedap air, area kosong, bangunan dan transportasi.

Pemetaan LULC di negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura mengungkapkan enam jenis LULC yang sama. Ini adalah perkotaan, hutan, tanaman permanen, rumput, dan tanah gundul (Bin Md Hashim et al., 2007). Studi LULC dan LST lainnya di Malaysia menggunakan kelas-kelas berikut;

infrastruktur dan utilitas, perumahan, komersial, transportasi, industri, ruang terbuka dan rekreasi, hutan, pertanian, lembaga dan utilitas publik, serta badan air (Bin Jamaludin, 2010).

Di Indonesia, sistem klasifikasi LULC yang digunakan telah distandarisasi berdasarkan Standar Nasional Indonesia (Badan Standardisasi Nasional Indonesia, 2010). Namun, sebagian besar studi pemetaan perkotaan sebelumnya di Indonesia menggunakan berbagai jenis LULC. Misalnya pemetaan LULC di Kota Semarang, untuk mendeteksi distribusi LST, mengklasifikasikan LULC perkotaan

(28)

28

ke hutan, perkebunan, sawah, pemukiman, industri, ruang terbuka, badan air dan awan. Baja dkk. (2011) mengklasifikasikan sebuah kota di Sulawesi Selatan menjadi hutan, pertanian campuran, padang rumput, badan air, perkebunan, pemukiman, sawah, pertanian musiman dan lahan terbuka. Di Jakarta, ibu kota Indonesia, Prasasti et al. (2014) mendefinisikan kelas LULC sebagai hutan, lahan semak, padang rumput, area pertambangan, sawah, industri, dan lahan kering, perkebunan, kebun campuran, badan air, pemukiman dan lahan terbuka. Pemetaan LULC sebelumnya di Bali menunjukkan bahwa terdapat 15 jenis LULC di lokasi penelitian yaitu lahan kosong (lahan terbuka), bangunan, semak-semak, lahan kering, kolam ikan, air tawar, rumput, sawah irigasi, hutan bakau, perkebunan, pemukiman, pasir, pantai pasir, rawa dan sawah yang tidak beririgasi (JICA, 2005; As-syakur, 2011). Sesuai dengan tujuan penelitian ini dan data citra yang tersedia, sistem klasifikasi yang digunakan akan menyesuaikan baik studi sebelumnya di Bali dan SNI. Tabel 1.4 menunjukkan jenis LULC dari studi sebelumnya di Bali dan SNI.

(29)

29

Tabel 1.4 LULC kelas dari studi sebelumnya di Bali dan Standar Nasional Indonesia (SNI)

JICA (2005) Indonesian National Standard (National Standardization Agency of Indonesia, 2010)

As-syakur (2011)

Bare land Irrigated paddy field Water bodies

Building Unirrigated paddy field Built-up area

Bushes Polder Forest

Dry land Dry farm land Dry farm land

Fishpond Plantation Mangrove

Freshwater Mixed plantation Beach sand

Grass Mixed garden Sandy land

Irrigated paddy field Dry forest Settlement

Mangrove Wet forest Salty land

Unirrigated paddy field Bush land Grass land

Plantation/yard Grass land Irrigated paddy field

Residential Savannah Unirrigated paddy field

Sand Swam area Fishpond

Sand beach Open space Open space

Swamp Beach sand Plantation

River sediment Bush land

Sandy land Built-up area Unbuilt-up area Lake

Fishpond Freshwater Salty pond River

Irrigation network

2.5 Klasifikasi Gambar

Mendapatkan peta LULC tematis dari citra satelit membutuhkan penggolongan gambar. Teknik klasifikasi gambar berdasarkan kelompok piksel untuk mewakili kelas LULC.

2.5.1 Metode Klasifikasi Gambar

Ada tiga teknik klasifikasi citra umum; supervised dan unsupervised classification dan analisis berbasis objek. Metode supervised classification memerlukan pengumpulan data validasi dan pelatihan untuk mengambil peta tematik fitur yang menarik (misalnya lahan basah, pertanian) dalam bentuk kumpulan sampel (Sudhakar & Kameshwara, 2010). Training samples yang representatif untuk setiap kategori LULC diperlukan untuk mengidentifikasi kelas LULC di seluruh gambar. Klasifikasi dijalankan berdasarkan tanda spektral yang didefinisikan dalam set training samples kemudian masing-masing kelas ditentukan berdasarkan

(30)

30

pada apa yang paling menyerupai dalam set training samples (Murai, 1998).

Dalam metode unsupervised classification, hanya fitur spektral tanpa menggunakan data ground truth yang diperlukan. Piksel dikelompokkan dalam kelompok, berdasarkan sifat reflektansi mereka (Murai, 1998). Dalam metode klasifikasi berbasis objek, objek dengan bentuk dan skala yang berbeda dihasilkan melalui segmentasi, dan objek gambar homogen kemudian dibuat oleh pengelompokan piksel. Algoritma klasifikasi yang digunakan untuk mengklasifikasikan tergantung pada karakteristik spektral dan ketersediaan data kebenaran tanah (Murai, 1998) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.3.

a) Rasioning: klasifikasi untuk kelas non-vegetasi dan vegetasi.

b) Penggolongan kotak: metode sederhana yang menggunakan pengiris tingkat di mana tingkat akurasi cenderung rendah.

c) Fungsi diskriminan: metode ini bagus untuk diterapkan untuk klasifikasi dengan beberapa kelas LULC.

d) Clustering: metode klasifikasi tanpa pengawasan di mana nilai spektral kembali menjadi beberapa kelompok dengan kesamaan spektral.

e) Metode jarak minimum: menentukan kelas yang diperlukan oleh beberapa ukuran jarak statistik.

f) Pengklasifikasi maximum likelihood: salah satu metode klasifikasi tersupervisi yang khas dan metode yang paling populer untuk pemetaan LULC dengan gambar multi-spektral karena kekuatannya, kesederhanaan (Murai, 1998) dan tingkat akurasi yang relatif baik. Namun, beberapa kesalahan terjadi jika jumlah titik pelatihan / sampel data tidak mencukupi. Dalam hal ini, distribusi tidak mengikuti distribusi normal atau kategori memiliki banyak tumpang tindih dalam distribusi mereka (Murai, 1998). Data training samples adalah area yang dikenal yang dibatasi pada gambar digital (Richards, 2012).

(31)

31

Gambar 1.3 Metode klasifikasi (Murai, 1998)

Sejumlah piksel training samples yang dikenal diperlukan untuk pengklasifikasi kemungkinan maksimum untuk memungkinkan tanda tangan perwakilan untuk dikembangkan untuk setiap kategori informasi (Richards, 2012). Set data training samples harus memenuhi persyaratan umum termasuk homogenitas, memiliki jumlah piksel yang cukup mewakili distribusi normal dan harus tersebar luas di seluruh gambar. Data pelatihan juga harus dikumpulkan lebih disukai untuk semua kategori di segmen gambar yang harus diklasifikasikan dan setidaknya untuk semua kategori (Richards, 2012). Data training samples yang tidak sepenuhnya representatif dapat diselesaikan dengan menerapkan ambang batas pada fungsi diskriminan yang dikenakan dalam klasifikasi maximum likelihood

(32)

32

(Richards, 2012). Cara lain adalah dengan membatasi klasifikasi. Oleh karena itu, kualitas piksel yang buruk dalam gambar, yang dicirikan oleh data pelatihan, tidak akan diklasifikasikan untuk mengidentifikasi kelemahan dalam pemilihan data training samples yang dapat diperbaiki. Piksel tidak representatif dalam data training samples dapat dikecualikan dalam klasifikasi percobaan (Richards, 2012).

2.5.2 Klasifikasi Berbasis Piksel Dibandingkan Metode Klasifikasi Berbasis Objek

Di masa lalu, klasifikasi berbasis piksel memainkan peran yang sangat penting terutama dalam mengklasifikasikan gambar beresolusi rendah (Yüksel et al., 2008). Namun, seringkali sulit untuk mendapatkan hasil yang memuaskan menggunakan resolusi spasial dan spektral yang lebih halus dalam memetakan LULC perkotaan heterogen karena variasi spektrum tinggi dalam kategori LULC yang sama sering terjadi (Rozenstein dan Karnieli, 2011). Ketika klasifikasi berbasis spektral per piksel diterapkan untuk klasifikasi LULC, setiap piksel dikelompokkan ke dalam kategori tertentu. Namun, karena frekuensi spasial yang tinggi, hasilnya akan berisik dan mengakibatkan ketidakakuratan dalam klasifikasi LULC (Riggan dan Weih, 2009). Selain itu, heterogenitas spektral dari LULC mengurangi keterpisahan antara kelas (Nichols, 2012) dan dengan demikian dapat menyebabkan efek 'garam dan merica' atau piksel “nakal” yang muncul dalam kelas (Shan dan Hussain, 2010).

Untuk meredakan kebingungan masalah heterogenitas ini, kemampuan pengenalan pola manusia yang berbeda, tidak ada dalam pengklasifikasi otomatis,

(33)

33

telah diperiksa oleh banyak peneliti. Dua contoh kemampuan tersebut adalah penggunaan tekstur dalam klasifikasi dan pengelompokan berbasis objek. Analisis citra berbasis objek (OBIA) disarankan sebagai solusi efektif untuk masalah variasi spektrum tinggi dalam jenis LULC yang sama (Galletti dan Myint, 2014).

ENVI 5.3, tersedia dari Exelis Solusi Informasi Visual adalah salah satu contoh dari produk perangkat lunak baru-baru ini untuk melakukan OBIA (Exelis, 2015).

(34)

34

III KESIMPULAN

Data yang diperoleh dari hasil analisis citra dapat digunakan untuk memonitoring penggunaan lahan dan panas permukaan lahan, sehingga bila mengancam keberlanjutan lingkungan dapat segera diambil tindakan pengendalian/pencegahan. Pemanfaatan citra satelit juga dapat dimanfaatkan tidak saja untuk bidang pengelolaan sumber daya alam, namun juga untuk tujuan ekonomi, mitigasi bencana, transportasi hingga pertahanan. Inovasi dan perkembangan teknologi RS dan GIS yang sangat cepat sangat bermanfaat dalam menghasilkan informasi penggunaan lahan dan suhu permukaan dengan hasil yang lebih akurat. Untuk itu diperlukan ketelitian dalam menentukan sumber data, jenis panjang gelombang citra yang dipilih, dan metode analisis yang tepat untuk mencapai tujuan penelitian yang ditetapkan.

Ketersediaan citra landsat dalam rentang waktu yang cukup panjang yaitu sejak 1972 menjadi salah satu alternatif sumber data yang dapat dimanfaatkan untuk menganalisis perubahan kondisi yang terjadi di masa lalu, hingga saat ini sehingga bisa dibuatkan model untuk memprediksi kondisi yang akan terjadi di masa mendatang. Ketersediaan data yang bisa diunduh secara gratis dan pemanfaatan informasi RS dan integrasi SIG untuk cakupan area yang luas menawarkan efisiensi biaya, waktu dan tenaga, bila dibandingkan menggunakan cara-cara tradisional yang harus melakukan survei langsung di lapangan.

(35)

35

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M. (2000). The Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER): Data products for the high spatial resolution imager on NASA's Terra platform. International Journal of Remote Sensing, 21(5), 847-859.

Aduah, M. S., Mantey, S., Tagoe, N.D., & TRegoe, N. D. (2012). Mapping land surface temperature and land cover to detect urban heat island effect: A case study of Tarkwa, South West Ghana. Research Journal of Environmental and Earth Sciences, 4(1), 68-75.

Aster Science Offcie. (2009). ASTER SWIR Data Status Report. Accessed 18

July 2012 from

http://www.science.aster.ersdac.jspacesystems.or.jp/t/en/about_aster/swir_

en.pdf.

Baja, S., Mustafa, M. & Arief, S. (2011). Spatial Dynamics of land use/land over in South Sulawesi Indonesia. Paper presented in Asia Geopspatial forum 17-19 October 2011, Jakarta.

Bin Md Hashim, Bin Ahmad, A. & Binti Abdullah, M. (2007). Mapping urban heat island phenomenon:remote sensing approach. Accessed 8 March 2012 from

http://dspace.unimap.edu.my/dspace/bitstream/123456789/13743/1/02500 _Mapping%20Urban.pdf

Bin Jamaludin, J.A. (2010). Relationship between urban surface temperature and land uses application of remote sensing and GIS in Johor Bahru. Report of researches and academic activities in IDEC, Hiroshima University.

(October 1, 2010 – March 31, 2010). Japan. Accessed 12 September 2012.

Chen, Z. (2008). Satellite image processing methods for land use and land cover mapping and change detection and applications to landslide studies in the three gorges area, China (Order No. NR39255). Available from ProQuest Dissertations & Theses Full Text; ProQuest Dissertations & Theses

Global. (304382097). Retrieved from

http://search.proquest.com.dbgw.lis.curtin.edu.au/docview/304382097?acc ountid=10382

Chrysoulakis, N., Abrams, M., Feidas, H., & Arai, K. (2010). Comparison of atmospheric correction methods using ASTER data for the area of Crete, Greece. International Journal of Remote Sensing, 31(24), 6347-6385. doi:

10.1080/01431160903413697

Galletti, C., & Myint, S. (2014). Land-Use Mapping in a Mixed Urban- Agricultural Arid Landscape Using Object-Based Image Analysis: A Case Study from Maricopa, Arizona. Remote Sensing, 6(7), 6089-6110.

Guangyin, H., Zhibao, D., Junfeng, L., & Changzhen, Y. (2011). Monitoring land use and land cover change in the source region of the Yangtze River using multi-temporal Landsat data. Paper presented in International Conference of the Electronics, Communications and Control (ICECC).

Guo & Zeng. (2012). Atmospheric correction comparison of SPOT-% image based on model FLAASH and model QUAC. International Archives of

(36)

36

the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences,39-B7, ISPRS Congress, 25 August – 01 September 2012, Melbourne, Australia.

Franklin, S. E., & Wulder, M. A. (2002). Remote sensing methods in medium spatial resolution satellite data land cover classification of large areas.

Progress in Physical Geography, 26(2), 173−205.

Hadjimitsis, D. G. & Clayton, C. R. I. (2008). The use of an improved atmospheric correction algorithm for removing atmospheric effects from remotely sensed images using an atmosphere–surface simulation and meteorological data. Met. Apps, 15: 381–387. doi: 10.1002/met.80

IPCC. (2003). Good practice guidance for land use, land change and forestry.

Special Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. In Penman, J., Gytarsky, M. (Russia), Hiraishi, T, Krug, T, & Kruger, D (Eds.). Japan: Institute for Global Environmental Strategies (IGES).

Jensen J. R. (2000). Remote Sensing of the Environment: An Earth Resource Perspective. 2nd Ed. Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall, Inc., p. 544.

Kayadibi, O. (2011). Evaluation of imaging spectroscopy and atmospheric correction of multispectral images (Aster and LandsaT 7 ETM+). Paper presented at the 5th International Conference of the Recent Advances in Space Technologies (RAST) on 9-11 June 2011.

Koutsias, N., & Karteris, M. (2003). Classification analyses of vegetation for delineating forest fire fuel complexes in a Mediterranean test site using satellite remote sensing and GIS. International Journal of Remote Sensing, 24(15), 3093-3104. doi: 10.1080/0143116021000021152

Lillesand, T., Ralph, W.K. & Chipman, J. (2008). Remote Sensing and Image Interpretation (ed. 6). John Wileg & Sons, Inc.

Liu, L. & Zhang, Y. (2011). Urban heat island analysis using the Landsat TM data and ASTER data: A case study in Hong Kong. Remote Sens.3:1534- 1552; doi:10.3390/rs3071535.

Lo, C. P., Quattrochi, D. A. & Luvall J. C. (1997). Application of high-resolution thermal infrared remote sensing and GIS to assess the urban heat island effect. Int. J. Remote Sens. 18:287–304.

Loveland, T.R. & DeFries, R. (2004). Observing and Monitoring Land Use and Land Cover Change, In DeFries, R., Asner, G., & Houghton, R., (eds.), Ecosystems and Land Use Change, Geophysical Monograph Series, Volume 153, American Geophysical Union, Washington, DC, 231-246.

Lu, D & Weng, Q. (2005). Urban classification using full spectral information of Landsat ETM+ imagery in Marion County, Indiana. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing 71:1275–1284.

Manakos I., Manevski K. & Kalaitzidis, Edler D. (2011). Comparison between FLAASH and ATCOR atmospheric correction modules on the basis of worldview-2 imagery and in situ spectroradiometric measurements.

Accessed 22 April 2015 from

http://www.earsel2011.com/content/download/Proceedings/S12_4_Manak os_paper.pdf

Mallick J and Rahman A. (2012). Impact of population density on the surface temperature and micro climate of Delhi. Current science, 102(12):1708- 1713.

(37)

37

Moran, E.F. (2010). Land Cover classification in a complex urban rural landscape with quickbird imagery. Photogramm Eng Remote Sensing 76(10), 1159–

1168.

Monserud, R. A. & Leemans, R. (1992). Comparing Global Vegetation Maps with the Kappa Statistic." Ecological Modelling, 62 (4): 275-293.

Murai, S. (1998). GIS work book (technical course). Japan Association of Surveyors (JAS). Japan.

Nagayama, T., Okatani, T., Numata Y., Yamada, Y. (2012). Development of land cover data for urban heat island monitoring and simulation by combination of ASTER data and framework geographic dataset. Paper presented in 5th ASTER workshop. Accessed 26th January 2013 from http://www1.gsi.go.jp/geowww/EODAS/hi_data/060609ASTM-WS.pdf NASA. (2011). Landsat 7 science data user’s handbook. Accessed 2nd February

2012 from

http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov/pdfs/Landsat7_Handbook.pdf.

Reis, S. (2008). Analyzing Land Use/Land Cover Changes Using Remote Sensing and GIS in Rize, North-East Turkey. Sensors, 8(10), 6188.

Richards, J.A. (2012). Remote sensing digital image analysis. Springer science and business media. 494p.

Riggan, N. D. & Weih, R. C. (2009). A comparison of pixel-based versus object- based land use/land cover classification methodologies.Cambridge University Press.

Rocchini, D. (2007). Effects of spatial and spectral resolution in estimating ecosystem α-diversity by satellite imagery. Remote Sensing of

Environment, 111(4), 423-434. doi:

http://dx.doi.org/10.1016/j.rse.2007.03.018.

Rozenstein, O., & Karnieli, A. (2011). Comparison of methods for land-use classification incorporating remote sensing and GIS inputs. Applied

Geography, 31(2), 533-544. doi:

http://dx.doi.org/10.1016/j.apgeog.2010.11.006

Shan, J and Hussain, E. (2010). Object-based data integration and classification for high-resolution coastal mapping. In Weng, Y (Ed), Remote Sensing of Coastal Environment. Taylor and Francis Group.

Stefanov W.L. and M. Netzband. (2005). Assessment of ASTER land cover and MODIS NDVI data at multiple scales for ecological characterization of an arid urban center. Remote Sensing of Environment, 99(1–2), 31-43.

Stoney, W.E. 2006. ASPRS guide to land imaging satellites.

http://www.asprs.org/a/news/satellites/ASPRS_DATABASE_021208.pdf.

(accessed 15 January 2015).

Streutker, D. R. (2003). Satellite-measured growth of the urban heat island of Houston, Texas. Remote Sensing of Environment, 85: 282−289.

Sudhakar S & Kameshwara R.SVC. . land use and land cover analysis. In Roy, P.S., Dwiwedi R.S and Vijayan D. (eds.), Remote Sensing Applications.

National Remote Sensing Centre Indian Space Research Organization.

Accessed 13th November 2015 from

http://www.nrsc.gov.in/Learning_Centre_EBook.html.

Tursilowati, L., Sri Sumantyo, J.T., Kuze, H., Adiningsih, E. S. (2012). The integrated WRF/Urban modeling system and its application to monitoring

(38)

38

urban heat island in Jakarta-Indonesia. Journal of Urban and Environmental Engineering, 1(6), 1-9.

USGS. (2015). Landsat 7 science data user’s handbook.

Voogt, J. A., and T. R. Oke. (2003). Thermal remote sensing of urban climates.

Remote Sensing of Environment, 86(3), 370-384. Sciencedirect.

Wang, L., Sousa W.P, Gong P., and Biging G.S. (2004). Comparison of IKONOS and QuickBird images for mapping mangrove species on the Caribbean coast of panama. Remote Sensing of Environment , 91:432–440.

Wen, Y. (2011). Data application of multi-temporal and multi-source data for land cover change detection in Guam, USA. Geoinformatics, 19th International Conference on IEEE, , pp. 1.

Weng Q. (2003). Fractal analysis of satellite-detected urban heat island effect.

Photogrammetric Eng. Remote Sens 69, 555–566.

Weng, Q., Lu, D. & Liang, B. (2006). Urban surface biophysical descriptors and land surface temperature variations. Photogrammetric Engineering &

Remote Sensing, 72 (11), 1275–1286.

Yuan, F. & Bauer, M. E. (2007). Comparison of impervious surface area and normalized difference vegetation index as indicators of surface urban heat island effects in Landsat imagery. Remote Sensing of Environment 106(3), 375-386.

Yüksel, A., Akay, A. & Gundogan, R. (2008). Using ASTER Imagery in Land Use/cover Classification of Eastern Mediterranean Landscapes According to CORINE Land Cover Project. Sensors, 8(2), 1237-1251.

Zhang, J. & Wang, Y. (2008). Study of the Relationships between the Spatial Extent of Surface Urban Heat Islands and Urban Characteristic Factors Based on Landsat ETM+ Data. Sensors, 8(11), 7453–7468.

Zhou, W., Ji, S., Chen, T.-H., Hou, Y. & Zhang, K. (2014). The 2011 heat wave in Greater Houston: Effects of land use on temperature. Environmental Research, 135, 81-87.

Zoran, M. & Anderson, E. (2006). The use of multi-temporal and multispectral satellite data for change detection analysis of the Romanian Black Sea coastal zone. Journal of optoelectronics and advanced materials, 8(1), pp.

252

Gambar

Tabel  1.1.  Karakteristik  umum  dari  data  penginderaan  jauh  (dimodifikasi  dari  Loveland dan Defries, 2013)
Tabel 1.2 Karakteristik resolusi spektral dari sistem sensor orbital (Stefanov et al.,  2004)
Gambar 1.1  Timeline Landsat (USGS, 2015)
Gambar 1.2 Transformasi dalam proses koreksi geometrik (Murai, 1998)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Identifikasi Petak Sawah dan Penggunaan Lahan Sawah/Tegalan di Dusun 2 Desa Cikarawang