Pemilihan Baterai Kendaraan Listrik dengan Metoda Weighted Objective
I Made Indradjaja M. Brunner1*, Satria M. Brunner2
1Electrical Engineering Master Program, Institut Teknologi PLN, Jakarta
2Mechanical Engineering, University of Victoria, BC, Canada
*Koresponden email: [email protected]
Diterima: 26 November 2020 Disetujui: 23 Desember 2020
Abstract
Transportation is a sector that contributes significantly to CO2 gas emissions and has the potential to continue to increase along with the addition of fossil fuel vehicles. Indonesia has plans to switch to electric vehicles as an alternative to reduce greenhouse gas (GHG) emissions from the transportation sector. The battery is an important component of an electric vehicle, and there are several alternative technologies that can be used. This paper simulates the selection of a suitable battery from various type of batteries, including Lead-acid (PbA), Nickel Metal Hydride (NiMH) and Lithium-ion (Li-ion). The selection is made using the weighted objective method by presenting 5 criteria: energy density; emissions generated for battery production; energy factor of the manufacturing process; availability of critical ra w materials required for cathodes and anodes; and availability of recycling facilities. Supporting data to determine the magnitude of each criterion is obtained from literature reviews. The analysis and comparison was carried out by giving weight to the assessment based on the data obtained. The results of calculations carried out in the paper show that the Lead-acid battery is a viable option for use at current time.However, if Indonesia already has NiMH and Li-ion battery recycling facilities, or is capable of producing Lithium-ion batteries, then the criteria and calculation factors can be added and improved.
Keywords: electric vehicle, battery, Lead-acid, Nickel Metal Hydride, Lithium-ion, weighted objective method
Abstrak
Transportasi adalah sektor yang memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap emisi gas CO2 dan berpotensi akan terus meningkat seiring penambahan kendaraan berbahan bakar fosil. Indonesia memiliki rencana untuk beralih ke kendaraan listrik sebagai alternatif untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor transportasi. Baterai merupakan salah satu komponen penting dari kendaraan listrik, dan terdapat beberapa alternatif teknologi yang dapat dipakai. Makalah ini mensimulasikan pemilihan baterai yang layak digunakan dari pilihan baterai jenis Timbel-Asam (PbA), Nikel Logam Hidrida (NiMH) dan Lithium-ion (Li-ion). Pemilihan dilakukan dengan menggunakan metode weighted objective dengan menghadirkan 5 kriteria: kepadatan energi; emisi yang dihasilkan untuk produksi baterai; faktor energi proses manufakturing; ketersediaan bahan baku kritikal yang diperlukan untuk katoda dan anoda;
serta ketersediaan fasilitas daur ulang. Data pendukung untuk menentukan besaran dari masing-masing kriteria diperoleh dari kajian pustaka. Analisis dan perbandingan dilakukan dengan memberi bobot penilaian berdasarkan data-data yang ada. Hasil perhitungan yang dilakukan menunjukkan bahwa baterai Timbel-Asam adalah pilihan yang layak digunakan saat ini. Namun, bila Indonesia telah memiliki fasilitas daur-ulang baterai NiMH dan Li-ion, atau telah mampu memproduksi baterai Lithium-ion maka kriteria serta faktor perhitungan dapat ditambahkan dan perbaiki.
Kata Kunci: kendaraan listrik, baterai, Timbel-Asam, Nikel Logam Hidrida, Lithium-ion, metoda weighted objective
1. Pendahuluan
Sektor energi terbarukan di Indonesia relatif masih dalam tahap awal karena baru ramai dibicarakan dan dikembangkan. Salah satu sumber energi masa depan yang banyak dikembangkan adalah baterai. Perangkat ini merupakan bagian penting dari sumber energi tenaga surya dan angin. Kedua sumber tersebut banyak dikembangkan, namun memiliki kelemahan yaitu ketidakstabilan dalam generasi energi [1]. Baterai akan menyimpan saat tenaga listrik dihasilkan oleh sumber energi dan melepaskannya saat matahari tidak bersinar atau ketiadaan angin.
Baterai juga banyak dikembangkan dan digunakan sebagai sumber energi pada kendaraan listrik [2]. Kendaraan listrik ini menjadi salah satu alternatif dalam upaya mengurangi polusi yang dihasilkan kendaraan pembakaran internal. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, di Indonesia pada 2017 terdapat 138,5 juta kendaraan berbahan bakar fosil yang beroperasi di jalan-jalan [3]. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melaporkan bahwa diperkirakan terdapat 147.230 Gg CO2e dilepaskan ke atmosfer dari kendaraan-kendaraan tersebut [4, hal.39]. Transportasi dikatakan menempati urutan kedua tertinggi dalam menyumbang emisi gas rumah kaca di belakang industri energi [4, hal.39].
Pada tanggal 8 Agustus 2019, diterbitkan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan. Keputusan Presiden menekankan bahwa komponen kendaraan listrik yang akan datang harus diproduksi di Indonesia. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa setidaknya 60% dari komponen harus diproduksi secara lokal pada tahun 2025 [5]. Meskipun demikian, pengembangan teknologi baterai untuk kendaraan di Indonesia masih menghadapi beberapa kendala, baik dari sisi teknologi, investasi, serta kejelasan arah kebijakan [6]. Pada saat ini, Indonesia yang menjadi negara dengan nilai ekspor Nikel terbesar di dunia, sedang membangun pabrik baterai untuk kendaraan listrik [7]. Nikel merupakan salah satu bahan mineral utama dalam pembuatan baterai. Pabrik baterai tersebut di Indonesia dibangun bersama dengan mitra terutama dari China dan Korea Selatan. Produksi baterai direncanakan akan terealisasi pada sekitar awal 2021. Pabrik berlokasi di daerah yang kaya akan nikel, seperti di Pulau Weda dan Obi (Maluku Utara), Morowali (Sulawesi Tengah), dan Pomalaa (Sulawesi Selatan) [7] [8].
Paper ini bertujuan untuk melakukan perbandingan beberapa teknologi baterai untuk kendaraan bermotor di Indonesia pada saat ini. Data yang dipakai merupakan hasil kajian pustaka terkait ketersediaan bahan baku, proses produksi serta buangan yang berpotensi dihasilkan, serta keberadaan fasilitas pengolahan limbah dari baterai bekas pakai. Penulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap potensi pengembangan teknologi baterai di Indonesia, serta tantangan yang akan dihadapi.
2. Metodologi
Makalah ini akan memaparkan hasil kajian pustaka dari perbandingan antara tiga jenis baterai kendaraan listrik, yaitu: 1) baterai Timbel-Asam; 2) Baterai Nickel Metal Hydride; dan 3) Baterai Lithium-ion. Ke-tiga jenis baterai tersebut dikaji secara literatur dari sisi: komponen penyusun, teknik produksi, kinerja dalam pemakaian, dan pembuangan atau penanganan limbah. Kajian tersebut kemudian diterjemahkan menjadi kriteria pemilihan berdasarkan: kepadatan energi; emisi yang dihasilkan untuk produksi baterai; faktor energi proses manufakturing; ketersediaan bahan baku kritikal yang diperlukan untuk katoda dan anoda; serta ketersediaan fasilitas daur ulang. Pembahasan kemudian difokuskan pada analisis kriteria pembanding tersebut dengan menggunakan metoda Weighted Objective. Metoda ini merupakan salah satu cara klasik dalam memecahkan masalah optimasi dari beberapa objektif atau dikenal dengan multi-objective optimalization problems (MOOP)[9]. Metoda tersebut dipakai guna menilai secara teoritis jenis baterai yang lebih unggul untuk digunakan di Indonesia. Kesimpulan yang diperoleh dapat digunakan sebagai gambaran kondisi industri baterai di Indonesia secara umum.
2.1. Metoda Weighted Objective
Metoda ini dapat digunakan apabila terdapat beberapa alternatif solusi atau pendapat yang akan dianalisis berdasarkan beberapa kriteria. Setiap kriteria memiliki bobot masing-masing. Penetapan bobot ini dapat dilakukan dengan melakukan perbandingan satu-satu antara kriteria A dengan kriteria B, lalu dilakukan pemilihan kriteria yang lebih unggul. Kemudian, dilakukan perbandingan lain antara kriteria A dan C, dan diputuskan kembali kriteria yang lebih unggul. Hal ini dilakukan hingga seluruh kriteria selesai diperbandingkan. Bobot untuk kriteria A kemudian dihitung berdasarkan jumlah kemunculan kriteria A sebagai unggulan dibagi dengan jumlah perbandingan satu-satu yang dilakukan terhadap kriteria A. Perhitungan yang sama dilakukan hingga seluruh kriteria berhasil dibandingkan [10]. Bobot juga dapat ditentukan dengan membandingkan dua kriteria dan memberikan nilai berdasarkan tingkat perbedaan kepentingan antara keduanya.
Nilai perbandingan dapat ditetapkan, semisal dari 1 (tingkat kepentingan yang sederajat) hingga 5 (tingkat kepentingan satu kriteria sangat lebih penting daripada kriteria lain). Perbandingan dilakukan untuk seluruh kriteria, dan kemudian bobot dihitung berdasarkan jumlah nilai kepentingan untuk satu kriteria dibagi dengan jumlah nilai kepentingan total dari seluruh kriteria. Terlepas dari cara pemberian bobot untuk masing-masing kriteria, dapat dipastikan bahwa kriteria dengan bobot terbesar menunjukkan tingkat kepentingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain.
Sebuah tabel dapat disusun guna membantu perhitungan. Kriteria dituliskan pada baris di sisi kiri tabel, sementara bobot dan alternatif pilihan dituliskan pada kolom bagian atas. Kemudian, lakukan penilaian terhadap masing-masing alternatif relatif terhadap setiap kriteria. Nilai yang lebih besar menunjukkan tingkat kepentingan yang lebih tinggi dari suatu alternatif. Skor untuk setiap alternatif relatif terhadap kriteria ditentukan dengan perkalian antara bobot kriteria dengan nilai yang diberikan untuk masing-masing alternatif. Skor total untuk setiap alternatif merupakan penjumlahan hasil perkalian bobot (w) dengan nilai dari alternatif (s), yang dijelaskan dengan formula berikut [10]:
Jumlah Skor (Ts) = Σ [Nilai Alternatif (s) x Bobot Kriteria (w)] (1) Alternatif yang memiliki skor tertinggi dibandingkan dengan yang lain, menunjukkan pilihan yang terbaik.
2.2. Alternatif Baterai
Baterai Timbel-Asam (Lead-Acid)
Sepanjang sejarah perkembangan kendaraan listrik, telah ada beberapa inovasi dan modifikasi komponen yang dipergunakan. Baterai adalah salah satu komponen utama yang dapat terbuat dari berbagai bahan dan terus mengalami revolusi. Baterai Timbel-Asam adalah baterai isi ulang pertama yang diperkenalkan pada tahun 1859 dan menjadi umum digunakan untuk kendaraan mesin pembakaran internal [11]. Jenis baterai ini terdiri dari katoda timbel peroksida dan anoda timbel spons yang terendam dalam larutan elektrolit yang terdiri dari air dan asam sulfat. Baterai ini umumnya menggunakan wadah penahan yang terbuat dari bahan polypropylene. Pembuatan baterai itu sendiri membutuhkan energi yang cukup besar, 9,2 MJ dari 31 MJ yang digunakan untuk memproduksi satu kilogram baterai dalam proses pembuatannya. Untuk memproduksi baterai Timbel-Asam, timbel oksida dibuat menjadi pasta dan kemudian melalui proses elektrokimia diubah menjadi timbel peroksida dan timbel spons [12].
Baterai Nikel Logam Hidrida (NiMH)
Berkembang dari baterai Timbel-Asam, baterai nikel logam hidrida (NiMH) diperkenalkan. Ini mirip dengan baterai nikel kadmium, kecuali baterai NiMH lebih aman karena tidak mengandung kadmium. Baterai NiMH terdiri dari katoda hidroksil oksida nikel dan anoda dari unsur tanah jarang (rare earth) yang terendam dalam elektrolit KOH. Langkah-langkah untuk memproduksi baterai NiMH adalah:
1) memproduksi nikel hidroksi-oksida; 2) mendapatkan elemen tanah jarang untuk anoda; 3) menyiapkan katoda dan anoda; 4) merakit akhir katoda dan anoda [12].
Baterai Lithium-ion (Li-ion)
Sebagian besar kendaraan listrik sekarang menggunakan baterai Lithium-ion (Li-ion) karena dikenal ramah lingkungan dan memiliki kapasitas lebih tinggi dibandingkan dengan baterai lain yang telah dibahas. Baterai Lithium-ion terdiri dari katoda yang mungkin berasal dari tiga sumber berbeda: 1) campuran antara nikel, kobalt dan aluminium; 2) besi fosfat; atau 3) oksida mangan. Di sisi lain, anoda baterai Li-ion dapat berasal dari dua sumber, grafit atau titanium oksida. Ada banyak langkah dalam pembuatan baterai Lithium-ion, di antaranya: 1) persiapan pasta katoda dan oksida logam lithium; 2) persiapan anoda dari grafit; 3) merakit katoda dan anoda dengan pemisah; 4) menambahkan elektrolit; 5) mengisi daya sel baterai; dan 6) perakitan akhir [12].
Keunggulan dan Kelemahan Alternatif Baterai
Setiap jenis baterai memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Sebagai contoh, baterai Timbel-Asam dapat bekerja di suhu rendah dan tinggi dengan biaya murah [13]. Namun, kelemahan dari baterai Timbel-Asam adalah rasio bobot terhadap energi yang buruk, pengisian daya yang lambat, dan membutuhkan perawatan yang tinggi [12], [13]. Sementara itu, keuntungan menggunakan baterai nikel logam hidrida adalah biaya rendah dan lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan baterai nikel kadmium. Masalah dengan baterai NiMH adalah tingkat self-discharge yang tinggi dan penurunan kinerja pada suhu tinggi [14]. Selain itu, baterai NiMH juga rentan terjadi korosi yang akan mengkonsumsi air di elektrolit dan menyebabkan penurunan usia pakai [15]. Baterai Lithium-ion sering ditemukan dalam teknologi modern karena keunggulannya dibandingkan dengan baterai Timbel-Asam dan NiMH.
Kelebihan baterai Li-ion adalah kepadatan energinya yang tinggi (100-265 Wh/kg), mampu menghantarkan tegangan tiga kali lebih tinggi dari baterai NiMH, membutuhkan perawatan yang rendah, tidak memiliki efek memori, dan lebih mudah dibuang daripada Cadmium [16]. Namun, baterai Lithium- ion masih belum sempurna; ia memiliki kecenderungan untuk terlalu panas, menjadi rusak pada tegangan tinggi dan mahal [16]. Baterai Lithium-ion juga memiliki umur pakai yang relatif lebih pendek daripada NiMH [17].
Pembuangan Baterai Bekas Pakai
Masalah utama yang perlu mendapatkan perhatian terkait baterai adalah pembuangan dan penanganannya. Fase ini memainkan peran penting dalam pembuatan baterai dan membuat baterai lebih ramah terhadap lingkungan. Melalui penanganan yang tepat, produsen baterai dapat mendaur ulang komponen baterai lama dalam baterai yang baru diproduksi. Penanganan yang tepat juga mengurangi dampak berbahaya dari komponen baterai terhadap lingkungan. Secara keseluruhan, baterai Timbel-Asam telah beredar cukup lama dan sekitar 60% -80% komponen baterai Timbel-Asam baru berasal dari timbel dan plastik daur ulang [12]. Tidak seperti baterai Timbel-Asam yang memiliki proses daur ulang terstruktur, penelitian telah menunjukkan bahwa pemilik baterai NiMH cenderung menimbun baterai daripada mendaur ulang [18]. Meskipun baterai Lithium-ion dianggap lebih ramah lingkungan, proses daur ulang sangat rumit dan belum banyak diatur sebagaimana dengan baterai Timbel-Asam [18].
3. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan uraian dari berbagai pustaka yang diperoleh tentang tiga jenis baterai yang mungkin digunakan dalam kendaraan listrik, bagian berikut akan membahas faktor-faktor penentu dari baterai yang layak untuk diterapkan dalam program kendaraan listrik di Indonesia.
3.1. Komponen
Produksi baterai di Indonesia perlu ditunjang oleh ketersediaan sumber daya alam. Hal ini terkait dengan penghematan biaya dengan memproduksi baterai secara lokal, dan mengurangi ketergantungan pada bahan impor. Baterai Timbel-Asam terutama mengandung timbel untuk katoda dan anoda [12].
Berdasarkan data tahun 2014 dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki timah hitam dengan cadangan sebanyak 468.130 ton [19]. Dengan cadangan yang cukup dan potensi daur ulang, maka sumber baterai asam timbel dapat berasal dari sumber alam atau dari bahan daur ulang.
Untuk baterai Nickel Metal Hydride, tidak ada kekurangan dalam pasokan nikel, karena Indonesia adalah produsen terbesar kedua di dunia dengan cadangan 2,4 juta ton nikel [19]. Namun, untuk menghasilkan anoda baterai NiMH, Indonesia memiliki masalah tersendiri karena ketiadaan sumber elemen tanah jarang. Dengan demikian, Indonesia harus mengimpor dari Cina sebagai pengekspor unsur-unsur tanah jarang (rare earth element) utama di dunia [20]. Keharusan Indonesia untuk mengimpor unsur-unsur tersebut berakibat pada peningkatan biaya produksi baterai NiMH. Serupa dengan baterai NiMH, memproduksi baterai Lithium-ion juga akan menghadapi masalah yang sama pada anodanya. Anoda baterai Lithium-ion bersumber dari lithium. Indonesia kekurangan sumber lithium, karena tidak ada cadangan lithium yang dikenal [19]. Memproduksi katoda lithium baterai tidak akan menjadi masalah karena berasal dari Nikel, Cobalt, dan Aluminium, yang banyak ditemukan di Indonesia [19].
3.2 Manufakturing
Terdapat banyak langkah pembuatan baterai agar siap digunakan yang dimulai dari pengadaan bahan mentah. Sepanjang langkah-langkah itu, sejumlah besar energi diperlukan selama proses pembuatan. Jumlah total energi yang dibutuhkan mulai dari mendapatkan bahan baku, kemudian membuat pasta dan elektroda, dan akhirnya mengumpulkan semua komponen bersama-sama. Karena terdapat kebutuhan energi dalam pembuatan baterai, maka emisi karbon juga akan ditimbulkan.
Energi Manufakturing
Energi produksi adalah jumlah energi yang diperlukan selama proses pembuatan. Berbagai jenis baterai memiliki kebutuhan energi yang berbeda karena beragamnya proses yang diterapkan. Sebagai contoh, proses manufakturing membutuhkan 30% dari total energi yang dibutuhkan untuk memproduksi satu kilogram baterai Timbel-Asam (PbA) [12]. Dari 31 MJ yang dibutuhkan untuk membuat satu kilogram baterai PbA, 9,1 MJ diperlukan untuk proses manufakturing [12]. Sementara, untuk proses manufakturing baterai nikel logam hidrida (NiMH) diperlukan sekitar 8,1 MJ dari 94 MJ, atau sekitar 8,6% dari yang dipakai untuk memproduksi satu kilogram baterai NiMH [12]. Hal yang serupa juga didapati untuk memproduksi satu kilogram baterai Lithium-ion. Diperkirakan bahwa jumlah energi produksi yang diperlukan untuk menghasilkan satu kilogram baterai Li-ion adalah 32 MJ dari 125 MJ total konsumsi pembuatan [12]. Ini berarti bahwa 25% dari total energi digunakan dalam untuk proses manufakturing baterai Li-ion [12].
Emisi
Sebuah laporan oleh Argonne National Laboratory membandingkan emisi CO2 yang dihasilkan oleh masing-masing jenis baterai. Perbandingan yang dilakukan mengambil emisi CO2 yang dihitung dari berbagai sumber dan menghitung rata-rata emisi CO2 per kilogram dari masing-masing jenis baterai.
Baterai Timbel-Asam ternyata memiliki emisi karbon terendah dengan total 3,2 kilogram CO2 per kilogram baterai [12]. Baterai NiMH menghasilkan emisi tertinggi dengan total 13,6 kg CO2 yang
dipancarkan dan baterai Lithium-ion yang baru dikembangkan memiliki emisi 12,5 kilogram CO2 [12].
Baterai PbA memiliki emisi karbon yang sangat rendah karena proses daur ulang yang dikembangkan [12].
3.3 Kinerja
Kinerja baterai merupakan salah satu faktor dalam memilih jenis baterai yang akan digunakan untuk kendaraan listrik tertentu. Kondisi penggunaan yang berbeda memiliki peran dalam pemilihan baterai yang sesuai untuk digunakan. Beberapa faktor seperti suhu dan kepadatan energi mempengaruhi masa pakai baterai dan jarak tempuh kendaraan listrik.
Suhu
Baterai memiliki jangkauan fleksibel saat beroperasi pada suhu yang berbeda-beda. Namun, seperti kebanyakan perangkat teknologi, baterai dapat beroperasi secara optimal dalam berbagai kondisi.
Toleransi masing-masing jenis baterai tergantung pada bahan yang digunakan dalam katoda dan anodanya. Berbagai rentang suhu untuk pengisian dan pengosongan baterai disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Suhu pengisian dan pelepasan menurut jenis baterai
Jenis Baterai Suhu Pengisian Suhu Pelepasan
Timbel-Asam -20oC to 50oC -20oC to 50oC
Nikel Logam Hidrida 0oC to 45oC -20oC to 65oC
Lithium-ion 0oC to 45oC -20oC to 60oC
Sumber: [21]
Indonesia adalah negara yang terletak di dekat khatulistiwa dengan suhu udara jarang berada di bawah 22oC, tetapi bisa naik hingga 33oC selama musim kemarau [22]. Agar baterai Timbel-Asam dapat beroperasi secara optimal, suhu harus dijaga pada suhu 25oC. Ketika suhu naik 8oC, masa pakai baterai Timbel-Asam dapat mengalami penurunan hingga 50% [21]. Masalah yang dihadapi baterai Nikel Logam Hidrida pada suhu tinggi adalah hilangnya generasi oksigen. Kehilangan oksigen ini mempengaruhi baterai, karena memberikan kesan bahwa baterai sudah terisi penuh [21]. Dibandingkan dengan baterai Timbel-Asam dan NiMH, baterai Lithium-ion tidak menurunkan kinerja pada suhu tinggi [21]. Meskipun demikian, paparan terhadap suhu tinggi dalam rentang waktu yang lama dapat mempengaruhi masa pakai baterai Lithium-ion.
Kepadatan Energi
Baterai juga dapat dibandingkan berdasarkan kepadatan energinya. Kepadatan energi didefinisikan sebagai jumlah energi yang terkandung dalam jumlah massa tertentu. Semakin tinggi kepadatan energi, semakin banyak energi yang terkandung dalam massa tertentu [23]. Kepadatan energi untuk beberapa jenis baterai, termasuk 3 jenis yang dikaji dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 menunjukkan bahwa baterai Lithium-ion memiliki kepadatan energi tertinggi dibandingkan dengan Nikel Logam Hidrida dan Timbel-Asam. Kepadatan energi yang lebih tinggi juga memberikan beberapa keunggulan, seperti mengurangi bobot baterai itu sendiri. Misalnya, baterai Timbel-Asam harus menjadi dua kali lipat ukuran baterai Lithium-ion untuk menghasilkan jumlah energi yang sama [23]. Selain itu, terbukti bahwa semakin tinggi kepadatan baterai, semakin jauh rentang kendaraan listrik dapat melakukan perjalanan [24]. Oleh karena itu, maka kendaraan listrik banyak yang menggunakan baterai Lithium-ion [18].
Gambar 1. Kerapatan energi berdasarkan jenis baterai [23]
3.4 Pembuangan dan Penanganan Baterai Bekas
Baterai yang telah mencapai batas umur pakai akan membutuhkan cara pembuangan dan penanganan yang tepat. Tanpa langkah-langkah yang tepat dalam menangani baterai yang sudah usang, bisa terjadi dampak yang berbahaya terhadap lingkungan dan membuat baterai tidak berkelanjutan.
Karena elemen dan komponen penyusun yang berbeda, maka setiap baterai memiliki cara tersendiri untuk ditangani dan potensi bahaya lingkungan yang berbeda.
Baterai Timbel-Asam
Baterai Timbel-Asam mengandung komponen yang dapat didaur ulang, seperti timbel dari katoda dan anoda, maupun wadah plastik. Seiring dengan kemajuan teknologi daur ulang baterai Timbel-Asam, maka saat ini banyak komponen daur ulang telah menjadi baterai Timbel-Asam baru [25]. Proses daur ulang baterai ini dimulai dari pengumpulan dan pengangkutan baterai ke fasilitas daur ulang. Setelah baterai mencapai fasilitas daur ulang, komponen dipisahkan dengan proses peleburan timah dan pencucian wadah plastik, serta elektrolit asam sulfat dapat dimurnikan [25].
Peleburan timbel adalah proses yang membutuhkan perhatian khusus dan regulasi yang tepat karena memiliki potensi pencemaran lingkungan terbesar. Di Indonesia, diperkirakan terdapat lebih dari 200 fasilitas peleburan baterai Timbel-Asam [26]. Namun, terdapat banyak laporan tentang peleburan informal yang mengarah ke polusi dan tingkat timah berbahaya di atmosfer sekitarnya [26]. Salah satu contoh tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi peleburan informal adalah kasus Desa Cinangka di Bogor [27]. Desa tersebut memiliki kadar timbel 675 kali di atas ambang batas WHO dan pemerintah Indonesia akhirnya menutup lahan yang tercemar untuk menghentikan dampak dari timbel [28].
Baterai Nikel Hidrida Logam
Daur ulang baterai Nikel Logam Hidrida merupakan fase penting bagi pembuatan baterai NiMH.
Melalui proses daur ulang, logam dan elemen tanah jarang dapat diperoleh dan kemudian digunakan untuk membuat baterai NiMH baru. Dengan penggunaan bahan daur ulang, biaya pembuatan baterai baru dapat dikurangi. Ekstraksi bahan dari baterai NiMH bekas dapat dilakukan secara fisik maupun kimiawi.
Pemisahan fisik baterai menggunakan gravitasi, magnet, dan teknik elektrostatik [18]. Sementara itu, teknik seperti pelindian, elektrolisis dan hidrometalurgi adalah bentuk pemisahan berbasis kimia [18].
Dibeberapa negara maju, seperti Jerman, pengumpulan dan pembuangan baterai NiMH sudah diatur dan difasilitasi. Namun demikian, sejauh ini Indonesia belum fasilitas pengolahan khusus untuk mendukung daur ulang baterai Nikel Logam Hidrida [18].
Baterai Lithium-ion
Meskipun merupakan bahan utama yang dibutuhkan dalam baterai Li-ion, ketersediaan lithium masih langka. Untuk menjaga produksi baterai lithium berkelanjutan, diperlukan fasilitas pembuangan
dan penanganan yang memadai untuk baterai bekas. Hal ini terkait dengan biaya daur ulang baterai lithium yang sekitar 200% lebih rendah daripada biaya produksi dari bahan alam [29]. Daur ulang baterai Lithium-ion dilakukan dengan proses hidrometalurgi, setelah elemen dan wadah plastik baterai dipisahkan secara manual [29]. Metode penghancuran dan pemisahan dengan menggunakan magnet juga digunakan untuk memisahkan logam dari plastik. Setelah bahan dipisahkan secara fisik, elektroda kemudian dilarutkan menggunakan proses pelindian [29]. Saat ini, Indonesia belum memiliki fasilitas daur ulang baterai Lithium-ion yang memadai.
3.5 Analisis dengan Metoda Weighted Objective
Metoda weighted objective diterapkan untuk mengetahui perbandingan antara beberapa alternatif berdasarkan berbagai kriteria. Dalam hal ini, alternatifnya adalah jenis baterai; sedangkan kriteria terdiri dari: kepadatan energi, emisi yang dihasilkan untuk produksi baterai, faktor energi proses manufakturing, ketersediaan bahan baku kritikal yang diperlukan untuk katoda dan anoda, serta ketersediaan fasilitas daur ulang.
Bobot untuk setiap kriteria disusun dengan menggunakan metoda perbandingan satu-satu. Tabel 2 menunjukkan hasil perbandingan antara masing-masing kriteria. Nampak bahwa kriteria A (kepadatan energi) disebutkan memiliki tingkat kepentingan lebih tinggi daripada kriteria C (energi proses manufakturing), D (ketersediaan bahan baku kritikal) dan E (ketersediaan fasilitas daur ulang). Sehingga jumlah pilihan untuk kriteria A adalah 3 suara. Kriteria B (emisi proses produksi) ternyata lebih penting dari kriteria A, D dan E, sehingga mendapatkan 3 suara. Kriteria C lebih penting daripada kriteria B dan E sehingga memperoleh 2 suara. Kriteria D mendapatkan 1 suara karena lebih penting daripada kriteria C.
Sedangkan kriteria E juga mendapatkan 1 suara karena lebih penting daripada kriteria D. Jumlah suara pilihan. Dengan demikian, bobot untuk masing-masing kriteria dapat dihitung dengan membagi jumlah suara dengan jumlah seluruh perbandingan yaitu 10 suara. Sehingga, kriteria A dan B masing-masing mendapatkan bobot 3/10 atau 30%; C mendapatkan bobot 2/10 atau 20%; sedangkan D dan E mendapatkan bobot 1/10 atau 10%.
Tabel 2. Perhitungan nilai bobot untuk kriteria
Kriteria A B C D E Jumlah Pilihan Bobot (Wt)
Kepadatan energi A - B A A A 3 3/10
Emisi proses produksi B - C B B 3 3/10
Energi proses manufakturing C - D C 2 2/10
Ketersediaan bahan baku kritikal D - E 1 1/10
Fasilitas daur ulang E - 1 1/10
Jumlah 10 10/10
Sumber: Hasil simulasi
Tabel 3 menunjukkan perhitungan menggunakan metoda weighted objective. Pada tabel ini disajikan perhitungan skor untuk setiap alternatif baterai berdasarkan kriteria yang ada. Nilai besaran untuk setiap alternatif disesuaikan dengan temuan yang telah disajikan pada pembahasan terdahulu. Nilai memiliki rentang dari 1 (nilai paling rendah atau kondisi tidak baik) hingga 5 (nilai paling tinggi atau kondisi terbaik). Skor merupakan perkalian antara bobot dengan nilai. Hasil perhitungan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa baterai Timbel-Asam merupakan alternatif pilihan dengan menempati urutan tertinggi di antara baterai lainnya dengan nilai total 300. Sementara, alternatif Lithium-ion mendapatkan nilai 240, dan baterai Nikel Hidrida Logam dengan nilai 260.
Tabel 3. Perhitungan menggunakan metoda Weighted Objective Kriteria Bobot
(Wt)
Alternatif Baterai
Timbel-Asam Nikel Hidrida Logam Lithium-ion
Besaran Nilai Skor Besaran Nilai Skor Besaran Nilai Skor Kepadatan
energi 30 50
Wh/kg 1 30 120 Wh/kg 3 90 200 Wh/kg 4 120
Emisi proses
produksi 30
3.2 kg CO2/kg produk
4 120
13.6 kg CO2/kg produk
1 30
12.5 kg CO2/kg produk
1 30
Energi proses
manufakturing 20 30% 4 80 8.6% 5 100 25% 4 80
Ketersediaan bahan baku
kritikal
10 468,130
ton 3 30
2,400,000 ton (Nikel);
minim elemen tanah jarang
1 10
2,400,000 ton (Nikel);
minim lithium
2 20
Fasilitas daur
ulang 10 Banyak 4 40 Minim 1 10 Minim 1 10
Jumlah 1,0 300 240 260
Sumber: Hasil simulasi 4. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan analisis dengan menggunakan metoda weighted objective, baterai Timbel-Asam dianggap lebih layak dipakai di Indonesia dibandingkan dengan baterai Nikel Logam Hidrida atau Lithium-ion. Baterai Timbel-Asam memperoleh nilai tertinggi dibandingkan dengan dua jenis baterai lainnya dalam analisis dengan nilai total 300. Saat ini di Indonesia baterai yang terbuat dari elektroda timbel memiliki keunggulan karena emisi dalam produksi yang relatif rendah, penggunaan energi yang rendah dalam pembuatan, ketersediaan bahan baku kritikal yang berlimpah, serta telah tersedia sarana daur ulang untuk bekas. isi baterai Timbel-Asam dapat dikurangi dengan adanya perawatan daur ulang yang dikembangkan. Baterai Lithium-ion yang tengah digalakkan produksinya di Indonesia masih memerlukan perhatian terutama terkait dengan bahan baku kritikal berupa lithium, serta teknologi pembuatan yang masih menggunakan energi beremisi tinggi. Kelak apabila kendaraan listrik telah tersedia umum di Indonesia, maka industri daur ulang baterai Lithium-ion juga perlu mendapatkan perhatian. Baterai Nikel Logam Hidrida walaupun berpotensi untuk menjadi pilihan apabila kelak fasilitas daur ulang telah tersedia secara umum di Indonesia, namun terhambat karena ketersediaan elemen tanah jarang yang minim.
Analisis menggunakan metoda weighted objective walaupun sederhana, namun memerlukan masukan data yang cukup banyak guna meningkatkan keakuratan dalam perhitungan nilai. Nilai-nilai yang digunakan dalam model ini perlu dipahami untuk tujuan simulasi, meskipun perbandingan antara alternatif pada subjek didasarkan pada data yang tersedia atau kondisi yang ada. Oleh karena itu, studi lebih lanjut dapat dilakukan untuk memastikan kondisi saat ini jika Indonesia telah mengembangkan teknologi dan pengetahuan tentang proses produksi dan daur ulang baterai Nikel Logam Hidrida atau Lithium-ion. Data seperti ini saat ini masih belum tersedia karena fakta bahwa kendaraan listrik di Indonesia masih sangat terbatas dan belum diproduksi secara lokal.
Kriteria dalam model yang disajikan masih terbatas pada 5 variabel, sehingga peningkatan kualitas model masih dapat dilakukan dengan penambahan kriteria lain. Penetapan bobot untuk masing-masing kriteria juga berpeluang untuk ditingkatkan dengan menggunakan metoda Delphi dengan masukan dari banyak responden, atau dengan menggunakan metoda pengambilan keputusan seperti Analytical Hierarchy Process (AHP), atau Multi-Attribute Utility Theory (MAUT).
5. Referensi
[1] J. Cochran et al., “Flexibility in 21st Century Power Systems,” 2014, doi: 10.2172/1130630.
[2] US Department of Energy, “Alternative Fuels Data Center: Batteries for Hybrid and Plug-In Electric Vehicles.” https://afdc.energy.gov/vehicles/electric_batteries.html (accessed Nov. 24, 2020).
[3] Badan Pusat Statistik, “Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis, 1949-2018.”
https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1133 (accessed Nov. 24, 2020).
[4] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, “Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) Tahun 2018,” 2019.
[5] “Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan.”
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/116973/perpres-no-55-tahun-2019 (accessed Nov. 24, 2020).
[6] V. T. P. Sidabutar, “View of Kajian pengembangan kendaraan listrik di Indonesia: prospek dan hambatannya,” J. Paradig. Ekon., vol. 15, no. 1, pp. 21–38, 2020, Accessed: Dec. 19, 2020.
[Online]. Available: https://www.online-journal.unja.ac.id/paradigma/article/view/9217/10136.
[7] P. Trihusodo, “Posisi Indonesia Sulit Tersaingi | Indonesia.go.id,” 15 October 2020.
https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/posisi-indonesia-sulit-tersaingi (accessed Dec. 01, 2020).
[8] Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan & Permurnian Indonesia, “Pemilihan Lokasi Pabrik Baterai Lithium dari Perspektif Ekonomi Neoklasik,” 11 November 2020.
https://www.ap3i.or.id/News/News-Update/Pemilihan-Lokasi-Pabrik-Baterai-Lithium-dari- Perspektif-Ekonomi-Neoklasik.html (accessed Dec. 09, 2020).
[9] K. Deb, Multi-Objective Optimization using Evolutionary Algorithms. John Wiley & Sons, Inc, 2008.
[10] A. Mohamed Kassim et al., “Conceptual design and implementation of electronic spectacle based obstacle detection for visually impaired persons,” J. Adv. Mech. Des. Syst. Manuf., vol. 10, no. 7, pp. 1–12, 2016, doi: 10.1299/jamdsm.2016jamdsm0094.
[11] J. Garche, P. T. Moseley, and E. Karden, “Lead-acid batteries for hybrid electric vehicles and battery electric vehicles,” in Advances in Battery Technologies for Electric Vehicles, Elsevier, 2015, pp. 75–101.
[12] J. L. Sullivan and L. Gaines, “A review of battery life-cycle analysis : state of knowledge and critical needs.,” Argonne, IL (United States), Dec. 2010. doi: 10.2172/1000659.
[13] Z. Li, A. Khajepour, and J. Song, “A comprehensive review of the key technologies for pure electric vehicles,” Energy, vol. 182. Elsevier Ltd, pp. 824–839, Sep. 01, 2019, doi:
10.1016/j.energy.2019.06.077.
[14] Cobalt Institute, “Nickel Metal Hydride batteries.” https://www.cobaltinstitute.org/nickel-metal- hydride-batteries.html (accessed Nov. 24, 2020).
[15] Y. Shen, D. Noréus, and S. Starborg, “Increasing NiMH battery cycle life with oxygen,” Int. J.
Hydrogen Energy, vol. 43, no. 40, pp. 18626–18631, Oct. 2018, doi:
10.1016/j.ijhydene.2018.03.020.
[16] Clean Energy Institute University of Washington, “Lithium-Ion Battery, What is a lithium-ion battery and how does it work?” https://www.cei.washington.edu/education/science-of-solar/battery- technology/ (accessed Nov. 24, 2020).
[17] U. Köhler, J. Kümpers, and M. Ullrich, “High performance nickel-metal hydride and lithium-ion batteries,” J. Power Sources, vol. 105, no. 2, pp. 139–144, Mar. 2002, doi: 10.1016/S0378- 7753(01)00932-6.
[18] S. Al-Thyabat, T. Nakamura, E. Shibata, and A. Iizuka, “Adaptation of minerals processing operations for lithium-ion (LiBs) and nickel metal hydride (NiMH) batteries recycling: Critical review,” Miner. Eng., vol. 45, pp. 4–17, May 2013, doi: 10.1016/j.mineng.2012.12.005.
[19] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, “Neraca Sumber Daya dan Cadangan Mineral Indonesia Status 2014,” Bandung, 2014.
[20] T. Müller and B. Friedrich, “Development of a recycling process for nickel-metal hydride batteries,” J. Power Sources, vol. 158, no. 2 SPEC. ISS., pp. 1498–1509, Aug. 2006, doi:
10.1016/j.jpowsour.2005.10.046.
[21] Battery University, “Charging Batteries at High and Low Temperatures,” 2015.
https://batteryuniversity.com/learn/article/charging_at_high_and_low_temperatures (accessed Nov.
25, 2020).
[22] Climate-Data.org, “Jakarta climate: Average Temperature, weather by month, Jakarta water temperature.” https://en.climate-data.org/asia/indonesia/jakarta-special-capital-region/jakarta- 714756/ (accessed Nov. 25, 2020).
[23] J.M.K.C. Donev et al., “Energy Education - Energy density of storage devices,” 2015.
https://energyeducation.ca/encyclopedia/Energy_density_of_storage_devices (accessed Nov. 25, 2020).
[24] R. A. Hanifah, S. F. Toha, and S. Ahmad, “Electric Vehicle Battery Modelling and Performance Comparison in Relation to Range Anxiety,” in Procedia Computer Science, Jan. 2015, vol. 76, pp.
250–256, doi: 10.1016/j.procs.2015.12.350.
[25] WHO, “Recycling used lead-acid batteries:,” 2018, Accessed: Nov. 25, 2020. [Online]. Available:
http://www.who.int/ipcs/publications/ulab/en/.
[26] H. Zakiyya, Y. D. Distya, and R. Ellen, “A Review of Spent Lead-Acid Battery Recycling Technology in Indonesia: Comparison and Recommendation of Environment-friendly Process,” in IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, Jan. 2018, vol. 288, no. 1, p. 012074, doi: 10.1088/1757-899X/288/1/012074.
[27] E. Muryani, D. Mulyanto, and R. M. Hernanda, “Phytoremediation of lead (Pb) polluted soil by Cordyline fruticosa and Ipomea reptans Poir (case study: Used battery smelting industry at Cinangka Village, Bogor),” in AIP Conference Proceedings, Jul. 2020, vol. 2245, no. 1, p. 090011, doi: 10.1063/5.0006932.
[28] N. N. Annashr, I. M. Djaja, and Kusharisupeni, “Determinants of plumbun level in blood among elementary school students in cinangka, bogor,” Indian J. Public Heal. Res. Dev., vol. 10, no. 3, pp.
738–743, Mar. 2019, doi: 10.5958/0976-5506.2019.00590.4.
[29] A. Rahman, R. Afroz, and M. Safrin, “Recycling and disposal of lithium batteries: An economical and environmental approach,” IIUM Eng. J., vol. 18, no. 2, pp. 238–252, Dec. 2017, doi:
10.31436/iiumej.v18i2.773.