517 DOI: https://doi .org/10 .21776/ub .arenahukum .2022 .01503 .4
BARANG/JASA PEMERINTAH PASCA YURISPRUNDENSI NOMOR 4/YUR/PDT/2018 .
Shanti Riskawati
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT Haryono 69, Malang Email: [email protected]
Disubmit: 04-11-2021 | Diterima: 22-12-2022
Abstract
This paper examines the legal certainty in contracts for the procurement of goods/services in the field of construction and legal protection for the parties. This normative juridical research uses qualitative juridical approach. The results show that procurement contract of goods and services in the construction sector have different characteristics from commercial contracts in general. Because the legal action in this contract is no longer purely a private legal action but is colored by public legal aspects in it. Presidential Regulation 16 of 2018, which also explicitly regulates the termination of unilateral agreements by Commitment Signing Officials.
The contract sanctions include fines and termination of the contract. If the Provider is deemed unable to complete the work stipulated in the contract as stipulated in Article 56 of Presidential Regulation 16 of 2018, the Contract Signing Officer may impose sanctions in the form of unilateral termination of the Contract as stipulated in Regulation of the Head of LKPP Institutions Number 12 of 2021.
Keywords: Termination of agreement, Procurement, Jurisprudence.
Abstrak
Tulisan ini meneliti bagaimana aspek kepastian hukum dalam Kontrak Pengadaaan Barang/Jasa di Bidang Konstruksi serta perlindungan hukum bagi para pihak. Penelitian yuridis normatif ini menggunakan metode pendekatan yuridis kualitatif. Hasilny adalah kontrak pengadaan barang dan jasa di bidang konstruksi, memiliki karakteristik yang berbeda dengan kontrak komersial pada umumnya. Karena perbuatan hukum dalam kontrak ini tidak murni lagi merupakan suatu tindakan hukum privat akan tetapi diwarnai aspek hukum publik di dalamnya. Perpres 16 Tahun 2018, yang secara eksplisit juga telah mengatur terkait dengan pemutusan perjanjian sepihak oleh Pejabat Penanda Tangan Komitmen. Adapun sanksi kontrak meliputi denda dan pemutusan kontrak. Manakala Penyedia dinilai tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang ditetapkan dalam kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 56 Perpres 16 Tahun 2018, maka Pejabat Penanda tangan Kontrak dapat memberikan sanksi berupa pemutusan Kontrak secara sepihak sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Lembaga LKPP Nomor 12 tahun 2021.
Kata Kunci: Pemutusan Perjanjian Sepihak, Kontrak Barang dan Jasa Pemerintah, Yurisprudensi.
PENDAHULUAN
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dewasa ini, setahap demi setahap pemerintah melakukan pembangunan di segala bidang, baik dalam bentuk fisik maupun non fisik. Sektor pengadaan barang/
jasa merupakan sektor yang menyerap dana terbesar dalam penyaluran APBN/APBD di luar subsidi dan belanja pegawai. Untuk merealisasikan rencana pembangunan yang telah disahkan melalui legitimasi politik, maka pemerintah melakukan kerja sama (kemitraan) dengan para pelaku usaha di bidang-bidang terkait untuk menyelenggarakan proyek- proyek pengadaan di lingkungan Kementerian, Lembaga, Satuan Kerja dan institusi lainnya yang terkait.
Keberhasilan pembangunan pada suatu masa pemerintahan selalu ditentukan oleh berhasil tidaknya proses pengadaan barang/
jasa. Hal tersebut dikarenakan pelaksanaan pembangunan di semua sektor pada umumnya dijalankan melalui tahapan pengadaan barang/jasa, sehingga tidak heran jika alokasi anggaran bagi proyek pengadaan barang/jasa jumlahnya sangat besar. 1
Pengadaan barang/jasa atau dalam istilah asing disebut sebagai procurement muncul karena adanya kebutuhan akan suatu barang atau jasa mulai dari pensil, seprei, aspirin untuk kebutuhan rumah sakit bahan bakar
1 D.Y. Witanto, Dimensi Kerugian Negara Dalam Hubungan Kontraktual, Suatu Tinjauan Terhadap Risiko Kontrak Dalam Proyek Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, (Bandung : Mandar Maju, 2012), hlm 1.
2 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang & Jasa dan Berbagai Permasalahannya, Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hlm. 4.
3 Munir Fuadi, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 13.
4 Adrian, op.cit, hlm. 4.
kendaraan milik pemerintah, peremajaan mobil dan armada truk, peralatan sekolah dan rumah sakit. Kemudian juga untuk perlengkapan perang, untuk instansi militer, perangkat ringan atau berat untuk perumahan, pembangunan, jasa konsultasi serta kebutuhan jasa lainnya.2
Proyek pengadaan barang/jasa dalam praktiknya sering diidentikkan dengan istilah proyek pemborongan jasa konstruksi, padahal sebenarnya proyek pengadaan barang/jasa tidak selalu dalam bentuk konstruksi. Terdapat banyak proyek-proyek di luar proyek konstruksi dan sifatnya non fisik, misalnya pelatihan, penelitian dan pengembangan sumber daya manusia.3 Akan tetapi, oleh karena proyek konstruksi sifatnya lebih tampak dan bisa langsung dilihat oleh khalayak umum, maka orang lebih akrab menyebut setiap proyek pengadaan barang/
jasa itu sebagai proyek konstruksi, seperti proyek pembangunan jembatan, gedung, jalan dan sebagainya.
Istilah pengadaan barang/jasa atau procurement diartikan secara luas, mencakup tahapan persiapan, penentuan dan pelaksanaan atau administrasi tender untuk pengadaan barang/jasa, lingkup pekerjaan dan jasa lainnya.4 Pengadaan barang/jasa juga tidak hanya sebatas pada pemilihan rekanan proyek dengan bagian pembelian
atau perjanjian resmi kedua belah pihak saja, tetapi mencakup seluruh proses dari awal perencanaan, persiapan, perijinan, penentuan pemenang tender hingga tahap pelaksanaan dan administrasi dalam pengadaan barang, pekerjaan atau jasa sepertti jasa konsultasi teknis, jasa konsultasi keuangan, jasa konsultasi hukum atau jasa lainnya.
Kegiatan pengadaan barang atau jasa bertujuan untuk menghasilkan barang ataupun jasa yang berkualitas dan wajar yang bisa diukur dari berbagai macam segi seperti biaya, jumlah penyediaan dan lokasi. Pengaturan kegiatan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah harus memperhatikan asas manfaat sebesar besarnya dari uang yang dikeluarkan atau memiliki value of money yang tinggi sehingga bisa memberikan barang atau jasa yang baik dipandang dari segi waktu, biaya, kualitas, jumlah dan lain sebagainya. Dengan prinsip seperti ini, diharapkan pemerintah bisa mendapatkan barang atau jasa dengan kualitas terbaik, harga termurah, pengadaan paling cepat, keberadaan barang paling mudah dijangkau dan berasal dari penyedia barang dan jasa yang bonafit dan lain sebagainya.
Dalam pengadaaan barang/jasa pemerintah, kontrak pengadaan memiliki peranan yang sangat penting.5
Dalam melaksanakan pengadaan barang/
5 Jelita Angela Rawis, Telly Sumbu, Reymen M. Rewah, “Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Menurut Pepres Nomo 16 Tahun 2018”, Jurnal Lex Privatum Vol. 9, No. 1, (Januari-Maret 2021), 63, diakses 20 Desember 2022.
6 Heru Triawan, “Pelanggaran Prosedur Hukum Oleh Pejabat Pembuat Komitmen Dalam Pengadaan Barang/
Jasa (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 162/PDT.G/2017/PN.JKT.PST)”, Jurnal Ilmial Ilmu Pendidikan dan Sosial/Sosioedukasi, Vol. 11, No. 1, (Desember-Mei 2022): 23, diakses 21 Desember 2022, doi: https://doi.org/10.36526/sosioedukasi.v11i1.1758
7 Mudjisantosa, Aspek Hukum Pengadaan dan Kerugian Negara, (Yogyakarta : Primaprint, 2014), hlm.7.
jasa dibutuhkan pelaku pengadaan, yaitu pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan aktifitas pengadaan. Sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Presiden No.
16 tahun 2018, pelaku pengadaan barang/jasa untuk pengadaan melalui penyedia barang/jasa maupun swakelola terdiri atas Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan (PP), Pokja Pemilihan, Agen Pengadaan, Pejabat pemeriksa Hasil pekerjaan (PjPHP)/Panitia Pemeriksa Hasil pekerjaan (PPHP) yang mempunyai tugas masing-masing dalam proses pengadaan barang/jasa. Pejabat Pembuat Komitmen atau yang biasa disingkat PPK dalam dunia pengadaan barang dan jasa adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk pengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara/
anggaran belanja daerah.6
Bidang hukum yang terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah antara lain Hukum Administrasi Negara (HAN), Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Persaingan Usaha. Aspek Hukum Administrasi dimulai dari proses pengadaan (pelelangan/
seleksi) sampai dengan penetapan lelang/
seleksi adalah proses hukum administrasi.7
Dalam proses pelelangan/seleksi ini bila ada keberatan dari penyedia bisa disampaikan di penjelasan lelang, disanggah, sanggahan banding, pengaduan ke APIP (Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah) atau SPI (Satuan Pengawas Internal) yang paling tinggi (Satuan Pengawas Internal) dan paling tinggi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dengan demikian sepanjang tidak ada tindakan memperkaya diri sendiri, kerugian Negara atau tindakan pidana, maka tidak perlu dibawa ke ranah hukum pidana.
Setelah ditetapkan pemenang tender, perbuatan hukum tersebut dikerucutkan dan dituangkan secara konkrit dalam bentuk Kontrak Pengadaan Barang/Jasa.
Proses pembuatan kontrak sampai dengan pelaksanaan kontrak merupakan ranah perdata.
Dalam aspek hukum persaingan usaha sering ditemui dalam bentuk pengaturan lelang atau persengkongkolan lelang. Selanjutnya, mulai dari aspek pengadaan sampai dengan aspek pelaksanan, penggunaan dana yang besar sering menjadi lahan bagi praktik-praktik KKN diantara pelaku pengadaan, sehingga dalam beberapa hal tidak bisa dilepaskan dengan aspek hukum pidana, jika dalam prosesnya terjadi penyelewengan-penyelewenang pada pengelolaan keuangan yang menimbulkan kerugian bagi negara.
Penetapan pemenang tender akan diikuti dengan mekanisme pengadaan lainnya, perbuatan hukum kedua belah pihak diikat dalam bentuk Kontrak Pengadaan Barang dan
8 Nazarkhan Yasin, Kontrak Konstruksi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014), hlm. 2.
Jasa. Berbicara tentang kontrak, ada kalanya terlaksana dengan baik namun demikian juga tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat kendala dalam pelaksanaan kontrak khususnya kendala yang disebabkan oleh pihak penyedia. Penelitian ini membatasi ruang lingkup penelitian hanya pada aspek perdata yaitu dalam aspek kontraktual.
Karena kontrak pengadaan barang dan jasa merupakan bagian dari perjanjian, maka juga pengaturan tentang kontrak Pengadaan Barang/jasa jga berlandaskan pada asas dan syarat-syarat sah kontrak yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata.8 Kontrak pengadaan barang/jasa merupakan bentuk perjanjian yang mirip dengan istilah perjanjian pemborongan pekerjaan di dalam KUHPerdata. Pasal 1601a KUHPerdata menyebutkan bahwa :
“Perjanjian pemborongan ialah suatu perjanjan dengan mana pihak pertama yaitu kontraktor mengingatkan dirinya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan untuk pihak lain dengan harga yang telah ditentukan”.
Perjanjian pemborongan diatur di dalam ketentuan Bab VII a KUHPerdata tentang Perjanjian Kerja, artinya bahwa pekerjaan pemborongan merupakan bagian dari jenis perjanjian kerja.
Aspek lain yang perlu dicermati adalah ketika posisi salah satu pihak dalam hal ini pemerintah, memiliki karakteristik yang khusus. Terkait dengan sifat Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang sudah baku sering kali dianggap tidak mencerminkan asas
keseimbangan. Salah satu bentuk ke-tidak seimbangan tersebut adalah pemerintah dalam hal ini PPK boleh memutus perjanjian secara sepihak ketika Penyedia lalai dalam melaksanakan kontrak. Namun sejak adanya Yurisprudensi Nomor 4/Yur/Pdt/2018 yang menyatakan:“pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk dalam perbuatan melawan hukum”, disisi lain dalam Pasal 56 Perpres 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (untuk selanjutnya disebut Perpres 16 Tahun 2018), apabila penyedia dinilai tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang ditetapkan dalam kontrak, maka PPK dapat memberikan sanksi berupa pemutusan Kontrak secara sepihak sebagaimana diatur dalam Lampiran Perka LKPP No. 9/2018 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia.
Pengaturan yang berbeda tersebut, dalam praktek menimbulkan banyak permasalahan dimana PPK merasa takut atau enggan memutus kontrak secara sepihak dengan alasan khawatir akan digugat PMH oleh penyedia. Sedangkan disisi lain, PPK dituntut untuk meminimalisir kerugian negara dengan adanya kontrak yang tidak terlaksana dengan baik. Bertitik tolak dari kondisi tersebut diatas, perlu dikaji bagaimana karakteristik Pemerintah dalam kedudukannya sebagai subjek hukum dalam kontrak Pengadaan Barang dan jasa. Serta bagaimana keberlakuan Yurisprudensi Nomor 4/Yur/Pdt/2018 terhadap kontrak Pengadaan Barang dan Jasa.
9 Purwosusilo, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hlm. 90.
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Pemerintah dalam Kedudukannya Sebagai Subjek Hukum dalam Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Para pihak yang mengikatkan diri pada suatu kontrak adalah subjek hukum, dalam hal ini subjek hukum perdata. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan bahwa apakah suatu pemerintahan yang umumnya dipersepsikan sebagai subjek hukum publik dapat menjadi salah satu pihak dalam sebuah kontrak pengadaan barang dan jasa. Sebagai suatu entitas publik yang dilekati oleh hak dan kewajiban atau diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukum, namun jabatan tidak dapat bertindak sendiri. Jabatan dapat melakukan perbuatan hukum melalui perwakilan yang disebut pejabat.9
Pemerintah dalam konteks pengadaan barang dan jasa akan membingkai hubungan hukum dengan penyedia dalam suatu kontrak pengadaan barang dan jasa. Sebagai para pihak dalam suatu kontrak, pemerintah tidak dapat memposisikan dirinya lebih tinggi dari penyedia barang atau jasa. Hal ini dikarenakan dalam hukum perjanjian para pihak mempunyai kedudukan yang sama, sebagaimana tercermin dalam pasal 1338 KUHPerdata. Maknanya adalah baik pemerintah maupun penyedia barang/jasa sama-sama memiliki kedudukan yang sejajar dalam pemenuhan hak dan kewajiban yang tertuang di dalam kontrak
yang disepakati.10
Keterlibatan pemerintah dalam kontrak ini menunjukkan tindakan pemerintah tersebut diklasifikasikan dalam tindakan pemerintahan yang bersifat keperdataan. Berkenaan dengan tindakan hukum keperdataan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa :
“Sekalipun tindakan hukum keperdataan untuk urusan pemerintahan oleh badan atau pejabat tata usaha negara dimungkinkan, bukan tidak mungkin pelbagai ketentuan hukum publik akan menyusup dan mempengaruhi peraturan hukum perdata. Contohnya beberapa ketentuan perundang- undangan yang secara khusus mengatur tata cara atau prosedur tertentu yang harus ditempuh berkenaan upaya perbuatan hukum keperdataan yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara.
”11
Pemerintah sebagai salah satu subjek hukum dalam bentuk badan hukum dalam melakukan tindakan perdata. Pemerintah dalam bentuk badan hukum disini pendiriannya
10 Ibid, hlm. 91
11 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm.138.
12 Pemerintah sebagai badan hukum selaras dengan pengaturan dalam KUHPerdata Pasal 1653, yang menetapkan bahwa ;
“selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau diakui sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan”.
13 Purwosusilo, op.cit, hlm. 93.
tidak dilakukan secara khusus, melainkan tumbuh secara historis. Pemerintah dianggap sebagai badan hukum, karena pemerintah menjalankan kegiatan komersial.12
Sebagai subjek hukum perdata pemerintah dapat mengikatkan dirinya dengan pihak ketiga dalam hal ini penyedia barang/jasa.
Hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, sampai pada prosedur pelaksanaannya harus diatur secara jelas dan dituangkan dalam bentuk kontrak. Jenis kontrak yang melibatkan pemerintah sebagai salah satu pihak pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kontrak komersial (commercial contract) dan kontrak kebijaksanaan (beleidsoverenkomst). Kontrak komersial dibedakan menjadi dua yakni kontrak pengadaan barang/jasa dan kontrak non pengadaan. Keterlibatan pemerintah dalam kontrak sebagai upaya melaksanakan pelayanan publik dalam bentuk pembangunan insfrastruktur tergolong dalam kontrak komersial, karena pembangunan infrastruktur merupakan bagian dari kontrak pegadaan barang/jasa.13
Pemerintah akan membingkai hubungan hukum dengan penyedia barang atau jasanya dalam sebuah kontrak pengadaan barang atau kontrak pengadaan jasa. Dengan kata lain
pemerintah menjadi salah satu pihak dalam sebuah kontrak. Dalam konteks demikian pemerintah tidak dapat memposisikan dirinya lebih tinggi dari penyedia barang atau jasanya, walaupun pemerintah merupakan lembaga yang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat mengatur (regulator). Hal ini dikarenakan dalam hukum perjanjian para pihak mempunyai kedudukan yang sama, sebagaimana tercermin dalam pasal 1338 BW. Dalam konteks demikian, maka baik pemerintah maupun penyedia barang atau jasa sama-sama memilki kedudukan yang sejajar dalam pemenuhan hak dan kewajiban yang tertuang di dalam kontrak yang di sepakati. 14
Kedudukan pemerintah dalam suatu perbuatan perdata tidak berbeda dengan subjek hukum privat lainnya, yaitu orang dan badan hukum. Kedudukan pemerintah dalam kontrak juga tidak memiliki kedudukan istimewa, dan dapat menjadi pihak dalam sengketa keperdataan dengan kedudukan yang sama dengan seseorang atau badan hukum perdata dalam suatu peradilan umum.
Yohanes Sogar Simamora, sebagaimana dikutip oleh Purwosusilo, menyatakan bahwa fungsi pemerintah dalam pengadaan barang/
jasa pemerintah memiliki fungsi ganda (double rule). Kontraktualisasi oleh pemerintah dilakukan dalam kapasitasnya sebagi subjek hukum privat (civil actor) dan dimungkinkan karena adanya prinsip kebebasan berkontrak.
Namun persoalan mendasar dalam kontrak
14 Sarah S. Kuahaty, “Pemerintah Sebagai Subjek Hukum Perdata dalam Kontrak Pengadaan Barang atau Jasa”, Jurnal Sasi Vol. 17, No. 3, (Juli-September 2011): 56, diakses tanggal 11 Desember 2022, doi: https://doi.
org/10.47268/sasi.v28i3 15 Ibid, hlm. 94.
pengadaan barang/jasa adalah kedudukan pemerintah sebagai pihak dalam kontrak sekaligus juga pihak yang membuat aturan dalam pengadaan barang/jasa.15
Fungsi ganda pemerintah dalam kontrak pengadaan barang/jasa dapat dibedakan akan tetapi sulit dipisahkan satu dengan yang lain.
Hal mana akan menyebabkan garis batas antara daya kerja hukum privat dan hukum publik sulit ditentukan karena terdapat kekaburan.
Kedudukan pemerintah yang istimewa dalam hubungan kontraktual itu terdapat pada fase pembentukan (perencanaan), fase pelaksanaan maupun fase penegakkan. Sekalipun kontrak yang terbentuk tergolong sebagai suatu kontrak privat dan bukan administrative contract, dalam kontrak komersial yang dilakukan oleh pemerintah diterapkan prinsip dan norma hukum publik bersama-sama dengan norma dan prinsip hukum privat sebagai implikasi kedudukan pemerintah sebagai subjek hukum publik.
Kontrak pengadaan barang dan jasa di bidang konstruksi, yang melibatkan pemerintah memiliki karakteristik yang berbeda dengan kontrak komersial pada umumnya. Karena perbuatan hukum dalam kontrak ini tidak murni lagi merupakan suatu tindakan hukum privat akan tetapi diwarnai aspek hukum publik di dalamnya. Berikut beberapa karakteristik perjanjian pengadaan barang dan jasa di bidang pembangunan.
1. Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa di Bidang Konstruksi Tidak Semata-mata Merupakan Hubungan Kontraktual.
Proyek pengadaan barang dan jasa pada instansi pemerintah selain secara kontraktual merupakan hukum perjanjian, juga diwarnai oleh aspek hukum administrasi negara dan hukum pidana. Hal tersebut dikarenakan melibatkan negara sebagai sebagai pemilik pekerjaan (bouwheer) dan sumber keuangan yang berasal dari dana APBN/APBD, maka dalam pratiknya tidak bisa terlepas dari keterkaitan dengan Hukum Administrasi Negara sebagai acuan kerja bagi para aparatur yang melaksanakan proses tersebut. Saat ini yang menjadi panduan baku dalam proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa di lingkungan instansi pemerintah adalah Perpres Nomor 16 Tahun 2018, Tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Penggunaan dana yang besar, seringkali menjadi lahan bagi praktik-praktik KKN sehingga dalam beberapa hal tidak bisa dilepaskan dengan aspek hukum pidana, jika dalam prosesnya terjadi penyelewengan- penyelewengan pada pengelolaan keuangan negara yang menimbulkan kerugian negara.
2. Keberadaan Surat Perintah Kerja pada Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa di Bidang Konstruksi.
Bahwa dalam kontrak pengadaan barang/
jasa dikenal istilah Surat Perintah Kerja yang secara substansial tidak pernah dikenal dalam bentuk perjanjian perdata. Hal ini
16 Dalam perbuatan hukum perbuatan hukum perjanjian/kontrak pada umumnya, dengan adanya surat perjanjian
terkesan seperti adanya bentuk hubungan atasan bawahan dalam dimensi hukum publik. Meskipun proses pengadaan barang/
jasa merupakan bentuk perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan dengan pihak pemerintah, namun meskipun demikian ruang lingkupnya tetap berada dalam hubungan perjanjian. Dimana antara para pihak harusnya memiliki kedudukan yang seimbang dalam menyandang hak dan kewajibannya, sedangkan kata “perintah” dalam Surat Perintah Kerja lebih menunjukkan kesan kewajiban saja. Keberadaan Surat Perintah Kerja dalam kontrak pengadaan barang/jasa merupakan bentuk khusus yang dibuat oleh pemerintah dalam menunjang pelaksanaan pekerjaan pengadaan barang/jasa. 16
3. Pengesampingan Pasal 1266 (1) KUHPerdata.
Pada umumnya kontrak pengadaan barang/
jasa yang diatur di dalam Perpres Pengadaan Barang/Jasa banyak mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 ayat (1) KUHPerdata yang mensyaratkan bahwa setiap permintaan pembatalan harus dilakukan ke Pengadilan melalui suatu gugatan, sedangkan dalam klausul perjanjian pengadaan barang/jasa pada umumnya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) berhak untuk melakukan pembatalan secara sepihak dengan surat pemberitahuan tertulis kepada pihak penyedia barang/jasa ketika ternyata penyedia barang/jasa tidak mampu melakukan pekerjaannya sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam kontrak.
4. Aspek kerugian negara karena wanprestasi dalam Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa di Bidang Konstruksi.
Wanprestasi timbul karena salah satu pihak dalam suatu perjanjian tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan yang diperjanjikan.
Perjanjian/kontrak yang melibatkan negara sebagai pihak pada umumnya terjadi pada proyek pengadaan barang/jasa instansi pemerintah, dimana negara selaku Pengguna Barang.
Suatu perjanjian (kontrak) akan mengikat kedua belah pihak ketika kontrak tersebut dibuat secara sah sebagaimana telah ditentukan oleh undang-undang.17 Perjanjian dikatakan sah manakala memenuhi syarat yang ditentukan oleh pasal 1320 KUHPerdata yang meliputi syarat sepakat, cakap, hal tertentu dan causa yang halal. Kontrak pegangadaan barang/jasa di bidang konstruksi, sebagaimana kontrak lainnya bisa juga mengalami kendala dalam pelaksanaannya, sehingga tidak menutup kemungkinan menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak atau bahkan kedua-duanya.
Pihak PPK akan mengalami kerugian ketika pekerjaan tidak selesai, terlambat atau bahkan tidak sesuai dengan spesifikasi teknis yang telah ditetapkan. Pihak penyedia akan
atau kontrak sudah cukup untuk menunjukkan kewajiban pada para pihak untuk melaksanakan prestasinya.
Disisi lain frasa “perintah” seolah-olah menunjukkan hubungan subordinasi diantara para pihak dalam perjanjian.
17 Sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “setiap persetujuan yang dibuat secara sah mengikat seperti undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pengertian ini jika ditafsirkan secara a cotrario, mengandung makna bahwa perjanjian yang tidak sah tidak akan mengikat kedua belah pihak.
18 Nissa Dayu Suryaningsih, Yunanto , “Analisis Pemutusan Perjanjian Secara Sepihak (Perjanjian Kerja Konstruksi Harga Satuan Pembangunan Jembatan Brawijaya antara Pemerintah Kota Kediri dan PT. Fajar Parahiyangan)”, Law, Development & Justice Review, Vol.3 No. 1, (Maret 2021), 315, diakses 22 Oktober 2022, doi: 10.14710/ldjr.v5i2.16056
mengalami kerugian ketika tidak mendapatkan pembayaran. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa, dimana Pemerintah atau Badan Hukum Publik sebagai pihak yang menggunakan keuangan negara menjadi sangat berbeda konsekwensi hukumnya bila terjadi wanprestasi. Kerugian pengguna barang akan menjadi kerugian negara, yang menjadi ranah hukum pidana dalam hal ini korupsi.
B. Keberlakuan Yurisprudensi Nomor 4/Yur/Pdt/2018 terhadap Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Perjanjian diartikan oleh Black”s Law Dictionary, yaitu Contract: An agreement between two or more persons which creates an obligation to do or not to do a peculiar thing. Kontrak berasal dari bahasa Inggris, contract atau “overeenkomst” (Belanda), yang diterjemahkan dengan istilah “perjanjian”
dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Pasal 1313 KUH Perdata mendefinisikan perjanjian sebagai suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.18
Asas Pacta Sun Servanda merupakan salah satu ruh yang menghidupkan suatu perjanjian. Artinya, perjanjian berlaku
sebagaimana undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas yang tertuang secara eksperis verbis di dalam Pasal 1338 KUH Perdata tersebut dipahami sebagai salah satu fondasi dalam hukum perdata karena berdasarkan asas tersebut para pihak bebas membentuk perjanjian apapun dan mengikat kepada para pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Secara das sein, terkadang perjanjian tidak dilaksankan sebagaimana mestinya. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya wanprestasi, force majeur, atau bahkan perbuatan melawan hukum. Pihak yang merasa dirugikan atas suatu perjanjian terkadang dapat mengambil sikap untuk memutuskan perjanjian yang telah disepakati secara sepihak
Menurut hukum Indonesia, pembatalan perjanjian merupakan suatu kosekuensi apabila salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi).
Pengaturan tentang pembatalan perjanjian telah diatur dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata yang intinya mengatur bahwa pembatalan perjanjian harus dimintakan kepada hakim, meskipun syarat batal tercantum atau tidak di dalam perjanjian, dan pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut pembatalan perjanjian dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Pelaksanaan perjanjian dalam kenyataan lebih cenderung
19 Pahlefi, “Klausula Pembatalan Sepihak dalam Perjanjian menurut Peraturan Perundang-undangan Indonesia”, Jurnal Hukum Gorontalo Law Review,Vol. 2 No 2, (Oktober 2019): 74, diakses 12 Juni 2022, doi: https://doi.
org/10.32662/golrev.v3i1
20 Intan Manisa Aulia Putri, Mulyani Djakaria, Yusuf Saepul Zamil, “Akibat Hukum Klausula Pemutusan Secara Sepihak Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Hak Milik Atas Tanah”. Acta Diurnal, Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Fakultas Hukum Unpad, Vol. 3 Nomor 2, (Juni 2020) 232, diakses tanggal 11 November 2022, doi: https://doi.org/10.23920/acta.v5i2.
tidak sesuai dengan apa yang tertulis dalam peraturan kedua pasal tersebut diatas.19
Dalam praktik para pihak sering mencantumkan suatu klausula dalam perjanjian bahwa mereka sepakat untuk melepaskan atau mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 ayat (2) KUHPerdata. Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Ada beberapa alasan yang mendukung pencantuman klausula ini.
Menurut Wangsawidjaja, kekuatan mengikat klausul syarat batal dalam kontrak yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata dan Pasal 1267 KUHPerdata didasarkan atas asas pacta sunt servanda yang terlihat dari sifat terbuka suatu perjanjian yang mengandung asas kebebasan berkontrak 20
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sehingga pencantuman klausula yang melepaskan ketentuan Pasal 1266 ayat (2) KUHPerdata, harus ditaati oleh para pihak. Selain itu jalan yang ditempuh melalui pengadilan akan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama sehingga hal ini tidak efisien bagi pelaku bisnis.
Klausula pemutusan kontrak pada umumnya bersifat sepihak dengan
menyimpangi ketentuan dalam Pasal 1266 KUHPerdata. Dalam kontrak pengadaaan, hak pemutusan kontrak secara sepihak ada pada PPK. Dalam prespektif Hukum Perikatan, penyimpangan terhadap Pasal 1266 Kuperdata masih menimbulkan penafsiran, menyangkut sifat dari ketentuan ini, yakni bersifat melengkapi (aanvullend/voluntary) atau memaksa (dwinged/mandatory). Jika mengacu pada sifat yang pertama maka ketentuan ini boleh saja disimpangi, sebaliknya jika dinilai memaksa tentu penyimpangan tidak akan mempunyai kekuatan hukum dalam arti tidak mengikat. Perbedaan ini terutama bersumber dari Pasal 1266 ayat (2) KUPerdata yang menyatakan “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim”.21
Secara prinsip kontrak dilakukan beberapa pihak yang didasari itikad yang luhur, tetapi pada realisasnya selalu terjadi seorang pihak tidak melakukan isi kontrak meskipun sudah dibuat somasi terus menerus.
Disebabkan seorang pihak tidak melakukan kewajbannya, sehingga yang lain dengan berat hati mengakhiri kontrak secara satu pihak. Pengakhiran kontrak adalah satu upaya menyelesaikan kontrak yang dibuat. Ini berarti
21 Nurmantias, “Pembatalan, Kontrak secara Sepihak Akibat Penyalahgunaan Keadaan Dalam Kontrak”, Jurnal Gagasan Hukum, Vo. 2, No. 2(2020);163, diakses 1 November 2022, DOI https://doi.org/10.31849/jgh.
v2i02.8556
22 Gusti Ngurah Anom Widyarta, I Wayan Arthanaya, Luh Putu Suyani, “Pemutusan Kontrak Secara Sepihak oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Terhadap Penyedia Barang/Jasa” Jurnal Analogi Hukum Vol.1, No.2, (2019): 153–157, diakses September 2021. doi: https://doi.org/10.22225/ah.1.2.1743.153-157
bahwa kreditor mengakhiri masa kontrak yang dibuat dengan debitur, meskipun jarak waktu belum selesai. Hal ini karena debitur tidak melakukan niatnya dengan baik.22
Pengakhiran kontrak merupakan berakhirnya kewajiban kontraktual penyedia dalam melakukan pekerjaan pengadaan barang/ jasa oleh PPK, hal ini disebabkan pekerjaan telah selesai atau ada kondisi kekuatan alam. Ketika kontrak berakhir, PPK harus memberi bayaran penyedia disesuaikan pada pekerjaan yang dilakukan. Pengakhiran kontrak disebabkan kondisi paksa, di samping pembayaran untuk pekerjaan yang telah dilakukan serta membayar barang yang telah tersedia di lapangan yang masih bisa digunakan. Pengakhiran kontrak ialah pemutusan tugas kontraktual satu (secara sepihak) atau pihak-pihak yang ikut pada kontrak disebabkan pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan janji dan tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawab mereka seperti ditentukan pada kontrak.
Terkait dengan pemutusan kontrak kerja kontruksi bila dilihat dari ketentuan Pasal 93 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2015 yang telah diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 dapat dilakukan bukan hanya disebabkan penyedia jasa melakukan wanprestasi, tetapi juga pemutusan kontrak bisa terjadi bila penyedia jasa kontruksi terbukti melakukan KKN, kecurangan dan
atau pemalsuan dalam proses pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang berwenang dan atau adanya pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN, dan atau pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang. 23
Manakala Penyedia dinilai tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang ditetapkan dalam kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 56 Perpres 16 Tahun 2018, maka Pejabat Penanda tangan Kontrak dapat memberikan sanksi berupa pemutusan Kontrak secara sepihak sebagaimana diatur dalam Lampiran Perka LKPP No. 9/2018, yang dicabut dengan Peraturan Kepala Lembaga LKPP Nomor 12 tahun 2021.Sedangkan dalam Peraturan Kepala Lembaga LKPP Nomor 12 tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia Dalam peraturan kepala LKPP diatur secara eksplisit tentang Penghentian Kontrak atau Berakhirnya Kontrak serta Pemutusan Kontrak.
Kontrak juga bisa berhenti apabila terjadi keadaan kahar. Penghentian Kontrak karena keadaan kahar dilakukan secara tertulis oleh Pejabat Penandatangan Kontrak dengan disertai alasan penghentian pekerjaan.
Penghentian kontrak karena keadaan kahar dapat bersifat sementara hingga Keadaan Kahar berakhir; atau permanen apabila akibat keadaan kahar tidak memungkinkan
23 Abdul Muin, H. Bastianon, Yoyon M. Darusman, “Pemutusan Kontrak Dalam Kontrak Kerja Kontruksi Yang Berdimensi Publik”, Jurnal Lex Specialis, Vol. 1, No. 1, (2020): 53, diakses 21 Desember 2022, http://
openjournal.unpam.ac.id/index.php/jlsp/index
24 Ketut Gede Mahendra, Putu Sugi Ardana, “Pemutusan Perjanjian Secara Sepihak dalam Kontrak Pengadaan
dilanjutkan/diselesaikannya pekerjaan. Dalam hal Kontrak dihentikan karena keadaan kahar, maka Pejabat Penandatangan Kontrak wajib membayar kepada Penyedia sesuai dengan kemajuan hasil pekerjaan yang telah dicapai setelah dilakukan pemeriksaan bersama atau berdasarkan hasil audit. Tidak termasuk Keadaan Kahar adalah hal-hal merugikan yang disebabkan oleh perbuatan atau kelalaian para pihak. Keterlambatan pelaksanaan pekerjaan yang diakibatkan oleh terjadinya Keadaan Kahar tidak dikenakan sanksi. Setelah terjadinya Keadaan Kahar, para pihak dapat melakukan kesepakatan, yang dituangkan dalam perubahan Kontrak. 24
Sedangkan kontrak berakhir apabila pekerjaan telah selesai dan hak dan kewajiban para pihak yang terdapat dalam Kontrak sudah terpenuhi. Terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak adalah terkait dengan pembayaran yang seharusnya dilakukan akibat dari pelaksanaan kontrak. Dalam hal kontrak telah berhenti karena pekerjaan telah selesai namun kontrak belum berakhir, apabila masih terdapat sisa pembayaran yang belum dibayarkan, Pejabat Penandatangan Kontrak melakukan sisa pembayaran tersebut kepada Penyedia.
Misalnya pembayaran atas sisa pekerjaan akibat keterlambatan yang melewati tahun anggaran atau pembayaran atas penyesuaian harga.
Pemutusan Kontrak adalah tindakan yang dilakukan oleh Pejabat Penandatangan
Kontrak atau Penyedia untuk mengakhiri berlakunya Kontrak karena alasan tertentu.
1) Pemutusan Kontrak oleh Pejabat Penandatangan Kontrak (PPK).
Pejabat Penandatangan Kontrak melakukan pemutusan Kontrak apabila:
1. Penyedia terbukti melakukan korupsi, kolusi dan/atau nepotisme, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses pengadaan yang diputuskan oleh Instansi yang berwenang.
2. Pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan korupsi, kolusi dan/
atau nepotisme dan/atau pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dinyatakan benar oleh Instansi yang berwenang;
3. Penyedia berada dalam keadaan pailit;
4. Penyedia terbukti dikenakan Sanksi Daftar Hitam sebelum penandatangan Kontrak;
5. Penyedia gagal memperbaiki kinerja setelah mendapat Surat Peringatan sebanyak 3 (tiga) kali;
6. Penyedia tidak mempertahankan berlakunya Jaminan Pelaksanaan;
7. Penyedia lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan;
8. berdasarkan penelitian Pejabat Penandatangan Kontrak, Penyedia tidak akan mampu menyelesaikan
Barang dan/atau Jasa Pada Pemerintah Kabupaten Buleleng”, Jurnal Hukum Vol. 4 No. 2, (Desember 2018):
68, diakses 15 Agustus 2022, doi: https://doi.org/10.37637/kw.v4i2.470
keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan kesempatan;
9. Penyedia Barang/Jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan;
10. setelah diberikan kesempatan kedua sebagaimana dimaksud pada huruf i, Penyedia Barang/Jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan; atau
11. Penyedia menghentikan pekerjaan selama waktu yang ditentukan dalam Kontrak dan penghentian ini tidak tercantum dalam program mutu serta tanpa persetujuan pengawas pekerjaan.
Dalam hal pemutusan Kontrak dilakukan karena kesalahan Penyedia:
1. Jaminan Pelaksanaan dicairkan;
2. Sisa Uang Muka harus dilunasi oleh Penyedia atau Jaminan Uang Muka dicairkan (apabila diberikan); dan 3. Penyedia dikenakan sanksi Daftar
Hitam.
Dalam hal dilakukan pemutusan Kontrak secara sepihak oleh Pejabat Penandatangan Kontrak karena kesalahan Penyedia, maka Pokja Pemilihan dapat menunjuk pemenang cadangan berikutnya pada paket pekerjaan yang sama atau Penyedia yang mampu dan memenuhi syarat. Apabila terjadi Pemutusan kontrak secara sepihak :
1. PPK melakukan evaluasi atas hasil pekerjaan yang telah dilakukan;
2. PPK membayar pekerjaan yang telah dikerjakan Penyedia dan dapat dimanfaatkan oleh PPK dengan memperhitungkan ketentuan mengenai sanksi dan denda sesuai dengan Peraturan LKPP tentang Pembinaan Pelaku Usaha Pengadaan Barang/Jasa;
3. PPK meminta Pokja Pemilihan untuk melakukan penunjukan langsung terhadap pemenang cadangan (apabila ada) atau Pelaku Usaha yang mampu;
Proses selanjutnya mengikuti mekanisme penunjukan langsung.
2) Pemutusan Kontrak oleh Penyedia.
Penyedia melakukan pemutusan Kontrak apabila:
1. Setelah mendapatkan persetujuan Pejabat Penandatangan Kontrak, Pengawas pekerjaan memerintahkan Penyedia untuk menunda pelaksanaan pekerjaan atau kelanjutan pekerjaan, dan perintah tersebut tidak ditarik selama waktu yang ditentukan dalam Kontrak.
2. Pejabat Penandatangan Kontrak tidak menerbitkan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) untuk pembayaran tagihan angsuran sesuai dengan yang disepakati sebagaimana tercantum dalam Syarat-syarat Kontrak.
Dari ketentuan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa PPK dapat memutuskan Kontrak secara sepihak, apabila kebutuhan barang/jasa tidak dapat ditunda melebihi batas berakhirnya kontrak; Berdasarkan
penelitian PPK, Penyedia Barang/Jasa tidak akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk menyelesaikan pekerjaan.
Setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan, Penyedia Barang/Jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan;
Menyimpang dari Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PPK dapat memutuskan SPK ini dengan pemberitahuan tertulis kepada Penyedia Barang. Apabila SPK diputuskan sebelum waktu pelaksanaan pengadaan berakhir dan pemutusan tersebut akibat Keadaan Kahar atau bukan karena kesalahan atau kelalaian Penyedia maka Penyedia berhak atas pembayaran pekerjaan sesuai dengan prestasi pengadaan yang dapat diterima oleh PPK.
Maka, atas dasar hal tersebut diatas PPK dapat memutus suatu perjanjian pekerjaan konstruksi dengan memberikan pemberitahuan secara tertulis kepada pihak penyedia.
Pada masa kini, adagium “hakim sebagai mulut undang-undang” sudah ditinggalkan, bahkan di negara dengan sistem hukum kontinental sekalipun, seperti Belanda, yang akar hukumnya sama dengan hukum kita. Sekarang di Belanda, putusan hakim, khususnya yurisprudensi, semakin dianggap sebagai sumber hukum yang penting.
Dengan demikian terjadi pertemuan yang
semakin dekat antara sistem common law dan Kontinental. Sangat disadari bahwa hakim itu memiliki kedudukan strategis sebagai pembuat hukum kedua (secondary legislature), setelah parlemen (primary legislature).25 Dengan otonomi yang ada padanya, hakim berkesempatan emas untuk membuat hukum baru melalui putusan-putusannya, apalagi ketika hukum lama sudah tidak memadai.
Richard A. Posner mengatakan hakim akan lebih baik dipandu oleh kecerdasan buatan (digitized artificial intelligence programs) jika semata-mata hanya menerapkan aturan teks hukum sebagaimana adanya bukan sebagaimana seharusnya.
Menurut Jimly Asshiddiqie kendati kedudukan yurisprudensi adalah sedemikian penting namun peranan yurisprudensi belum mendapat perhatian yang cukup, baik dalam pengajaran hukum maupun dalam praktik hukum, karena disebabkan beberapa faktor yakni:
Pertama, sistem pengajaran hukum kurang sekali menggunakan putusan hakim atau yurisprudensi sebagai bahan bahasan, yang disebabkan:
1. pengajaran hukum lebih menekankan penguasaan pengertian umum hukum, bersifat abstrak dalam bentuk generalisasi teoritik belaka;
2. sistem hukum yang berlaku menempatkan asas dan kaidah hukum yang bersumber pada peraturan perundang-undangan
25 Enrico Simanjuntak , “Peran Yurisprudensi dalam Sistem Hukum di Indonesia ,The Roles of Case Law in Indonesian Legal System”, Jurnal Konstitusi Vol. 16, No. 1, (Maret 2019): 99, diakses 19 Agustus 2021, doi: https://doi.org/10.31078/jk1615
sebagai sendi utama hukum yang berlaku, dan kurang memperhatikan pengertian atau tafsiran baru atas ketentuan peraturan perundang-undangan melalui yurisprudensi;
3. publikasi yurisprudensi sangat terbatas sehingga tidak mudah untuk didapat dan dipelajari/dibahas;
4. kebijakan penelitian hukum yang memberi ke lapangan fasilitas untuk penelitian putusan hakim atau yurisprudensi.
Kedua, dari segi praktik hukum, putusan hakim atau yurisprudensi legally non binding, karena sistem hukum Indonesia tidak menjalankan sistem presedent.
Namun, Sebastian Pompe membedakan makna preseden dengan yurisprudensi, baginya yurisprudensi merupakan putusan badan peradilan sedangkan precedent putusan yang mengikat hakim berikutnya. Ia mencontohkan di Belanda terdapat ketentuan yang mengharuskan precedent tersebut untuk diikuti. Dengan demikian doktrin preseden bukan hanya dikenal dalam tradisi common law namun juga dalam tradisi civil law. Hal ini semakin diperkuat dengan kecenderungan negara- negara anggota Uni Eropa yang kendati menganut tradisi civil law, namun semakin membuka ruang penerapan asas precedent. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan Mahkamah Eropa, European Court of Justice (ECJ), baik dalam teori dan praktik civil law, untuk semakin mengakui
manfaat pembentukan kaedah hukum dari hukum yurisprudensial (case-law).
Beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung menyatakan bahwa pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk perbuatan melawan hukum. Beberapa Yurisprudensi yang dimaksud sebagai berikut:
I. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 4/
Yur/Pdt/2018, menyatakan: “pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk dalam perbuatan melawan hukum”
II. Putusan Mahkamah Agung No. 1051 K/Pdt/2014 tanggal 12 November 2014, menyatakan : “Bahwa perbuatan Tergugat/Pemohon Kasasi yang telah membatalkan perjanjian yang dibuatnya dengan Penggugat/Termohon Kasasi secara sepihak tersebut dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain denga kesepakatan kedua belah pihak.”
III. Putusan Mahkamah Agung No. 580 PK/Pdt/2015 tanggal 17 Februari 2016, menyatakan: “Bahwa penghentian Perjanjian Kerjasama secara sepihak tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, oleh karena itu Tergugat harus membayar kerugian yang dialami Penggugat;”
IV. Putusan Mahkamah Agung No. 28 K/
Pdt/2016 tanggal 17 November 2016, menyatakan: “Bahwa sesuai fakta persidangan terbukti Penggugat adalah
pelaksana proyek sesuai dengan Surat Perintah Mulai Kerja yang diterbitkan oleh Tergugat I, proyek mana dihentikan secara sepihak oleh Para Tergugat, sehingga benar para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;”
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk dalam perbuatan melawan hukum. Perjanjian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah juga merupakan salah satu perjanjian, hanya saja, sebagaimana telah dikaji diatas, bahwa fungsi pemerintah dalam pengadaan barang/jasa pemerintah memiliki fungsi ganda (double rule).
Kontraktualisasi oleh pemerintah dilakukan dalam kapasitasnya sebagi subjek hukum privat (civil actor) dan dimungkinkan karena adanya prinsip kebebasan berkontrak. Namun persoalan mendasar dalam kontrak pengadaan barang/jasa adalah kedudukan pemerintah sebagai pihak dalam kontrak sekaligus juga pihak yang membuat aturan dalam pengadaan barang/jasa.
Fungsi ganda pemerintah dalam kontrak pengadaan barang/jasa dapat dibedakan akan tetapi sulit dipisahkan satu dengan yang lain.
Hal mana akan menyebabkan garis batas antara daya kerja hukum privat dan hukum publik sulit ditentukan karena terdapat kekaburan.
Kedudukan pemerintah yang istimewa dalam hubungan kontraktual itu terdapat pada fase pembentukan (perencanaan), fase pelaksanaan maupun fase penegakkan. Sekalipun kontrak yang terbentuk tergolong sebagai suatu kontrak
privat dan bukan administrative contract, dalam kontrak komersial yang dilakukan oleh pemerintah diterapkan prinsip dan norma hukum publik bersama-sama dengan norma dan prinsip hukum privat sebagai implikasi kedudukan pemerintah sebagai subjek hukum publik.
Dalam konteks pengadaan barang dan jasa pemerintah, kaidah yang lebih khusus adalah pengaturan pengadaan barang dan jasa sebagaimana diatur dalam Perpres 16 Tahun 2018, yang secara eksplisit juga telah mengatur terkait dengan pemutusan perjanjian sepihak oleh Pejabat Penanda Tangan Komitmen.
Adapun sanksi kontrak meliputi denda dan pemutusan kontrak. Manakala Penyedia dinilai tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang ditetapkan dalam kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 56 Perpres 16 Tahun 2018, maka Pejabat Penanda tangan Kontrak dapat memberikan sanksi berupa pemutusan Kontrak secara sepihak sebagaimana diatur dalam Lampiran Perka LKPP No. 9/2018, yang dicabut dengan Peraturan Kepala Lembaga LKPP Nomor 12 tahun 2021. Ketentuan yang diatur dalam Perpres maupun Lampiran Perka LKPP ini kemudian dimanifestasikan dalam pengaturan yang rigid dalam kontrak Jasa Konstruksi.
Kembali pada sifat karakter perjanjian dimana Pemerintah sebagai subjek hukum, yang menyebabkan kedudukan kedua belah pihak jika dikaji lebih dalam akan bertendensi timpang, serta domain hukum publik yang juga mewarnai pelaksanaan kontrak dalam
hal ini aspek pertanggung jawaban keuangan negara dan aspek kerugian negara, maka hal ini menjadi justifikasi bahwa Pejabat Penanda Tangan Komitmen selaku perwakilan dari negara memiliki kewenangan untuk memutuskan perjanjian sepihak, terutama ketika Penyedia telah melakukan sebagaimana hal-hal yang diatur dalam klausula pemutusan kontrak. Tentu saja hal ini harus diimbangi dengan PPK tidak secara sewenang-wenang melakukan pemutusan perjanjian sepihak tanpa memperhatikan syarat-syarat, kondisi dan kriteria yang diatur dalam kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi. Karena jika PPK abai akan hal ini maka dapat dikategorikan sebagai penyalah gunaan wewenang.
KESIMPULAN
Perjanjian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah juga merupakan salah satu perjanjian. Fungsi pemerintah dalam pengadaan barang/jasa pemerintah memiliki fungsi ganda (double rule). Kontraktualisasi oleh pemerintah dilakukan dalam kapasitasnya sebagi subjek hukum privat (civil actor) dan dimungkinkan karena adanya prinsip kebebasan berkontrak. Namun persoalan mendasar dalam kontrak pengadaan barang/
jasa adalah kedudukan pemerintah sebagai pihak dalam kontrak sekaligus juga pihak yang membuat aturan dalam pengadaan barang/jasa.
Kedudukan pemerintah yang istimewa dalam hubungan kontraktual itu terdapat pada fase pembentukan (perencanaan), fase pelaksanaan maupun fase penegakkan. Sekalipun kontrak
yang terbentuk tergolong sebagai suatu kontrak privat dan bukan administrative contract, dalam kontrak komersial yang dilakukan oleh pemerintah diterapkan prinsip dan norma hukum publik bersama-sama dengan norma dan prinsip hukum privat sebagai implikasi kedudukan pemerintah sebagai subjek hukum publik.
Dalam konteks pengadaan barang dan jasa pemerintah, kaidah yang lebih khusus adalah pengaturan pengadaan barang dan jasa sebagaimana diatur dalam Perpres 16 Tahun 2018, yang secara eksplisit juga telah mengatur terkait dengan pemutusan perjanjian sepihak oleh PPK. Manakala Penyedia dinilai tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang ditetapkan dalam kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 56 Perpres 16 Tahun 2018, maka Pejabat Penanda tangan Kontrak dapat memberikan sanksi berupa pemutusan Kontrak secara sepihak sebagaimana diatur
dalam Lampiran Perka LKPP No. 9/2018, yang dicabut dengan Peraturan Kepala Lembaga LKPP Nomor 12 tahun 2021. Ketentuan yang diatur dalam Perpres maupun Lampiran Perka LKPP ini kemudian dimanifestasikan dalam pengaturan yang rigid dalam kontrak Jasa Konstruksi. Dalam kondisi terpaksa melakukan pemutusan perjanjian secara sepihak, setelah memberikan kesempatan pada pihak penyedia untuk menyelesaikan kontrak, namun ternyata penyedia tetap tidak bisa menyelesaikan kontrak, maka dalam hal ini PPK hendaknya tidak secara sewenang- wenang melakukan pemutusan perjanjian sepihak tanpa memperhatikan syarat-syarat, kondisi dan kriteria yang diatur dalam kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi. Karena jika PPK abai akan hal ini maka dapat dikategorikan sebagai penyalah gunaan wewenang
DAFTAR PUSTAKA Buku
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
As’adi, Edi. Hukum Proyek Konstruksi Bangunan Dalam Prespektif Pelayanan Publik yang Baik di Indonesia.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.
Emanuel, Steven. Contract. New York: Aspen Publisher A Wolter Kluwer Company, 2003.
Fuadi, Munir. Kontrak Pemborongan Mega
Proyek. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.
Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian : Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersial. Yogyakarta: Laksbang Mediatama Bekerja sama dengan Kantor Advokat Hufron & Hans Simaela, 2008.
Manullang, E. Fernando M. Legisme, Legalitas dan Kepastian Hukum. Jakarta: PT.
Kharisma Putra Utama, 2017.
Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak-Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Mudjisantosa. Aspek Hukum Pengadaan dan Kerugian Negara.Yogyakarta:
Primaprint, 2014.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000).
Shopar Maru Hutagalung, Kontrak Bisnis di ASEAN, Pengaruh Sistem Hukum Common Law dan Civil Law, (Jakarta:Sinar Grafika, 2013).
Soekanto, Soerjono, Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers, 2004.
Subekti, R. Hukum Perjanjian. Jakarta:
Intermasa, 1998.
Susanti, Dyah Ochtorina. Penelitian Hukum.
Jakarta; Sinar Grafika, 2013.
Sutedi, Adrian. Aspek Hukum Pengadaan Barang & Jasa dan Berbagai Permasalahannya. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Syaifuddin, Muhammad. Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Prespektif Fiksafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum. Bandung: Mandar Maju, 2012.
Witanto, D.Y. Dimensi Kerugian Negara Dalam Hubungan Kontraktual, Suatu Tinjauan Terhadap Risiko Kontrak Dalam Proyek Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah. Bandung: Mandar Maju, 2012.
Yasin, Nazarkhan. Kontrak Konstruksi di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2014.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga Tentang Perikatan.
Peraturan Kepala Lembaga LKPP No.
9/2018 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia
Peraturan Kepala Lembaga LKPP Nomor 12 tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355).
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3833).
Yurisprudensi Nomor 4/Yur/Pdt/2018 Jurnal
Bastianon, Abdul Muin, H., Yoyon M.
Darusman, “Pemutusan Kontrak Dalam Kontrak Kerja Kontruksi Yang Berdimensi Publik”. Jurnal Lex Specialis, Vol. 1, No. 1, (2020):
53. http://openjournal.unpam.ac.id/
index.php/jlsp/index
Kuahaty, Sarah S. “Pemerintah Sebagai Subjek Hukum Perdata dalam Kontrak Pengadaan Barang atau Jasa”. Jurnal Sasi Vol. 17, No. 3, (Juli-September 2011): 56. Diakses tanggal 11 Desember 2022, doi: https://doi.org/10.47268/
sasi.v28i3
Mahendra, Ketut Gede, Putu Sugi Ardana.
“Pemutusan Perjanjian Secara Sepihak dalam Kontrak Pengadaan Barang dan/
atau Jasa Pada Pemerintah Kabupaten Buleleng”. Jurnal Hukum Vol. 4, No.
2, (Desember 2018): 68. Diakses 15 Agustus 2022. doi: https://doi.
org/10.37637/kw.v4i2.470.
Marzuki, Peter Mahmud. Batas-Batas Kebebasan Berkontrak. Yuridika Volume 18, No. 3, (2003).
Nurmantias. “Pembatalan, Kontrak secara Sepihak Akibat Penyalahgunaan Keadaan Dalam Kontrak”. Jurnal Gagasan Hukum, Vo. 2, No. 2(2020):
163. Diakses 1 November 2022.
doi: https://doi.org/10.31849/jgh.
v2i02.8556.
Pahlefi. “Klausula Pembatalan Sepihak dalam Perjanjian menurut Peraturan Perundang-undangan Indonesia”.
Jurnal Hukum Gorontalo Law Review Vol. 2 No 2, (Oktober 2019): 74.
Diakses 12 Juni 2022. doi: https://doi.
org/10.32662/golrev.v3i1.
Putri, Intan Manisa Aulia, Mulyani Djakaria, Yusuf Saepul Zamil, “Akibat Hukum Klausula Pemutusan Secara Sepihak Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Hak Milik Atas Tanah”.
Acta Diurnal, Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Fakultas Hukum Unpad, Vol. 3 Nomor 2, (Juni 2020): 232.
Diakses tanggal 11 November 2022.
doi: https://doi.org/10.23920/acta.v5i2 Rawis, Jelita Angela, Telly Sumbu, Reymen
M. Rewah. “Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Menurut Pepres Nomor 16 Tahun 2018”. Jurnal Lex Privatum Vol. 9, No. 1, (Januari-Maret 2021): 63. Diakses 20 Desember 2022.
Simanjuntak, Enrico. “Peran Yurisprudensi dalam Sistem Hukum di Indonesia, The Roles of Case Law in Indonesian Legal System”. Jurnal Konstitusi, Vol. 16, No.
1, (Maret 2019): 99. Diakses 19 Agustus 2021. doi: https://doi.org/10.31078/
jk1615.
Suryaningsih, Nissa Dayu, Yunanto. “Analisis Pemutusan Perjanjian Secara Sepihak (Perjanjian Kerja Konstruksi Harga Satuan Pembangunan Jembatan
Brawijaya antara Pemerintah Kota Kediri dan PT. Fajar Parahiyangan)”.
Law, Development & Justice Review, Vol.3 No. 1, (Maret 2021): 315. Diakses 22 Oktober 2022. doi: 10.14710/ldjr.
v5i2.16056.
Triawan, Heru. “Pelanggaran Prosedur Hukum Oleh Pejabat Pembuat Komitmen Dalam Pengadaan Barang/Jasa (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 162/PDT.G/2017/
PN.JKT.PST)”. Jurnal Ilmial Ilmu Pendidikan dan Sosial/Sosioedukasi, Vol. 11 No. 1, (Desember-Mei 2022):
23. doi: https://doi.org/10.36526/
sosioedukasi.v11i1.1758.
Widyarta, Gusti Ngurah Anom, I Wayan Arthanaya, Luh Putu Suyani,
“Pemutusan Kontrak Secara Sepihak oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Terhadap Penyedia Barang/Jasa”.
Jurnal Analogi Hukum Vol. 1, No. 2, (2019), 153–157. Diakses September 2021. doi: https://doi.org/10.22225/
ah.1.2.1743.153-157.
Thesis\Disertasi
Hamidah, Siti. “Perwujudan Asas Keseimbangan Ke Dalam Program Lingkage Perbankan Syariah”.
Disertasi. Malang: Universitas Brawijaya, 2017. Tidak dipublikasikan.