• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penafsiran Ulang Konsep “Kontekstualisasi” dalam Hadis: Kajian atas Hadis Tentang Kepemimpinan Perempuan

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Penafsiran Ulang Konsep “Kontekstualisasi” dalam Hadis: Kajian atas Hadis Tentang Kepemimpinan Perempuan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Lathaif: Literasi Tafsir, Hadis dan Filologi, Vol. 1 (2), 2022, (Juli-Desember) ISSN Elektronik : 2963-7678 ISSN Print : 2962-6153 Tersedia online di: https://ojs.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/lathaif/index

Penafsiran Ulang Konsep “Kontekstualisasi” dalam Hadis: Kajian atas Hadis Tentang Kepemimpinan Perempuan

Wendi Parwanto

IAIN Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia

E-mail:

wendiparwanto2@gmail.com

Abstract: Claims that women are weak, not authoritative, and tend to use their feelings, making women tend to be marginalized in their role as leaders. Especially in the textuality of the hadith, the Prophet Saw. stated that 'the lack of success of women's leadership'. So the purpose of this research is to re-read the capacity and credibility of women's leadership based on the hadith of the Prophet. This type of research is library research with a narrative-analytical method. The material source for this study is the hadith of the Prophet about women's leadership (from Abu Bakrah). The conclusion from this article is that contextualist understanding in interpreting the role of women as leaders needs to be done. However, this contextualist understanding cannot be generalized, because sometimes textualist understanding even accommodates contextualist meaning based on the reality at that time. Textualist and contextualist meanings can both be in a

"contextualist" context because it is closely related to the pattern of thinking of the community and the region in assessing women's leadership.

Abstrak: Klaim bahwa perempuan lemah, tidak berwibawa, dan cenderung menggunakan perasaannya, mambuat perempuan cenderung dimarginalkan perannya sebagai pemimpin. Apalagi dalam tekstualitas hadis Nabi Saw menyatakan bahwa ‘minimnya keberhasilan kepemimpinan perempuan’. Maka tujuan penelitian untuk membaca ulang kapasitas dan kredibelias kepemimpinan perempuan berlandaskan hadis Nabi Saw. Jenis penelitian ini adalah library research dengan metode naratif-analitis. Sumber material dalam studi ini adalah hadis Nabi Saw tentang kepemimpinan perempuan (dari Abu Bakrah). Kesimpulan dari artikel ini bahwa pemahaman kontekstualis dalam memaknai peran perempuan sebagai pemimpin perlu dilakukan. Namun, pemahaman kontekstualis tersebut tidak bisa digeneralisir, karena terkadang – pemahaman tekstualis-pun mengakomodir pemaknaan secara kontekstualis berdasarkan realitas saat itu. Pemaknaan secara tekstualis dan kontekstualis, sama-sama bisa berada dalam konteks “kontekstualis” karena erat kaitannya pola pemikiran masyarakat dan wilayah dalam menilai kepemimpinan perempuan.

Kata Kunci: Pemimpin, Hadis, Fungsi, Domesti dan Publik

(2)

PENDAHULUAN

Dalam sejarah masyarakat pra- Islam, keberadaan perempuan sering diskriminasi, marjinalisasi dan tidak dihargai, bahkan mirisnya, semua hak perempuan dicabut, kecuali hak hidup (Smith 1978; Yuangga Kurnia Yahya 2019). Terdapat dalam berbagai literatur sejarah masyarakat Arab Jahiliyyah pra-Islam, bagaimana mereka memperlakukan perempuan – misalnya, istri ayah bisa diwarisi oleh anaknya dan bahkan anaknya memiliki hak untuk menjualnya (Adinugraha, Maulana, and Sartika 2018;

Badruzaman 2019). Di sisi lain, ketika lahir anak perempuan dari sebuah keluarga, maka itu dianggap ‘cacat’

atau aib, sehingga banyak anak atau bayi perempuan yang tidak berdosa langsung dibunuh ketika lahir ke dunia (Ingrid Mattson 2013: 121).

Kemudian ketika Islam datang, Islam mulai memperkenalkan bagaimana pentingnya kedudukan perempuan dalam Islam dan kehidupan. Perempuan merupakan salah satu bagian penting dari laki-laki.

Maka perempuan juga harus dihormati dan dihargai. Islam datang mulai merenovasi dan memodifikasi hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat syari’at Islam, termasuk tentang kepemimpinan perempuan. Melalui kisah kesuksesan Ratu Bilqis yang terekam di dalam al-Qur`an, maka jelas Islam tidak menutup kiprah perempuan dalam dunia kepemerintahan, termasuk menjadi pemimpin (Mustaqim 2016:

34).

Terlepas dari hal di atas, posisi kepemimpinan perempuan masih terjadi silang pendapat di antara para ulama, ada yang membolehkan secara mutlak, ada juga yang melarang secara mutlak, namun ada juga yang

membolehkan dengan bersyarat (Irawaty A. Kahar 2008). Berdasarkan hal tersebut maka tema ini penting untuk kaji lebih lanjut – karena hal ini cukup penting, khususnya dalam konteks ke-Indonesiaan, karena di Indonesia, hampir di setiap lini kehidupan perempuan dan laki-laki memiliki andil yang sama, termasuk dalam kepemerintahan dan kepemimpinan.

Untuk melihat kebaharuan dan distingsi penelitian ini dengan kajian para peneliti sebelumnya, maka perlu melihat beberapa penelitian terkait tema serupa. Di antara kajian terbaru tentang kepemimpinan perempuan dalam hadis seperti Hadian Rizani dengan judul Kepemimpinan Perempuan dalam Hadis Nabi: Telaah Bahasa dan Konteks, terlihat dari judulnya bahwa analisis yang dilakukannya fokus pada aspek bahasa hadis dan konteksnya. Sehingga kesimpulan yang sampaikan bahwa hadis tentang kepemimpinan perempuan tidak bisa digeneralisir bahwa perempuan tidak bisa dijadikan pemimpin, karena lafadz dan konteks hadisnya berlaku secara khusus.

Kesimpulan kajian di atas sebenarnya serupa dengan beberapa kajian yang dilakukan oleh Firdaus, ddk: Kepemimpinan Wanita Perspektif Hadis (Kajian Kritik Hadis dengan Pendekatan Sosio-Historis- Kontekstual) (Firdaus 2022), Tomy Saladin: Menyoal Kepemimpinan Wanita dalam Hadis Nabi Saw.,(Saladin 2022) Danial:

Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Hadis (Danial 2020), Faridah, ddk: Kepemimpinan Perempuan dalam Tinjauan Hadis (Faridah et al. 2022). Kajian-kajian di atas, hanya berbeda dari aspek

(3)

penyajian dan struktur bahasannya, karena ada yang menggunakan model tematik artinya mengungkapkan dan mengumpulkan hadis tentang kepemimpinan perempuan dari beberapa literatur hadis, dan ada juga yang menggunkana model Mono- tematis, hanya menggunakan satu hadis tentang kepemimpinan perempuan lalu menganalisisnya dari aspek-aspek metodologis yang ditawarkan.

METODE PENELITIAN

Penelitian adalah jenis penelitian kepustakaan (library research), yakni fokus pada hadis tentang kepemimpinan perempuan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Pemilihan hadis ini karena termasuk hadis yang sering digaungkan oleh

‘mayoritas’ dalam memotret kepemimpinan perempuan (Mustaqim 2016; Tanggareng 2016). Di sisi lain, secara tekstual-literal, visual hadis tersebut ‘seolah-olah’ mendeskreditkan

perempuan dalam ranah

kepemimpinan. Jadi untuk melihat novelty dari hadis tersebut, penulis menggunakan model analisis Asbab al- Wurud ‘Amm (makro) dan Khas (Mikro) yang mana model ini dikenal dengan istilah ‘Double movement’

dalam Fazlur Rahman (Yusuf, Nahdhiyah, and Sadat 2021: 132).

Langkah metodologis yang akan dilakukan adalah: 1) Menganalisis potret kredibilitas rantai sanad dengan takhrij al-hadits; 2) Mendeskripsikan konfigurasi Asbab al-Wurud ‘Amm (makro) dan Khas (Mikro) terhadap hadis kepemimpinan perempuan; 3) Memvisualisasikan diversitas argumentasi ulama dan cendekiawan klasik dan kontemporer terhadap kepemimpinan perempuan, dan; 4)

Mengkontekstualisasikan maqashidi hadis dalam realitas milenial.

PEMBAHASAN

Tinjauan Ontologis Kepemimpinan Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi atau memberi contoh dari pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi (dalam Nurkolis 2003).

Sedangkan menurut beberapa ahli, kepemimpinan didefinisikan sebagai berikut: 1) Menurut Wahjosumidjo, kepemimpinan adalah kemampuan yang ada pada diri seorang leader yang berupa sifat-sifat tertentu, seperti:

kepribadian (personality), kemampuan (ability), dan kesanggupan (capability);2) Menurut Sutarto arti kepemimpinan adalah sejumlah atau serangkaian aktivitas dan pengelolaan, berupa kemampuan individu dalam mempengaruhi dalam situasi dan kondisi tertentu suapa orang tersebut berkeinginan untuk saling bekerja sama dalam mencapai tujuan yang telah dicanangkan (dalam Nurkolis 2003). 3) Menurut Moejiono, kepemimpinan adalah sebuah berkaitan dengan kualitas dan kemampuan dalam menciptakan serta memberikan pengaruh searah, karena pada dasarnya seorang pemimpin – idealnya memiliki kualifikasi dan kualitas tertentu yang berbeda dengan orang yang ia pimpin;

4) Ricard L. Daf, kepemimpinan adalah suatu pengaruh yang berhubungan antara pemimpin dan yang dipimpin; 5) Ken Blanchard dikutip oleh Marcelene Caroselli, kepemimpinan adalah

“pengaruh” bukan “kekuasaan”, sehingga pemimpin tahu bagaimana mempengaruhi orang lain sebagai tuntutan pekerjaan yang tinggi (dalam Irawaty A. Kahar 2008).

(4)

Berdasarkan beberapa definisi kepemimpinan di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan serta kecakapan seorang atasan (pimpinan) dalam mempengaruhi, memberikan contoh, mengarahakan serta memberikan bimbingan terhadap bawahannya atau orang yang dipimpinnya demi mencapai tujuan bersama. Jadi berdasarkan definisi ini, maka penting melihat bagaimana Islam memandang kepemimpinan perempuan dan dalam hal ini akan dilihat dari tinjauan hadis.

Kepemimpinan Perempuan Perspektif Hadis

Teks Hadis

“Ustman bin Haitsim telah menceritakan kepada kami, Auf telah menceritakan kepada kami, dari Hasan, dari Abi Bakrah. Dia berkata, sungguh Allah Swt. telah memberi manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat yang telah aku dengar dari Rasulullah pada waktu perang Jamal, sesudah hampir aku bertemu dengan pasukan yang mengendarai onta (yang dipimpin Aisyah), aku pun ikut bereperang bersama mereka. Dia berkata, ketika ada berita bahwa orang-orang Persia memberikan kepemimpinannya kepada binti Kisrah,

Nabi bersabda: “Tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan urusannya (untuk memimpin) mereka kepada perempuan.”(Bukhari 2006:

603 dan 978).

Potret Kualitas dan Kredibilitas Sanad dalam Takhrij Rijal al-Hadits

Hadis di atas terdapat dalam beberapa kitab hadis, namun yang akan dilihat pada pembahasan takhrij rijal al-hadits di sini adalah difokuskan pada hadis yang diriwayatkan oleh Al- Bukhari di atas. Namun secara umum, hadis ini diriwayatkan dari jalur periwayat yang sama, walaupun dimuat dalam kitab hadis yang berbeda.

Adapun rijal al-hadits dari hadis di atas adalah sebagai berikut:

‘Utsman bin ‘Umar al- Haitsam: Ia dinilai shaduq (benar) dan hasan al-hadits (hadisnya baik/bisa diterima). Guru-gurunya antara lain:

Hammad bin Salamah, ‘Auf bin Jamilah al-‘Arabiy, Dawud bin Qa`is, Said bin Abi Said, Harb bin Suraij, Syu’bah bin al-Hajjaj, Shalih bin Rustam, Abdula ‘Aziz bin Raqi’, Abdullah bin Mubarak, Abdullah bin

‘Amir, Hisyam bin Abdul Malik,

‘Umar bin Haitsam, Abdul Wahhab bin Mujahid, dan lainnya.Murid-muridnya antara lain: Ahmad bin Muhammad al- Mathar, Ahmad bin Ishaq, Ibrahim bin Ya’qub, Ibrahim bin Rasyid, Ibrahim bin Shalih, Ibrahim bin Abdullah, Abu Dawud ath-Thaba`is, Sulaiman bin Saif, Muhammad bib Ibrahim, dana lainnya .

‘Auf bin Jamilah al-‘Arabiy:

Ia dinilai shaduq (benar). Guru- gurunya di antaranya: Abu ‘Athiyah, Abu ‘Aliyah ar-Riyahi, al-Aswad bin Sari’, al-Hasan bin Abi Hasan Yassar

(5)

al-Bashri, Bakr bin Qais, Hakim al- Bashri, Hayyan bin al-Ala`, Hayyan bin ‘Umair, Khalid bin Dinar, Ziyad bin Abi Saudah, Said bin Yassar, Sulaiman bin Jabir, Syu’bah bin al- Hajjaj, ‘Abdullah bin Zaid, dan lainnya. Murid-muridnya antara lain:

Ibrahim bin Muhammad, Ishaq bin Yusuf, Ismail bin ‘Aliyah, al-Aswad bin ‘Amir, Husein bin Walid, Khalil bin Zakariya, al-Qasim bin Malik, Ja’far bin Harts, Ja’far bin Sulaiman, Hammad bin Zaid, Said bin ‘Amir, Sulaiman bin Hayyan, Syuraik bin Abdullah, Muawiyyah bin Umar,

‘Ustman bin ‘Umar al-Haitsam, Muhamamd bin Hasan, dan lainnya.

Hasan bin Abi Hasan Yassar al-Bashri: Ia dinilai tsiqah (terpercaya). Guru-gurunya di antaranya: Anas bin Hakim, Anas bin Malik, Hasan bin ‘Ali, Dhahak bin Sufyan, Dhahak bin Qais, Jabir bin Abdullah, Khidzaifah, bin al-Yamani, Nafi’ bin Harits ats-Tsaqafiy, Abu al-

‘Aliyah, Said bin Yassar, A’isyah binti Abu Bakar, Hisyam bin ‘Amir, Ummu Salamah, dan lainnya. Murid-muridnya antara lain: Abi Said al-Khuza’i, Abu Sufyan bin al-Alla`i, Ishaq bin Sulaiman, Ishaq bin Yassar, Ismail bin Muhajir, Hasan bin Abi Ja’far, Hasan bin Dzakwan, al-Khalil bin Abdullah, Mu`awiyyah bin Qurrah, Muhammad bin Umar al-Quraisy, Muhammad bin Ka’ab, ’Auf bin Jamilah al-‘Arabiy, Qatadah bin Nu’man, Thalhah bin Nafi’, Thalhah bin Umar, Ziyad bin Abi Ziyad al-Kufiy, dan lainnya (Ibnu Hajar al-Asqalaniy: 1993).

Nafi’ bin Harits ats-Tsaqafiy:

Ia adalah golongan sahabat, dikenal juga dengan Nafi’ b. Masruh, atau sering disebut dengan Abu Bakrah.

Guru-gurunya di antaranya: Aqra’ bin Habis at-Tamimi, Ziyad bin Abi Sofyan, Said bin Abi Waqash,

‘Abdullah bin Abi ‘Aufa al-Aslamiy, dan ‘Abdullah bin Qais al-Quraisy (Al- Asqalany: 1993).

Murid-muridnya antara lain:

Ibrahim bin Abdurrahman, Hasan bin Hasan Yassar al-Bashri, Humaid bin

‘Abdurrahman, Abu ‘Aliyah ar-Riyahi, Said bin Ibrahim al-Quraisy, Said bin Yassar al-Anshari, Thalhah bin

‘Abdullah al-Quraisy, Muhammad bin Syihab az-Zuhry,’Ashim bin al-‘Ajjaj,

‘Abdullah bin ‘Abdurrahman ats- Tsaqafi, Muhammad bin Sofwan, Muslim bin Abi Bakrah, Abu Utsman an-Nahdiy

Jadi berdasarkan takhrij rijal al- hadis di atas, terlihat bahwa sanad dalam hadis tersebut bersambung (ittishal as-sanad), ‘Ustman bin ‘Umar al-Haitsam berguru kepada ‘Auf bin Jamilah al-‘Arabiy, kemudian ‘Auf berguru kepada Hasan bin Abi Hasan Yassar al-Bashri, lalu Hasan al-Bashri berguru kepada Nafi’ bin Harits ats- Tsaqafiy. Selain bersambungnya sanad, para perawi dalam hadis tersebut juga tidak ada yang tercela.

Dengan demikian, maka hadis tersebut berkualitas shahih terbukti karena dimuat dalam kitab shahih al-Bukhari.

Untuk memudahkan pembaca, berikut gambar rantai sanad hadis di atas:

(6)

Gambar 1. Rantai Sanad Untuk memperjelas dan

mempermudah keterangan gambar di atas perhatikan tabel berikut:

Nama Periwayat/

Musnid

Urut- an Sanad

Urut- an Periw

ayat

Sighat taham mu wal

‘ada al- hadis Nafi’ b.

Masruh ats- Tsaqafi

(Abu Bakrah)

4 1 ‘An

Hasan b.

Abi Hasan Yassar

3 2 ‘An

‘Auf b.

Jamilah al-

‘Arabiy

2 3 Haddat

sana

‘Utsman

b. ‘Umar 1 4 Haddat

al-Haitsam sana

Imam Bukhari

Muha

rrij 5 -

Tabel 1. Urutan Sanad dan Perawi Berdasarkan gambar dan tebel di atas, selain untuk memudahkan pembaca juga menginformasikan kepada seluruh pembaca bahwa keberadaan sanad dan periwayat hadis yakni akan berbanding terbalik jika disajikan dalam rantai sanad dan periwayat. Mengapa ini penting diungkap, karena tidak semua pembaca memahami perbedaan sanad dan periwayat dari segi susunannya.

Apalagi para pembaca atau kaum akademisi pemula. Oleh kerana itu, penulis berinisiatif untuk memetakan dan menunjukkan perbedaan antara sanad dan periwayat khususnya berkaitan dengan hadis tentang kepemimpinan perempuan. Jadi,

Sanad Periwayat

Hadis Kepemimpinan Perempuan

Rasulullah Saw.

Nafi’ b. Harits ats-Tsaqafi Hasan b. Abi Hasan Yassar

‘Auf b. Jamilah al-‘Arabiy

‘Utsman b. ‘Umar al-Haitsam

Imam Bukhari 4

3

2

1

1 2 3 4

5 Mukharrij al-Hadis

(7)

dengan deskripsi rantai sanad dan periwayat di atas setidaknya mengandung dua informasi: Pertama, mengeksposisi dan memberikan informasi bahwa hadis tentang kepemimpinan perempuan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari merupakan hadis ittishal as-sanad.

Walaupun memang hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari merupakan hadis yang dinilai shahih oleh mayoritas ulama sehingga

‘kadang’ tidak perlu dilihat lebih jauh rantai sanad-nya, karena di antara syarat hadis shahih adalah ittishal as- sanad (sanadnya bersambung dalam setiap generasi). Meski demikian, deskripsi sanad di sini bukan berarti meragukan kualitas dan kredibilitas hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, namun untuk memberikan pengetahuan kepada para pembaca tentang siapa saja yang ada dalam rantai periwayatan hadis tentang kepemimpinan perempuan di atas.

Kedua, selain untuk memudahkan pembaca dan memberikan edukasi bagi para pembaca pemula tentang hadis, juga bertujuan untuk memberikan informasi tentang kualitas dan kredibilitas para periwayat yang bisa saja para periwayat ini meriwayatkan hadis- hadis lain, sehingga dengan melihat dan membaca artikel ini – setidaknya memberikan informasi bahwa orang- orang atau para tokoh periwayat dalam tulisan ini bisa tidak dilacak lebih jauh – ataupun jika ingin melacaknya setidaknya tulisan ini cukup membantu dalam proses takhrij as-sanad atau takhrij rijal al-hadis.

Konfigurasi Asbab al-Wurud Hadis Untuk melihat asbab al-wurud, dalam hal ini akan dilihat dari dari dua

sisi: Pertama, akan melihat asbab al- wurud secara khusus yang melatar- belakangi Rasulullah Saw.

mengucapkan hadis tersebut. Kedua, akan melihat perempuan dalam dimensi sejarah masyarakat Arab pra- Islam atau masyarakat Arab pada abad ke-7 dan hal inilah yang disebut asbab al-wurud makro (Mohd Sholeh Sheh Yusuff et al. 2017; Naqiyah Mukhtar 2013), dalam hal ini akan melihat bagaimana kiprah perempuan pada masa itu, karena hal ini cukup penting dipertimbangkan dalam memaknai dan memahami hadis di atas.

Asbab al-Wurud Hadis Mikro:

Konteks Nabi Muhammad Saw Sebagai Penutur

Nabi Muhammad Saw.

mengucapkan hadis di atas sewaktu mendengar laporan mengenai suksesi kepemimpinan perempuan di Negara Persia pada tahun 9 H (Syuhudi Ismail 1994: 65). Menurut tradisi yang berlaku di Persia sebelum itu, yang diangkat kepala Negara adalah seoarang laki-laki. Sedangkan pada tahun 9 H, yang terjadi justru menyalahi tradisi biasanya, yakni mengangkat kepala Negara seorang perempuan. Perempuan tersebut bernama Buawaran binti Syairawaihi bin Kisra bin Barwaiz. Dia diangkat menjadi ratu Persia karena suadara laki-lakinya terbunuh sewaktu melakukan perebutan kekuasaan (Muin 2013: 37).

Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat masih dipandang minor. Perempuan tidak dipercaya untuk mengurus masalah publik lebih-lebih masalah kenegaraan (Abdul Mustaqim 2016: 76).

(8)

Asbab al-Wurud Hadis Makro:

Konstruksi Perempuan dalam Konteks Masyarakat Arab Pra-Islam

Beragam literatur serta kajian yang telah dilakukan oleh sejumlah peneliti dalam memotret bagaimana sosio-kultural dan historisitas realitas masyarakat Arab pada masa jahiliyah atau realitas masyarakat Arab pra- Islam (M. Quraish Shihab 2009: 8). Di antara ciri dan model kehidupan masyarakat Arab jahiliyah adalah dengan gaya kehidupan hedonisme, yakni barometer kebahagiaan serta kepuasan hidup hanya diukur dari kefenomenalan, kemegahan dan banyaknya materi kekayaan (Abdurrahman 2013: 72-73). Di samping itu juga termasuk pola hidup yang patriarki, yakni wanita atau perempuan didiskreditkan dalam sejumlah lini kehidupan, khususnya dalam ruang sosial-kemasyarakatan (Ahmad Hanif 2017; Koburtay, Abuhussein, and Sidani 2022: 211).

Terdapat gap, hirarki sosial atau kelas sosial antara laki-laki dan perempuan yang senantiasa digaungkan. Jadi jika dalam suatu keluarga terdapat laki-laki, maka ia dipandang sebagai the full of power, sehingga apapun yang ia perintahkan atau yang menjadi keinginannya, maka harus dilakukan atau dituruti (Efyanti et al. 2021; Munfarida 2015:: 67).

Lebih jauh bahwa pola hidup yang patriarki ini direpresentasikan dengan berbagai ragam misalnya seseorang laki-laki bebas menikah dengan banyak perempuan secara tidak terbatas (unlimited), tanpa harus menceraikan istrinya yang lain.

Demikian juga istri dari ayah atau bapak, jika ayah atau bapaknya meninggal, maka anak laki-lakinya boleh mewarisi menikahi dan

mengawini ibunya tersebut bahkan juga boleh menjualnya. Jadi dengan bahasa kasarnya, bahwa ketika orang tua (laki-laki) yang meninggal, maka yang diwarisi bukan hanya harta dan kekayaan, tetapi juga istrinya (Ahmad Hanif 2017; Ajid Thahir 2014: 213).

Dengan demikian, saat itu perempuan dinilai sebagai makhluk yang hina dan tidak berharga sama sekali, mereka dianggap sebagai

‘mahkluk mati’, sehingga realitas keberadaan perempuan bebas diperjual- belikan (Sulasman 2013: 21-22), dijadikan budak dan pemuas nafsu di mana-mana, sehingga saat itu mudah mencari tempat ‘pemuas nafsu’, karena hanya dengan mencari tempat atau rumah yang di depannya menancapkan bendera, maka rumah tersebut terdapat perempuan di dalamnya yang siap melayani (M. Quraish Shihab 2011:

113).

Realitas saat itu bahwa perempuan benar-benar dimarginalkan dalam ruang kehidupan, sehingga sebagai kausatif perlakuan yang demikian terhadap perempuan, maka tidak sedikit dari bayi perempuan yang lahir langsung dibunuh dan dikubur hidup-hidup oleh keluarganya, karena malu dan mengindikasikan aib bagi keluarga, jika dalam lingkungan keluarga tersebut terdapat perempuan.

Di sisi lain, sebagai kausatif dan implikasi dari adanya konstruksi kelas atau hirarki sosial, maka sering kali terjadinya penyerangan dan penindasan dari golongan yang kuat terhadap yang lemah, khususnya kepada kolompok nomaden (hidup berpindah-pindah), perempuan dari kelompok yang lemah ini menjadi ‘santapan empuk’ bagi kelompok yang kuat, sehingga sering kali perempuan menjadi korban

(9)

penculikan, pemerkosaan, dan kawin paksa (Parwanto 2013: 99)

Dengan demikian, untuk meminimalisasi aib keluarga, maka

‘pemusnahan perempuan’ seudah menjadi tradisi dalam realitas masyarakat saat itu. Sebagaimana di atas, seperti membuang bayi perempuan, menguburnya hidup-hidup, dan lain sebagainya (Suwandi 2011:

88-89). Demikian juga potret lain sebagai bukti dari pola hidup yang patriarki adalah model pernikahan yang beragam dan kesemuanya itu dinilai merendahkan derajat perempuan, seperti pernikahan istibdha`, al-Maqthu, , ar-Rathum, al-Khadan, al-Badal, dan pernikahan asy-Syighar (M. Quraish Shihab 2011: 113-114; Munfarida 2015: 45). Jadi berdasarkan pemaparan perempuan dalam dimensi historis masyarakat pra-Islam di atas, maka terlihat bahwa pada masa itu perempuan benar-benar tidak dihargai, laki-laki mendominasi dalam setiap lini kehidupan.

Variasi Argumentasi Ulama Tentang Kepemimpinan Perempuan

Dalam melihat pendapat para ulama tentang kepemimpinan perempuan, maka penulis akan mengelompokkan menjadi dua, yaitu:

pendapat para ulama klasik dan pendapat ulama kontemporer:

Argumentasi Ulama Klasik

Menurut Imam Ahmad b.

Hambal, Imam Malik, dan Imam Syafi’i, mayoritas mereka berargumentasi bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, walaupun dalam scope yang kecil dan terbatas. Alasanya karena walau bagaimana pun estapet kepemimpinan bak dalam scope luas dan terbatas secara substansinya adalah sama, dan

yang menjadi distingsi atau diferensiasinya adalah pada wilayah atau cakupan kekuasaannya saja.

Legalisasi argumentasi mereka adalah larangan Nabi Muhammad Saw.

melarang seorang perempuan menjadi pemimpin sebagaimana tekstualitas hadis di atas (dalam Efyanti et al. 2021;

Irawaty A. Kahar 2008; Maghfirah, Maulidizen, and Hasbullah 2020).

Kemudian Imam Abu Hanifah, menurutnya bahwa perempuan atau wanita diperbolehkan menjadi qadhi atau hakim, namun tidak boleh menjadi hakim atau qadhi dalam perkara pidana (Taqiyuddin Abil Fath 2008: 139).

Sedangkan menurut al-Khaththabi, makna hadis di atas mensinyalir bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, ini karena ketidakbisaan dirinya menikahkan dirinya sendiri dan tidak bisa menikahkan atau menjadi wakil atau wali nikah bagi perempuan lain (dalam Ibnu Hajar al-Asqalaniy n.d.: 429).

Kemudian menurut Imam Al- Baghawi, termasuk seorang mufassir, beragumentasi bahwa perempuan tidak seharusnya menjadi pemimpin, kepala negara atau qadhi (hakim), dengan alasan bahwa seorang pemimpin atau imam pasti melakukan perjalanan ke luar untuk mengatur, mengurusi dan melaksanakan jihad. Termasuk qadhi atau hakim, ia harus keluar rumah untuk mengurusi perkara yang disidangkan dan sebagainya. Padahal dalam hal ini, perempuan umumnya identik dengan aurat sehingga pekerjaan semacam itu dirasa kurang baik dan kuras cocok dengan kodratnya. Dengan demikian, maka perempuan idealnya berkerja dalam beberapa pekerjaan saja (dalam Ibnu Hajar al-Asqalaniy n.d.: 123).

(10)

Selanjutnya menurut Said Hawa, ketidak-bolehan perempuan menjadi pemimpin karena sifat dan tabiat perempuan. Perempuan identik dengan kelemah-lembutan sehingga mereka dianggap kurang cakap dalam mengurusi segala hal yang berkaitan dengan kepemimpinan, termasuk seperti berkerja secara kontinu, memimpin tentara, serta mengela sejumlah diversitas urusan-urusan lainnya dan segala urusan ini dirasa berat dan melelahkan bagi kaum perempuan (Said Hawa 2004: 484)

Kemudian menurut Ibnu Jarir ath-Thabariy, seorang mufassir yang cukup fenomenal, Thabary beragumentasi bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan bukan hanya realitas pada aspek kekuatan fisik semata, tetapi termasuk pada aspek intelektual serta tanggung jawab dalam memenuhi hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh Allah Swt.

seperti: membayar mahar, nafkah dan kifayah (Ibnu Jarir Ath-Thabariy 1998:

290).

Sedangkan menurut Imam az- Zamakhsyari, dikenal seorang mufassir dirayah, berargumentasi bahwa di antara kelebihan dan keunggulan laki- laki dari perempuan sehingga laki-laki lebih berhak menjadi pemimpin adalah seperti; akal dan pengetahuan (al-‘Aql), ketegasan (al-Hazm), i`tikad dan tekatnya yang kuat (al-‘Azm), kekuatan fisik (al-Qudrah), secara umum memiliki kemampuan menulis (al- Kitabah), dan memiliki keberanian (al- Furusyah wa ar-Ramyu) (Az- Zamakhsyari n.d.: 537).

Argumentasi Ulama Kontemporer Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab, mufti Mesir termasuk di antara ulama berpengaruh yang membolehkan wanita menjadi kepala negara dan

jabatan tinggi apapun seperti hakim, menteri, anggota DPR, dan lain-lain.

Namun, ia sepakat dengan Yusuf Qardhawi bahwa kedudukan al- Imāmah al-`Udzma yang membawahi seluruh umat Islam dunia harus dipegang oleh laki-laki karena salah satu tugasnya adalah menjadi imam shalat. Menurut Yusuf al-Qardhawi, ia memperbolehkan wanita dalam berpolitik, Al-Qardhawi juga menjelaskankan bahwa penafsiran terhadap surat an-Nisa [4]: 34 “ar- Rijalu qawwamuna ‘ala an-Nisa’;

bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau tafsir surat an-Nisa [4]: 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidikanya tatkala dia melakukan penyimpangan.

“Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu lebih unggul dan lebih baik daripada wanita. Oleh karena itu, kenabian hanya diberikan kepada kaum laki-laki (Yusuf Al-Qaradhawi 2008: 126).

Menurut al-Ghazali, ia berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menjadi khalifah kenegaraan dan kehakiman dengan hujjah hadis yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah di atas, penganut pendapat ini beranggapan bahwa kondisi psikis perempuan membuatnya lemah dalam mengambil keputusan dan kurangnya keleluasaan perempuan untuk beraktifitas di kenegaraan, mengingat adanya peran kodrati perempuan sebagai ibu (Salman bin Fadh Al-Audah n.d.: 53).

Menurut Mahmud Syaltut, ia menjelaskan bahwa tabiat kemanusian antara laki-laki dan perempuan hampir sama. Allah Swt. telah

(11)

menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki; Tuhan menganugerahkan kepada mereka berdua potensi dan kemampuan untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis ini dapat melaksanakan berbagai aktifitas, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Karena itu, syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka yang sama (Mahmûd Syaltût n.d.: 193).

Menurut Muhammad Sayid Thanthawi, Syekh al-Azhar dan Mufti Besar Mesir, ia menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam posisi jabatan apapun tidak bertentangan dengan syariah. Baik sebagai kepala negara (al-wilāyah al-`uzma) maupun posisi jabatan di bawahnya. Menurut M. Quraish Shihab, ia mengatakan bahwa keistimewaan laki-laki di sini, selain karena perbedaan jenis kelamin tetapi juga keistimewaan yang sepadan dengan adanya tanggung jawab yang harus dipenuhinya kepada istri, yaitu nafkah. Jika kedua aspek di atas tidak terdapat dalam suami (kekuatan dan kewajiban nafkah) maka tidak ada keistimewaan baginya dan istri bisa saja mengambil alih kepemimpinan dalam rumah tangganya (M. Quraish Shihab 2009: 369).

Terlepas dari berbagai distingsi dan diveritas argumentasi para ulama di atas, maka juga penting menimbang konteks turunnya atau hal yang melatar-belakangi Nabi Muhammad Saw. mengucapkan dan menuturkan hadis tersebut. Karena yang menjadi titik poin tentang kebolehan atau ketidak-bolehan kepemimpinan perempuan adalah berangkat dari hadis di atas.

Oleh karena itu, sebagaimana yang telah dijelaskan tentang konteks

asbab al-wurud sebelumnya, baik secara makro (‘amm atau macro) dan mikro (khas/micro). Maka dengan demikian, Nabi Muhammmad Saw, tidak menutup secara mutlak tentang ketidak-bolehan perempuan menjadi pemimpin. ‘kecaman’ yang terdapat dalam hadis tersebut karena kepemimpinan perempuan saat itu belum dikenal luas oleh masyarakat ramai dan kredibelitas dan kualitas perempuan saat itu juga masih dipandang ‘picik’ oleh mayoritas, yang mana idealnya pemimpin adalah orang yang mempunyai kekuatan (power) baik secara internal (terkait kualitas, kredibelitas dan kapasitasnya), maupun secara eksternal (perpektif khalayak terhadapnya)

Kiprah Perempuan dalam Lembar Sejarah Keislaman

Sebenarnya tentang

kepemimpinan perempuan dalam Islam mestinya tidak mengandung polemik jika ditelaah mendalam berdasarkan kajian historisitasnya. Untuk melihat potret kepemimpinan perempuan dalam Islam bahkan – pra Nabi Muhammad Saw-pun telah terjadi.

Misalnya pra-Nabi Muhammad Saw, kepemimpinan perempuan – bahkan menuai kesuksesan besar adalah kepemimpinan Ratu Syeba yang lebih dikenal dengan Ratu Bilqis di negeri Saba’. Kesuksesan dan kecerdasan kepemimpinan Ratu Bilqis sampai diabadikan di dalam al-Quran (Qs. an-Naml [27]: 27-33) tentang bagaimana ia melakukan pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan sehingga tidak berdampak negatif atas pasukannya.

Singkatnya bahwa ketersohoran kepemimpinan dan kesuksesan Ratu Bilqis atas kerajaannya – pun membuat

(12)

Nabi Sulaiman as. ‘tercengang’

sehingga memotivasinya membuat sebuah strategi bagaimana supaya kemegahan istana Ratu Bilqis dapat ditandingi dan Ratu berserta para pengikutnya bisa tunduk atas agama Allah yang dibawa oleh Nabi Sulaiman as (Fathurrosyid 2013).

Meskipun dengan cerita atau informasi singkat dari narasi al-Qur`an tentang penggalan kisah Ratu Bilqis, namun cukup mengindikasikan bahwa ada kepemimpinan seorang Ratu yang sukses pada masanya jauh sebelum Islam disebarkan dan diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Selanjutnya pada masa sahabat, tidak bisa dipungkiri bahwa pada masa sabahat – pun terdapat kiprah seorang

perempuan dalam dunia

kepemimpinan, yakni A’isyh r.ha.

(ummu al-mukminin). A’isyah bersama Thalhah dan Zubair sempat bergabung memimpin perang melawan kelompok Ali b. Abi Thalib pada perang Jamal tahun 656 M (Agwinanda Afina 2018).

Meskipun pada akhirnya A’isyah ditangkap tanpa diciderai sedikitpun.

Namun, kiprah A’isyah tidak bisa dihapus dalam rekam historis kiprah perempuan dalam memimpin pasukan di medah perang (Ristiana 2008).

Dengan potret kepemimpinan A’isyah ini, dan jika memang ‘tidak boleh’ perempuan menjadi pemimpin, maka para sahabat saat itu tidak mungkin mau ikut berperang dengan dipimpin oleh seorang perempuan.

Berdasarkan deskripsi tentang dua kepemimpinan perempuan di atas, maka informasi yang dapat diambil bahwa kepemimpinan bukan dilihat dan dinilai dari gender, tetapi dipertimbangkan dengan dan melalui kemampuannya, kredibilitasnya, dan kapisitasnya dalam memimpin dan

mengayomi masyarakat yang dipimpinnya.

Kontekstualisasi Kepemimpinan Perempuan di Era Milenial

Kontekstualisasi yang dimaksud di sini adalah pemaknaan dan penerapan hadis sesuai dengan konteks realitas yang ada. Artinya bahwa sebuah informasi dipahami dan diinternalisasikan dengan melihat pertimbangan-pertimbangan yang memungkinkan diterapkannya sebuah informasi tersebut. Oleh karena itu, kontekstualisasi bukan berarti hadis mesti dipahami secara ‘kontekstual tunggal’ dengan mengkesampingkan makna tekstualnya.

Namun, kontekstualisasi yang penulis maksud adalah bisa saja hadis dipahami secara tekstual ataupun secara kontekstual layaknya pemahaman dalam konsep kontekstual secara umum. Pada dasarnya, kata

‘kontekstualisasi’ artinya ‘proses’, yakni proses menyesuaikan sebuah informasi dengan konteks atau realitas yang ada. Dengan demikian, tidak selalu pemahaman kontekstual yang

umumnya dipahami akan

mengakomodir pola

kontekstualitasnya. Namun bisa saja pemahaman secara tekstual – pun mengakomodir nilai-nilai kontekstual.

Demikian juga dengan model memahami hadis tentang kepemimpinan perempuan, kontekstualisasi pemahaman hadis ini bisa dilihat dari dua sisi: Pertama, hadis tentang kepemimpinan perempuan dimaknai secara tekstual dalam lingkup kontekstual, maksudnya adalah – pola pemahaman hadis tentang kepemimpinan perempuan tidak bisa dipahami dengan mengeneralisir konteks, misalnya

(13)

barometer konteks yang digunakan adalah ‘Indonesia’. Namun, tetap memicu polemic understanding karena bisa saja ada wilayah-wilayah tertentu di Indonesia yang masih menganggap kepemimpinan perempuan sebagai sesuatu yang ‘tabu’ dan perempuan dipandang lemah dari pada laki-laki meskipun secara hirarki pendidikan dianggap sudah mumpuni.

Maka jika menghadapi situasi dan kondisi sosial semacam ini, makna hadis tentang kepemimpinan perempuan mesti dipahami secara tekstual selama stigma dan perspektif masyakarat belum berubah. Jadi model pemahaman tekstual yang diambil dari hadis, tetap menagkomodir pola kontekstual karena merupakan sebuah proses penyelarasan makna hadis dengan realitas yang ada di suatu tempat atau wilayah. Dengan model pemahaman pertama ini, memberikan space bahwa ‘kontekstual’ atas hadis kepemimpinan perempuan tidak selamanya dipahamai sebagaimana

‘kontekstual’ yang dipahami oleh umumnya para pengkaji, karena pada dasarnya pemaknaan ‘kontekstual’

sejatinya adalah ‘proses penyesuaian dengan realitas dalam memaknai sesuatu informasi’.

Dengan demikian, maka setidaknya dalam proses pemaknaan hadis tentang kepemimpinan perempuan ini, ada dua variabel yang mesti dipertimbangkan dan diperhatikan: 1) pemahaman dan penilaian masyarakat atas kepemimpinan perempuan, dan 2) konteks wilayah atau daerah, yang tidak bisa digeneralisir berdasarkan kasus umum atau wilayah secara umum, mesti ada pemetaan konsep atau kasus, sehingga pemaknaan suatu

informasi (termasuk pemaknaan hadis) lebih akomodatif dan proporsional.

Selanjutnya, kontekstual secara general dengan melihat berbagai variable-variabel yang mengintari sebuah hadis, termasuk melihat realitas pra dan masa hadis tersebut diucapkan oleh Rasulullah Saw, dan model pemahaman kontekstual semacam inilah yang sering ditemukan dalam mayoritas tulisan yang membahas kontekstualisasi al-al-Qur`an ataupun hadis. Termasuk dalam memahami hadis tentang kepemimpinan perempuan.

Dalam memaknai hadis kepemimpinan perempuan dengan pola pemahaman kontekstual-general ini adalah: 1) Realitas pra dan masa nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad Saw. mengucapkan hadis tersebut karena pada waktu itu dalam kerajaan Persia belum pernah mengangkat perempuan sebagai kepada negera.

Selain itu, pada waktu itu, di Persia perempuan masih tidak dihargai dan dihormati. Ini juga diperkuat dengan deskripsi masyarakat pada masa pra- Islam di atas, bahwa perempuan diskreditkan bukan hanya dari ruang publik, namun dalam segala hal perempuan dimanginalkan.

Maka dengan hal itu, dirasa wajar jika Nabi Muhammad Saw.

mengucapkan hadis tersebut yang menyatakan “ketidak-suksesan suatu negara yang dipimpin oleh perempuan”, karena logikanya jelas bahwa seorang pemimpin harus berwibawa, dihargai dan dihormati.

Jadi, jika perempuan memimpin pada saat itu, tidak dihargai dan dihormati, maka imbasnya adalah suatu pemerintahan tersebut tidak akan bisa berjalan dengan baik dan normal.

(14)

2) Konteks zaman secara umum, sekarang zaman sudah berubah, perempuan tidak lagi dikesampingkan, didiskredit dan dimarginalkan – bahkan sekarang perempuan sudah banyak yang berkiprah dalam berbagai bidang pekerjaan, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya. Hak asasi manusia sudah dijaga, sehingga perempuan sudah dihargai dan dihormati. Dengan demikin, maka saat ini perempuan juga memiliki kesempatan untuk berkiprah dalam dunia kepemimpinan selama ia memiliki kualitas, kapabelitas, kompetensi dalam bidang tersebut.

KESIMPULAN

Terdapat dua pendapat dalam memahami hadis tentang kepemimpinan perempuan: Pertama, golongan tekstual (tidak boleh perempuan menjadi pemimpin) argumentasinya bahwa laki-laki diberi kelebihan atas perempuan, khususnya dalam akal atau pengetahuan (al-‘aql), ketegasan (al-hazm), tekadnya yang kuat (al-‘azm), kekuatan fisik (al- qudrah) dan keberanian, dan kesemuanya ini umumnya sedikit dimiliki oleh perempuan. Kedua, golongan kontekstual-general (perempuan diperbolehkan menjadi pemimpin) – asalkan memiliki kualitas, kapabelitas, serta memiliki kompetensi dalam bidang tersebut. Landasan argumentasi lainnya bagi golongan ini bahwa Nabi Muhammad Saw.

mengucapkan hadis di atas karena saat itu kepemimpinan perempaun belum dikenal luas dan keberadaan perempuan masih dimarginalkan, tidak dihargai, tidak dihormati. Berbeda dengan sekarang, perempuan sudah diakui haknya, perempuan sudah dihargai, maka mereka juga memiliki

kesempatan untuk berkiprah dalam dunia kepemerintahan, termasuk menjadi pemimpin.

REFERENSI

Abdul Mustaqim. 2016. Ilmu Ma’anil Hadis. Yogyakarta: Idea Press.

Abdurrahman. 2013. Kitab Sejarah Nabi Muhammad Saw.

Yogyakarta: DIVA Press.

Adinugraha, Hendri Hermawan, Asep Suraya Maulana, and Mila Sartika. 2018. “Kewenangan Dan Kedudukan Perempuan Dalam Perspektif Gender: Suatu Analisis Tinjauan Historis.” Marwah:

Jurnal Perempuan, Agama Dan Jender 17(1):42. doi:

10.24014/marwah.v17i1.4515.

Agwinanda Afina. 2018. Dinamika Peran ‘Aisyah Radiyallahu ‘Anha Dalam Perang Jamal (Perspektif Syiah-Sunni). Semarang:

Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Ahmad Hanif. 2017. “LEARNING SOCIETY ARAB PRA ISLAM (Analisa Historis Dan Demografis).” Kuttab 1(1):1576–

80.

Ajid Thahir. 2014. Sirah Nabawiyyah.

1st ed. Bandung: Marja.

Az-Zamakhsyari. n.d. Al-Kassyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil Wa ‘Uyun Al- Aqawil Fi Wujuhi at-Ta’wil.

Aplikasi Maktabah Syamilah.

Badruzaman, Abad. 2019. “Protret Kaum Perempuan Pra-Islam Dalam Al-Qur`an.” Qof 3(2):89–

110. doi: 10.30762/qof.v3i2.1577.

Bukhari, Imam. 2006. Shahih Bukhari.

Riyadh: Maktabah Ar-Rashad.

Danial. 2020. “Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif Hadis Women’s Leadership in Hadith Persfective.”

(15)

Liwaul Dakwah 10(2):20.

Efyanti, Yasni, Yasni Efyanti, Doli Witro, and Ike Yulisa. 2021.

“Women Leadership in Islamic Political and Legal Perspectives.”

Raheema 7(2):17–29.

Faridah, Faridah, Siar Ni’mah, Muhammad Yusuf, and Kusnadi Kusnadi. 2022. “Kepemimpinan Perempuan Dalam Tinjauan Hadis.” Jurnal Al-Mubarak:

Jurnal Kajian Al-Qur’an Dan Tafsir 7(1):10–22. doi:

10.47435/al-mubarak.v7i1.1054.

Fathurrosyid. 2013. “Ratu Balqis Dalam Narasi Semiotika Al- Qur`an.” Palastren 6(2):245–76.

Firdaus, dkk. 2022.

“KEPEMIMPINAN WANITA DALAM PERSPEKTIF HADIS (Kajian Kritik Hadis Dengan Pendekatan Sosio-Historis- Kontekstual).” Imtiyaz 6(2):101–

12.

Ibnu Hajar al-Asqalaniy. 1993. Tahdzib At-Tahdzib. Beirut, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Ibnu Hajar al-Asqalaniy. n.d. Fath Al- Bârî. Beirut, Libanon: Darul Ma’riifat.

Ibnu Hajar al-Asqalaniy. n.d. Fath Al- Barri. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Ibnu Jarir Ath-Thabariy. 1998. Jami’

Al-Bayan an Ta`wil ay Al-Qur`an.

Beirut: Darr Al-Fikr.

Ingrid Mattson. 2013. The Story of The Qur`an (Terj). Jakarta: Mizan.

Irawaty A. Kahar. 2008. “Konsep Kepemimpinan Dalam Perubahan Organisasi Pada Perpustakaan Perguruan Tinggi.” Pustaha 4(1).

Koburtay, Tamer, Tala Abuhussein, and Yusuf M. Sidani. 2022.

“Women Leadership, Culture, and Islam: Female Voices from Jordan.” Journal of Business

Ethics (2018). doi:

10.1007/s10551-022-05041-0.

M. Quraish Shihab. 2009a. Perempuan.

Jakarta: Lentera Hati.

M. Quraish Shihab. 2009b. “Tafsir, Ta`wil, Hermeneutika : Suatu Paradigma Baru Dalam Pemahaman Al_Qur`an.” Suhuf 2(1):8.

M. Quraish Shihab. 2011. Memabaca Sirah Nabi Saw. Dalam Sorotan Al-Qur`an Dan Hadis Shahih.

Jakarta: Lentera Hati.

Maghfirah, Maghfirah, Ahmad Maulidizen, and Hasbullah Hasbullah. 2020. “Women’s Leadership in Islam with Asbāb Al-Wurūd Approach.” Madania:

Jurnal Kajian Keislaman

24(2):145. doi:

10.29300/madania.v24i2.3433.

Mahmûd Syaltût. n.d. Min Taujîhât Al- Islâm. Kairo: Al-Idârah al-Âmah li al-Azhar.

Mohd Sholeh Sheh Yusuff, Yusuff Haji Othman, Mat Rani Abdul Manaf, and Mohamad Hazli Ismail. 2017. “Sabab Nuzul Ayah (The Contexts and Occasions of the Revelation of the Quran) at Tafsir Tarjuman Al-Mustafid: A Genetic Approach in Surah Al- Baqarah.” International Journal of Humanities and Social Science 7(8):79–85.

Muin, Munawir. 2013. “Pemahaman Komprehensif Hadis Melalui Asbab Al-Wurud.” Addin 7(2):291–306.

Munfarida, Elya. 2015.

“PERKAWINAN MENURUT

MASYARAKAT ARAB PRA ISLAM.” Historis 10(2):212–32.

Mustaqim, Abdul. 2016. Ilmu Ma’anil Hadis. 2nd ed. Yogyakarta: Idea Press.

(16)

Naqiyah Mukhtar. 2013. Ulumul Qur`an. Purwokerto: STAIN Press, Purwokerto.

Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah : Teori, Model Dan Aplikasi. Yogyakarta: Grasindo.

Parwanto, Wendi. 2013.

“REINTERPRETASI

KESAKSIAN PEREMPUAN

DALAM QS. AL-BAQARAH [2] : 282 (Menelisik Antara Pemahaman Normatif-Tekstualis Dan Historis-Kontekstualis).”

Raheema 282:87–105.

Ristiana, Ita. 2008. “DAKWAH

KHALIFAH ALI DALAM

KONTEKS POLITIK (36-41 H).”

Dakwah 9(2):163–84.

Said Hawa. 2004. Al-Islam (Terj).

Jakarta: Gema Insani Press.

Saladin, Tomy. 2022. “Menyoal Kepemimpinan Wanita Dalam Hadits Nabi Saw.” Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam

7(1):99. doi:

10.24235/mahkamah.v7i1.10323.

Salman bin Fadh Al-Audah. n.d. Hiwar Hādi Ma`a Muhammad Al- Ghazāli. Harran.

Smith, Jane I. 1978. “Woman in Islam:

Equity, Equality, and the Search Fo the Natural Order.” Journal of the American Academy of Religion 7(4).

Sulasman. 2013. Sejarah Islam Di Asia Dan Eropa. Bandung: Pustaka Setia.

Suwandi. 2011. Sejarah Nabi Muhammad Saw. Jakarta: Umul Qura.

Syuhudi Ismail. 1994. Hadits Nabi Yang Tekstual Dan Yang Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang.

Tangngareng, Tasmin. 2016.

“Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif Hadis Nabi SAW ( Pemahaman Makna Tekstual Dan Kontekstual ).” Sulesana 10(2):57.

Taqiyuddin Abil Fath. 2008. Ikhkamul Akhkam, Kitab Al-Aiman Wan- Nadar. Beirut, Libanon: Darul Alamiyyah.

Yuangga Kurnia Yahya. 2019.

“Pengaruh Penyebaran Islam Di Timur Tengah Dan Afrika Utara:

Studi Geobudaya Dan Geopolitik.” Al-Tsaqafa 16(1):1–

19.

Yusuf Al-Qaradhawi. 2008.

Meluruskan Dikotomi Agama &

Politik : Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme Dan Liberalisme (Terj). Jakarta:

Pustaka al-Kautsar.

Yusuf, Muhammad, Nahdhiyah Nahdhiyah, and Anwar Sadat.

2021. “Fazlur Rahman’s Double Movement and It’s Contribution to the Development of Religious Moderation.” IJISH (International Journal of Islamic Studies and Humanities) 4(1):51. doi:

10.26555/ijish.v4i1.2667.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pemaparan pada latar belakang tersebut, rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana pengaruh jumlah wisatawan asing, penerimaan pariwisata dan nilai

Net Profit Margin (NPM) a. 119) Net Profit Margin menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari tingkat volume usaha tertentu. Net Profit Margin dapat