• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme 1

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme 1"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme

1. Penanggulangan Tindak Pidana

Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.1

Pelaksanaan dari politik hukum pidana harus melalui beberapa tahapan yaitu:

a. Tahap Formulasi

Tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undangundang. Pada tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang,

1 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 22-23.

(2)

kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundangundangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif.

b. Tahap Aplikasi

Tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Pada tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan

perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hokum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

c. Tahap Eksekusi

Tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan. Pada saat melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan oleh putusan pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundangundangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.2

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus

2 Ibid. hlm. 25-26

(3)

merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan. Upaya dalam rangka menanggulangi kejahatan merupakan suatu sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal) maupun non hukum pidana (non penal), yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang- undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang Penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan suatu gejala dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya.

Selain itu kebijakan kriminal juga merupakan bagian integral dari kebijakan social (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare policy) dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat (social defence policy). Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan criminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) menggunakan dua sarana yaitu kebijakan pidana dengan sarana penal dan sarana non penal.

Pada hakikatnya, pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach) karena itu hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian

(4)

dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai terhadap sejumlah perbuatan asusila dilakukan dengan mengadopsi perbuatan yang tidak pantas/

tercela di masyarakat dan berasal dari ajaran-ajaran agama dengan sanksi berupa pidana. Semula suatu perbuatan dianggap tidak tercela, akan tetapi akhirnya masyarakat menilai bahwa perbuatan itu adalah tercela, sehingga terhadap perbuatan itu diancamkan dengan suatu sanksi pidana. Memang tidak mungkin semua perbuatan yang tercela dan sebagainya itu dijadikan tindak pidana. Empat kriteria yang perlu diperhatikan sebelum memberi ancaman pidana, yaitu tujuan hukum pidana;

penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki; perbandingan antara sarana dan hasil; dan kemampuan badan penegak hukum.

2. Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme

Kejadian-kejadian teror yang selama ini terjadi di Indonesia merupakan sinyal bahwa Indonesia telah merupakan satu target operasi organisasi terorisme baik internasional maupun domestik. Bagi Indonesia, pencegahan dan pemberantasan terorisme memerlukan kecermatan pengamatan atas kultur, kondisi masyarakat dan stabilitas politik pemerintahan. Ketiga faktor tersebut sangat mempengaruhi efektivitas undang-undang tersebut. Konsep barat dan negara Islam tentang definisi terorisme sangat sulit diterima oleh Indonesia karena kondisi politik yang terjadi di negara-negara yang berbasis Islam berbeda secara mendasar baik sisi latar belakang dan perkembangannya dengan yang terjadi di Indonesia. Begitu pola kultur masyarakat baik dari negara-negara tersebut maupun dari negara barat berbeda

(5)

dengan kultur masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia mengakui eksistensi multi agama dan multi etnik dan hidup berdampingan secara damai.

Strategi penanggulangan terorisme yang dilakukan oleh pemerintah di implementasikan melalui upaya preventif, preemtif dan represif.

a. Upaya represif.

Terhadap masalah kemanusiaan dan masalah kemasyarakatan ini telah banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk menanggulanginya. Salah satu usaha penanggulangan kejahatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan sarana penal yaitu menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban masyarakat itu sendiri. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa penggunaan pidana sebagai salah cara untuk menanggulangi kejahatan.

Langkah represif yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka melakukan penanggulangan terhadap tindak pidana terorisme adalah sebagai berikut:

1). Pembentukan Badan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, serta pembentukan satuan khusus sebagai langkah pemberantasan tindak pidana terorisme;

2) Penyerbuan terhadap tempat persembunyian terorisme;

3) Penjatuhan sanksi pidana yang tegas terhadap pelaku tindak pidana terorisme yang telah terbukti bersalah berdasarkan bukti-bukti yang ada.

b. Upaya preventif

Mengingat keterbatasan dari upaya penal maka perlu adanya penanggulangan kejahatan yang tidak hanya bersifat penal, akan tetapi juga dapat menggunakan

(6)

sarana atau kebijakan yang sifatnya non penal. Upaya non penal ini merupakan suatu pencegahan kejahatan, dimana dilakukan sebelum kejahatan ini terjadi, sehingga upaya ini lebih dikenal dengan upaya yang sifatnya preventif atau pencegahan. Ini seharusnya lebih diutamakan daripada upaya yang sifatnya represif. Tujuan dari usaha-usaha non penal adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.3

Langkah preventif yang diambil oleh pemerintah dalam rangka penanggulangan terhadap tindak pidana terorisme, yaitu: 1) Peningkatan pengamanan dan pengawasan terhadap senjata api. 2) Peningkatan kesiap siagaan terhadap teroris.

3) Pengawasan terhadap bahan peledak dan bahan-bahan kimia yang dapat dirakit menjadi bom. 4) Pengetatan pengawasan perbatasan dan pintu-pintu keluar masuk. 5) Pengawasan kegiatan masyarakat yang mengarah kepada aksi teror.

c. Upaya preemtif

Upaya preemtif dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut: 1) Pencerahan ajaran agama oleh tokoh-tokoh kharismatik dan kredibilitas tinggi di bidang keagamaan untuk mengeliminir ekstrimisme dan radikalisasi pemahaman ajaran agama oleh kelompok-kelompok fundamentalis garis keras. 2) Penyesuaian kebijakan politik dan pemerintahan sebagai berikut: a) Merespon tuntutan politik dengan kebijakan politik yang dapat mengakomodir aspirasi kelompok radikal. b) Pelibatan kelompok-kelompok radikal yang potensial mengarah kepada tindakan teror dalam penyelesaian konflik secara damai melalui dialog, negoisasi, dan

3 Soedjono, Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 22.

(7)

sebagainya. 3) Pelibatan partai politik dan organisasi kemasyarakatan atau lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai kesamaan atau kemiripan visi dan ideologi dalam dialog dengan kelompok-kelompok radikal. 4) Penetapan secara tegas organisasi teroris dan organisasi terkait sebagai organisasi terlarang dan membubarkannya.

B. Sanksi Terhadap Tersangka Tndak Pidana Terorisme Persepektif Undang- Undang No. 15 Tahun 2003.

Suatu tipe gerakan baru yang mengatasnamakan agama adalah gerakan terorisme. Teror sendiri berarti “gerakan lempar batu sembunyi tangan”. Teror berarti menimbulkan ketakutan kepada siapapun yang berada dikawasan atau tempat dilakukan aksi teror.4 Berdasarkan pengertian ini maka Whittaker (2003) mengutip beberapa pengertian terorisme oleh Walter Reich yang mengatakan bahwa terorisme merupakan suatu strategi kekerasan yang dirancang untuk meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan, dengan cara menyebarkan ketakutan di kalangan masyarakat umum.5 Pengertian lain yang dikutip dari beberapa badan berwenang dalam menangani terorisme adalah penggunaan kekerasan yang diperhitungkan dapat memaksa atau menakut-nakuti pemerintah atau kalangan masyarakat untuk mencapai tujuan yang bersifat politik, agama atau ideology tertentu.6

4 Basstanudin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama,

5 A. M. Hendropriyono. Terorisme, Fundamentalisme Kristen, Islam Yahudi. (Jakarta: Kompas, 2009, hlm 25-26)

6 A. M. Hendropriyono, hlm. 27

(8)

Dalam hal upaya mencegah terjadinya serangan terorisme dalam berbagai tragedi yang terjadi, pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 1 tahun 2002 yang kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan yang terorganisasi, sehingga pemerintah Indonesia meningkatkan kewaspadaan dalam memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme Bab III Pasal 6 jelas menunjukan dengan digunakannya kalimat:

“menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional”.

Hal ini merupakan delik materil, yaitu delik yang dianggap selesai dengan ditimbulknnya akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang- undang.

Jadi, untuk menyatakan bahwa tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 telah dilakukan, maka harus benar-benar sudah timbul akibat suasana terror dan takut sehingga menimbulkan korban dalam jumlah massal atau terjadi kerusakan dan kehancuran terhadap objek vital yang strategis atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik dan fasilitas internasional harus ditindak pidana.

(9)

Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme Pasal 7 berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasaan atau ancaman kekerasaan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harga benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek- objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan penjara paling lama seumur hidup.”

Maksud dari kalimat di atas adalah untuk menimbulkan terror yang menandakan tindakan terorisme merupakan delik formil. Hal ini berarti delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang, tidak perlu menunggu sampai ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.

Dalam pengaturannya, subjek hukum yang dapat digolongkan menjadi pelaku tindak pidana terorisme menurut Pasal 1 butir 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Terorisme, di dalam melakukan tindak pidana terorisme pelakunya berupa manusia dan perseorangan. Rumusan ini menjelaskan kepada kita bahwa subjek pelaku tindak pidana terorisme didefenisikan sebagai seseorang, beberapa orang atau koorporasi dan kelompok tersebut yang terdiri dari sipil maupun militer ataupun polisi, yayasan dan organisasi lainnya.

Selain itu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pasal 13, juga mengatur tentang konsep penyertaan. Pasal ini mengatur tentang hukuman terkait tindak pidana terorisme dalam hal adanya penyertaan dalam bentuk bantuan

(10)

kepada tersangka tindak pidana terorisme dalam melaksanakan aksi teror, akan dihukum secara bersama sesuai dengan undang-undang.

Pemberian hukuman mati kepada pelaku tindak pidana terorisme diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Seorang pelaku tindak pidana terorisme yang melakukan kekerasan, ancaman teror sampai menimbulkan korban serta melakukan kerusakan, kehancuran pada lingkungan hidup, fasilitas umum, fasilitas internasional serta objek-objek vital yang strategis sesuai dengan isi dari Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8.

b. Seorang atau sekelompok pelaku tindak pidana terorisme yang melakukan penyimpanan, pengagkutan, penerimaan dan mensuplay bahan-bahan kimia, biologi, radiologi, radioaktif, senjata api dan lain-lain sesuai dengan Pasal 9 dan Pasal 10.

Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 mengkualifikasi Tindak Pidana Terorisme sebagai berikut:

a. Delik materil yang terdapat pada Pasal 6.

b. Delik formil yang terdapat pada Pasal 7 sampai dengan Pasal 12.

c. Delik pembantuan terdapat pada Pasal 6 huruf g.

d. Delik penyertaan dalam Pasal 13 dan Pasal 15.

e. Delik perencanaan terdapat pada Pasal 14.

C. Penanganan Satuan Brimob terhadap Tersangka Tindak Pidana Terorisme.

(11)

Dalam kasus terorisme, landasan hukum atau undang-undang telah mengatur dengan jelas sanksi pidana bagi tersangka kasus terorisme. Peran polri, dalam hal ini Brimob sebagai pengendali keamanan tingkat tinggi, memiliki peran yang berbeda dengan satuan kerja polri lainnya seperti reserse yang memeriksa kasus pidana secara terstruktur dan kemudian disidang pada pengadilan dan diberi putusan hukuman.

Tugas dan fungsi brimob berdasarkan landasan yuridis Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu melaksanakan dan mengerahkan kekuatan Brimob Polri guna menanggulangi gangguan kamtibmas berkadar tinggi, utamanya kerusuhan massa, kejahatan berorganisir bersenjata api, bom, bahan kimia, biologi dan radiokatif bersama dengan unsur pelaksana operasional kepolisian lainnya guna mewujudkan tertib hukum serta ketentraman masyarakat diseluruh yuridis NKRI dan tugas tugas lain yang dibebankan padanya.

Rumusan tugas ini secara tegas menjelaskan bahwa brimob sangat berperan menaggulagi perbuatan teror yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana terorisme.

Terorisme merupakan gangguan kantibmas berkadar tinggi dan sangat dibutuhkan pasukan yang dididik dan dilatih secara khusus untuk menanggulangi masalah keamanan dalam negeri yang berkadar tinggi dan penyelamatan masyarakat yang didukung personil yang terlatih dan memiliki kepemimpinan yang solid, peralatan dan perlengkapan dengan teknologi modern.

Dalam perananya, Brimob Polri adalah bersama – sama dengan fungsi Kepolisian lainnya melakukan penindakan terhadap pelaku–pelaku kejahatan yang berkadar tinggi , utamanya kerusuhan massa, kejahatan yang terorganisir senjata api,

(12)

bom, Kimia, biologi dan radio aktif guna mewujudkan tertib hukum serta ketentraman masyarakat diseluruh wilayah yuridis NKRI. Brimob berperan untuk membantu fungsi kepolisian lainnya, Melindungi anggota Kepolisian demikian juga masyarakat yang sedang mendapat ancaman dan Menggantikan tugas Kepolisian pada Satuan Kewilayahan apabila situasi atau sasaran tugas sudah mengarah pada kejahatan yang Berkadar Tinggi.

Dalam kaitan penanggulangan terhadap tindakan terorisme, maka standarisasi kemampuan brimob dibagi menjadi beberapa bagian yaitu pelopor, SAR, gegana dan intel brimob. Setiap brimob berperan bagi pengendalian intensitas tinggi, tetapi gegana merupakan salah satu inti kecil yang secara khusus menangani kasus terorisme. Hal ini diatur dalam tugas, fungsi dan peran dari Satuan Brigade Mobile (Brimob)-Polri pada Detasemen Gegana, dengan spesifiksi sebagai berikut :

a) Jibom

(1) Pembinaan kemampuan Jibom diarahkan untuk :

(a) Memiliki dan meningkatkan pengetahuan Jibom tentang : (1) Kemampuan deteksi dan sterilisasi area.

(2) Mengidentifikasi handak.

(3) Menjinakkan bom.

(4) Mengevakuasi bom.

(5) Pengolahan TKP (6) TPTKP Kasus Bom.

(7) Ketrampilan memusnahkan (disposal) bom.

(b) Memiliki dan meningkatkan kemampuan penggunaan alut dan alsus Jibom :

(1) Alsus Deteksi (2) Alsus Proteksi (3) Alsus Penjinak (4) Alsus Pendukung

(c) Memiliki dan meningkatkan keterampilan peralatan Jibom meliputi : (1) Peralatan pelindung tubuh, meliputi EOD Seek And Search suit, EOD suit MK II, EOD shield, dan peralatan lain yang sesuai.

(13)

(2) Peralatan pendeteksi bom secara fisik, kimia dan penyinaran X - Ray.

(3) Peralatan penjinakan bom dengan disrupter atau peralatan lain yg lebih efektif, cepat dan aman.

(4) Peralatan evakuasi bom, dgn bom trailer dan rantis lapis baja.

(5) Peralatan penyidik kasus bom.

(6) Paralatan medis untuk pertolongan pertama.

(7) Disposal.

(8) Ground Support Equipment.

Sasaran penugasaan anggota brimob dengan spesifikasi jibom ini di arahkan untuk setiap kejadian berupa ancaman bom serta bom berbahan kimia yang menimbulkan bahaya langsung maupun tidak langsung sesuai pada prosedur sterilisasi dan penjinakan bom dengan bahan kimia.

Dalam penanggulangan intensitas tinggi terhadap tindakan terorisme oleh brimob secara khusus oleh bidang wanteror yang diatur dalam postur tubuh brimob pasal 3 ayat 3b No.1a berisi tentang tugas dari Wanteror adalah sebagai berikut : (1) Pembinaan kemampuan Wanteror diarahkan untuk :

(a) Memiliki dan meningkatkan pengetahuan Wanteror meliputi :

(1) Pengetahuan dasar tentang karakteristik dan modus operandi kelompok-kelompok teroris internasional maupun nasional.

(2) Pengetahuan tentang timbulnya terorisme.

(3) Pengetahuan dasar negosiasi dengan teroris.

(4) Pengetahuan tentang jenis dan penggunaan berbagai peralatan satuan lawan teror.

(5) Studi kasus penanganan terorisme di dalam dan luar negeri.

(6) Pemahaman bahasa asing.

(7) Pengetahuan ADO.

Berdasarkan ulasan per poin alur kerja Satuan Brimob yang merupakan bagian dari kubu POLRI menjelaskan kepada kita tentang siklus kerja Satuan Brimob dalam menanggulangi tindakan pidana pelaku terorisme. Satuan Brimob merupakan

(14)

suatu bagian terpenting dari NKRI yang dominan dalam hubungan dengan himpunan pencegahan kejahatan. Himpunan ini dipandang oleh pemimpin negara sebagai alat pembantu dalam pencegahan kejahatan sesuai petunjuk umum dalam memberikan informasi dan secara resmi memantau setiap kegiatan di kalangan masyarakat..

Referensi

Dokumen terkait

The process of catching free radicals by antioxidants from kasturi leaves due to radiation can prevent cell damage, one of which is erythrocyte cells so that hemoglobin levels can

15 dan 16 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, antara lain: Pertama, lahirnya UU Pemberantasan tindakan terorisme ini dilatar belakangi oleh tujuan mulia yaitu