• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMIKIRAN ISLAM ASPEK PERADABAN ISLAM (KLASIK DAN MODERN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PEMIKIRAN ISLAM ASPEK PERADABAN ISLAM (KLASIK DAN MODERN)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

(KLASIK DAN MODERN)

Rima Oktaviani Fanidia, S.H rimafanidia@gmail.com Dr.Ismail,M.Ag Dan Dr.Alimni, M.Pd.I

Prodi Hukum Tata Negara (Siyasah) Uin Fatmawati Sukarno Bengkulu

Abstract: The aim of this research is to find out Islamic Thought, Aspects of Islamic Civilization (Classical and Modern). The research is library research using qualitative descriptive analysis methods. The development of Islamic thought and civilization from classical, medieval and modern times was supported by several factors, including; the existence of an open, tolerant and accommodating attitude among Muslims towards the hegemony of advanced foreign thought and civilization, the love of Muslims for science, the birth of an academic culture at all levels of society, the number of Muslim scholars who take part in government and social institutions, the development of religious beliefs It was Muktazilah who prioritized reason and freedom of thought, the increasing prosperity of Islamic countries making it easier to fund intellectual movements, the problems faced by Muslims from time to time became more complex and developed so that they required the study of science in various fields, because a thought would develop if it existed. New problems arise and require solutions.

Keywords: Islamic thought, Civilization, Classical-Modern.

Abstrak: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Pemikiran Islam Aspek Peradaban Islam (Klasik Dan Modern) Penelitian merupakan penelitian kepustakaan dengan menggunakan metode analisis diskriftif kualitatif. Perkembangan pemikiran dan peradaban Islam dari zaman klasik, pertengahan dan modern karena didukung oleh beberapa faktor, di antaranya adalah;

adanya sikap terbuka, toleran dan akomodatif kaum muslimin terhadap hegemoni pemikiran dan peradaban asing yang su- dah maju, adanya rasa cinta umat Islam kepada ilmu pengetahuan, lahirnya budaya akademik di seluruh lapisan masyarakat, banyaknya cendikiawan muslim yang berkiprah dalam pemerintahan dan lembaga sosial kemasyarakatan, berkembangnya aliran Muktazilah yang mengedepankan rasio dan kebebasan berpikir, meningkatnya kemakmuran negeri-negeri Islam seh- ingga memudahkan pendanaan gerakan intelektual, permasalahan yang dihadapi umat Islam dari masa-ke masa semakin kompleks dan berkembang sehingga memerlukan pengkajian ilmu pengetahuan di berbagai bidang, sebab suatu pemikiran akan berkembang jika ada permasalahan baru yang muncul dan memerlukan solusi.

Kata Kunci: pemikiran Islam, Peradaban, Klasik-Modern.

Pendahuluan

Pemikiran Islam muncul sebagai respon Islam terh- adap realitas sosial, dan karena itu diakui sebagai pe- mikiran yang permanen.. Dengan banyaknya pemikir muslim yang berjumlah orang menyebabkan muncul- nya berbagai jenis permasalahan yang dihadapi, orang dan tentunya pemikir yang jumlahnya juga banyak.

Oleh karena itu, keberagaman pemikiran Islam juga harus diperhatikan karena merupakan kekayaan penting bagi kemaslahatan ummat. Perkembangan

pemikiran dalam Islam sebagai upaya pemutakhiran ajaran tauhid untuk menjawab tantangan zaman dan berbagai macam permasalahan yang muncul dalam masyarakat saat ini. Ilmu pengetahuan dan teknologi, yang sejauh ini merupakan kunci paling mendasar bagi kemajuan umat manusia, tentu saja tidak mung- kin lahir tanpa wacana ilmiah yang dinamis.

Proses pembentukan pemikiran itu diawali den- gan peritiwa-peristiwa, misalnya ada persentuhan pendapat, agama, kebudayaan atau peradaban antara satu dengan lainnya. Persentuhan tersebut terkadang menimbulkan bentrokan atau akulturasi bahkan tidak jarang terjadi asimulasi. Proses perkem- bangan pemikiran muslim, terdapat dalam tiga fase dan erat kaitannya dengan sejarah Islam. Pertama,

1Rahmawati, Perkembangan Pemikiran Dan Peradaban Islam, Jurnal Rihlah Vol. V No. 2/2016, h. 56.

2Muzani, Saiful (ed), 1995, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Prof.

Dr. Harun Nasution, cet. III, Bandung: Mizan, h. 7

3Karim, M.Abdul, 2009, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, ceta- kan II, Sleman Yogyakarta: Penerbit Pustaka Book Publisher.

(2)

akibat adanya perubahan masyarakat dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, dari pandan- gan cakrawala berpikir yang regional menjadi yang lebih luas lagi. Kehidupan pribadi makin lama makin kompleks, menimbulkan masalah-masalah baru yang memerlukan pemecahan. Ketiga faktor di atas memberikan pengaruh kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan pemikiran dalam Islam, di samping tentu saja banyaknya sugesti berupa ayat-ayat yang menganjurkan tentang pengembangan kemampuan berpikir. Ada banyak ayat dalam Alquran yang baik secara langsung maupun tidak mendesak manusia un- tuk berpikir, merenung atau bernalar.

Ada yang terungkap melalui idiom yatafakkarun yang berarti mereka berpikir sebanyak 12 ayat, tafak- karun yang berarti kalian berpikir sebanyak 4 ayat, ya’qiiun yang berarti mereka menggunakan akal se- banyak 22 ayat, ta’qilun yang berarti kalian menggu- nakan akal sebanyak 24 ayat, na’qilu yang berarti kami menggunakan akal sejumlah satu ayat, ya’qilu yang berarti dia menggunakan akal sejumlah 1 ayat, yatad- abbarun yang berarti mereka merenung sebanyak 2 ayat, yanzhurun yang berarti mereka bernalar seban- yak 27 ayat, tanzhurun yang berarti kalian bernalar sebanyak 3 ayat dan lain sebagainya. Selain perintah untuk menggunakan akal untuk berpikir, merenung, dan sejenisnya, Alquran juga menggunakan kata ‘ilm dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali.

Antara lain sebagai proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Di dalam Alquran juga ter- dapat lebih dari 750 ayat yang menunjukkan kepada fenomena alam, dan manusia diminta untuk dapat memikirkannya agar dapat mengenal Tuhan lewat tanda-tanda kekuasaan-Nya.

Lebih lanjut, Ibnu Khaldun mencatat bahwa kunci dari maraknya peradaban Islam adalah tradisi kebe- basan berpikir dan independensi ulama dari ranah politik. Ulama, menurutnya, adalah sosok yang mam- pu melakukan analisis dan menangkap makna-makna akibat adanya pergolakan politik pada masa kekhali-

fahan Ali, menimbulkan perang Shiffin (antara Ali dan Muawiyah) dan perang Jamal (antara Ali dan Aisyah).

Adanya kasus perang ini menjadi faktor utama mun- culnya golongan Khawarji.

Pergolakan politik itu diruncingkan oleh adanya pendapat Khawarij, bahwa orang-orang yang terli- bat dalam perang Shiffin dan Jamal adalah berdosa besar dan kafir. Menetapkan Ali sebagai kafir sangat ditentang oleh sekelompok muslim yang selanjutnya disebut Syi’ah, sehingga terjadilah pertentangan he- bat antara sesama muslim. Dalam setiapkemelut yang tidak menyenangkan itu, muncul sekelompok muslim yang berusaha menjauhkan diri dan tidak ingin meli- batkan diri dengan selisih pendapat tersebut, bahkan ada pula sekelompok muslim yang tidak ingin meny- alahkan orang lain atau kelompok lainnya; namun dalam pada itu sempat ula meeka mengeluarkan fak- tanya bahwa segala hukum perbuatan manusia yang belum jelas nashnya, ditangguhkan hukumnya sam- pai diakhirat kelak. Mereka itu kelompok Murji’ah.

Kedua, akibat ekspansi Islam ke Barat sampai ke Spanyol dan Perancis, ke Selatan sampai ke Sudan, Ethiopia dan seterusnya, ke Timur sampai India dan seterusnya. Dan ke Utara sampai ke Rusia. Ekspansi yang dilakukan oleh Islam, ternyata tidak hanya ber- dampak pada penyebaran ajaran saja, tetapi juga se- makin memperkaya khazanah kebudayaan Islam. Hal ini dikarenakan akulturasi budaya Arab-Islam dengan budaya-budaya lokal daerah yang ditaklukkan. Salah satu budaya tau tradisi yang pada akhirnya banyak terserap dan teradopsi oleh Islam adalah tradisi Yu- nani dan Hellenistiknya yang bersifat spekulatif.

Perembesan budaya ini disamping karena interaksi kaum muslimin dengan orang-orang yang mempela- jari tradisi spekulatif Yunani, juga karena penerjemah- an secara besar-besaran khazanah intelektual Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Abbasiyyah. Ketiga,

4Velayati, Ali Akbar, 2010, Ensiklopedia Islam & Iran, Jakarta: Mizan., h. 69

5Karim, M.Abdul, 2009, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, ceta- kan II, Sleman Yogyakarta: Penerbit Pustaka Book Publisher, h. 126

6Asari Hasan, Sejarah Islam Modern (Agama dalam Negosiasi Historis Sejarah Sejak Abad XIX),Medan: Perdana Publishing, 2019, h. 2

7Sejarah pemikiran islam, https://etheses.uinsgd.ac.id/43632/4/4_bab1.

pdf, (diakses 25 Oktober 2023)

8Ali, Fachri, Bahtiar Effendi. Merambah Jalan Baru Islam (Rekontruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru), Bandung; Mizan, 1992, h. 62-63

9Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta 1975.

10Ali, Fachri, Bahtiar Effendi. Merambah Jalan Baru Islam (Rekontruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru), Bandung; Mizan, 1992.h. 64

(3)

yang tersirat, baik dalam ranah sosial maupunteks kea- gamaan. Konsentrasi para ulama dalam ranah penge- tahuan keagamaan, dalam sejarah peradaban Islam, telah membuktikan lahirnya peradaban yang sangat adiluhung serta membawa pada pencerahan yang dapat dirasakan masyarakat di seantero dunia. Buah dari itu semua, pemikiran Islam telah menjadi gerbang pencerahan bagi Eropa dan Barat. Karena itu, perlu kita menghidupkan kembali tradisi intelektual yang bebas, dialogis, inovatif, kreatif. Ibnu Rushd dalam Fashl al- Maqal bi ma bayn al-Hikmah wa alSyari’ah min al-Ittishal (1982), mempunyai pesan menarik, bahwa hikmah, penalaran, dan filsafat adalah sahabat agama (syariat), dan saudara sesusuan. Agama dan kebebasan berpikir merupakan dua mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan Alquran dalam puluhan ayatnya menyebutkan pentingnya berpikir.

Hasil dan Pembahasan

A. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pemikiran dan Peradaban Islam

Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, pada mulanya tumbuh dan berkembang pemikiran rasional, namun kemudian berkembang pula pola pemikiran tradisional, yaitu pola pemahaman yang mengandalkan pemahaman para ulama masa lalu untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang dihadapi pada masanya. Pola pemikiran rasional berkembang pada zaman klasik Islam, terutama pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Sedangkan pola pemikiran tradisional berkembang pada zaman pertengahan Islam, yaitu setelah habisnya masa Di- nasti Abbasiyah hingga abad 18 M. Pola pemikiran rasional berkembang dipengaruhi oleh persepsi ten- tang tingginya kedudukan akal manusia di kalangan umat Islam pada saat itu. Persepsi ini sejalan dengan persepsi yang sama dalam peradaban Yunani yang ada di daerah-daerah Islam zaman klasik. Daerah- daerah tersebut antara lain kota Aleksandria di Mesir, Yundisyapur di Irak, Anthakia di Syiria dan Bactra di Persia. Di kota-kota tersebut memang telah berkem- bang pola pemikiran rasional dari peradaban Yunani.

Menurut Muhammad al-Bahi, seorang pemikir Is- lam dari Mesir, bahwa aktifitas pemikiran ini belum

kelihatan dalam sejarah permulaan Islam pada za- man Rasulullah Saw dan Khulfa’ al-Rasyidin, kerana pada saat itu umat Islam memfokuskan perhatian- nya untuk berdakwah menyeru penduduk Makkah dan sekitarnya agar menganut Islam, menyemaikan akidah, menanamkan unsur-unsur iman dan akhlak yang mulia di kalangan mereka berdasarkan bimb- ingan dan petunjuk langsung dari Rasulullah Saw.

Pada zaman Rasulullah Saw masih hidup dan wahyu masih diturunkan, umat Islam mengembalikan semua persoalan kepada wahyu dan mendapatkan penjele- san langsung dari Rasulullah Saw. Karenanya umat Islam belum memerlukan ijtihad pemikiran dari mer- eka sendiri, terlebih lagi dalam masalah akidah dan persoalanpersoalan agama lainnya. Ditambah lagi Rasulullah Saw melarang semua perbedaan dalam persoalan akidah dan tidak membiasakan perdebatan di kalangan orang-orang Islam.

Setelah Rasulullah Saw wafat, memang ada sedikit kekacauan pada awalnya tetapi dapat diselesaikan dengan baik oleh Abu Bakar setelah ia dilantik men- jadi khalifah. Pada era dua khalifah pertama, Abu Ba- kar Shiddiq dan Umar bin Khaththab, tidak banyak masalah. Namun pada masa khalifah ketiga, Usman bin Affan mulai timbul bibit-bibit pertikaian dalam bidang politik yang kemudian menjalar pada isu-isu akidah. Setelah Usman wafat dan Ali bin Abi Thalib dilantik sebagai khalifah, keadaan menjadi semakin serius dan bahkan terjadi perang saudara antara sesa- ma muslim, seperti terjadinya perang Jamal antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Zubair, Thalhah dan Aisyah dari Mekkah serta perang Shif- fin antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Muawiyah bin Abi Shufyan dari Damaskus. Ini titik awal berkembangnya perbedaan pandangan khilafi- yah dan politik lalu membawa kepada munculnya aliran akidah. Sejarah mencatat bahawa keadaan sep- erti ini terjadi pada paruh akhir abad pertama Hijrah atau abad ketujuh Masehi.

Dari masa inilah dimulainya perkembangan pe- mikiran Islam secara drastis yang hampir merambah dalam semua bidang. Kondisi ini berlangsung pada masa Dinasti Umayyah dan mencapai kemajuannya pada masa Dinasti Abbasiyyah. Aktifitas pemikiran

(4)

Islam pada masa Dinasti Abbasiyah mencapai kema- juan peradaban pada masa tujuh khalifah, yaitu al- Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775-786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Makmun (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan alMutawakkil (847-861 M). Popularitas dinasti ini mencapai puncaknya pada zaman Khalifah Harun al- Rasyid dan puteranya al-Makmun. Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk mem- biayai gerakan intelektual, berupa penerjemahan, penelitian, penulisan, pendirian lembaga pendidikan dan perpustakaan. Selain itu, kekayaan negara juga digunakan untuk keperluan sosial, seperti mendirikan rumah sakit, membangun tempat pemandian umum, lembaga pendidikan dokter dan farmasi. Pada masan- ya sudah terdapat sekitar 800 orang dokter. Kesejahter- aan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesusasteraan dan kebudayaan berada pada zaman keemasan. Pada masa ini negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat di dunia

Al-Makmun, pengganti Harun al-Rasyid, adalah khalifah yang sangat mencintai ilmu filsafat. Pada masanya, gerakan intelektual berkembang pesat, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji para penerjemah dari penganut agama lain yang ahli. Dia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya adalah pembangunan Bait al-Hikmah atau alMaktabah al-Shultaniyah , (Ahmad Syafii Maarif, dalam M.Abdul Karim, 2009: 8) pusat penerjema- han yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Bait al- Hikmah ini meru- pakan salah satu warisan bangsa Persia yang tetap dipelihara. Selama pemerintahan Dinasti Sasaniyah (Kerajaan Persia), Bait al-Hikmah dipandang sebagai arsip negara. Pada masa al-Makmun, Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan .

Menurut M.Abdul Karim, kemajuan peradaban dan kultur pada masa Dinasti Abbasiyah bukan han- ya identik dengan masa keemasan Islam, namun juga merupakan masa kegemilangan kemajuan peradaban dunia. Salah satu indikator kemajuan peradaban ada- lah adanya capaian tingkat ilmu pengetahuan yang sangat tinggi. Di antara pusat-pusat ilmu pengetahuan

dan filsafat yang terkenal adalah Damaskus, Alexan- dria, Qayrawan, Fustat, Kairo, alMada’in, Jundeshah- pur dan lainnya. Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa puncak gerakan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Abbasiyah. Namun tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Abbasi- yah sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai se- jak awal berdirinya Islam. Misalnya, perkembangan lembaga pendidikan pada awal Islam terdiri dari dua tingkat: Tingkat pertama, yaitu maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar baca, tulis dan hi- tung, dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa. Tingkat kedua, yaitu pendalaman, di mana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi ke luar daerah menuntut ilmu kepada para ahli dalam bidangnya masing-masing, umumnya ilmu agama .

Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan atau di istana bagi anak-anak penguasa dengan memanggil ulama ahlinya ke istana. Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Per- pustakaan juga berfungsi sebagai universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Perkemban- gan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.

Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa Khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini banyak diterje- mahkan karya dalam bidang astronomi dan manthiq.

Fase kedua, pada masa Khalifah al-Makmun hingga tahun 300 H. Penerjemahannya lebih banyak dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga, berlang- sung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterje- mahkan semakin meluas. Setelah meredupnya gera- kan pemikiran Islam pada abad pertengahan, gerakan

(5)

tersebut muncul kembali setelah terjadinya kebangki- tan umat Islam di bidang pemikiran dan gerakan pem- bebasan umat Islam dari penjajahan kolonial Barat pada awal abad modern.

B. Pemikiran Islam Aspek Peradaban Islam (Klasik Dan Modern)

1. Pemikiran Islam Periode Klasik

Sejarah Islam periode klasik membentang enam setengah abad, yakni dari tahun 600 M hingga tahun 1258 M dalam penanggalan Masehi. Dalam rentang waktu ini, wahyu Islam diterima oleh Nabi Muhammad saw. dan kemudian menjadi fondasi bagi perkemban- gan masyarakat dan peradaban Islam ke abad-abad berikutnya. Dalam periode klasik ini umat Islam ber- hasil membangun satu sistem politik yang sangat maju dan kuat. Begitu pula, umat Islam berhasil memban- gun satu aktivitas keilmuan yang mengagumkan, dan terbaik di zamannya. Dengan sistem politik yang ma- pan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, umat menjadi penguasa ekonomi dunia. Sejarah Islam bermula dengan peristiwa turunnya wahyu Alquran dari Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. pada 611 Masehi. Ayat-ayat Alquran turun secara berang- sur dalam waktu lebih dari dua dekade: sebagiannya di Makkah yang lainnya di Madinah. Praktis, Nabi Mu- hammad saw. tidak pernah berhenti menerima wahyu dari Allah swt. selama karirnya: mulai dari berusia 40 tahun hingga wafatnya di usia 63 tahun. Muhammad saw. berusaha sangat keras memperkenalkan Islam kepada penduduk kota Makkah dan mengajak mer- eka mengimani agama baru tersebut. Satu dekade permulaan dakwahnya merupakan tahun-tahun yang sangat sulit; sedemikian sulit sehingga memaksanya untuk hijrah ke utara menuju kota Madinah (semula bernama Yatsrib) .

Hijrah ke Madinah ini (622 M) menjadi titik balik bagi usaha dakwah Nabi Muhammad saw. Madinah ternyata lebih terbuka menyambut dakwahnya; dan sejak itu episode keberhasilan agama Islam dimu- lai. Beberapa tahun setelah di Madinah, mayoritas masyarakat sekitarnya telah menerima Islam dan meninggalkan agama keberhalaan mereka yang lama.

Pada tahun 629 M Makkah, kota yang tadinya me- musuhi dan mengusirnya berhasil dia taklukkan; dan penduduknya menyatakan keislaman mereka. Maka ketika Nabi Muhammad saw. wafat pada 632 M dapat dikatakan bahwa hampir seluruh jazirah Arabia telah memeluk agama Islam. Islamisasi yang dilakukan pada masa Nabi Muhammad saw. dilanjutkan oleh para sahabat dan pengikutnya. Di penghujung hidup- nya, sudah ada rencana perluasan pengaruh Islam ke Syria di utara. Hal ini kemudian dilaksanakan secara antusias di masa kepemimpinan Abû Bakr al-Shiddîq (632-634 M) dan ‘Umar ibn al-Khaththâb (634-644 M). Pada masa ‘Umar pengaruh Islam meluas ke arah barat—yakni Yordania dan Palestina—dan kemudian berlanjut ke Mesir. Di bawah kepemimpina ‘Utsmân ibn ‘Affân (644-656 M) pengaruh Islam mengarah ke timur mencakup wilayah Persia, bahkan mencapai perbatasan Afghanistan dan Cina.

Arus perluasan pengaruh agama Islam mengalami perlambatan pada masa kepemimpinan ‘Alî ibn Abî Thâlib (656-661 M) yang memang tidak terlalu stabil.

Demikian juga semasa kekuasaan Dinasti Umayyah (661- 750 M) yang harus menghabiskan energi untuk konsolidasi dan stabilisasi kekuasaannya. Akan tetapi, perluasan pengaruh agama Islam dan kepenganutan- nya kembali mengalami akselerasi yang sangat tinggi pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyyah (750-1258 M). Dinasti Abbasiyyah memang hanya solid pada sekitar setengah dari masa kekuasaannya. Akan tetapi perluasan pengaruh Islam sama sekali tidak diperlam- bat oleh kurang solidnya Abbasiyyah, sejak pertenga- han abad ke-10. Dinastidinasti yang lebih kecil—yang secara normatif mengakui supremasi Abbasiyyah di bidang agama—melakukan tugas perluasan Islam se- cara baik ke seluruh penjuru alam. Dalam kenyataan- nya, dinastidinasti kecil tersebut meluaskan pengaruh Islam ke sudut-sudut dunia yang hampir mustahil di- jangkau secara langsung dari Baghdad.2 Tidak ada statistik yang memadai tentang jumlah umat Islam pada masa puncak kejayaan ini. Namun demikian, diketahui bahwa pada tahun 629 M, dalam peristiwa Fath Makkah, jumlah pasukan umat Islam mencapai 10.000 orang. Lalu diketahui juga bahwa pada tahun 631 Nabi Muhammad saw. melaksanakan haji dari

(6)

Madinah menuju Makkah dengan jumlah rombongan sebesar lebih dari 100.000 orang.

Dari sudut ajaran, Islam berakar pada wahyu Alquran yang kemudian dioperasionalkan dalam Hadis Nabi Muhammad saw. Alquran sendiri mulai dituliskan sejak awal turunnya, yakni ketika Nabi Mu- hammad saw. masih hidup. Akan tetapi kodifikasi dan pembakuannya barulah selesai dilaksanakan pada masa kepemimpinan ‘Utsmân ibn ‘Affân. Itu sebab- nya Alquran yang populer di kalangan umat Islam hingga saat ini disebut sebagai Mushhaf ‘Utsmân.

Adapun Hadis Nabawi baru mengalami proses au- tentifikasi dan sistematisasi pada abad ke-9 di tangan para peneliti semacam Imam Muhammad ibn Ismâ‘îl al-Bukhârî (870 M) dan Imam Abû al-Husayn Muslim al-Hajjâj (875 M), meskipun upaya-upaya awal su- dah ada sebelum mereka. Intinya, sejak masa yang paling awal, agama Islam telah mempunyai sumber dasar yang terstandarisasi, yakni Alquran dan Hadis Nabawi.

Betapapun juga, persentuhan Islam dengan ber- bagai bangsa, budaya, dan keadaan mau tidak mau mengharuskan adanya penafsiran lebih lanjut terh- adap ajaranajaran pokok yang ada dalam Alquran dan Hadis Nabawi. Maka seiring waktu, sejarah me- nyaksikan tumbuhnya berbagai perspektif dan aliran pemikiran tentang aneka aspek ajaran Islam. Ada sejumlah aliran pemikiran dalam ilmu Kalam, Fikih, Tasawuf, Politik, Akhlak, dan sebagainya. Tersedianya Alquran dan Hadis Nabawi yang sudah terstandari- sasi menjadi simpul pengikat dari berbagai tafsiran dan pemikiran yang ada. Aplikasi Islam dalam ber- bagai konteks sosiologis dan zaman juga melahirkan berbagai pranata keagamaan.

Pelaksanaan ibadah haji pada setiap bulan Zulhi- jah adalah contoh peristiwa keagamaan yang paling massif dan kolosal dalam Islam. Dari sebuah kegiatan yang melibatkan puluhan orang pada masa awal, haji terus berkembang mengikuti arus islamisasi. Prosesi persiapannya pun menjadi semakin rumit dan pan- jang seiring semakin luasnya geografi yang menjadi rumah umat Islam. Pada tahun 631 M Nabi Muham- mad saw. melaksanakan ibadah haji bersama rom- bongan yang berjumlah 114000 orang. Ada pula

yang meriwayatkan bahwa jumlah jamaah adalah 144000 orang. Haji ini kemudian terkenal sebagai Haji Wadâ‘, atau Haji Perpisahan, yakni yang terakhir sebelum Nabi Muhammad saw. wafat. Dengan latar belakang padang pasir yang membentang antara Ma- dinah dan Makkah, rombongan haji ini pastilah ter- lihat besar. Dapatlah dibayangkan betapa besar dan kompleksnya prosesi rombongan haji beberapa abad sesudahnya. Pada abad ke-11 M, jumlah jamaah haji pastilah telah mencapai ratusan ribu dan melibatkan jamaah yang berasal dari seluruh penjuru mata angin:

Persia dan India di timur; Yordania, Palestina, Afrika Utara di barat; Yaman dan Mesir di selatan; Syria dan Anatolia di utara.

Sejarah intelektual Islam klasik dilandasi oleh terse- dianya semangat ilmiah dalam Alquran dan Hadis Nabawi. Orang hanya perlu mengingat bahwa ayat Alquran yang pertama diterima oleh Nabi Muham- mad saw. mengandung perintah untuk membaca:

Iqra’. Dari perspektif historis posisi pertama ini jelas sangat signifikan. Lalu di berbagai bagian dari kitab suci Alquran dengan mudah ditemukan perintah un- tuk mengoptimalkan penggunaan akal-budi manusia untuk memikirkan, merenungkan, mengamati, atau meneliti segala sesuatu yang ada di alam. Kehidupan Nabi Muhammad saw. pun dengan tegas menunjuk- kan betapa besar apresiasinya terhadap aktivitas keil- muan. Jadi, kedua sumber utama ajaran Islam secara terpadu memberi fondasi yang sangat kokoh bagi pengembangan aktivitas intelektual oleh umat Islam.

Sejarah intelektual umat Islam diawali dengan pemeliharaan yang cermat terhadap setiap penggal ayat Alquran yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Sejak awal, pemeliharaan ini telah melibatkan dua modus sekaligus: penghafalan dan penulisan.

Maka sejak periode paling awal di sekeliling Alquran tumbuh komunitas huffâzh dan juga kelompok para penulis. Kemudian, pemeliharaan ini meningkat menjadi pembakuan dan pembukuan Alquran pada masa kekuasaan khalifah ‘Utsmân ibn ‘Affân. Hal yang sama juga dilakukan terhadap Hadis Nabawi, meskipun pada waktu yang sedikit agak belakangan.

Lalu di seputar dua sumber utama tersebut (Alquran dan Hadis) muncullah pengkajian akademik yang

(7)

kemudian menumbuhkan rumpun Ilmu-ilmu Alquran (‘Ulûm alQur’ân) dan rumpun Ilmu-ilmu Hadis (‘Ulûm alHadîts).

Perkembangan masyarakat Islam yang sangat pesat pada masa klasik mengharuskan tersedianya penaf- siran dan perumusan ajaran Islam dalam berbagai konteks dan kondisi sosiologis yang sangat dinamis.

Hal ini kemudian menumbuhkan berbagai cabang ilmu pengetahuan keagamaan, yang oleh Imam Abû Hâmid al-Ghazâlî disebut sebagai kelompok Ilmu-ilmu Keagamaan (al-‘Ulûm al-Syar‘iyyah). Kelompok ilmu keagamaan ini mencakup, misalnya: Ulumul Qur’an, Ulumul Hadis, Kalam, Ushul Fikih, Fikih, Tasawuf, dan Akhlaq. Melalui aplikasi ilmu-ilmu keagamaan tersebut, umat Islam berhasil membangun penafsiran ajaran Islam yang dinamis dalam menyahuti perkem- bangan sejarah yang ada. Sejumlah nama besar in- telektual di bidang ini mewarnai sejarah intelektual Islam Klasik. Sekedar contoh dapat disebutkan: Ibn

‘Abbâs dan Ibn Jarîr alThabarî (‘Ulûm al-Qur’ân);

Muhammad ibn Isma‘îl al-Bukhârî dan Muslim al- Hajjâj (‘Ulûm al-Hadîts); Abû al-Hasan al-Asy‘arî dan Muhammad ibn al-Thayyib al-Baqillâni (Kalam); Abû Hanîfah dan Muhammad ibn Idris al-Syâfi‘î (Ushûl al- Fiqh, Fiqh); Abû al-Qâsim al-Qusyayrî dan Abû Hâmid al-Ghazâlî (Tasawuf); atau Ibn Miskawayh (Akhlâq) .

2. Pemikiran Islam Periode Klasik

Sejak awal abad ke-19 M, salah satu tema yang paling banyak menyita perhatian dalam kajian keis- laman adalah hubungan antara Islam dan moderni- tas. Populernya tema ini ditunjukkan oleh banyaknya literatur yang ditulis tentangnya oleh penulis Muslim maupun penulis bukan Muslim. Tema modernisasi Is- lam ini menjadi objek kajian yang kontroversial meli- batkan kubu yang memandangnya sebagai keharusan di satu sisi dan kubu yang melihatnya sebagai sesuatu yang terlarang di sisi lain. Terlepas dari kontroversi yang sangat ramai pada tataran filosofisnya, tak ber- lebihan bila modernitas disebut sebagai faktor utama dinamika sejarah umat Islam sejak abad ke-19 M.

Pada bagian awal sudah disebutkan bahwa periode setelah abad ke19 M lumrah disebut sebagai periode modern dalam kajian sejarah Islam. Dalam konteks

ini kata ‘modern’ digunakan sebagai kata sifat yang menunjukkan satu rentangan waktu sebagai kelan- jutan dari periode klasik dan periode pertengahan.

Maka ketika disebutkan kata ‘Islam Modern’, yang di- maksudkan adalah fenomena historis Islam yang ter- jadi sejak tahun 1800 hingga saat ini. Sebuah periode sejarah tentu saja terbentuk karena adanya perubahan yang serius dan substantif. Para pengkaji sejarah Islam pada umumnya menyarankan tiga periode dimaksud sebagai mewakili masa kemajuan pesat (klasik), masa kemandekan (pertengahan), dan kebangkitan kembali (modern). Jika gerak dinamika naik-turunnya sejarah Islam digambarkan dengan sebuah kurva, maka peri- ode modern mewakili garis tanjakan yang kedua.

Zaman modern menjadi relevan bukan semata karena namanya yang menarik, tetapi karena kand- ungan substantifnya yang disebut modernitas. Dalam wacana pemikiran tentang modernitas ditemukan banyak sekali saran dan pendapat tentang nilai-nilai fundamental dari modernitas tersebut.

Dalam konteks sejarah Islam, modernitas jelas menjadi tujuan atau cita-cita utama dalam dua abad terakhir. Ini dikatakan dengan tetap mengingat adan- ya perbedaanperbedaan yang terkadang sangat tajam tentang apa yang dimaksud dengan modernitas terse- but. Rangkaian pengupayaan yang dilakukan untuk mencapai modernitas itu disebut sebagai modernisasi.

Modernisasi dapat diposisikan sebagai tema besar se- jarah Islam periode modern. Modernisasi merambah semua aspek kehidupan umat Islam tanpa kecuali.

Modernisasi berlangsung di semua wilayah Dunia Is- lam, meskipun dengan intensitas dan tingkat kema- juan yang saling berbeda.

Ringkas kata, sejarah Islam periode modern adalah sebuah episode sejarah di mana mimpi-mimpi mo- dernitas diupayakan secara kolosal oleh umat Islam, dengan harapan mampu merengkuh nilai-nilai mo- dernitas, sehingga benar-benar menjadi masyarakat Islam yang modern. Ini adalah sebuah episode yang penuh dengan dinamika menarik, mulai dari tataran perumusan pemikirannya, pilihan-pilihan aksi pen- gupayaannya, prosesproses negosiasi sosiologisnya, hingga variasi tingkat keberhasilannya.

Pada abad yang sama yaitu abad ke 20 M, gera-

(8)

kan pemabaru Islam (modernisme) muncul pada situasi perkembangan global Islam yang tidak me- nyenangkan, di mana umat islam tenggelam dalam kemujudan (kemandegan berfikir), terprosok dalam kehidupan mistikisme berlebihan dan, lebih dari itu, dijajah oleh kekuasaan kolonialisme Barat. Situai ini kemudian mengilhami munculnya gerakan reformis Islam internasional yang pada gilirannya kemudian, melalui kontakkontak intelektual, mempengaruhi se- bagian masyarakat Islam Indonesia untuk melakukan pembaruan adalah pemikiran Islam. Untuk itu, lang- kah awal yang ditempuh adalah berusaha menghil- angkan pikiran-pikiran tradisional yang tidak mendu- kung upaya umat Islam dalam melepaskan diri dari kebodohan, kemiskinan dan penjajahan .

Pada mulanya, gerakan pembaruan, yang dilaku- kan oleh kelompok Muslim modernis di Indonesia, timbul akibat pengaruh gerakan pemurnian Muham- mad ibn Abduh al-Wahab (1703-1778 M) di Jazirah Arab ; perjuangan politik pn-Islamisme Jamaludin Al- Afghani (1839-1897 M), yang merupakan perwuju- dan pembaruan pemikiran politik Islam, dalam usaha mempersatukan umat Islam di seluruh dunia, yang kemudian mendapatkan kerangka ideologis dan teol- ogis dari muridnya, yaitu Muhammad Abduh di Mesir (1845-1905 M); pembaruan pemikiran Rasyid Ridha, AlTantawi dan Amir Ali; pembaruan pemikiran Syekh Waliyullah Al-Dahlawi, Ahmad Khan, Abu Kalam Az- zad, Ali Jinnah di India dan lain sebagainya .

Semangat dan isi pembaruan umat Islam ini pada mulanya mendapatkan perhatian dari umat Islam di derah perkotaan. Secara geografis dan kultural, masyarakat kelas kota lebih cepat berhadapan den- gan pengaruh luar dari pada masyarakat desa. Den- gan mengikuti alam pembaruan yang sedang berkem- bang di awal abad ke 19 M, mereka menempatkan diri sebagai kelompok modernis Islam. Munculnya berbagai organisai yang dikelola oleh kelompok mod- ernis Islam, seperti Al-Irsyad, Jamiatul Khaer, Muham- mdiyah, Sarekat Dagang Islam (SDI) yang nantinya menjadi Serikat Islam (SI), dan berbagai lembaga pen- didikan modern lainnya, menunjukan betapa kuatnya pengaruh pembaruan atau modernisasi pemikiran Islam yang di pelopori oleh Al-Afghani dan sebagain-

ya. Pada kelompok modernis terdapat ciri kuat yang membedakan dirinya dengan kelompok tradisiona- lis yang berpusat di daerah pedesaan, yaitu adanya kepercayaan dan pensdirian bahwa pintu ijtihad tak pernah tertutup. Oleh karena itu, praktek taqlid harus dihilangkan; ajaran-ajaran Islam harus diterjemahkan secara rasional sehingga mampu membangun dan bersaing dengan peradaban modern .

Penutup

Perkembangan pemikiran dan peradaban Islam dari zaman klasik, pertengahan dan modern karena didukung oleh beberapa faktor, di antaranya adalah;

adanya sikap terbuka, toleran dan akomodatif kaum muslimin terhadap hegemoni pemikiran dan perada- ban asing yang sudah maju, adanya rasa cinta umat Islam kepada ilmu pengetahuan, lahirnya budaya akademik di seluruh lapisan masyarakat, banyaknya cendikiawan muslim yang berkiprah dalam pemerin- tahan dan lembaga sosial kemasyarakatan, berkem- bangnya aliran Muktazilah yang mengedepankan rasio dan kebebasan berpikir, meningkatnya kemak- muran negeri-negeri Islam sehingga memudahkan pendanaan gerakan intelektual, permasalahan yang dihadapi umat Islam dari masa-ke masa semakin kompleks dan berkembang sehingga memerlukan pengkajian ilmu pengetahuan di berbagai bidang, sebab suatu pemikiran akan berkembang jika ada permasalahan baru yang muncul dan memerlukan solusi.

Daftar Pustaka

Rahmawati, Perkembangan Pemikiran Dan Per- adaban Islam, Jurnal Rihlah Vol. V No. 2/2016.

Muzani, Saiful (ed), 1995, Islam Rasional, Ga- gasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, cet.

III, Bandung: Mizan.

Karim, M.Abdul, 2009, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cetakan II, Sleman Yogyakarta:

Penerbit Pustaka Book Publisher.

Velayati, Ali Akbar, 2010, Ensiklopedia Islam &

Iran, Jakarta: Mizan.

Karim, M.Abdul, 2009, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cetakan II, Sleman Yogyakarta:

(9)

Penerbit Pustaka Book Publisher.

Asari Hasan, Sejarah Islam Modern (Agama dalam Negosiasi Historis Sejarah Sejak Abad XIX),Medan:

Perdana Publishing, 2019.

Sejarah pemikiran islam, https://etheses.uin- sgd.ac.id/43632/4/4_bab1.pdf, (diakses 25 Oktober 2023).

Ali, Fachri, Bahtiar Effendi. Merambah Jalan Baru Islam (Rekontruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru),

Bandung; Mizan, 1992.

Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta 1975.

Ali, Fachri, Bahtiar Effendi. Merambah Jalan Baru Islam (Rekontruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru), Bandung; Mizan, 1992.

Referensi

Dokumen terkait

untuk ekonomi Islam, berawal dari pemikiran yang bersifat pioneer hingga berlanjut pada penerapan sistem sebagai bagian dari pengembangan ekonomi bagi sumbangan Islam untuk

Masa keemasan kota bagdad terjadi pada zaman pemerintahan khalifah Harun Al-Rasyid (786-809) dan anaknya Al-makmun (813-833 M). dari kota inilah memancar sinar kebudayaan dan

Zaman Klasik Baru (Pertengahan Abad ke-19 sampai Abad ke-20).. Pada zaman klasik baru perkembangan ekonomi politik masih didominasi pemikiran Mazhab Klasik. Namun muncul

Akan tetapi, dengan adanya pola berfikir yang telah digagas oleh Nurcholis Madjid banyak melahirkan pemikiran baru yang disesuaikan dengan perkembangan

Dalam perkembangan pemikiran modern di dunia Islam, salah satu tokoh yang pemikirannya terus menjadi perbincangan dan acuan dalam menyoroti Islam sebagai pandangan

Pemikiran teologi Islam mengalami perkembangan yang luar biasa, di awali dengan priode klasik-pertengahan, pemikiran teologi klasik menitik beratkan kepada objek kajian

Konsep keadilan pada jaman modern diwarnai dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran tentang kebebasan, antara lain munculnya aliran liberalisme yaitu suatu aliran yang

Modernisasi Perkembangan Peradaban Islam dalam Fase Kemunduran Ilmu di Dunia Islam Bagai roda berputar, kemajuan pesat yang dilakukan para cendikiawan muslim dan bahkan sempat