“PEMBENTUKAN UNDANG – UNDANG DENGAN METODA ROCCIPI”
PERANCANGAN PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Undang – Undang merupakan salah satu jenis peraturan perundang – undangan yang terdapat di Indonesia. Pembentukan undang – undang berada pada sejumlah lembaga negara yang sesuai dengan Konstitusi Negara Republik Indonesia, hal tersebut berada pada Presiden, DPR, serta DPD. Sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan menentukan bahwa “Pembentukan peraturan perundang – undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan”. Ketentuan pasal tersebut menunjukan bahwa terhadap pembentukakn peraturan perundang – undangan, termasuk undang – undang, melewati beberapa tahapan sebelum akhirnya suatu undang – undang itu diberlakukan di masyarakat.
Menurut Attamimi, terhadap pembentukan peraturan perundang yang baik, ia membagi ke dalam dua klasifikasi yaitu asas – asas formal dan asas – asas materiil. Asas formal tersebut terdiri atas asas tujuan yang jelas (beginsel van duideleijke doelstelling), asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan), asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel), asasdapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid) dan asas konsensus (het beginsel van consensus). Kemudian asas materiil yakni hal – hal yang meliputi asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (hetbeginsel van duidelijke terminologi en duidelijke systematiek), asas tentang dapat dikenali atau het beginsel van de kenbaarheid; asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijk heidsbeginsel), asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel), dan asas
pelaksanakan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtbedeling
1). Di dalam pembentukan undang – undang tersebut terdapat beberapa metode yang diguunakan dalam pelaksanannya, salah satunya ialah metode ROCCIPI.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan metode ROCCIPI dalam pembentukan undang – undang?
2. Bagaimanakah tahapan/proses pembentukan undang – undang dengan metode ROCCIPI?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud dari pembentukan undang – undang dengan metode ROCCIPI
2. Untuk mengetahui tahapan/proses pembentukan undang – undang dengan metode ROCCIPI
1 Herawati, B.P. dan Suwanto, Y. (2022). Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Bagi Indonesia. Souvereignty, 1(2), hal. 357.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Metode ROCCIPI Dalam Pembentukan Undang – Undang
ROCCIPI merupakan suatu akronim dari Rule (Peraturan), Opportunity (Kesempatan), Capacity (Kemampuan), Communication (Komunikasi), Interest (Kepentingan), Process (Prosese), dan Ideology (Ideologi). Ketuju hal tersebut ialah bagian – bagian kategori dari Metode ROCCIPI sebagai suatu metode dalam pemmbentukan undang – undang guna memperoleh masukan penjalasan tentang prilaku bermasalah di masyrakat. Dengan artian metode ini merupakan suatu alternatif atas pemecahan masalah yang ada untuk mendukung terbentuknya sebuah praturan perundang – undangan yang efektif2. Melalui setiap kategori ROCCIPI akan mengidentifikasi faktor – faktor yang sering kali memunculkan masalah dari pemberlakuan suatu peraturan perundang – undangan. Identifikasi dari kategori – kategori tersebut akan menunjukan deskripsi awal atas reaksi masyarakat dari peraturan perundang – undangan yang akan dibentuk3.
Pada hakikatnya metode ROCCIPI, metode yang dikembangkan oleh Ann Seidman, Robert B. Seidman, Nalin Abeyeskere, adalah suatu metode yang berorientasi pada prinsip good legislation untuk menghasilan suatu peraturan perundang – undangan yang memiliki masa keberlakuan panjang dengan adanya identifikasi terhadap segenap permasalahan melalui tiap kategori yang dimilikinya. Metode ROCCIPI pada dasarnya juga dibangun atas sekuleritas pembentukakn hukum yang memiliki sejumlah syarat berupa tiga lapisan utama yang harus dipenuhi yaitu:
2 Manubulu, I.B. (2022). Pengkhidmatan Metode Roccipi Dalam Formulasi Program Rehabilitasi Pecandu Narkotika. hal. 3.
3 Halim, H. (2009). Cara Praktis Menyusun Dan Merancang Peraturan Daerah. hal. 90.
1. Lapisan filsafat dengan philosophy sebagai produknya yang bergerak searah dengan nilai ontology.
2. Lapisan sosiologis dengan acsiology atau kegunaan dari pembentukan sebuah kebijakan.
3. Lapisan doktrin dengan docmatica hukum sebagai produk utamanya yang juga menghasilkan sebuah pemikiran tentang episteme dari pembentukan hukum4.
Berkenaan dengan kategori – kategori pada metode ROCCIPI yang terdiri atas Rule ((Peraturan), Opportunity (Kesempatan), Capacity (Kemampuan), Communication (Komunikasi), Interest (Kepentingan), Process (Prosese), dan Ideology (Ideologi), terbagi ke dalam dua kelompok besar yakni kelompok faktor penyebab yaitu faktor subjektif dan faktor objektif;
Pertama faktor subjektif merupakan faktor yang berkenaan dengan hal – hal yang berada pada pelaku peran (pembuat peraturan maupun stakeholder/masyarakat yang menjadi sasaran dari pembuatan suatu peraturan perundang – undangan) yang meliputi kepentingan serta ideologi – ideologi dari pelaku peran tersebut. Selain itu, faktor ini sebagai pembantu dalam menjelasakan penyebab dari perilaku bermasalah di masyarakat, meskipun pada hakikatnya tidak dapat mengubah faktor – faktor kelembagaan yang dapat mengakibatkan bertahannya perlaku tersebut. Hal ini dikarenakan keberadaan penjelasan dari faktor ini hanya terfokus pada suatu sebab atas tindakan bermasalah secara perorangan pada struktur kelembagaan yang ada sehingga pemecahan perundang – undangan dirancang untuk mengubah kepentingan dan ideologi perorangan.
1. Kepentingan (Interest) merupakan kategori yang berhubungan dengan perspektif dari pelaku peran (pembuat peraturan maupun stakeholder/masyarakat yang menjadi
4 Manubulu, I.B., loc. cit.
sasaran dari pembuatan suatu peraturan perundang – undangan) terhadap manfaat ataupun tujuan dari perilaku yang dilakukan di masyarakat. Penjelasan dari aspek kepentingan sebagian besar menghasil suatu tindakan perundang – undangan yang dirancang guna mengubah kepentingan – kepentingan yang dimiliki. Tindakan tersebut berupa tindakan motivasi yang ditujukan ke kesesuian yang bersifat langsung – hukuman serta penghargaan. Hal ini dikarenakan aspek kepentingan mungkin menjadi akibat dari suatu bermasalah5.Berkenaan dengan kepentingan itu dapat menyangkut kepentingan ekonomu, kepentingan politik, dan kepentingan sosial budaya6.
2. Ideolofi (Ideology) merupakan kategori lain sebagai kemungkinan atas penyebab suatu perilaku pelaku peran yang berupa nilai dan sikap. Atau ideologi dimaknai juga sebagai sekumpulan nilai yang dianut oleh suatu masyarakat dalam berpikir dan bertindak yakni mencakup sikap mental, pandangan tentang dunia, dan pemahaman keagamaan, maupun ideologi yang kerap kali disepadankan dengan budaya dengan ruang yang tidak kecil .Jika ditafsirkan secara luas, ideologi atau hal – hal tersebut merupakan suatu motivasi – motivasi subjektif dari perilaku yang tidak termuat dalam kategori
“kepentingan”7.
Kedua ialah faktor objektif, merupakan suatu faktor yang titik fokusnya berada pada lembaga pemerintahan, berupa faktor penyebab dari munculnya perilaku lembagaan yang membawa pada terhambatnya pemerintahan yang bersih. Berdasarkan tujuh kategori yang ada pada metode ROCCIPI, kategori yang berada pada faktor objektif ini ialah peraturan, kesempatan, kemampuan. komunikasi, dan proses.
1. Peraturan (rule). Melalui kategori ini dapat digunakan untuk mengetahui kelemahan – kelemahan akan suatu peraturan yang telah ada melalui analisis terhadap peraturan
5 Wija Atmaja, G.M. (2016). Metodelogi Dan Bahasa Perundang-Undangan. hal. 9.
6 Halim, H, op. cit. hal. 92
7 Wija Atmaja, G.M., op. cit. hal. 10.
tersebut terkait atau mengatur tentang perilaku bermasalah. Dengan analisis terhadap suatu peraturan juga dapat melahirkan suatu penjalasan terkait penyebab perilaku bermasalah. Hal ini dikarenakan melalui analisis itu dapat mengetahui beberapa aspek yang mimucu timbulnya perilaku bermasalah seperti susunan kata yang kurang jelas atau mutitafsir pada suatu peratuuran perundang – undangan; terkait perilaku bermasalah tertentu memiliki pengaturan yang berbeda, ada yang mengijinkan ataupun tidak; peraturan yang mengatur perilaku bermasalah belum mengatur penyelesaian akan penyebab – penyebab dari perilaku bermasalah; peraturan tersebut mungkin memperbolehan akan suatu tindakan yang tidak transparan, tidak bertanggung jawab ataupun tidak partisipatif; serta perturan itu mungkin memberikan kewenangan yang tidak semestinya dalam memutuskan apa dan bagaimana menanggulangi perilaku bermasalah kepada pejabat pelaksana.
2. Kesempatan (opportunity). Terhadap kategori ini bahwa perilaku bermasalah juga timbul akibat adanya kesempatan untuk berbuat demikin, meskipun pada kenyataan telah ada suatu peratuuran perundang – undangan yang secara tegas mengatur hal tersebut. Jadi melalui kategori ini akan menganalisis terhadap kesempatan – kesempatan yang menimbulkan perilaku bermasalah.
3. Kemampuan (Capacity). Bahwa berdasarkan kategori ini akan menganalisis suatau perilaku bermasalah yang dilandasi atas suatu kemampuan. Walaupun telah ada suatu perundang – undangan yang memuat ketentuan akan suatu perilaku, tetapi terhadap ketentuan tersebut pada dasarnya dapat tidak terlaksana karena kurangnya kemampuan dari pelaku tersebut, yang terhadap kemampuan iitu dibagi atas kemampuan politik, kemampuan ekonomi, dan kemampuan sosial budaya. Jadi titik fokus dari kategori ini berada pada ciri – ciri pelaku yang menyulitkan atau tidak memungkinkan pelaku tersebut sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam peraturan perundang – undangan.
4. Komunikasi (communication). Bahwa melalui kategori ini dapat memberikan penjelasan terkait penyebab perilaku bermasalah dari segi tahu atau tidaknya pelaku peran akan suatu keberlakukan peraturan perundang – undangan. Jadi adanya suatu tindakan perilaku bermasalah juga mungkin terjadi akibat ketidaktahuannya akan keberadaan serta ketentuan dari suatu undang – undang. Hal ini dimungkinkan karena rendahnya pihak yang berwenang dalam mengkomunikasian, memberitahukan, ataupun mensosialisakan peraturan – peraturan terkait tersebut.
5. Proses (process). Bahwa dengan kategori ini akan menganalisis penyebab perilaku bermasalah dengan berdasar pada sejumlah proses utama. Pertama proses input yang berkaitan dengan siapa saja pihak – pihak yang dimintai masukan. Kemudian proses lainnya yakni proses konversi berkenaan dengan pihak yang menyaring dan mempetimbangkan masukan yang ada untuk dijadikan dasar dalam engambil keputusan, proses output berkenaan dengan pihak dan bagaimana cara suatu keputusan nantinya dikeluarkan, serta proses umpan balik yang mengatur tentang siapa pihak yang dimintai umpan balik.
Terhadap setiap kategori dalam metode ROCCIPI tidak harus terpenuhi seluruhnya karena pada hakikatnya dimungkinkan bahwa faktor penyebab dari suatu perilaku bermasalah hanya ada pada beberapa aspek saja, misalnya faktor tersebut hanya berada pada kategori ROCC dan kategori IPI tidak. Selain itu, hal penting dalam metode ini bahwa metode yang tersusun atas akronim ROCCIPI tidak menandakan terhadap kategori R (rule) berada pada skala prioritas teratas sebagai kategori yang harus terpenuhi lebih dahulu dengan letaknya yang berada di awal. Melainkan tersusunnya metode ini dengan akonim ROCCIPI hanya ditujukan untuk mempemudah ingatan dari bagian – bagian dari setiap kategori8.
8 ibid, hal 10 -12.
Metode ROCCIPI menjadi bagian metode yang sering kali digunanakan dalam pelaksanaan kajian dan analisis penyusunan akan suatu peraturan perundang – undangan.
Dengan metode ini akan memberikan penjelasan atas suatu “perilaku bermasalah” yang memuat atas gambaran suata keefektifan atau tidaknya peraturan yang telah atau akan dibuat.
Hal ini dikarenakan melalui metode ini terhadap pementukan peraturan perundang – undangan akan dilaksanakan analisis secra menyeluruh terhadap perilaku problematis tertentu yang hendak diatur, upaya-upaya untuk menjelaskan latar belakang atau sebab-musabab perilaku demikian, evaluasi pengimplementasian aturan hukum lama dan penjelasan atas kegagalan atau hambatan terhadapnya, serta pengembangan sejumlah alternatif melalui mana situasi yang disasar hendak diatur9.
2.2 Tahapan/Proses Pembentukan Undang – Undang Dengan Metode ROCCIPI
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peratuuran Perundang – Undangan bahwa pembentukan tersebut mencakup pada perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Pada tahap perencanaan penyusunan suatu undang – undang diawali dengan penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang nantinya memuat daftar Rancangan Undang – Undang (RUU) yang akan disusun beserta dengan skala prioritasnya. Kemudian barulah setalah RUU telah terdaftar pada Prolegnas maka akan dilanjutkan dengan penyusunan NA. Di dalam penyusunan Naskah Akademik terdapat dua cara terhadap pelaksanaannya sebagaimana dikemukan oleh B. Hestu Cipta Handoyo. Pertama, penyusunan NA dengan penjaringan aspiran terlebih dahulu melalui seminar, lokakarya, focus group discussion, ataupun expert meeting forum, lalu dari aspirasi itu disusun draf awal NA. Kedua, pelaksanaan dengan diawali
9 Susmiyati, H.R, et all. (2021). Pelatihan Penyusunan Produk Hukum Desa Peduli Mangrove Dengan Metode ROCCIPI. Samarinda: Mulawarman University PRESS, hal. 58.
oleh penyusunan NA lebih dahulu baru kemudian melankukan serap aspirasi terhadap NA sementara yang telah disusun itu10.
Berkenaan dengan proses penyusunan NA, metode ROCCIPI diintrodusir oleh beberapa ahli yakni Sirajudin, Fatkhurohman, dan Zulkarnain, dalam tahapan pembentukan undang – undang ini. Metode yang juga disepadankan dengan istilah ‘metode partisipatif’, dalam penyusunan NA memiliki alur atau skema sebagai berikut:
1. Tahap persiapan: Pembentukan Tim Penyusun NA, pengumppulan data dan informasi, penyusunan agenda, dan pembagian tugas serta persiapan – persiapan teknis.
2. Tahap pelaksanaan penyusunan NA: penyusunan sistemaika draf NA, penyusunan draf awal NA.
3. Diskusi publik: menginformasikan draf NA, menghimpun masukan – masukan dari berbagai pihak
4. Evaluasi draf NA: menginventarisasi masukan – masukan, mengakomodir masukan – masukan yang bermanfaat ke dalam draf NA.
5. Finalisasi: melakukkan penetapan draf NA.
6. Mengajukan NA kepada pemrakarsa: Menyampaikan NA kepada Pemerintah, DPR atau DPD sebagai bahan masukan atau pertimbangan dalam pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan.
Pembentukan undang – undang, terkhusus pada tahap penyusunan NA dengan metode ROCCIPI pada hakikatnya partisipasi masyarakat itu dilakukan melalui anasisis dari tiap – tiap kategori metode ini terhadap perilaku bermasalah. Perilaku bermasalah dari masyarakat ini jika terjadi secara berulang - ulang dapat menimbulkan suatu masalah sosial yang memiliki dampak buruk terhadap kehidupan masyarakat. Maka dari itu, berdasarkan pendekatan dengan metode
10 Wija Atmaja, G.M, et all. (2018). Hukum Perundang -Undangan. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia, hal.
91.
ROCCIPI guna mengetahui/mengindentifikasi suatu tindakan merupakan perilaku bermasalah, dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Mengenali dan menelaah terhadap perilaku bermasalah untuk mengetahui apakah atas tindakan itu bagain dari masalah sosial atau bukan. Berkenaan dengan hal itu dapat dilakukan analisis dari pertanyaan sebagai berikut apakah perilaku itu berdampak merugikan masyarakat? apakah perbuatan itu dilakukan secara terus menerus? serta apakah perilaku itu hasil atas erbuatan koletif (bersama – sama) atau tidak?
2. Mengidentifikasi pelaku peran/actor dari suatu perilaku bermasalah. Berkenaan dengan aktor ini secara garis besar terdapat dua yaitu pemeran yang meliputi orang perorangan, kelompok atau organisasi yang tindakan berorientasi pada suatu masalah yang merugikan. Serta aktor lainnya yakni agen pelaksana (implementing agent) yang merupakan pejabat berwenang yang tindakannya justru bersifat permisif di tengah kedudukannya untuk memastikan masyarakat berprilaku sesuai ketentuan aturan.
3. Mengumpulkan bukti – bukti atas suatu perilaku bermasalah berserta aktor yang telah teridentifikasi atas tindakan itu. Pengumpulan bukti tersebut dilakukan dengan menggunakan responden/narasumeber yang penentuannya berdasarkan atas perilakuu bermasalah atau masalah sosial yang terdahulu terjadi.
4. Melakukan analisis atas faktor penyebab dari suatu perilaku bermasalah yang terjadi. Di dalam proses inilah, metode ROCCIPI ini memiliki peran penting karena juga dapat mengetahui lebih jelas terkait bentuk perilaku bermasalah, aktor/pihak dari perilaku bermasalah, alasan melakukan suatu perilaku bermasalah, hingga pertanyaan terhadap regulasi yang ada, apakah telah memuat ketentuan tentang penyelesaian dan pencegahan perilaku tersebut atau tidak. Pada tahapan ini metode ROCCIPI digunakan dengan melakukan analisis dari tiap – tiap kategorinya.
5. Menarik kesimpulan atas identifikasi terhadap suatu perilaku bermasalah mengenai solusi atau penyelesain paling tepat atas perilaku tersebut. Dalam hal ini juga akan dilakukan penentuan, apakah keberadaan peraturan – perundangan yang mengatur tentang perilaku bermasalah itu dapat mengakibatkan pelaku memperbaiki perbuatannya atau tidak11.
6. Memantau dan menilai pelaksanaan. Bahwa pada tahapan ini dilakukan penyusunan mekanisme pengawasan dan evaluasi dalam rancangan guna meyakinkan peraturan yang dirancang itu sesuai dengan kegunaannya untuk mempengahi tingkah laku dan menimbulkakn dampak yang diinginkan.
Mengenai solusi terhadap tindakan mengilangkan sebab atas perilaku bermasalah dapat dilakukan dengan tindakan langsung berupa sanksi yaitu sanksi pidana, perdata, administrasi, pemberia imbalan dan pengubahan ideologi. Contohnya bila perilaku bermasalah terjadi karena faktor peraturan maka terhadap ancaman ancaman sanksi itu dapat diperbaiki.Sementara terhadap solusi guna memastikan efektivitas peraturan dapat dilakukan dengan sejumlah langkah. Pertama, mempertimbangkan jenis – jenis lembaga pelaksana peraturan yang mencakup pada lembaga penyelesaian sengketa, lembaga administrasi, dan perusahaan negara.
Kedua, tata cara menghindari perbuatan sewenang – wenang lembaga pelaksana aturan, melalui penyusunan tahapan pengambilan keputusan yang transparan dan partisifatip dalam peraturan perundang – undangan lalu menyusun mekanisme pertanggungjawaban dan penyelesaian sengeketa12.
Setelah solusi telah tersusun atas suatu tindakan bermasalah yang dilakukan, maka terhadap setiap masukan dari masyarakat atau temuan suatu perilaku bermasalah, sebagai bagaian guna pemberlakuan dari suatu undang – undang itu akan berlaku efektif, perolehan atas
11 Susmiyati, H.R, et all, op.cit, hal 59 -61.
12 Firmansyah, N. (2016). Metode ROCCIPI dalam Perumusan Peraturan. hal. 8.
analisis tersebut dipertimbangkan dalam penyusunan suatu rancangan undang - undang. Secara garis besar tahapan pembentukan undang – undangan jikat dikaitan dengan penggunaan metode ROCCIPI dalam pelaksanaannya dilakukan dengan tahapan/proses sebagai berikut:
1. Tahap pertama adalah Evaluasi terhadap efektivitas legislasi yang ada sebelum melakukan upaya memperbaiki atau menggantikannya.
2. Tahap kedua adalah pemajuan upaya memahami mengapa hukum efektif (atau justru tidak efektif).
3. Tahap ketiga adalah analisis dari permasalahan yang hendak ditata melalui perangkat legislasi, dengan menggunakan Metode Pemecahan Masalah - ROCCIPPI.
4. Tahap keempat adalah analisis dari proses pembentukan legislasi juga beranjak dari teori-teori normatif perihal ‘pembentukan legislasi yang baik”.
5. Tahap kelima adalah Suatu analisis terhadap kelayakan dari ikhtiar pembentukan legislasi yang mencerminkan realitas sosial masyarakat setempat13.
13 Wija Atmaja, G.M, op. cit, hal. 6.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Metode ROCCIPI adalah salah satu metode dalam pembentukan undang – undang guna memperoleh masukan penjalasan tentang prilaku bermasalah di masyrakat. Pada hakikatnya metode ROCCIPI, metode yang dikembangkan oleh Ann Seidman, Robert B. Seidman, Nalin Abeyeskere, adalah suatu metode yang berorientasi pada prinsip good legislation untuk menghasilan suatu peraturan perundang – undangan yang memiliki masa keberlakuan panjang dengan adanya identifikasi terhadap segenap permasalahan melalui tiap kategori yang dimilikinya. ROCCIPI adalah akronim yang juga kategori atas Rule ((Peraturan), Opportunity (Kesempatan), Capacity (Kemampuan), Communication (Komunikasi), Interest (Kepentingan), Process (Prosese), dan Ideology (Ideologi). Tahapan pembentukan undang – undangan jikat dikaitan dengan penggunaan metode ROCCIPI dalam pelaksanaannya dilakukan dengan tahapan/proses sebagai berikut:
1. Tahap pertama adalah Evaluasi terhadap efektivitas legislasi yang ada sebelum melakukan upaya memperbaiki atau menggantikannya.
2. Tahap kedua adalah pemajuan upaya memahami mengapa hukum efektif (atau justru tidak efektif).
3. Tahap ketiga adalah analisis dari permasalahan yang hendak ditata melalui perangkat legislasi, dengan menggunakan Metode Pemecahan Masalah - ROCCIPPI.
4. Tahap keempat adalah analisis dari proses pembentukan legislasi juga beranjak dari teori-teori normatif perihal ‘pembentukan legislasi yang baik”.
5. Tahap kelima adalah Suatu analisis terhadap kelayakan dari ikhtiar pembentukan legislasi yang mencerminkan realitas sosial masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Firmansyah, N. (2016). Metode ROCCIPI dalam Perumusan Peraturan. hal. 8.
Halim, H. (2009). Cara Praktis Menyusun Dan Merancang Peraturan Daerah. hal. 90 – 92.
Herawati, B.P. dan Suwanto, Y. (2022). Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Bagi Indonesia. Souvereignty, 1(2), hal. 357.
Manubulu, I.B. (2022). Pengkhidmatan Metode Roccipi Dalam Formulasi Program Rehabilitasi Pecandu Narkotika. hal. 3.
Susmiyati, H.R, et all. (2021). Pelatihan Penyusunan Produk Hukum Desa Peduli Mangrove Dengan Metode ROCCIPI. Samarinda: Mulawarman University PRESS, hal. 58 – 61.
Wija Atmaja, G.M. (2016). Metodelogi Dan Bahasa Perundang-Undangan. hal. 6 – 12.
Wija Atmaja, G.M, et all. (2018). Hukum Perundang -Undangan. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia, hal. 91.