• Tidak ada hasil yang ditemukan

(2)pembebanan seperti pajak dan pungutan lain yang sifatnya memaksa diatur dengan undang-undang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "(2)pembebanan seperti pajak dan pungutan lain yang sifatnya memaksa diatur dengan undang-undang"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan serta bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik secara material atau spiritual.1 Namun, juga sebagai wujud partisipasi langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Iuran yang berasal dari rakyat itu dikenal dengan istilah pajak2 sangatlah dibuhtukan sebagai bentuk keseimbangan.

Implikasi dari pajak telah menjadi pilar penting dalam menciptakan tatanan keseimbangan sosial, ekonomi dan politik bagi penguasa atau negara terhadap rakyat atau warganya, menyambung dari maksud demikian dalam suatu negara yang berdaulat esensi pajak ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai patokan dari pengaturan dasar sumber pengenaan dan penerimaan negara.

Di Indonesia kerangka regulasi (regulatory framework) yang dijadikan acuan adanya pengaturan pungutan adalah berlandasakan pada ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau yang lebih lanjut disebut UUD NRI 1945, yang menyebutkan bahwa

1Angger Sigit Pramukti dan Faudy Primaharsya, Pokok-Pokok Hukum Perpajakan, Medpress Digital, Yogyakarta, 2015, hal 7.

2 Rahman Amin, Pengantar Hukum Indonesia, CV Budi Utama, Yogyakarta, 2019, hal.

215.

(2)

pembebanan seperti pajak dan pungutan lain yang sifatnya memaksa diatur dengan undang-undang. Tanpa disadari sebenarnya telah terjadi perubahan mendasar mengenai paradigma pungutan pajak di Indonesia yang diatur dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang selanjutnya disingkat UUD 1945 pasca amandemen yaitu sebagai berikut: sebelumnya, pengaturan terdapat dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 berbunyi : “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Sebaliknya berdasarkan amandemen ketiga UUD NRI 1945 diatur dalam Pasal 23A dengan rumusan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang.”3 Sebagai amanat yuridis-konstitusi tentu pengaturan lebih lanjut dari Pasal 23A UUD NRI 1945 perlu diseragamkan, maka dari itu dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sehingga ketentuan undang-undang ini dirasa memenuhi unsur keadilan (equity, fairness), efisiensi (efficiency), kesederhanaan (simplicity) dan tentunya kepastian hukum (law certainty) dibidang perpajakan di Indonesia, selain itu dalam perkembangan administrasi perpajakan ketentuan ini pula kian terjadi polarisasi.

Dalam ketentuan, khususnya di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dimasukan pula sebagai wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan

3Chairul Lutfi, Eksistensi Konsultan Pajak Dalam Pelaksanaan Self Assessment System, Publica Instituti, Jakarta 2019, hal. 1.

(3)

pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.4 Tentunya dari definisi wajib pajak tersebut perlu juga untuk dipahami bahwa tidak semua hal dapat dikategorikan sebagai wajib pajak melainkan, harus memiliki syarat objek pajak dan subjek pajak yang akan dikenakan pemungutan, maksud dari pemahaman demikian adalah agar setiap wajib pajak dapat memposisikan bentuk pengenaan pajaknya terhadap jenis-jenis pajak yang diakui di indonesia.

Secara umum pemungutan terhadap aktivitas perpajakan bukan hanya dilakukan secara konvensional tetapi perkembangan teknologi turut mendorong terjadinya penggolongan pemberlakuan pengenaan pajak melalui inovasi yang dihadirkan diantaranya ialah e-commerece yakni melalui media sosial (social media), keberadaan media sosial sendiri cukup beragam salah satunya ialah media instagram dimana kecendrungan aktivitasnya dilakukan lewat jasa endorsement yang orang atau subjek penggunanya disebut sebagai selebriti dan instagram atau disingkat selebgram.

Pada tahun 2018 pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (selanjutnya disebut DJP) menyatakan telah mengenakan pajak bagi pelaku pengguna media sosial yakni selebgram, pernyataan ini bukan tanpa alasan sebab, lewat regulasi yaitu Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 210/PMK.010/2018 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik menjadi batu loncatan pemberlakuan

4Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, C. V Andi Offset, Yogyakarta, 2009, hal.

22.

(4)

pemungutan pajak terhadap aktivitas para selebgram tetapi, belum genap mengikatnya aturan ini pemerintah kemudian mencabut peraturan tersebut melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 31/PMK.010/2019 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, alasan yang dikemukakan oleh pemerintah terkait tidak diberlakukannya peraturan tersebut sehingga dicabut adalah perlu untuk melakukan koordinasi, sinkronisasi dan sosialisasi yang lebih komprehensif antar semua lembaga untuk memastikan regulasi tersebut tepat sasaran, berkeadilan dan efisien.

Ketetapan aturan khusus mengenai endorsement juga masih belum jelas.

Misalnya, salah satu tujuan diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian disingkat UU ITE untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi para pelaku disektor e-commerce. Namun, undang-undang ini belum mampu mewujudkan tujuannya tersebut, tidak adanya definisi khusus untuk e-commerce dalam kerangka UU ITE, sebab kegiatan perdagangan yang dilakukan secara elektronik tersebut dipahami sebagai

“transaksi elektronik”. Sedangkan, definisi “transaksi elektronik” yang diberikan oleh pasal 1 angka (2) UU ITE begitu luas, yaitu perbuatan hukum

(5)

yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.5

Pemahaman di atas turut serta memberikan pengaruh terhadap eksistensi selebgram dalam melakukan aktivitas endorsement terlebih disatu sisi usaha untuk memberlakukan dan mengklasifikasikan selebgram agar dapat dipungut pajak juga menjadi perhatian yang cukup serius, makna dari penjelasan ini ialah agar secara khusus dapat atau tidaknya selebgram dikategorikan sebagai wajib pajak yang dalam konteks perpajakan semua wajib pajak harus memenuhi unsur subjektif dan objektif sebagaimana yang diatur dalam UU KUP yakni pasal 1 angka (2). Kalaupun selebgram dapat dikategorikan sebagai wajib pajak lantas jenis pajak seperti apa yang mesti digolongkan bagi selebgram tersebut agar semuanya bertujuan untuk terciptanya keseimbangan dan kepastian terhadap pemungutan pajak.

Kepastian pemungutan pajak bagi selebgram dapat diketegorikan sebagai wajib pajak maka, aspek substansial lainnya ialah perlindungan hukum mesti juga diperhatikan tergantung permasalahan yang dijumpai pada saat pemungutan pajak. Perlindungan hukum bagi selebgram ditunjukkan dengan adanya substansi hukum pajak berupa peraturan perundang-undangan dan struktur hukum pajak yakni instansi atau lembaga yang menangganinya, Untuk mendapat perlindungan hukum dalam penyelesaian permasalahan pajak, terdapat upaya hukum yang telah disediakan, baik di luar maupun

5Yasmin Restu Pratiwi “Tinjauan Yuridis Pemungutan Pajak Penghasilan Terhadap Selebritis Instagram Dari Hasil Endorsement Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan”, Skripsi dalam Bidang Ilmu Hukum, Universitas Pasundan, Bandung 2018, hal. 4.

(6)

melalui peradilan pajak yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak. Perlindungan hukum wajib pajak di luar peradilan atau preventif dilakukan dalam bentuk penerapan hak-hak wajib pajak yang diberikan melalui kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum keputusan pemerintah yang mendapat bentuk definitif sementara, perlindungan hukum pajak melalui peradilan pajak atau refresif dilakukan dalam bentuk penggunaan hak-hak wajib pajak yang terkait dengan peradilan pajak yang bertujuan menyelesaikan sengketa. Jadi, perlindungan hukum terhadap hak-hak selebgram dapat diartikan sebagai upaya melindungi selebgram dari kesewenangan tindak pemerintahan di bidang perpajakan dan pengaturan prosedur administrasi agar selebgram dapat menerima hak-haknya

Berdasarkan dari latar belakang yang dikemukakan, maka penulis tertarik untuk mengakaji permasalahan tersebut di atas dalam suatu penulisan skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SELEBGRAM DALAM PERPAJAKAN DI INDONESIA”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah selebgram dapat dikategorikan sebagai wajib pajak?

2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi selebgram dalam masalah perpajakan di Indonesia?

(7)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji dan menganalisis dapat atau tidaknya selebgram dikategorikan sebagai wajib pajak.

2. Untuk mengkaji dan menjelaskan bentuk perlindungan hukum bagi selebgram dalam masalah perpajakan di Indonesia.

3. Sebagai persyaratan dalam menyelesaikan studi strata satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kajian pengembangan ilmu hukum agar dapat memiliki pola pikir untuk memecahkan masalah konkret yang terjadi khususnya menyangkut perlindungan hukum bagi selebgram dalam perpajakan di Indonesia.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi pemerintah pusat secara khusus Direktorat Jenderal Pajak agar dapat mengoptimalkan pengaturan dan perlindungan hukum bagi selebgram, serta bagi selebgram itu sendiri supaya bisa memahami hukum pajak terutama terhadap kewajiban dalam membayar pajak dan hak memperoleh perlindungan hukum.

(8)

E. Kerangka Konseptual 1. Konsep Negara Hukum

Istilah negara Hukum yang dipergunakan, dapat dianalogikan dengan padanan yang dipergunakan dalam bahasa asing pada negara-negara Eropa Kontinental atau negara Civil Law System, antara lain dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Rechstaat yang diperlawankan dengan istilah Machtstaat, di Jerman disebut dengan istilah Rechsstaat, dalam bahasa Perancis disebut dengan istilah Etat de Droit, dalam bahasa Italia dinamakan dengan istilah Stato di Dirrito.

Peristilahan Negara Hukum mengandung maksud untuk membatasi kekuasaan daripada penguasa negara agar tidak menyalagunakan kekuasaannya untuk menindas dan menelantarkan rakyatnya. Negara hukum meletakan persamaan dihadapan hukum, perlindungan terhadap hak-hak fundamental rakyat dan hukum beserta peradilan yang fair dan adil.6

Konseptual Negara hukum berdasarkan Pasal 1 angka (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”7 berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Sejalan dengan ajaran negara hukum dan perkembangan efisiensi pembangunan dalam negara melalui dukungan pemerintah atas potensi masyarakat maka dirasa perlu memiliki peranan penting, yakni negara mempunyai kewajiban untuk menjaga

6 Nurul Qamar dkk, Negara Hukum Atau Negara Kekuasaan (Rechsstaate or Machtstaat), CV Social Politic Geenius (SIGn), Makassar, 2018, hal. 44-45.

7 M. Bakri, Pengntar Hukum Indonesia (Pemidangan dan Asas-Asas Hukum ), UB Press, Malang, 2013, hal. 57.

(9)

kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan negara yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yang berbunyi “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial.” Keberhasilan pelaksanaan pembangunan memerlukan dana yang tidak sedikit, kebutuhan untuk pembangunan sifatnya proporsional dan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan yang sedang dan akan berlangsung dengan patokan demikian maka sektor keuangan negara dalam hal ini adalah sektor pajak sangat diperlukan.

Peranan Pajak memang terimplikasi dalam pembangunan kesejahteraan lewat setiap wajib pajak yang sadar akan kewajibannya, searah dengan tujuan demikian negara hukum pula harus menjamin perlindungan hukum. Phillipus M. Hadjon, mengemukakan bahwa

“Negara hukum hakekatnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat, bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan dilandasi oleh dua prinsip, prinsip hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan daripada negara hukum.”8

Di samping tujuan pemungutan pajak bagi pemasukan negara dari segi ekonomi terdapat pula sisi hukum yang memberikan perlindungan hukum sebagai bagian utama karena negara memiliki basis untuk

8 Nurul Qamar dkk, op.cit, hal. 46.

(10)

mengakomodir hak-hak setiap warga negaranya termasuk hak setiap wajb pajak.

2. Pajak dan Teori Pemungutan Pajak

Pentingnya pemahaman akan definisi pajak sebelum teori pemungutan pajak adalah ketentuan utama oleh karena itu, sesungguhnya kata pajak dalam kamus hukum edisi lengkap bahasa Indonesia-Belanda adalah pendanaan dari kata belasting (Belanda), burdening/taxation/rating (Inggris). Dalam kamus hukum Belanda-Indonesia belasting berarti (per) pajak (an), fiscal. Sinonim kata pajak adalah tax, taxation, duty, revenue, levy, excise, impost, contribution, lot, scot, gild, cess (Inggris), steuer (Jerman), tax (Latin), fiscales (Perancis), impuesto (Spanyol) dan dalam bahasa Arab disebut dharibah. Dalam istilah hukum Belanda-Indonesia edisi bahasa Indonesia belasting berarti pajak yaitu suatu pungutan oleh pemerintah dari rakyatnya untuk membiayai pengeluaran pemerintahan.9 Menurut NJ. Feldman dalam bukunya De Over Heidmiddlen Van Indonesia, 1949 menyebutkan bahwa “Pajak adalah utang prestasi kepada pemerintah yang dapat dipaksakan berdasarkan norma umum, tanpa adanya kontraprestasi, dan digunakan untuk menutupi pengeluaran pemerintah”.10 Hakikat defenisi menurut Feldmaan lebih menitikberatkan bahwa pajak adalah utang.

9 Bustamar Ayza, Hukum Pajak Indonesia, Kencana, Jakarta, 2017, hal. 21.

10Widi Dwi Ernawati, Perpajakan Lanjutan Terapan, Polinema Press, Malang, 2018, hal.2.

(11)

Defenisi pajak juga dikemukakan oleh PJA. Adriani (pernah menjabat guru besar hukum pajak pada Universitas Amsterdam dan Pemimpin International Bureau of Fiscal Documentation Amsterdam), beliau mendefinisikan bahwa:

“Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang sifatnya dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang dapat ditunjukan secara langsung dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas-tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”11

Rumusan dari definisi Adriani sebetulnya diarahkan untuk menekankan fungsi budgetaire (keuangan) pajak, sekalipun pada dasarnya pajak masih mempunyai fungsi lain yang juga sangat penting, yakni fungsi mengatur (regular).

Pengertian pajak dari Rochmat Soemirto dalam bukunya Dasar- Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan menjelaskan bahwa:

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas (peralihan kekayaan dari sektor partikiler ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang (dapat dilaksanakan) dengan tidak mendapatkan jasa imbal (tegen prestatie) yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan sebagai alat pencegah atau pendorong untuk mencapai tujuan diluar bidang keuangan.”12

Esensi tentang pajak bukan hanya dipaparkan oleh para ahli yang mendefinisikannya melainkan, dalam formulasi ketentuan hukum formil yakni dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU

11St. Dwiarso Utomo dkk, Perpajakan Aplikasi dan terapan, C.V Andi Offset, Yogyakarta, 2011, hal. 2.

12 Chairul Lutfi, op.cit., hal. 25.

(12)

KUP) juga memberikan batasan tentang pengertian pajak, dimana yang dimaksud dengan pajak menurut pasal 1 angka (1) adalah :

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Pendapat umum para ahli atau Communis opinion doctorum mengungkapkan bahwa sebaik-baiknya suatu defenisi adalah bila ia memuat suatu ciri-ciri yang melekat pada pengertian yang akan dibuatkan pembatasannya, setidak-tidaknya definisi tersebut sudah mendekati kesempurnaan. Selain itu Santoso membuat kesimpulan terhadap pengertian pajak lewat ciri-ciri dalam berbagai definisi, antara lain: (1) Pajak dipungut berdasarkan dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaanya; (2) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan kontraprestasi individual oleh pemerintah; (3) Pajak dipungut oleh negara (baik oleh pemerintah pusat maupun daerah); dan (4) pajak diperuntukan bagi pengeluaran pembayaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat “surplus” dipergunakan untuk membiayai “public investment.” Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter yaitu reguleren atau “mengatur.” Mirip dengan defenisi Adriani sebagaimana telah didefenisikan.13 Selain pajak adapula beberapa pungutan lain yang dikenakan oleh pemerintah kepada masyarakat, yakni retribusi dan sumbangan.

13Bustamar Ayza, op.cit., hal. 26.

(13)

Aspek pemungutan pajak oleh negara berjalan bersamaan dengan teori pemungutan pajak, korelasi ini bertujuan supaya dapat memberikan suatu pembenaran terhadap seluruh kebijakan pemerintah yang mewakili negara dalam proses pemungutan pajak. Selain kaidah yuridis dan sosial sebagai wujud berfungsinya pajak, nilai lain yang mesti diperhatikan adalah nilai-nilai filosofis yang mendasari tata cara pemungutan pajak oleh negara kepada rakyat. Nilai inipun tercermin dalam beberapa teori pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia, antara lain:

1. Teori asuransi (Verzerings theory)

Ditegaskan bahwa perlindungan yang diberikan oleh negara kepada warganya dalam bentuk keselamatan dan keamanan jiwa serta harta benda memerlukan suatu pembayaran dalam bentuk pajak.14

2. Teori kepentingan (Belangen theory)

Teori ini mengatakan bahwa pajak dipungut atas dasar besarnya kepentingan rakyat dalam memperoleh jasa-jasa yang diberikan pemerintah.15

3. Teori gaya pikul

Yang menjadi pokok pangkal teori ini adalah asas keadilan, yaitu tekanan pajak itu haruslah sama beratnya untuk setiap orang.

14 Rimsky K. Judisseno, “Pajak dan Strategi Bisnis (Suatu Tinjauan Tentang Kepastian Hukum dan Penerapan Akutansi di Indonesia), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal. 8.

15Supramono dan Theresia Woro Damayanti, “Perpajakan Indonesia”, CV. Andi Offset, Yogyakarta, 2010, hal. 2.

(14)

4. Teori kewajiban pajak mutlak atau teori bakti

Berlawanan dengan ketiga teori di atas, yang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori ini berdasarkan atas paham Organische Staatsleer, sehingga diajarkanlah olehnya bahwa justru karena sifat negara inilah maka timbullah hak mutlak untuk memungut pajak.

5. Teori asas gaya beli

Teori ini mengajarkan, bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak; bukan kepentingan individu, juga bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya itu.16

Penerapan teori sebagai mekanisme pemungutan pajak sangatlah domain dalam menyelenggarakan pemasukan bagi negara sehingga, secara otomotis implementasi yang dapat tercapai lewat pos pemasukan negara ialah tergapainya kesejahteraan masyarakat secara umum.

3. Asas-Asas Keadilan Pemungutan Pajak

Di dalam pajak dikenal adanya beberapa asas yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir. Kamus Umum Bahasa Indonesia memberi pengertian terhadap kata “asas” antara lain sebagai “suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir.” Menurut Adam Smith dalam bukunya “An inquiry into the nature and Causes of the Wealth of Nations”

16 Niru Anita Sinaga, “Pemungutan Pajak dan Permasalahannya di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum Dirgantara, No. 1, September 2016, hal. 142-157.

(15)

yang dikemukan pada tahun 1776 memberi pedoman/ asas-asas mengenai keadilan dalam pemungutan pajak yang dikenal dengan ajaran yang terkenal “The Four Maxims” yang memuat empat syarat, yaitu: (1) keadilan (equalty); (2) kepastian (certainty); (3) ketepatan (conveniency);

dan (4) efisiensi (efficiency).17 Penjabaran mengenai 4 (empat) asas oleh Adam Smith guna memaksimalkan pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

1. Keadilan (equality) atau persamaan

Artinya, tidak boleh ada diskriminasi dalam pemungutan pajak, oleh karena itu orang dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama dan tidak boleh ada mengenakan pajak yang tidak sesuai dengan undang-undang atau tidak boleh ada penyimpangan dari undang-undang. Asas ini menuju kepada keadilan, karena semua bentuk pemungutan pajak oleh negara haruslah berdasarkan undang undang dan pada undang-undang inilah yang menjamin kepastian hukumnya.

2. Kepastian (certainly)

Yaitu kepastian yang berhubungan dengan hukum dan bukan arti kepastian yang didasarkan kepada kesewenang-wenangan. Dengan demikian maka kepastian itu haruslah dapat memberi: (1) Jaminan hukum yang berupa perlindungan terhadap wajib pajak; (2) Arti pasti yang menjadi objek pajaknya; (3) Arti kepastian hukum mengenai

17 Soemarso S.R, Perpajakan Pendekatan Komprehemsif, Salemba Empat, Jakarta, 2007, hal. 4.

(16)

subjeknya, maka undang-undang harus menguraikan secara tegas dan pasti; (4) Kepastian mengenai jumlah pajak yang harus dibayar dan bila tariff dibuat golongan-golongan harus pasti; dan (5) Kepastian mengenai cara dan saat/ waktu untuk membayar pajak.

3. Ketepatan (convenience of payment)

Artinya pajak harus dipungut dari wajib pajak pada waktu setepat- tepatnya, misalnya pada waktu panen atau pada waktu mendapatkan penghasilan dan sebagainya.

4. Efesiensi (efeciency)

Artinya pajak harus dipungut dengan biaya serendah-rendahnya (seminimal mungkin) dan hasilnya mempunyai arti.18

Jika Adam Smith mengemukakan 4 (empat) asas dalam pemungutan pajak, maka Adlof Wagner pakar perpajakan lainnya mengatakan bahwa asas pemungutan pajak terdiri dari 5 asas terdiri dari :

1. Asas Politik Finansial;

2. Asas Ekonomi;

3. Asas Keadilan;

4. Asas Administrasi; dan 5. Asas Yuridis.

Asas-asas inilah yang pada prinsipnya menjadi dasar penyelenggaraan pemungutan pajak di Indonesia

18 Pranoto dkk, “Reformasi Birokrasi Perpajakan Sebagai Usaha Pemungutan Pendapatan Negara Dari Sektor Pajak”, Yustisia, No. 2, Mei-Agustus 2016, hal. 395-414.

(17)

F. Metode Penelitian

Untuk menunjang penulisan ini, maka metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tipe Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki merumuskan penelitian hukum sebagai proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna mejawab isu hukum yang dihadapi.19 Penelitian hukum normatif atau nama lainnya yaitu penelitian hukum doctrinal adalah penelitian yang memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori tertentu, menganalisa suatu hubungan antara peraturan menjelaskan daerah dan mungkin memprediksi pembangunan masa depan.20

Berangkat dari pendapat Peter Mahmud Marzuki serta korelasi antara substansi pengkajian yang diutarakan, maka jenis penelitian yang kemudian digunakan dalam penulisan ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif.

2. Pendekatan Masalah

Menurut Peter Mahmud Marzuki permasalahan dapat didekati berdasarkan peraturan perundang-undangan (statute approach), sejarah hukum (historical approach), perbandingan sistem hukum lain

19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2004, hal.

156.

20 Ibid, hal. 201.

(18)

(comparative approach), perbandingan atau doktrin para pakar dibidang ilmu hukum (conceptual approach).21

Oleh karenanya penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach)

3. Bahan Hukum

Dalam penelitian ini bahan hukum yang kemudian digunakan adalah bahan hukum primer yang didalamnya terdiri dari beberapa undang- undang dan peraturan pemerintah, yaitu

a. Bahan Hukum Primer terdiri dari:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

3. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.

5. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

21 Ibid, hal. 225.

(19)

7. Peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penulisan ini.

b. Bahan Hukum Sekunder terdiri dari

1. Bahan atau pendapat pakar hukum, jurnal-jurnal hukum mengenai perpajakan di Indonesia.

2. Buku-buku hukum atau (text book), Internet.

c. Bahan Hukum Tersier terdiri dari:

- Kamus hukum dan ensikopledi hukum.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian bahan hukum ini prosedur yang dilakukan adalah mengumpulkan bahan hukum primer berupa aturan hukum yang terkait dengan permasalahan terlebih dahulu lalu dikaitkan dengan bahan hukum sekunder melalui buku-buku, artikel, jurnal, atau karya tulis para pakar hukum, setelah itu dihubungkan dengan fakta hukum, peristiwa hukum dan akibat hukum.

5. Pengelolaan dan Analisa Bahan Hukum

Seluruh data yang dihimpun dan dianalisa kemudian diuraikan secara kualitatif yang bertujuan mendeskripsikan hasil temuan dilapangan berdasarkan alat pengumpulan data yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

KESIMPULAN Dari hasil pembahasan delapan Literatur yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Aerobic Exercise memberikan pengaruh pada fungsi kognitif pada lansia degan demensia dengan

Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori Aplikasi, Jakarta:Bumi Aksara Jurnal: Ahmal, Kearifan Lokal Pendidikan IPS, Studi Peduli Lingkungan Dalam Hutan Larangan