• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Hukum Keluarga Islam Kontemporer Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dan KH. M. Sahal Mahfud

N/A
N/A
Muhammad Isadur

Academic year: 2024

Membagikan "Pemikiran Hukum Keluarga Islam Kontemporer Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dan KH. M. Sahal Mahfud"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

CONTEMPORARY ISLAMIC FAMILY LAW THOUGHT OF MUHAMMAD HASBI ASH- SHIDDIEQY AND KH. M. SAHAL MAHFUD

Abstract

Islamic law, which is faced with current conditions and situations, must be able to answer it. If there is no evidence for the activities of a Muslim in the Al-Qur'an and Al-Hadith, a contemporary scholar must creatively and responsively seek answers. Fatwa as an important element in Islamic law is a media liaison to answer various problems of Muslims. Unfortunately, many of the answers to the ummah's problems that are produced are still problematic and lack solutions. Researchers offer the thoughts of moderate scholars from Indonesia, Muhammad Hasbi Ash Shidiqy and KH. M. Sahal Mahfud. These two figures who are recognized for their scientific integrity are trying to contribute their thoughts in the field of thought in Indonesian Islamic family law. They offer a new methodology for reading and understanding sacred texts. As well as breaking established traditions of thought that have existed for hundreds of years.

Keywords: Ulama; Fatwa, Ulama, Moderate; Indonesian Islamic Family Law

PEMIKIRAN HUKUM KELUARGA ISLAM KONTEMPORER MUHAMMAD HASBI ASH- SHIDDIEQY DAN KH. M. SAHAL MAHFUD

Abstrak

Hukum Islam yang dihadapkan dengan kondisi dan situasi kekinian harus mampu menjawabnya.

Jika ditemukan dalam aktivitas seorang muslim tidak ada dalilnya didalam Al Qur’an dan Al Hadis seorang ulama kontemporer harus secara kreatif dan responsif mencarikan jawabannya. Fatwa sebagai elemen penting dalam hukum Islam menjadi media penghubung untuk menjawab beragam persoalan umat Islam. Sayangnya, banyak jawaban persoalan umat yang dihasilkan masih mengandung problematis dan kurang solutif. Peneliti menawarkan pemikiran ulama moderat dari Indonesia, Muhammad Hasbi Ash Shidiqy dan KH. M. Sahal Mahfud. Kedua tokoh yang diakui intregritas keilmuannya ini berusaha mengeluarkan kontribusi pemikirannya dalam bidang pemikiran hukum keluarga Islam Indonesia. Mereka menawarkan metodologi yang baru untuk membaca dan memahami teks-teks suci, mendobrak tradisi pemikiran yang mapan yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Kata kunci : Ulama; Fatwa, Ulama, Moderat; Hukum Keluarga Islam Indonesia

1 Dosen Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang

Ahmad Faozan1

Universitas Hasyim Asy'ari Tebuireng Email : [email protected]

Received: 10.04.2023 Revised: 11.05.2023 Accepted: 25.07.2023

(2)

PENDAHULUAN

Fatwa dalam bidang hukum keluarga Islam kontemporer sebagai salah satu produk dari Hukum Islam harus bersifat aktual dan cepat tanggap, sebab fatwa sendiri memainkan peranan penting dalam perubahan hukum keluarga Islam. Meskipun masih ditemukan sebagaian orang atau kelompok yang justru memiliki sangkaan negatif, dimana fatwa menjadi alat untuk mempertahankan kekolotan agama. Padahal selama ini banyak lembaga meminta fatwa keagamaan yang berpandangan moderat. Dalam tatanan hukum positif di Indonesia fatwa memanglah bukan aturan formal, namun fatwa memberikan dampak luar bisa bagi kehidupan umat Islam Indonesia. Lebih-lebih masalah keumatan terus mengalami perkembangan dikalangan masyarakat kontemporer. Pesatnya kemajuan dibidang tekhnologi dan informasi sedikit banyak kini juga telah banyak mengubah tatanan kehidupan umat muslim khususnya. Munculnya kelompok Islam ekstrem yang menafsirkan pesan-pesan Tuhan secara tekstual misalnya, malah menjadikan agama Islam nampak kaku dan adaptif sesuai kebutuhan jaman, bahkan justru kontraproduktif menjadi perusak keberagaman.

Sejatinya Islam sebagai agama tidaklah kaku. Sebagaimana dalam kaidah populer, ‘al-hukmu yataghayyaru bi taghayyuril amkinah wal azminah’, sifat adaptif, lentur dengan situasi dan kondisi zaman itulah hukum Islam. Ungkapan serupa yang tak kalah populer yang berbunyi, “Al Islamu Solihun Likulli Zaman Wal Makan”, dalam setiap zaman dan di setiap tempat hukum Islam senantiasa relevan dengan perkembangan masyarakat. Hukum Islam yang sudah berusia ratusan tahun lamanya tidaklah berupa aturan yang sempit namun bersifat universal dan manakala dihadapkan dengan konsisi dan perubahan masyarakat. Setiap zaman tentu saja memiliki problematika dan fatwanya

(3)

sendiri-sendiri. Beragam fatwa dari seorang mufti dari setiap peristiwa yang terjadi di tiap-tiap zamannya. Perbedaan fatwa itu juga mengikuti para pembuat fatwanya.2

Demi mewujudukan tatanan kehidupan yang harmonis baik dalam tatanan lokal maupun global dibutuhkan kehadiran ulama moderat. Dalam kuasa ulama moderat ajaran Islam dapat dipahami dengan komprehensif dan lebih meneduhkan. Sebenarnya siapapun ulama yang berfatwa harus mampu mendorong dirinya sebagai mufti untuk berenang mendalami kedalaman Islam. Para ulama moderat yang tinggal di Indonesia sudah sejak lama banyak memberikan pemahaman Islam yang luwes dan berkemajuan sehingga terbukti dapat diterima masyarakat. Sebagai buktinya, Islam berhasil mengakar kuat dalam jiwa masyarakat Indonesia Lebih dari itu, agama Islam dalam banyak juga telah memberikan warna bagi perkembangan masyarakat Indonesia lintas generasi baik dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Misalnya, pada awal Islam masuk ke Nusantara memunculkan kerajaan-kerajaan Islam yang memiliki karakter yang unik dan khas, memiliki karakter yang sendiri dalam pelaksanaan hukum Islam maupun peran pemegang kekuasaaan. Begitu juga ketika bangsa Indonesia telah merdeka, para ulama mampu memainkan perannya dengan baik dan mampu menjadi motor penggerak masyarakat, pendapat dan petuahnya lebih diikuti oleh umat di akar rumput.

Sebagaimana kita ketahui pada masa penjajahan Belanda, meskipun pemerintah Belanda berupaya sekuat daya yang dimilikinya untuk menekan dan meredam perkembangan hukum Islam dengan cara mengirim tokoh Intelektualnya dibidang keislaman, Christian Snoucuk Hourgronye. Sebagai seorang Islamolog yang dikirim secara khusus ke Indonesia ini bertugas merenggangkan masyarakat untuk tidak mengikuti aturan hukum Islam, cara demikian jika berhasil maka akan memudahkan pemerintah Belanda untuk mengendalikan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, tapi gagal!3 Hal serupa dilakukan kembali terjadi, pada masa awal bangsa Indonesia

2 Moderatisme, hal, 107,

3 Aqil Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3S), 1985, h, 30-31.

(4)

merdeka, dimana pemerintah Belanda yang telah melakukan kaderisasi tokoh intelektual pribumi sekuler yang membendung para ulama untuk menancapkan syariat Islam sebagai hukum yang berlaku di Indonesia, dimata intelektual sekuler dianggap tidak tepat karena sekulerisasi hukum merupakan ciri dari sistem politik modern yang didasarkan bahwa agama akan mengurangi kewenangan legisltaif dan hukum agama hanya akan menghambat perubahan masyarakat, karena agama dinilai statis. Selanjutnya terpecahlah menjadi dua kelompok besar di Indonesia yang berhadapan. Pertama, kelompok yang menyatakan bahwa syariah cukup sebatas bahan hukum nasional yang sifatnya tidak mengikat, dapat mengikat bila sudah diterima oleh hukum adat. Kelompok kedua menyatakan bahwa hukum Islam itu sejajar dengan hukum adat, maka cita-cita menjadi Islam sebagai landasan hukum negara tidak bertentangan, wacana demikian termaktub dalam Piagam Jakarta, Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.4

Setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959, politik hukum pemerintah mengalami kemajuan dimana unsur agama dan hukum Islam mulai mendapat perhatian. Hukum Islam tidak lagi menjadi kewenangan yang bersifat absolut dalam menjalankan peradilan.

Hukum Islam bukan sebatas persuasive source namun menjadi authoritatife absolute source.5 Sedangkan pada tahun 1966 membawa angin segar bagi umat Islam, negara membentuk peradilan agama di Indonesia maka dengan demikian khusus untuk umat Islam dan menangani masalah perdata tertentu selaras dengan hukum Islam.

Perkembangan fatwa kemudian dalam perjalanan republik Indonesia berjalan dinamis.

Lembaga-lembaga keagamaan masyarakat Muslim Indonesia dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, MUI, dll juga aktif berpartisipasi dalam memberikan pandangan hukum dan respon terhadap beragam persoalan kemasyarakatan khususnya masalah hukum keluarga Islam. Islam menjadi agama mayoritas, namun bangsa Indonesia sendiri

4 Endang Saifudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Bandung: Pustaka ITB), 1981, h, 25-26

5 Juhaya S. Praja¸ Hukum Islam, Pemikiran dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 1994, h, xi-xii

(5)

bukanlah negara agama. Aturan yang berlaku di Indonesia secara resmi merujuk kepada undang-undang, dalam hal inilah fatwa bukan menjadi bagian dari sumber hukum formal, meski demikian fatwa menjadi norma yang hidup dalam kehidupan masyarakat. Tanpa fatwa praktik kehidupan sehari-hari masyarakat muslim khususnya berjalan tanpa arah.

Wajar, jika banyak lembaga negara berkonsultasi terhadap lembaga fatwa sebelum mereka mengeluarkan kebijakan publik.

Topik kajian serupa dilakukan Musthofa Syukur dan Zainul Muin Husni6, berupaya menawarkan pengembangan kajian fatwa hukum keluarga kontemporer melalui pendekatan Fikih Maqasid. Selanjutnya, Ansori7, yang menekankan pada kajian fatwanya berkaitan dengan produk pemikiran mampu berdialektika dengan masyarakat.

Adapun Popi Adiesy Putra, Sudirman Suparmin, dan Tuti Anggraini8 menghasilkan kajian penelitian tentang fatwa, meskipun fatwa tidak mengikat tapi keputusan fatwa dapat digunakan dan dijadikan sandaran para hakim dalam mengambil keputusan di pengadilan.

Masnun Tahir dan Apipudin9 menghasilkan temuan bahwasanya fatwa memiliki peranan strategis dalam pembaharuan hukum keluarga yang berkelanjutan di tengah pemberlakuan pluralisme pembaharuan hukum Islam Indonesia.

Membaca dan menyaksikan beragam persoalan masalah kehidupan umat Islam khususnya dalam bidang hukum keluarga teruslah bertambah dan sangatlah kompleks dibutuhkan sebuah instrumen, metodologi, dan pendekatan yang jitu, tanpa itu semua hanya akan menempatkan Hukum Islam yang kaku dan kurang relevan. Ada banyak tokoh dari kalangan moderat yang memiliki kepakaran dan konsentrasi keilmuan dibidang

6 Musthofa Syukur, Zainul Muin Husni, Studi Analisis Model dan Pendekatan Fatwa Hukum Keluarga Kontemporer di Kalangan Ulama’ Moderat, terbit di Jurnal hakam; Jurnal Kajian Hukum Islam

7 Ansori, Position of fatwa in Islamic law: the effectiveness of MUI, NU, and Muhammadiyah fatwas, terbit di jurnal Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol. 22, No. 1 2022, h, 53-71.

8 Popi Adiesy Putra, Sudirman Suparmin, dan Tuti Anggraini, Fatwa (al-ifta’); Signifikansi Dan Kedudukannya Dalam Hukum Islam, Al-Mutharahah: Jurnal Penelitian dan Kajian Sosial Keagamaan, Vol.

19 No. 1. Januari-Juni 2022, h, 27-38.

9 Masnun Tahir dan Apipudin, Rekognisi Fatwa dalam Pluralisme Hukum Keluarga Islam Indonesia “Kajian Hukum Islam Sustainable” terbit di ADHKI: Journal of Islamic Family Law Volume 2, Nomor 1, Juni 2020.

(6)

hukum keluarga Islam baik dari kalangan akademisi maupun kalangan ulama kontemporer. Banyak ide dan gagasan yang ditawarkan kepada khalayak publik.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui konsep pemikiran ulama moderat, M. Hasbi Ash Shidieqy dan KH. Sahal Mahfud tentang hukum keluarga.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian studi dengan jenis kualitatif yang mengangkat dua tokoh pembaruan Islam. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode intrepretasi dan koherensi. Metode pertama untuk mengetahui pemikiran tokoh maka peneliti melakukan analisis sehingga inti dari gagasannya dapat diketahui.

Sedangkan metode kedua, koherensi sebagai alat untuk menganalisis data yang telah diperoleh. Sedangkan tekhnik pengumpulan data yang dilakukan penulis dalam hal ini melalui tekhnik kepustkaan. Selanjutnya oleh peneliti dilakukan pengelompokan menjadi dua; data primer dan data sekunder. Secara tekhnik analaisis data yang digunakan dalam penelitian ada peneliti melakukan inventarisasi data dan melakukan interepretasi selanjut melakukan penarikan kesimpulan

Konsep Fikih Keluarga Indonesia Kontemporer

Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim dikenal memiliki keragaman agama, suku, budaya, etnis dan lainnya secara tidak langsung ikut memunculkan wacana pemikiran yang khas sebagai bentuk dari pemahaman tentang hukum Islam dengan metode dan polanya. Syariat Islam yang termaktub dalam fikih klasik tentu akan bertolak belakang dengan praktik hukum keluarga Islam yang terjadi kehidupan modern di Indonesia. Dalam hal ini, Al Syhiristani berpendapat bahwa, kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan masyarakat adalah hal-hal yang tidak dapat dihitung. Adalah pasti bahwa tidak setiap kejadian selalu ada teks(nash).

Jika teks-teks adalah terbatas, dan yang terbatas tidak mungkin menampung yang tak

(7)

terbatas, maka upaya-upaya kreatif intelektual(ijtihad) dan analogi adalah niscaya adanya, sehingga setiap peristiwa ada keputusan hukum yang jelas.10

Fikih klasik merupakan hasil kreasi dari para ulama dalam menghadapi tantangan jamannya bila dikontektualisasikan dalam kehidupan sekarang ini tentu akan menghadapi tantangan yang berbeda. Perubahan jaman tentu memberikan corak yang sendiri. Dalam hal ini kita juga mengakui bahwa bisa jadi masih ada yang relevan sebagaian yang masih kurang solutif untuk perkembangan jaman seperti sekarang ini. Imam Asy Syatibi menegaskan bahwa umat Islam sudah terlarut sangat jauh dalam pemahaman tekstualis sehingga mengabaikan pertimbangan kemasalahatan manusia yang notabene merupakan tujuan diturunkannya syari’at. Nasr Hamid Abu Zayid juga, bacaan umat Islam terhadap teks-teks keagamaan lebih menekankan kepada talwin atau ideologisasi makna atas teks tertentu daripada takwil yang berarti menafsirkan makna yang dikandung teks.11

Moderatisme Sebagai Pendekatan

Dalam Islam sendiri terdapat sebuah nilai-nilai penting, yaitu; moderat atau kita maknai dengan istilah keseimbangan. Nilai-nilai dalam Islam sama sekali tidak membebani dan tidak membuat rumit karena justru agama terakhir yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw ini sangatlah menjunjungtinggi kebenaran.12 Beragam pengertian tentang moderat dari mulai diartikan sebagai peleburan antara kezaliman dan keadilan, mafsadar dan maslahat, antara yang haram dan halal apalagi melebur yang batil dan hak.

Sedangkan pengertian dalam bahasa arab kata moderat, wasaṭiyah juga bukan bermakna tengah-tengah diantara dua kebenaran, atau berdiri di tengah antara dua kebatilan atau berada di tengah kebenaran dan kebatilan. Tapi, sesungguhnya makna wasaṭiyah sendiri adalah bersikap adil dan seimbang di antara dua sikap yang saling berlebihan sehingga kutub sebelah kanan cenderung menafikan kutub sebaliknya.

10

11 Musdahlian, Muslimah Reformis For Milenial, Jakarta, Quanta, 2021, hal,

12 Āibn Nayif al-Sayahud, Al-Khulashah fī Fiqh al-Aqaliiyat (al-Maktabah al-Shamīah) juz I, hlm, 47

(8)

Dengan demikian, moderatisme adalah sudut pandang yang seimbang didalam melihat konteks zaman dan lokasi firman Tuhan digali serta diterapkan sekaligus melihat hamba Tuhan, manusia sebagai bagian penting dari pelaksana syari’at Islam dan menikmati manfaat kebijakan hukum yang diberikan. Berpandangan moderat berarti memandang sebuah realitas secara utuh tidak berlebih-lebihan. Jadi, Islam berpandangan Islam moderat senantiasa terbuka dan dapat berdialog dengan peradaban-peradaban besar yang sudah mapan tanpa kehilangan semangat agamanya.13

Menurut Khalid Masud ada tiga konsep fatwa metodologi hukum modern yang digunakan. Pertama, Pandangan untuk Memahami teks. Pembacaan ulang terhadap sumber utama hukum Islam, hasil pemahaman ulama yang termaktub dalam fikih, serta putusan fatwa di masa lalu penting untuk dilakukan, dengan demikian maka akan diperoleh pengetahuan tentang konsesus lintas generasi dari generasi. Membaca ulang sejumlah pendapat dan pemahaman ulama pendahulu kajian dari isi al-Qur’an, hadis dan fikih, sangat penting bagi seorang mufti, sebab hal demikian juga akan mempengaruhi pada banyak hal seperti, aspek kebahasaan dalam teori hukum Islam, maknya yang ada didalamnya, maupun komunikasi yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca dan seterusnya. Membaca lintas disiplin keilmuan akan sangat membantu seorang mufti mendalami kedalaman sebuah teks keagamaan yang faktual.

Kedua, pandangan Moderat dalam memahami Konteks .Kemampuan seorang Mufti selain memang harus benar-benar dapat teruji, tentu saja ia harus paham konteksnya dan sesuai kebutuhan yang sifatnya kekinian. Ketiga, Moderatisme dalam logika penalaran hukum. Dalam tradisi Islam familiar dengan penggunaan metode- metode dalam pertimbangan hukum, antara lain; ada qiyās (penalaran deduktif, logika silogisme), maksim hukum (qawaʿid fiqhiyah), kebiasaan (ʿurf dan ʿada), praktik peradilan (ʿamal), konsekuensi hukum (ma’āl), dan prinsip-prinsip seperti preferensi juristik

13 Ibid, 52.

(9)

(istihsān), kebaikan publik (maslahat), dan maqāṣid (tujuan hukum) metode penalaran penalaran induktif (istiqra’) penalaran. Dalam perkembangannya sebagai bagian penting dari teori hukum Islam atau logika penalaran, maqaṣid telah melampaui penalaran qiyās atau silogisme. Pendekatan moderat menjadikan seorang mufti akan menemukan sebuah kedalam teks dan konteks untuk selanjutnya menentukan aturan hukum yang faktual.

Perspektif Hukum Keluarga Kontemporer Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy

Tokoh ternama dalam bidang pemikiran hukum keluarga Islam di abad 2014 yang dalam perjalannya kemudian menawarkan ide dan gagasan fikih Indonesia yang lebih moderat adalah T.M. Hasbi Ash Shiddieqy. Beliau juga melandasi pada beberapa pengembangan teori dari aliran-aliran yang ada dalam diskursus wacana ushul al-fikih.

Pernyataan ini berdasar dari pengakuan Hasbi sendiri: seharusnya kita mempelajari fikih tingkat tinggi secara muqaranah (perbandingan ) jangan terbatas dalam mazhab tertentu.15

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan tokoh ulama moderat yang menguasai khazanah keislaman. Tak sedikit juga karya tulisnya yang bertemakan mengenai agama, umum, dan pembaharu (mujaddid) yang termasyhur dalam menyeru kepada umat Islam, agar kembali ke Alquran dan Hadis Rasulullah Saw.16 Hasbi merupakan pembaharu dalam hukum Islam Indonesia, sebab beliau mampu mengeksplorasi pemikirannya mengenai hukum islam dan keluar dari batasan dan belengu yang sangat kuat ketika itu, dalam bermazhab tanpa mencoba melihat lagi dasar hukum ajaran Islam yakni Alquran dan as Sunnah. Dan dia mampu memilah ajaran Islam yang murni.

14 Nourouzzaman Shiddieqi, ―T.M. Hasbi Ash-Shaddieqy‖, dalam Damami dkk. (ed). Lima Tokoh Pengembangan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (Yogyakarta: Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga, 1998), hlm. 113.

15 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat, dan Tuntas, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 160.

16 Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, cet.

9, 2001), jilid II, hlm. 94.

(10)

Hasbi bukanlah ulama satu-satunya yang melakukan pembaruan yang moderat (perubahan sikap, nilai dan sudut pandang dalam memahami Islam, meskipun masih memiliki ketergantungan dengan acuan semula).17 meskipun masih menggunakan metode yang digunakan salah satu mazhab tertentu seperti ushul fikihnya, qawaid fikihnya dan perangkat ilmu alat yang lain. Menurut Hasbi, hukum Islam itu bersumber dari yang ditetapkan dan yang masih diperdebatkan memiliki sumber-sumber pokok yakni alqur-an dan as-sunnah, juga sumber-sumber pokok (al-masadir al tabi’iyah) yang dikorelasikan suatu sumber yang di sepakati oleh jumhur fuqoha seperti ijma, dan qiyas.

Sedangkan yang masih terjadi sebuah perdebatan seperti istihsa, istihab, maslahah mursalah, urf, sadd al-dzariah, dan mazhab sahabi.18

Hasbi juga pernah mengatakan kalau sumber hukum Islam itu hanyalah tiga yaitu al quran, as-sunnah dan ijtihad bi al-ra‟y. Akan tetapi Hasbi tidak menjelaskan secara jelas mengenai sumber ijtihad bi al-ra‟y ini.19 akan tetapi Nourouzzaman menyatakan sumber hukum yang digunakan oleh Hasbi adalah al-Qur‘an, al-Sunnah, ijma‟, qiyas, ra‟y dan urf.20

Hasbi beranggapan kalau pengambilan ketetapan fikih itu haruslah dari hasil ijtihad yang memiliki kesesuaian dengan kondisi sosial dari bangsa Indonesia, sehingga fiqh tidak di pandang sebgai barang asing dan barang yang antic oleh masyarakat Indonesia. Beliau juga khawatir bahwa prospek akan masa depan hukum islam di Indonesia tidak tentu arah kejelasannya.21 Menurut Hasbi persoalan-persoalan baru yang muncul haruslah bisa diselesaikan oleh hukum Islam dan terjawab dengan baik dari bidang muâmalah, yang belum ada ketetapan hukumnya maka wajib hukum Islam harus

17 Abdurrahman Wahid, et. al., Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1990), h. 193.

18 T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Cet. 8, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 166

19 T.M. Hasbi, Fakta Keagungan Syari‟at Islam, Cet. 2, (Jakarta: Tinta Mas, 982), hlm. 24

20 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia …, hlm. 105

21 Toha Ma’arif, Fiqih Indonesia Menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin Dan Munawir Syadzali, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Vol. 8, No. 2, Agustus 2015, h.29.

(11)

mampu hadir dan bisa berpartisipasi untuk menggerakan masyarakat. Ulama lokal diwajibkan untuk memiliki sifat responsive yang tinggi dan kreatif juga dapat dipertanggung jawabkan Ketika merumuskan persolalan fikih yang baru sesuai dengan kondisi sosial masyarakat tersebut.22

Prespektif dari Hasbi ini berupa gagasan Fiqh Indonesia merupakan bentuk dari satu keyakinan akan prinsip-prinsip hukum Islam memberikan ruang gerak yang lebar bagi pengembangan atau pembaharuan ijtihad baru. landasan hukum Islam yang lama dan mapan, seperti ijma’, maslahah mursalah , qiyas, ‘urf, dan prinsip. Terjadinya perubahan hukum karena adanya perubahan masa dan tempat”, justru akan menemui ketidaksesuaian ketika tidak adanya pembaharuan ijtihad baru. Maka haruslah berpegang pada paradigma itu, dalam konteks pembangunan semesta sekarang ini, gerakan penutupan pintu ijtihad (insidad bab al-ijtihad) merupakan isu usang yang harus segera ditinggalkan.23

Sesuai dengan ijtihad Hasbi tentang perkawinan beda agama, yang didasarkan pada surah al-Baqarah (2): 221, pria Muslim tidak diizinkan mengkawini wanita non Muslim lebih tepatnya musyrikah. Berlandaskan Nash yang sharih dalam surah al-Baqarah (2): 221 inilah alasan pengharamannya. Selain nash yang sharih, ulama’ salaf dan kholaf yang melarang perkawinan beda agama ini juga di perkuat dengan ijma' sahabat, fuqoha.

Menurut prespektif Hasbi tentang surah al-Baqarah (2): 221, dilarang menikahi wanita non muslim yang bukan dari ahli kitab. Wanita Arab yang ingkar sampai mereka beriman kepada Allah dan berssaksi kebenaran terkait nabi Muhammad.24 Prespektif penafsiran hasbi lebih condong kepada aspek sosiohistori berdasarkan kondisi social

22 Gatot Suhirman, Fikih Madzhab Indonesia (Konsep dan Aplikasi Pemikiran Hasbi as-Siddiqi untuk Konteks Islam Rahmat lil-Indonesia), Al-Mawarid, Vol. XI, No. 1, Agustus 2010, h, 120

23 Gatot Suhirman, Fikih Madzhab Indonesia (Konsep dan Aplikasi Pemikiran Hasbi as-Siddiqi untuk Konteks Islam Rahmat lil-Indonesia), Al-Mawarid, Vol. XI, No. 1, Agustus 2010, h. 121.

24 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2000), h, 373.

(12)

masyarakat arab yang masih musryik waktu itu. Terkait akan apek social histori Negara Indonesia hasbi menafsirkannya kepada perempuan hindu, budha, tionghoa, merupakan bukan bagian perempuan musyrik.25 Dapat kita simpulkan terkait penafsiran hasbi berkenaan dengan umat agama non muslim yang non kitab di Indonesia, beliau tidak memukul rata untuk memusyrikkan berbagai agama non muslim di Indonesia.

Berdasarkan al quran surah al-Mai’dah (5) : 5 serta pandangan jumhur fuqoha terkait perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan non muslim yang Ahli Kitab, Hasbi berkenan untuk membolehkan. Alasannya Ahli Kitab dengan musyrik berbeda dalam bentuk keyakinannya, berdasarkan alquran surah surah al-Bayyinah : 1, al-Hajj : 17 dan al- Baqarah : 105. Ayat-ayat tersebut menerangakan terkait perbedaan iman antara orang- orang musyrik dengan orang-orang Ahli Kitab. Dapat dilihat dari tandan Penggunaan huruf athof wawu dalam ketiga ayat tersebut menandakan adanya perbedaan antara kedua hal yang dihubungkan. Dikuatkan oleh Pendapat ibnu Umam Musyrik yang juuga disebutkan dalam surah at-Taubah : 30 dan 31 lebih mempunyai artian pada perbuatannya bukan pada makna hakikatnya atau aslinya , namun dalam surah al- Baqarah (2) : 221, musyrik lebih mempunyai arti pada sesungguhnya (agama).26

Penjelasan Hasbi terkait mengawini seorang wanita Kitab,bahwa mahar tetap harus diberikan kepadanya, tetapi tujuannya adalah untuk melindungi diri dari tindakan maksiat, bukan hanya perzinahan terrang-terangan ke publik atau sirri. Ayat ini akan mengaitkan pernikahan Ahl al-Kitab dengan pernikahan halal dengan menawarkan mahar untuk menjelaskan bahwa mahar itu wajib dan bukan hanya syarat pernikahan halal.

27Hasby menjelaskan dengan lebih jelas bahwa wanita alkitabiah, seperti wanita Kristen dan Yahudi, percaya bahwa pria dapat menikahi mereka secara sah. Hasbi juga menganggap surah al-Baqarah (2): 221 sebagai ayat yang dikuatkan dengan surah al-

25 Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul., h, 373.

26 Rahmawati, Istinbath Hukum Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, (Yogyakarta : Deepublish ), 2015, h, 244.

27 Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul., h, 374

(13)

Ma'idah (5): 5, sehingga Hasbi menganggap bahwa semakin kuat ayat tentang hukum dan kumpulan ayat terakhir, yang menciptakan hukum yang memungkinkan laki-laki Muslim untuk menikah dengan orang-orang ahlul kitab.28

Perkawinan laki-laki non muslim dengan perempuan muslimah Menurut Hasbi secara tegas adalah haram. Keharaman tersebut menururt hasbi hukumnya mutlak dan jelas baik menikahi lelaki Ahli Kitab apalagi musyrik Adapun dalil alquran menurut hasbi yang terdapat di surah al-Baqarah (2) : 221 dan surah al-Mumtahanah (60) : 10 pada intinya berpendapat menilai seorang muslimah itu lebih mulia dari laki-laki non muslim karena itulah penyebab keharamannya menikahi muslimah oleh laki-laki non muslim.

Ketakutan ini didassari pemikiran dalam perkawinan ini dapat mempengaruijhi dengan mudah jiwa babhkakn akidah seseorang. Diperkuat, bahwa selama ini suami memiliki kedudukan sebagai pengendali rumah tangga dalam susatu keluarga, yang menyebatkan takunya keimanan seorang istri mengikuti agama suaminya yang non muslim.begitu pula dengan suami atau laki-laki yang memiliki keiman agma yang lemah dan rendah, yang membuat Para suami lebih memassyrahkan segala urusan kepada istri non muslimnya, dikhawatirkan juga nanti kedepannya mudah juga menyerahurusan agama dan kenyakinannnya yang bisa membuat istri mempengaruhinya untuk berubah keimanan dan keyakinan.

Hasbi berpendapat seperti itu berdasarkan salah satu kaidah fiqh yang lebih condong untuk menutup kemudhorotan kaidah ini lebih dikenal dengan istilaah sad az- dzariah, dapat dipastikan disinim metode istinbath hukum yang dipakai oleh hasbi tentang pengharaman perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki yang tidak seiman yakni islam, maupun laki-laki yang lemah agama dan imannya dengan wanita non muslim mengunakan metode istimbath bir ro’yi. Pembolehan dan pengahraman perkawinan beda keyanian dan agma oleh hasbi ini untuk suatu kemaslahan berkaitan dengan agama,

28 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan dalam Fiqih Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1971), h, 78-80.

(14)

meskipun hasbi juga membolehkan menkawin wanita non muslim yang ahli kitab oleh laki-laki muslim, dengan catatan kedepannya tidak menimbulkan mudhorot melaik nkanmenimbulkan kebaikan.

Mengenai tafsir Hasbi terhadap ayat nikah beda agama dalam surah al- Mumtahanah (60): 10, dilarang menikah dengan orang yang tidak beriman. Hal ini karena haram bagi seorang wanita beriman untuk menikah dengan seorang kafir. Jadi ketika seorang wanita beragama Islam dan suaminya masih kafir, pernikahan mereka harus diputuskan. Penafsiran Hasbi tentang pernikahan kafir didasarkan pada peristiwa sosio- historis dalam perjanjian Hudaibiyah antara Nabi Muhammad dengan kaum kafir Quraisy.

Ayat ini diturunkan karena para wanita beriman datang ke Mekkah dan Tuhan memerintahkan mereka untuk menguji kembali keimanannya.

Dengan melihat pemikiran Hasbi tentang masalah pernikahan beda agama, terlihat bahwa Hasbee menggunakan metode Bayani dalam mengungkapkan pandangannya. Metode bayani adalah metode penalaran hukum yang pada hakekatnya bertumpu pada kaidah linguistik (semantik). Dengan mengambil sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagai landasan utama untuk mengungkapkan pandangannya. Juga beliau merujuk pendapat jumhur fuqoha dengan dalil-dalil yang kuat, membandingkan pendapat yang satu dengan pendapat yang lain dan memilih pendapat mana yang lebih baik, lebih mendekati kebenaran dan didukung dengan dalil-dalil yang paling kuat.29

Prespektif Hukum Keluarga Kontemporer KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfud

Nama lengkapnya adalah Muhammad Ahmad Sahal Mahfud (selanjutnya dalam tulisan disebut Sahal). Ia lahir di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada tanggal 17 Desember 1937. Namanya disandarkan kepada ayahnya K.H.

Mahfud Salam. Ibunya bernama Nyai Badi'ah, berasal dari Rembang. Sahal tumbuh dan

29 Rahmawati, Istinbath Hukum., h, 246.

(15)

berkembang dalam tradisi Pesantren yang kuat. Ayahnya adalah pimpinan Pondok Pesantren Maslakul Huda yang didirikan sendiri oleh kakeknya K.H. Abdussalam pada tahun 1910. Secara geneologis ia memiliki jalur nasab dengan Kyai Haji Mutamakkin.30

Sebagaimana lazimnya putra kyai, dia mula-mula dibimbing agama oleh ayahnya sendiri. Ketika menginjak usaia 6 tahun dia belajar di Madrasah Ibtidaiyah Kajen (1943- 1949). Setelah menamat- kan Madrasah Tsanawiyah Mathali'ul Falah, ia melanjutkan pelajaran- nya ke Kediri di Pesantren Bendo dari tahun 1953-1957 di bawah bimbingan K.H. Muhajir. Di sini Sahal mendalami fikih dan belajar kitab-kitab seperti Ihya Ulum al- Din, Sullam al-Taufiq, dan Bugbyah al-Mustarshidin. Muhajir adalah teman ayah Sahal (Mahfud Salam) sewaktu sama-sama belajar di Sarang, Rembang. Tampaknya hal ini juga menjadi salah satu pertimbangan baginya untuk pindah ke Pesantren Sarang di bawah pimpinan K.H. Zubair. Setelah merasa cukup mencari ilmu di Sarang, Sahal kembali ke Kajen untuk melanjutkan kembali belajar pada kedua pamannya (KH. Abdullah Salam dan K.H. Ali Mukhtar).31

Selain belajar ilmu agama, Sahal juga sempat belajar ilmu-ilmu umum lainnya seperti Bahasa Inggris, ilmu retorika, dasar-dasar politik, dan ilmu jiwa masyarakat (sosiologi) pada K.H. Amin Fauzan di Kajen. Usaha belajar ini selalu dilaluinya hingga ia diserahi tugas untuk memimpin pesantren yang didirikan kakeknya, yang selama ini diambil alih tanggung jawabnya oleh pamannya. Wajarlah bila ia kemudian mengaku sangat dipengaruhi oleh wawasan dan pandangan pamannya, K.H. Abdullah Salam, dalam performa pemikirannya di kemudian hari.32

30 Sanusi, Mengenang Perjuangan Syekh KH. Ahmad Mutamakkin dari Masa ke Masa (Pati:

Himpunan Siswa Muthali'ul Falah, 1413 H), hal. 27. Baca Juga Mujamil Qomar, NU Liberal (Bandung:

Mizan, 2002), hal. 238.

31 Sahal Mahfud, Al-Bayan al-Mulamma' 'an Alfaz al-Luma' (Semarang: Toha Putra, t.t.), hal. 3.

Lihat juga Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat: Kyai Pesantren Kyai Langgar di Java (Yogyakarta:

LKIS, 1999), hal.6-7.

32 Muhammad Ikhsan, "KH. Sahal Mahfud: Ikhwal Dakwah Kita yang Masih Ngawur," Media Dakwah No. 7 Juli 1991), hal. 60, kolom tokoh.

(16)

Dalam peta pemikiran Islam di Indonesia, Sahar dianggap sebagai sosok yang banyak menyumbangkan pemikiran di bidang hukum Islam. Ia selalu kritis terhadap arus utama yang berkembang (setidaknya di NU dan pesantren). Baginya, pemahaman kitab- kitab klasik harus dilakukan dengan menggunakan kerangka metodologis yang proporsional untuk mencapai kontekstual dan pemahaman yang memenuhi kebutuhan realitas sosial. Oleh karena itu, ia selalu kritis terhadap literalis tradisional dan fundamentalis yang selalu menjadikan fikih mutlak. Baginya, kritik bisa ditujukan kepada siapa saja, termasuk gurunya sendiri. Ia tersinggung dengan pendapat ulama NU yang tidak mau fokus pada dimensi spasial dan temporal dalam menawarkan produk yang sah.

Karena itulah Sahal mengajukan diri untuk bergabung dengan para pemikir muda produktif NU dalam Forum Halaqah, yakni forum sarasehan untuk merumuskan kerangka teoritik berfikih yang lebih produktif dan sesuai dengan perkembangan zaman.

Salah satu hasil konkrit dari forum halaqah tersebut adalah munculnya istilah bermazhab secara manhaji pada tahun 1987 sebagai sebuah gagasan awal. Kemudian pada tahun 1989, atas dukungan K.H. Sahal Mahfud dan K.H. Imron Hamzah, diadakan seminar dengan tema "Telaah Kitab secara Kontekstual" di Pondok Pesantren Watu Congol, Muntilan, Magelang. Pada pertengahan Oktober tahun yang sama diselenggarakan halaqah (diskusi terbatas) mengenai masa depan NU dan salah satu pembicaranya adalah A. Qodri Azizi. Ia menegaskan perlunya redefinisi mazhab yang kemudian dicetuskan istilah bermazhab fi manhaji (mengikuti metodologinya) dan pada akhirnya dideklarasikan pada tahun 1992 di Bandar Lampung dalam sebuah forum Musyawarah Nasional. Lewat forum halaqah ini, usaha pengembangan fikih realatif berhasil. Hal ini ditandai dengan munculnya pergeseran dalam memandang fikih, yakni yang tadinya fikih dipandang sebagai paradigma kebenaran ortodoksi menajdi paradigma pemaknaan sosial. Pemikiran halaqah ini akhirnya mempengaruhi pula pola pemikiran di Bahts al-Masail.

(17)

Dalam berfikih KH. Sahal Mahfud memiliki ciri kekhasan, yaitu: a) Terus berusaha melakukan pembacaan ulang terhadap materi yang tersaji sebelumnya dalam kandungan kitab fikih untuk selanjutnya mencarikan konteks yang kekinian; b) Memaknai ulang kata bermazhab dalam fikih, dari yang semula bermazhab tekstual (mazhab qauli) ke bermazhab secara metodologis (madzhab manhaji); c) Melakukan pemeriksaan kembali antara ajaran yang pokok (usul) dan yang cabang (furu); d) Fikih hanyalah etika sosial, bukan lagi sebagai hukum positif negara; e) Mengenalkan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.33

Persoalan reproduksi menurut Kiai Sahal sebenarnya merupakan suatu rangkaian proses keterkaitan yang dimulai dari proses yang paling awal yaitu akad nikah, yang dalam Islam dinyatakan sebagai perjanjian yang kuat (mithaqan ghaliza). Dari perjanjian yang kuat itu muncul implikasi yang sangat luas dan saling terkait, seperti status yang semula tidak ada. Pihak laki-laki berstatus sebagai suami (zaw) dan pihak perempuan berstatus sebagai istri (zawjah). Dengan adanya status baru tersebut timbul hak dan kewajiban yang baru pula yang harus dilandasi oleh prinsip kesamaan, keseimbangan, dan keadilan antara kedua pihak dalam bingkai muasharah bi al-ma'ruf. Hak dan kewajiban ini meliputi bidang ekonomi dan non-ekonomi. Yang pertama antara lain berkaitan dengan soal mahar dan nafkah, sedangkan yang kedua meliputi aspek-aspek relasi seksual dan relasi kemanusiaan termasuk reproduksi.34

Peran reproduksi menurut kiai Sahal dimulai dari berbagai proses reproduksi, misalnya hubungan seksual. Islam memandang hubungan seksual sebagai proses yang harus dipersiapkan dengan matang baik secara mental (ta'awwudz, basmalah, dan doa) maupun fisik (kondisi yang mendukung dan tidak ada pemaksaan),35seperti dinyatakan dalam al-Qur'an:

33 Mahsun Fuad, Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKIS, 2005), hal. 116.

34 Husein Muhammad, Fikih Perempuan, hal. 109.

35 Sahal Mahfud, “ Islam,” hal. 116

(18)

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”36

Hubungan suami-istri secara paksa dilarang agama, karena: pertama, hubungan seks secara paksa berarti mengejar kenikmatan (suami) di atas penderitaan orang lain (istri) dan ini tidak bermoral. Kedua, dalam hubungan suami-istri yang dipaksakan terdapat pengingkaran nyata terhadap prinsip muiasharah bi al-ma'ruf. Dalam hal kehamilan dan kelahiran, jelas Sahal, Islam memandang sangat empatik terhadap penderitaan kaum perempuan terutama saat melahirkan. Tidak ada satu ayat al-Qur'an pun yang melukiskan peristiwa kemanusiaan sepenting ayat kehamilan dan kelahiran.

Dalam al-Qur'an dijelaskan:37

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”

Ayat ini menggambarkan betapa kehamilan dan kelahiran sebagai proses reproduksi perempuan begitu beratnya sehingga Allah menggunakan istilah yang bernada ta'kid (penguatan), wahman 'ala wanin. Ironisnya jelas Sahal, beban berat seperti di atas tidak pernah disadari oleh para suami. Tugas yang sangat berat inilah yang menyebabkan fikih Islam mendudukkan perempuan demikian pentingnya. Fikih juga memberikan keringanan-keringanan kepada ibuyang sedang hamil berupa kebolehan tidak berpuasa demi menjaga kesehatan reproduksinya meskipun kemudian wajib qadla. Bahkan fikih tidak menuntut membayar kaffarah puasa tersebut, apabila alasannya didasarkan kepada kesehatan badan ibu semata.

36 Al quran, Surat An-Nisa Ayat 19

37 Al quran, Surat Luqman Ayat 14

(19)

Kemudian tentang persoalan siapa yang berhak menentukan mempunyai anak, suami atau istri, ada empat pendapat, sebagaimana diuraikan oleh Mahmud Syaltut.

Pertama, pendapat kalangan Mazhab Syafi'i yang menyatakan bahwa yang berhak adalah suami, kon- sekuensinya istri tidak berhak apa-apa. Kedua, pendapat yang banyak dianut oleh Mazhab Hanafi menyatakan bahwa yang berhak menentukan punya anak atau tidak adalah suami-istri. Ketiga, pendapat ulama Hanbali dan sebagian ulama Syafi'iyyah menyatakan bahwa yang menentukan punya anak atau tidak bukan hanya suami istri melainkan juga masyarakat dengan penekanan tentunya pada kedua pasangan. Keempat, banyak dianut oleh para ahli hadis yaitu serupa dengan yang ketiga tetapi dengan penekanan pada pertimba- ngan kemaslahatan umum. Pendapat ini menurut Sahal, karena tanggung jawab generasi sesungguhnya tidak hanya monopoli kedua- orang tua, tetapi melibatkan juga masyarakat dan negara.

Dalam konteks ini fatwa juga memiliki beragam fungsi dari mulai tabyīn(menjelaskan hukum) dan tawjīh( memberikan petunjuk hukum dalam memberikan pencerahan terhadap masyarakat. Urgensi fatwa keagamaan dalam kehidupan umat Islam tidak lepas dari seberapa jauh kemanfaatan fatwa dalam kehidupan umat manusia.

Dalam hal ini fatwa harus mengandung beberapa poin penting. Pertama, jawaban atas perselisihan. Kedua, jalan alternative. Ketiga, Fatwa harus mempunyai konotasi kuat, baik dari segi sosial keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Sebab ada ulama yang mengatakan bahwa berubahnya fatwa sering terjadi karena bertumbuh dan berubahnya situasi, kondisi, tempat, dan istiadat. Keempat, Fatwa hendaknya mengarahkan pada perdamaian untuk menuju umat wahidah.38 Sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an dan sunnah. Sesungguhnya Islam adalah peradaban yang sempurna.

38 Ibid, 207.

(20)

Kesimpulan

Tidak semua orang dapat menjadi mufti. Banyak persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang mufti. Mencari kualifikasi seorang mufti yang memiliki pemikiran moderat di Indonesia kini tersebar dalam sejumlah ormas kegamaan seperti, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, MUI, dan lainnya. Harus diakui bahwa mutaakhir ini dalam pemikiran keagamaan di Indonesia sendiri muncul beragam wacana keislaman baik yang dikeluarkan oleh para akademisi maupun ulama pesantren. Dengan demikian, sejatinya wacana pemikiran hukum keluarga Islam terus mengalami perkembangan yang luar biasa khususnya di Indonesia.Maksud dari pendekatan ulam moderat sendiri tidak mengandung kata peleburan antara kezaliman dan keadalilan, penggabungan antara mafsadar dan maslahat, haram halal apalagi melebur yang batil dan hak.

(21)

Daftar Pustaka

Al Amin, Habibi. "Guardians Concept in Qur'an Perspective." Shakhsiyah Burhaniyah:

Jurnal Penelitian Hukum Islam 6.1 (2021): 95-114.

Fuad, Mahsun, Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKIS, 2005).

Hasbi Ash-Shiddieqy, Muhammad, Teungku, Hukum Antar Golongan Dalam Fiqih Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1971).

Hasbi Ash-Shiddieqy, T.M., Fiqh Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat, dan Tuntas, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).

Hasbi Ash-Shiddieqy, Muhammad, Teungku, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jilid I (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2000),

Hasbi, T.M., Pengantar Ilmu Fiqh, Cet. 8, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993).

Hasbi, T.M., Fakta Keagungan Syari‟at Islam, Cet. 2, (Jakarta: Tinta Mas, 982),

Ikhsan, Muhammad, "KH. Sahal Mahfud: Ikhwal Dakwah Kita yang Masih Ngawur," Media Dakwah No. 7 Juli 1991).

Kemal Riza, Achmad, “Contemporary Fatwa of Nahdlatul Ulama”, Journal of Indonesian Islam, vol. 5, no. 1 (2011)

Ma’arif, Toha, Fiqih Indonesia Menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin Dan Munawir Syadzali, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Vol. 8, No. 2, Agustus 2015.

Mahfud, Sahal, Al-Bayan al-Mulamma' 'an Alfaz al-Luma' (Semarang: Toha Putra, t.t.), hal.

3. Lihat juga Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat: Kyai Pesantren Kyai Langgar di Java (Yogyakarta: LKIS, 1999).

Moqhsit Ghazali, Abdul, dkk, Modeatisme Fatwa: Diskursus, Teori dan Praktik,(Jakarta:

International Center for Islam and Pluralism (ICIP), 2018.

Nayif al-Sayahud, Āibn, Al-Khulashah fī Fiqh al-Aqaliiyat (al-Maktabah al-Shamīah) juz I.

Rahmawati, Istinbath Hukum Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, (Yogyakarta : Deepublish , 2015).

(22)

Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, II (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).

Shiddieqi, Nourouzzaman, ―T.M. Hasbi Ash-Shaddieqy‖, dalam Damami dkk. (ed). Lima Tokoh Pengembangan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (Yogyakarta: Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga, 1998).

Suminto, Aqil, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3S, 1985).

Saifudin Anshari, Endang, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Bandung: Pustaka ITB, 1981).

S. Praja, Juhaya¸ Hukum Islam, Pemikiran dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994).

Suhirman, Gatot, Fiqh Madzhab Indonesia (Konsep dan Aplikasi Pemikiran Hasbi as-Siddiqi untuk Konteks Islam Rahmat lil-Indonesia), Al-Mawarid, Vol. XI, No. 1, Agustus 2010.

Sanusi, Mengenang Perjuangan Syekh KH. Ahmad Mutamakkin dari Masa ke Masa (Pati:

Himpunan Siswa Muthali'ul Falah, 1413 H), hal. 27. Baca Juga Mujamil Qomar, NU Liberal (Bandung: Mizan, 2002).

Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, cet. 9, 2001).

Wahid, Abdurrahman, et. al., Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1990).

https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/hukum-nikah-beda-agama-AJkWC.

Referensi

Dokumen terkait

Hasbi Ash-Shiddieqy mengenai hadis pada buku Koleksi Hadits-Hadits Hukum , jilid satu pembahasan ( rah ) ialah, Hasbi selalu memakai hadis sahih minimal derajat

Hasbi Ash Shiddieqy adalah bukan hukum yang berlaku lagi bagi pezina dalam Islam, sebab tidak ada ayat yang menerangkan hukum rajam bagi pelaku zina, hukum

Oleh karena itu, sewajarnyalah gono-gini di Jawa dan harta siheurekat di Aceh misalnya, ditampung oleh hukum yang diijtihadkan oleh ulama Indonesia dan untuk Indonesia

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) Hasbi adalah seorang otodidak. Selain faktor bawaan dari leluhur dan orang tuanya yang membentuk diri Hasbi, juga faktor

Terakhir, argumentasi yang dapat dikemukakan untuk mendukung konsistensi Hasbi sebagai sosok pembaharu pemikiran hukum Islam di Indonesia adalah tawarannya untuk memahami nas

Dengan melihat realitas diatas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqi sebagai seorang mufassir Indonesia terhadap ayat-ayat hukum

Ada 3 (tiga) corak dan trend pemikiran Kalam dan fikih atau juga biasa disebut pemikiran Islam kontemporer yang tersebar luas di komunitas Muslim di manapun

Lokasi Distribusi zakat pertanian di Desa Teratak Kecamatan Batukliang Utara Kabupaten Lombok Tengah pandangan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy Seperti yang sudah dijelaskan pada