• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA DALAM KERANGKA REHABILITASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA DALAM KERANGKA REHABILITASI"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Hukum

Program Kekhususan Hukum Pidana

Diajukan oleh:

Nama : Asmawi NIM : 30302000529

PROGRAM STRATA SATU (S1) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2023

(2)

ii

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA DALAM KERANGKA REHABILITASI

SKRIPSI

Diajukan oleh:

Nama : Asmawi NIM : 30302000529

Telah disetujui

Pada Tanggal 30 Agustus 2023 Dosen Pembimbing:

Dr. Andri Winjaya Laksana, S.H., M.H.

NIDN: 0620058302

(3)

iii

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA DALAM KERANGKA REHABILITASI

Dipersiapkan Dan Disusun Oleh:

Nama : Asmawi NIM : 30302000529

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Pada tanggal, 11 September 2023

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat dan lulus

Tim Penguji Ketua,

Dini Amalia Fitri, SH, MH NIDN : 0607099001

Angota Anggota

Dr. Muhammad Ngazis, SH., MH.

NIDN. 0601128601

Dr. Andri Winjaya Laksana, S.H., M.H.

NIDN : 0620058302

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum Unissula

Dr. Bambang Tri Bawono, S.H., M.H.

NIDN : 0607077601

(4)

iv NIM : 30302000529

Dengan ini saya nyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah yang berjudul

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA DALAM KERANGKA REHABILITASIAdalah benar hasil karya saya dan penuh kesadaran bahwa saya tidak melakukan tindakan plagiasi atau mengambil alih seluruh atau sebagian besar karya tulis orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Jika saya terbukti melakukan tindakan plagiasi, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Semarang, 30 Agustus 2023

Asmawi 30302000529

(5)

v NIM : 30302000529

Program Studi : Ilmu Hukum Fakultas : Hukum

Dengan ini menyerahkan karya ilmiah berupa Tugas Akhir/Skripsi/Tesis/Disertasi* dengan judul: “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA DALAM KERANGKA REHABILITASI” dan menyetujuinya menjadi hak milik Universitas Islam Sultan Agung serta memberikan Hak Bebas Royalti Non-ekslusif untuk disimpan, dialih mediakan, dikelola dalam pangkalan data, dan dipublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis selama tetap mencantumkan nama penulis sebagai pemilik Hak Cipta.

Pernyataan ini saya buat dengan sungguh-sungguh. Apabila dikemudian hari terbukti ada pelanggaran Hak Cipta/Plagiarisme dalam karya ilmiah ini, maka segala bentuk tuntutan hukum yang timbul akan saya tanggung secara pribadi tanpa melibatkan pihak Universitas Islam Sultan Agung.

Semarang, 30 Agustus 2023 Yang menyatakan,

Asmawi 30302000529

(6)

vi

 "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..." -Q.S Al Baqarah: 286

 "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." -Q.S Al Insyirah: 5- 6

(7)

xii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat dan Karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA DALAM KERANGKA REHABILITASI”. Skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi serta guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Strata Satu (S-1) Program Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang,

Penghargaan dan terima kasih yang setulus - tulusnya kepada orang tua yang telah mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang serta perhatian moril maupun materiil. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan Rahmat, Kesehatan, Karunia, dan Keberkahan di dunia dan di akhirat atas budi baik yang diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E., Akt., M. Hum. selaku Rektor Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

2. Dr. Bambang Tri Bawono, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

3. Dr. Hj. Widayati, S.H, M.H, selaku Wakil Dekan I dan Dr. Arpangi, S.H, M.H, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung.

4. Dr. Achmad Arifullah, S.H., M.H, selaku Ketua Prodi S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung.

5. Ida Musofiana, S.H., M.H. Selaku Sekretaris Prodi S1 Prodi S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung.

6. Dini Amalia Fitri, S.H., M.H. Selaku Sekretaris Prodi S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung.

(8)

xiii

7. Dr. Andri Winjaya Laksana, S.H., M.H, selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, serta fikiran untuk memberikan bimbingan dan arahan hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen beserta Staff Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan sebagai dasar penulisan skripsi.

9. Seluruh pihak yang membantu penulis dalam mendapatkan informasi untuk melengkapi penulisan hukum ini.

10. Sahabat, Teman dan Rekan ku yang telah membantu, menyemangati, dan mendoakan penulis.

Akhir kata penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, penulis memohon saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaannya dan semoga bermanfaat bagi kita semua.

Semarang, 30 Agustus 2023

Asmawi 30302000529

(9)

xiv ABSTRAK

Penegakan hukum terhadap seorang pecandu narkotika harus sesuai dengan aturan hukum yang ada dan harus memperhatikan hak-hak asasi dari si pecandu seperti yang telah diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengatur mengenai hak asasi manusia, salah satunya adalah hak seseorang tas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, karena seorang pecandu narkotika juga merupakan warga negara indonesia yang harus dilindungi hak- haknya. Pidana penjara bagi penyalahguna narkotika terbukti tidak dapat menurunkan jumlah penyalahguna narkotika, dengan dipenjarannya pengguna narkotika tidak akan menyelesaikan masalah bahkan mungkin akan menimbulkan masalah yang lain, penegak hukum dan pembentuk undang-undang seharusnya membedakan antara pengedar dan pengguna serta harus ada perubahan paradigma di dalam masyarakat terhadap seorang pengguna narkotika.

Permasalahan yang telah dirumuskan di atas akan dijawab atau dipecahkan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Metode penelitian hukum normatif diartikan sebagai sebuah metode penelitian atas aturan-aturan perundangan baik ditinjau dari sudut hirarki peraturan perundang-undangan, maupun hubungan harmoni perundang-undangan. Spesifikasi dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis.

Rehabilitasi dianggap lebih dapat membantu para korban penyalahgunaan narkotika daripada penjatuhan pidana penjara atau pidana kurungan.

Menempatkan Pemakai Narkotika kedalam Panti Terapi dan Rehabilitasi yang menyatakan bahwa mereka sebagai tahanan kasus narkotika sesungguhnya orang yang sakit sehingga tindakan rehabilitasi hendaknya lebih tepat dijatuhkan dan pemidanaan penjara yang tidak mendukung dikhawatirkan malah mengakibatkan efek yang tidak baik terhadap mereka karena dapat semakin memperburuk kesehatan serta kondisi kejiwaan para penyalah guna narkotika tersebut.

Penegakan hukum terhadap kasus pidana narkotika telah dilakukan secara maksimal oleh aparat penegak hukum dan telah banyak yang mendapat kekuatan hukum tetap (putusan) di pengadilan. Adanya penegakan hukum ini diharapkan dapat menjadi pencegah maraknya kasus narkoba, tetapi hal yang terjadi malah sebaliknya kasus narkoba menjadi semakin meningkat menjangkit jutaan orang Indonesia. Penanganan kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia kebanyakan diberikan sanksi pidana ataupun denda, namun di sisi.

Kata Kunci: Penegakan Hukum, Penyalahguna, Narkotika.

(10)

xv ABSTRACT

Law enforcement against a drug addict must be in accordance with existing laws and must pay attention to the human rights of the addict as regulated in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia regulates human rights, one of which is the right of a person to a fair bag of recognition, guarantees, protection and legal certainty and equal treatment before the law, because a drug addict is also an Indonesian citizen who must be protected by his rights. Imprisonment for drug abusers has proven unable to reduce the number of drug abusers, with the imprisonment of drug users will not solve the problem and may even cause other problems, law enforcement and lawmakers should distinguish between dealers and users and there must be a paradigm shift in society towards a drug user.

The problems that have been formulated above will be answered or solved using a normative juridical approach method. The normative legal research method is defined as a research method on the rules of legislation both in terms of the hierarchy of laws and regulations, as well as the harmony of legislation. The specifications in this research use descriptive analysis method.

Rehabilitation is considered more helpful for victims of drug abuse than imprisonment or confinement. Placing people who use drugs into therapy and rehabilitation centers which states that they are prisoners of narcotics cases are actually sick people so that rehabilitation measures should be more appropriately imposed and unsupportive prison sentences are feared to have a bad effect on them because they can further deteriorate the health and psychological condition of the drug abusers. Law enforcement against criminal cases of narcotics has been carried out optimally by law enforcement officials and many have received permanent legal force (verdict) in court. The existence of this law enforcement is expected to be a deterrent to the rise of drug cases, but the opposite is happening, drug cases are increasing, infecting millions of Indonesians. The handling of drug abuse cases in Indonesia is mostly given criminal sanctions or fines, but on the other hand, drug abuse cases have become increasingly prevalent in Indonesia.

Keywords: Law Enforcement, Abusers, Narcotics

(11)

xvi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... v

MOTTO... vi

KATA PENGANTAR ... xii

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ... xv

DAFTAR ISI ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Terminologi ... 9

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 17

A. Tinjauan Umum Hukum Pidana ... 17

1. Pengertian Hukum Pidana ... 17

2. Tujuan dan Fungsi Hukum Pidana ... 20

3. Penegakan Hukum ... 34

B. Tinjauan Umum Rehabilitasi ... 45

1. Pengertian Rehabilitasi ... 45

2. Macam-macam Rehabilitasi ... 46

3. Sasaran Rehabilitasi ... 51

(12)

xvii

C. Tinjauan Umum Narkotika ... 53

1. Pengertian Narkotika ... 53

2. Jenis dan Golongan Narkotika ... 55

3. Delik Formil dan Delik Materiil Tindak Pidana Narkotika ... 64

4. Dampak Penggunaan Narkotika ... 70

D. Tinjauan Umum Penyalahguna Narkotika Menurut Hukum Islam... 74

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN... 78

A. Urgensi Penerapan Sanksi Tindakan Rehabilitasi terhadap Penyalahguna Narkotika ... 78

B. Penegakan Hukum Terhadap Penyalahguna Narkotika di Indonesia dalam Kerangka Rehabilitasi ... 87

BAB IV PENUTUP ... 101

A. Simpulan ... 101

B. Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 104 LAMPIRAN

(13)

1 A. Latar Belakang

Narkotika adalah zat atau obat-obatan alami atau sintetis yang diturunkan dari tumbuhan dengan gangguan kesadaran, kehilangan rasa, penghilang rasa sakit, atau sifat psikoaktif yang jika digunakan tanpa pengawasan medis, menyebabkan kecanduan dan kecanduan fisik pada pemakainya, serta dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental.1 Penyalahgunaan narkoba biasanya diawali dengan coba-coba. Mengikuti teman untuk menghilangkan atau menghilangkan rasa sakit, malaise, dan ketegangan mental, untuk hiburan dan tujuan sosial. Namun jika terus menggunakan ini, itu akan menjadi ketergantungan.2

Indonesia telah menempatkan pemberantasan peredaran gelap narkotika sebagai salah satu prioritas utama penegakkan hukumnya, sebab peredaran gelap narkotika merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika.3 Peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya pemberantasan tindak pidana narkotika sangat diperlukan apalagi tindak pidana narkotika merupakan salah satu kejahatan inkonvensional yang dilakukan secara sistematis, menggunakan modus operandi yang tinggi dan

1 Dirjosisworo, S. Hukum narkotika Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung, 1990, hlm

13 2

Sianipar, T. Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika Bagi Pemuda. Badan Narkotika Nasional, 2004, hlm 13

3 Danny Yatim, 1991, Keluarga dan Narkotika (Tinjauan Sosial dan Psikologis), Arcan, Jakarta, hlm 5

(14)

tekhnologi canggih serta dilakukan dengan cara terorganisir (organize crime) dan sudah bersifat transnasional (transnational crime).4

Negara Indonesia adalah negara hukum, hal terpenting dalam negara hukum adalah adanya penghargaan dan komitmen menjunjung tinggi hak asasi manusia serta jaminan semua warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum (equality of law).5 Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Bedasarkan Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama dihadapan hukum.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan Hakim. Penegakan hukum seharusnya diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap meningkatnya perdagangan gelap serta peredaran narkotika, tapi dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran serta perdagangan gelap narkotika tersebut. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah disusun dan diberlakukan, namun demikian kejahatan yang menyangkut narkotika ini belum dapat diredakan. Kasus-kasus terakhir ini telah banyak bandar-bandar dan pengedar narkoba tertangkap dan

4 Arief Wibowo, “Pelaksanaan SEMA 4 Tahun 2010 Bagi Pelaku Penyalahguna Narkotika dalam Penyidikan Kepolisian.” Jurnal Analogi Hukum Vol. 1 No. 1 Tahun 2019, hlm 34-39

5 Bambang Waluyo (2018), Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 1

(15)

mendapat sanksi berat, namun pelaku yang lain seperti tidak mengacuhkan bahkan lebih cenderung untuk memperluas daerah operasinya.

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 terdapat 2 (dua) kualifikasi utama yang disebut kejahatan penyalahgunaan narkotika. Dua kualifikasi utama tersebut adalah penyalahguna untuk diri sendiri atau yang lebih akrab kita sebut dengan penyalahguna, dan penyalahguna untuk orang lain yang terdiri dari pemilik, pengolah, pembawa atau pengantar dan pengedar. Sanksi penyalahgunaan narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang No.35 tahun 2009, yakni sanksi rehabilitasi, sanksi penjara dan pidana mati sesuai klasifikasi penyalahgunaan narkotika. Namun, pada prakteknya, penegak hukum seringkali menggunakan Pasal 111 hingga 114 yang menitikberatkan pada pidana penjara dan mengabaikan Pasal 127 yang mengatur tentang rehabilitasi.6

Pentingnya pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap kasus tindak pidana narkotika yang memberikan dampak yang sangat buruk bagi perkembangan suatu bangsa, karena kebanyakan penyalahguna narkotika adalah mereka yang masih muda yaang diharapkan dapat menjadi generasi penerus bangsa dan dapat memajukan bangsa agar dapat menjadi lebih baik.

Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika, diperlukan suatu kebijakan hukum pidana yang memposisikan penyalahguna narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahatan.

6 Kurniasih Bahagiati, Filsafat Pemidanaan Terhadap Penyalah Guna Narkotika Bagi Diri Sendiri Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Pidana Islam, Era Hukum Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Volume 18, No.1, Juni 2020 hlm 111-137

(16)

Penyalahguna narkotika digolongkan sebagai korban karena akibat dari perbuatannya yang mengkonsumsi narkotika tersebut langsung berdampak terhadap dirinya sendiri dan tidak merugikan orang lain yang tidak menggunakan barang tersebut, jadi patutlah dikatakan seorang penyalahguna adalah orang yang menjadi korban atas perbuatannya sendiri.

Tindakan atau hukuman yang tepat diberikan kepada seorang pecandu narkotika juga harus sesuai dengan aturan hukum yang ada dan harus memperhatikan hak-hak asasi dari si pecandu seperti yang telah diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengatur mengenai hak asasi manusia, salah satunya adalah hak seseorang tas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, karena seorang pecandu narkotika juga merupakan warga negara indonesia yang harus dilindungi hak-haknya, Undang-Undang juga telah mengatur bahwa seorang pecandu narkotika juga berhak atas pelayanan kesehatan bagi dirinya karena pecandu narkotika dapat digolongkan sebagai orang yang sedang sakit, karena pengaruh dari narkotika tersebut berdampak langsung bagi kesehatan fisik, mental dan psikis dari si pecandu, maka perlu adanya jaminan atas hak-hak dari seorang pecandu narkotika.7

Program rehabilitasi narkotika merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas upaya-upaya medik, bimbingan mental, psikososial, keagamaan, pendidikan dan latihan vokasional untuk

7 Abd. Aziz Hasibuan, Narkoba dan Penanggulangannya, Studia Didaktika: Jurnal Ilmiah Bidang Pendidikan, Vol. 11, No. 1, 2020. hlm. 33–44.

(17)

meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, kemandirian dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai dengan potensi yang dimiliki, baik fisik, mental, sosial dan ekonomi. Pada akhirnya mereka diharapkan dapat mengatasi masalah penyalahgunaan narkoba dan kembali berinteraksi dengan masyarakat secara wajar.8

Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Narkotika, menyatakan setiap penyalahguna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun, Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun, dan Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Hal inilah yang menjadi ketakutan tersendiri bagi setiap penyalahguna Narkotika. Selain dijatuhi pidana penjara, para penyalahguna juga dapat dikenai pidana denda. Apabila didasarkan pada asas dalam hukum pidana, sanksi pidana merupakan ultimum remidium dimana sanksi pidana seharusnya menjadi upaya terakhir dalam langkah penegakan hukum.

Rehabilitasi juga dapat digunakan sebagai alternatif agar Lapas yang dinilai sudah tidak mampu lagi menampung narapidana dapat dimasukan ke dalam Lembaga Rehabilitasi dan kebijakan tersebut dinilai cukup efektif dalam menyelesaikan permasalahan terkait penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia. Berdasarkan Pasal 127 Ayat (3) UU Narkotika, penyalahguna dapat dikenakan sanksi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial

8 Aldi Anggara, Haidan Angga Kusumah, dan R Eriska Ginalita Dwi Putri. Implementasi Program Rehabilitasi Sosial Terhadap Korban Penyalahguna Narkotika Di Lapas Warung Kiara Kelas Ii B Sukabumi. Civilia: Jurnal Kajian Hukum Dan Pendidikan Kewarganegaraan, Vol. 2, No. 3, 2023, hlm. 200-210

(18)

apabila ia terbukti atau dapat dibuktikan sebagai korban penyalahgunaan Narkotika.

Menurut Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Tentang Penanganan Penyalahguna Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, penyalahguna Narkotika dapat dijatuhi sanksi pidana berupa rehabilitasi. Penerapan sanksi rehabilitasi tersebut dapat dilakukan apabila pada saat tertangkap tangan ditemukan alat bukti berupa Narkotika dengan berat tertentu yang tidak melebihi jumlah terntentu berdasarkan peraturan yang berlaku. Untuk dapat ditempatkan pada lembaga rehabilitas medis/atau rehabilitas sosial dengan kewenangan intitusi masing- masing, Tersangka atau Terdakwa juga harus dilengkapi surat hasil asesmen dari tim Asesmen terpadu. Tim Asesmen terpadu terdiri dari ; a. Tim Dokter yang meliputi dokter dan Psikolog, b. Tim Hukum terdiri dari unsur Polri, BNN, Kejaksaaan dan Kemenkumham.9

Pidana penjara bagi penyalahguna narkotika terbukti tidak dapat menurunkan jumlah penyalahguna narkotika, dengan dipenjarannya pengguna narkotika tidak akan menyelesaikan masalah bahkan mungkin akan menimbulkan masalah yang lain, penegak hukum dan pembentuk undang-

9 Jobton Pangaribuan, Upaya Hukum Bagi Notaris Yang Dikenai Sanksi Atas Ketentuan Pasal 13 Uujn Oleh Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jurnal Notarius, Vol 1, No.1, 2022, hlm 1-15

(19)

undang seharusnya membedakan antara pengedar dan pengguna serta harus ada perubahan paradigma di dalam masyarakat terhadap seorang pengguna narkotika.10

Narkoba dalam agama Islam dihukumi dengan menggunakan metode qiyas yang dipersamakan dengan khomer (minuman keras) dan jelas haram.

Karena barang itu adalah barang yang di sukai oleh syetan, mengakibatkan kehilangan akal ”warras” serta menurunkan akhlaq dan moralitas bahkan dapat memalingkan dari Sang Pencipta Allah SWT. orang yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba dilaknat oleh Allah, baik pembuatnya, pemakainya, penjualnya, pembelinya, penyuguhnya, dan orang yang mau disuguhi. Adapun sangsi hukumnya, bagi pengguna narkoba sepenuhnya menjadi wewenang hakim. Selain itu, Islam memandang narkoba merupakan barang yang sejak awal sudah diharamkan.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka penulis tertarik untuk menulis dan meneliti penelitian dengan judul. PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA DALAM KERANGKA REHABILITASI.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penyusunan Skripsi permasalahan yang akan penulis angkat antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana Urgensi Penerapan Sanksi Tindakan Rehabilitasi terhadap Penyalahguna Narkotika?

10 Puteri Hikmawati, Analisis Terhadap Sanksi Pidana Bagi Pengguna Narkotika, Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan, Vol. 2, No.1, 2011, hlm. 1-14

(20)

2. Bagaimana Penegakan Hukum Terhadap Penyalahguna Narkotika di Indonesia dalam Kerangka Rehabilitasi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dan penyusunan skripsi ini adalah:

1. Mengetahui dan menganalisa Urgensi Penerapan Sanksi Tindakan Rehabilitasi terhadap Penyalahguna Narkotika.

2. Mengetahui dan menganalisa Penegakan Hukum Terhadap Penyalahguna Narkotika di Indonesia dalam Kerangka Rehabilitasi.

D. Manfaat Penelitian

Di dalam penelitian sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan, karena suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari penelitian tersebut antara lain:

1. Manfaat teoritis

a) Diharapkan dalam penelitian ini dapat memperoleh tambahan pengetahuan mengenai permasalahan yang diteliti sehingga penulis dapat membagi kembali ilmu tersebut kepada orang lain;

b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan penulis dan dapat mengembangkan ilmu hukum tentang penegakan hukum terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri berdasarkan asas kemanfaatan.

(21)

2. Manfaat praktis

a) Bagi Masyarakat Memberikan pemahaman bagi masyarakat tentang penegakan hukum terhadap penegakan hukum terhadap penyalahguna narkotika dalam kerangka rehabilitasi diharapkan dapat memberikan pengetahuan untuk kalangan masyarakat.

b) Bagi Aparatur Penegak Hukum Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat berharga bagi penegak hukum, terutama tentang penegakan hukum terhadap penegakan hukum terhadap penyalahguna narkotika dalam kerangka rehabilitasi sehingga dapat membantu para penegak hukum dalam menegakkan supremasi hukum.

c) Bagi Mahasiswa untuk memenuhi persyaratan menempuh gelar sarjana (S1) pada Fakultas Hukum, Universitas Islam Sultan Agung (Unissula).

E. Terminologi

1. Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan

(22)

semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.

Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

2. Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yang dahulu (semula), atau Rehabilitasi juga dapat diartikan sebagai perbaikan anggota tubuh yang cacat dan sebagainya atas individu (misalnya pasien rumah sakit, korban bencana) supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat dalam masyarakat. Rehabilitasi adalah program untuk membantu memulihkan orang yang memilki penyakit kronis, baik dari fisik maupun psikologisnya.

Pusat Rehabilitasi menggunakan berbagai metode yang berbeda terhadap si pasien, perawatan pun disesuaikan menurut penyakit si pasien dan seluk-beluk dari awal terhadap si pasien tersebut. Waktu juga menentukan perbedaan perawatan antar pasien. Para pasien yang masuk di pusat Rehabilitasi kebanyakan menderita rendah diri dan kurangnya pandangan positif terhadap kehidupan, oleh karena itu psikologi

(23)

memainkan peranan yang sangat besar dalam program Rehabilitasi, dan hal ini juga sangat penting untuk menjaga pasien dari teman-teman dan lingkungan yang memungkinkan kecanduan kembali terhadap obat-obat terlarang.11

3. Penyalahguna Narkotika

Penyalahguna diartikan sebagai korban penyalahgunaan narkotika apabila tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, dirayu, ditipu, diperdaya dan dipaksa menggunakan narkotika. Penyalahgunaan Narkotika adalah penggunaan obat-obatan golongan narkotika, psikotoprika, dan zat adiktif yang tidak sesuai dengan fungsinya. Kondisi ini dapat menyebabkan kecanduan yang bisa merusak otak hingga menimbulkan kematian. Penyalahgunaan Narkotika terjadi akibat faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah rasa ingin tahu yang kemudian mencoba dan menjadi kebiasaan. Sedangkan faktor eksternal bersumber dari lingkungan yang tidak sehat atau berteman dengan pecandu Narkotika.12

4. Penyalahguna Narkotika

Penyalah guna narkotika menurut Pasal 1 butir 15 UndangUndang Narkotika adalah: “Orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.” Pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri, merupakan pelaku kejahatan yang sekaligus menjadi korban

11 https://malut.bnn.go.id/konsepsi-rehabilitasi/ diakses pada 10 Juli 2023

12

(24)

dari kejahatan yang dilakukannya sendiri, dengan demikian penyalah guna mempunyai hak-haknya sebagai korban dari kejahatan.

F. Metode Penelitian

Memperoleh hasil yang baik dalam penyusunan karya ilmiah tidak dapat terlepas dari penggunaan metode-metode yang tepat. Menurut Soerjono Soekanto maksud dari penelitian hukum adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistem dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.

Kecuali itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut. Untuk kemudian menyusun suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.13

1. Metode Pendekatan

Permasalahan yang telah dirumuskan di atas akan dijawab atau dipecahkan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif.

Penelitian hukum yuridis normatif atau penelitian hukum normatif pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang akan mengkaji aspek-aspek (untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di dalam) internal dari hukum positif”. “Hal ini dilakukan sebagai konsekuensi dari adanya pandangan bahwa hukum merupakan sebuah lembaga yang otonom yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan lembaga-lembaga sosial lainnya. Oleh karena itu hukum sebagai suatu sistem, mempunyai kemampuan untuk hidup, tumbuh dan berkembang di dalam sistemnya

13Soerjono Soekanto, Polisi dan Lalu Lintas, (Analisa Menurut Sosiologi Hukum), Mandar Maju, Bandung, 1986, hlm 97

(25)

sendiri. Sehingga, apabila memang suatu penelitian, diakui sebagai salah satu cara (yang secara ilmiah) untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada, maka yang dipandang sebagai masalah dalam penelitian dengan pendekatan ini, hanya terbatas pada masalah-masalah yang ada di dalam sistem hukum itu sendiri”. Oleh karena itu masalahnya haruslah dicari di dalam (aspek internal) hukum positif itu sendiri. Hukum adalah suatu lembaga yang otonom dan steril dari hubungan pengaruh mempengaruhi dengan lembaga-lembaga sosial lainnya. Metode penelitian hukum normatif diartikan sebagai “sebuah metode penelitian atas aturan-aturan perundangan baik ditinjau dari sudut hirarki peraturan perundang-undangan (vertikal), maupun hubungan harmoni perundang- undangan (horizontal)”.14

Metode penelitian hukum normatif menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah “suatu pendekatan yang mengacu pada hukum dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.”15

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Deskriptif artinya penelitian yang dilakukan dengan cara menggambarkan keadaan atau kenyataan mengenai objek penelitian yang ada, yaitu gambaran atau kenyataan mengenai adanya penegakan hukum tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Analisis artinya melakukan

14 Peter Mahmud Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana. Jakarta, 2008, Hlm. 23.

15 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, PT Raja, 2003, hlm. 32

(26)

analisa terhadap permasalahan yang ada dalam penelitian, dari gambaran tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum.

3. Sumber Data.

Data yang diperoleh dari kepustakaan, data ini didapat dari berbagai literature yang telah tersedia. Dalam penelitian ini, data sekunder dikelompokkan dalam tiga (3) katagori bahan hukum, yaitu:16

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari:

1) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

3) Kitab Undang-undang Hukum Acara pidana (KUHAP) 4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi

penjelasan bagi bahan hukum primer, terdiri dari:

1) Buku-buku atau hasil penelitian yang membahas tentang pelanggaran hukum pidana dan penegakan hukum narkotika.

2) Majalah-majalah atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan narkotika dan hukum pidana.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, terdiri dari: kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia.

16 Rony Hanaitijio Soemitro, Op.Cit , hlm 24

(27)

4. Metode Pengumpulan Data.

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai metode, antara lain:

a. Penelitian Kepustakaan.

Metode kepustakaan ditempuh dengan cara mengumpulkan semua data-data yang berkaitan dengan penegakan hukum tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang terdapat berbagai literature dan perundang-undangan. Tujuan pokok dalam metode ini pada dasarnya untuk menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian, apabila peneliti mengetahui apa yang telah dilakukan oleh peneliti lain maka peneliti akan lebih siap dengan pengetahuan yang telah dalam dan lengkap.

5. Analisis Data

Dalam menganalisa data untuk penyusunan skripsi ini penulis mengacu pada data primer dan data sekunder yang dianalisa secara kualitatif, kemudian disimpulkan dengan menggunakan proses berfikir secara edukatif dan evaluatif.

G. Sistematika Penulisan BAB I: Pendahuluan

Dalam bab ini penulis menguraikan tentang hal-hal yang melatar belakangi penulisan serta alasan penulis untuk membahas topik mengenai penegakan hukum penyalahgunaan narkotika. Kemudian dikemukakan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, kerangka

(28)

konseptual yang meliputi metode pendekatan, spesifikasi penelitian, jenis dan metode analisis data.

BAB II: Tinjauan Pustaka

Dalam bab ini dijelaskan mengenai tinjauan umum hukum pidana, tinjauan umum rehabilitasi, tinjauan umum tentang narkotika, tinjauan umum penyalahgunaan narkotika menurut islam.

BAB III : Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Pada bab ketiga ini berisi Urgensi Penerapan Sanksi Tindakan Rehabilitasi terhadap Penyalahguna Narkotika dan Penegakan Hukum Terhadap Penyalahguna Narkotika di Indonesia dalam Kerangka Rehabilitasi.

BAB IV : Penutup

Kesimpulan dan Saran

(29)

17 1. Pengertian Hukum Pidana

Hukum Pidana adalah sebagai hukum yang mengatur perbuatan- perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan apabila seseorang melanggar atau melakukan perbuatan dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang sudah diatur dalam Undang-Undang maka akan diberikan sanksi.

Pada dasarnya, kehadiran hukum pidana di tengah masyarakat dimaksudkan untuk memberikan rasa aman kepada individu maupun kelompok dalam masyarakat dalam melaksanakan aktifitas kesehariannya.

Rasa aman yang dimaksudkan dalam hal ini adalah keadaan tenang, tanpa ada kekhawatiran akan ancaman ataupun perbuatan yang dapat merugikan antar individu dalam masyarakat. Kerugian sebagaimana dimaksud tidak hanya terkait kerugian sebagaimana yang kita pahami dalam istilah keperdataan, namun juga mencakup kerugian terhadap jiwa dan raga. Raga dalam hal ini mencakup tubuh yang juga terkait dengan nyawa seseorang, jiwa dalam hal ini mencakup perasaan atau keadaan psikis.

Istilah hukum pidana merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda “StrafRecht”, Straf berarti pidana, dan Recht berarti hukum.

Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa istilah hukum pidana itu dipergunakan sejak pendudukan Jepang di Indonesia untuk pengertian

(30)

StrafRecht dari bahasa Belanda, dan untuk membedakannya dari istilah hukum perdata untuk pengertian burgelijkRecht dari bahasa Belanda.

Pengertian hukum pidana, banyak dikemukakan oleh para sarjana hukum, diantaranya adalah:

Soedarto: Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.

Selanjutnya Soedarto menyatakan bahwa sejalan dengan pengertian hukum pidana, maka tidak terlepas dari KUHP yang memuat dua hal pokok, yakni:

a) Memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan orang yang diancam pidana, artinya KUHP memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi di sini seolah-olah negara menyatakan kepada umum dan juga kepada para penegak hukum perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan siapa yang dapat dipidana.

b) KUHP menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu.

Dalam hukum pidana modern reaksi ini tidak hanya berupa pidana, tetapi juga apa yang disebut dengan tindakan, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya.

Satochid Kartanegara, mengemukakan bahwa hukuman pidana adalah sejumlah petaturan yang merupakan bagian dari hukum positif yang

(31)

mengandung laranganlarangan dan keharusan-keharusan yang ditentukan oleh negara atau kekuasaan lain yang berwenang untuk menentukan peraturan pidana, larangan atau keharusan itu disertai ancaman pidana, dan apabila hal ini dilanggar timbullah hak negara untuk melakukan tuntutan, menjatuhkan pidana, melaksanakan pidana.

Menurut W.L.G. Lemaire Hukum pidana itu terdiri dari norma- norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan begaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakantindakan tersebut. 17

Menurut W.F.C. van Hattum Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah

17 Abdul Rahman Upara, Penerapan Sanksi Pidana Adat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Zina Di Tinjau Dari Hukum Pidana Adat Dan Hukum Pidana Nasional Pada Masyarakat Adat Tobati Di Jayapura, Journals of Law, Vol 4, No 2, 2014, Upara

(32)

mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman. 18

Menurut Van Kan Hukum pidana tidak mengadakan norma-norma baru dan tidak menimbulkan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan. Hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya norma-norma hukum yang telah ada. Tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum pidana sesungguhnya adalah hukum sanksi (het straf-Recht is wezelijk sanctie-Recht).

Menurut Pompe Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu.

Menurut Hazewinkel-Suringa Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.

2. Tujuan dan Fungsi Hukum Pidana

Tirtaamidjaja menyatakan maksud diadakannya hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat. Secara umum hukum pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia dalam usaha untuk memenuhi

18 Sudarto, Hukum Pidana IA, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Malang 1974), h. 59

(33)

kebutuhan dan kepentingan hidupnya yang berbeda-beda terkadang mengalami pertentangan antara satu dengan yang lainnya, yang dapat menimbulkan kerugian atau menganggu kepentingan orang lain. Agar tidak menimbulkan kerugian dan menganggu kepentingan orang lain dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut maka hukum memberikan aturan-aturan yang membatasi perbuatan manusia, sehingga ia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya.

Berkenaan dengan tujuan hukum pidana (StrafRechtscholen) dikenal dua aliran tujuan dibentuknya peraturan hukum pidana, yaitu:

a) Aliran Klasik

Menurut aliran klasik (de klassieke school/de klassieke richting) tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa (Negara). Peletak dasarnya adalah Markies van Beccaria yang menulis tentang “Dei delitte edelle pene” (1764). Di dalam tulisan itu menuntut agar hukum pidana harus diatur dengan undang-undang yang harus tertulis. Pada zaman sebelum pengaruh tulisan Beccaria itu, hukum pidana yang ada sebagian besar tidak tertulis dan di samping itu kekuasaan raja Absolute dapat menyelenggarakan pengadilan yang sewenang- wenang dengan menetapkan hukum menurut perasaan dari hakim sendiri. Penduduk tidak tahu pasti perbuatan mana yang diancamkan karena hukumnya tidak tetulis. Proses pengadilan berjalan tidak baik, sampai terjadi peristiwa yang menggemparkan rakyat seperti di

(34)

perancis dengan kasus Jean Calas te Toulouse (1762) yang dituduh membunuh anaknya sendiri bernama Mauriac Antoine Calas, karena anaknya itu terdapat mati di rumah ayahnya. Di dalam pemeriksaan Calas tetap tidak mengaku dan oleh hakim tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana mati dan pelaksanaannya dengan guillotine.

Masyarakat tidak puas, yang menganggap Jean Calas tidak bersalah membunuh anaknya, sehingga Voltaire mengecam putusan pengadilan itu, yang ternyata tuntutan untuk memeriksa kembali perkara Calas itu dikabulkan. Hasil pemeriksaan ulang menyatakan Mauriac mati dengan bunuh diri. Masyarakat menjadi gempar karena putusan itu, dan selanjutnya pemuka-pemuka masyarakat seperti J.J.

Rosseau dan Montesquieu turut menuntut agar kekuasaan raja dan penguasa-penguasanya dibatasi oleh hukum tertulis atau undang- undang. Semua peristiwa yang diabadikan itu adalah usaha untuk melindungi individu guna kepentingan hukum perseorangan.19

Oleh karenanya mereka menghendaki agar diadakan suatu peraturan tertulis supaya setiap orang mengetahui tindakan-tindakan mana yang terlarang atau tidak, apa ancaman hukumannya dan lain sebagainya. Dengan demikian diaharapakan akan terjamin hak-hak manusia dan kepentingan hukum perseorangan. Peraturan tertulis itu akan menjadi pedoman bagi rakyat, akan melahirkan kepastian hukum serta dapat menghindarkan masyarakat dari kesewenang-

19 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dari Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 25

(35)

wenangan. Pengikut-pengikut ajaran ini menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk menjamin kepentingan hukum individu.

Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (individu) yang oleh undang-undang hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana harus dijatuhkan pidana. Menurut aliran klasik, penjatuhan pidana dikenakan tanpa memperhatikan keadaan pribadi pembuat pelanggaran hukum, mengenai sebab-sebab yang mendorong dilakukan kejahatan (etiologi kriminil) serta pidana yang bermanfaat, baik bagi orang yang melakukan kejahatan maupun bagi masyarakat sendiri (politik kriminil).

b) Aliran modern

Aliran modern (de moderne school/de moderne richting) mengajarkan tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan. Sejalan dengan tujuan tersebut, perkembangan hukum pidana harus memperhatikan kejahatan serta keadaan penjahat. Kriminologi yang objek penelitiannya antara lain adalah tingkah laku orang perseorangan dan atau masyarakat adalah salah satu ilmu yang memperkaya ilmu pengetahuan hukum pidana.

Pengaruh kriminologi sebagai bagian dari social science menimbulkan suatu aliran baru yang menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk memberantas kejahatan agar terlindungi kepentingan hukum masyarakat.20

20 Ibid, hlm 32

(36)

Aliran modern disebut juga aliran positif karena dalam mencari sebab tindak pidana menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif (mempengaruhi pelaku tindak pidana kearah yang positif / kearah yang lebih baik, pen.) sejauh ia masih dapat diperbaiki. Dengan orientasi yang demikian, maka aliran modern sering dikatakan mempunyai orientasi ke masa depan.

Menurut aliran modern, perbuatan seseorang tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata-mata terlepas dari orang yang melakukannya, tetapi harus dilihat secara kongrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis atau faktor lingkungan kemasyarakatannya. Jadi aliran ini bertolak dari pandangan determinisme untuk menggantikan “doktrin kebebasan kehendak”.

Dengan demikian aliran modern menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif, berdasarkan pandangan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan kehendak.

Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pelaku tindak pidana.

Kalaupun digunakan istilah pidana, maka menurut aliran ini pidana harus diorientasikan pada sifat- sifat pelaku tindak pidana.

Setelah Perang Dunia II aliran modern berkembang menjadi aliran/gerakan Perlindungan Masyarakat, dan setelah diadakannya

(37)

The Second International social Defnce Congress tahun 1949, aliran ini terpecah menjadi dua konsepsi, yaitu konsepsi radikal dengan tokohnya Filipo Gramatika dan konsepsi moderat dengan tokohnya Marc Ancel.

Menurut Gramatika, hukum perlindungan masyarakat (law of social defence) harus menggantikan hukum pidana yang ada. Tujuan utama hukum perlindungan masyarakat adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan masyarakat mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial. Dengan demikian secara prinsipil Gramatika menolak konsepsi-konsepsi mengenai tindak pidana, penjahat dan pidana.

Sementara konsepsi moderat yang dipelapori Marc Ancel dengan gerakannya defence sociale nouvelle (New Social Devence) atau perlindungan masyarakat baru ingin mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. Konsepsi atau pemikiran yang dikemukakan oleh gerakan perlindungan masyarakat baru ini adalah:

1) Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, karena itu sistem hukum, tindak pidana, penilaian hakim terhadap pelaku serta pidana merupakan institusi yang harus tetap dipertahankan,

(38)

namun tidak digunakan dengan fiksi-fiksi dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.

2) Tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial (a human and social problem) yang tidak dapat begitu saja dipaksakan dimasukkan ke dalam perundangan.

3) Kebijakan pidana bertolak pada konsepsi pertanggung jawaban yang bersifat pribadi (individual responsibility) yang menjadi kekuatan penggerak utama dan proses penyesuaian sosial.

Pertanggungjawaban pribadi ini menekankan pada kewajiban moral ke arah timbulnya moralitas sosial.

c) Aliran Neo-Klasik

Di samping beberapa aliran tersebut diatas, perlu dikemukakan di sini adanya suatu aliran yang berasal dari aliran klasik yaitu aliran neo-klasik (Neoclassical School). Sebagaimana aliran klasik, aliran inipun bertolak dari pandangan indeterminisme atau kebebasan kehendak. Menurut aliran ini, pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang saat itu. Untuk itu aliran ini merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui apa yang dinamakan asas- asas tentang keadaan yang meringankan (principle of extenuating circumstances).

Dengan demikian nampaklah bahwa aliran neo-klasik mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual pelaku

(39)

tindak pidana. Sistem pidana yang dirumuskan secara pasti (definite sentence) ditinggalkan dan diganti dengan sistem indefinite sentence.

Menurut Herbert L. Packer, terlibat dua pandangan konseptual yang masingmasing mempunyai implikasi moral yang berbeda antara satu sama lain, yaitu pandangan retributive (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view) yaitu pandangan yang menyatakan bahwa pidan mempunyai tujuan positif lebih lanjut (tleological theories). Pandangan retributive mengandaikan “pidana”

sebagai ganjaran negative terhadap setiap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh masyarakat.

Pandangan retributive beranggapan bahwa setiap orang bertanggung jawab atas pilihan-pilihan moralnya masing-masing.

Dengan demikian, pandangan retributive memusatkan argumennya pada tindakan tindak pidana yang sudah dilakukan. Pidana menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkan. Demi alasan itu, pidana dibenarkan secara moral. Dengan demikian alasan rasional dilakukan pemindanaan terletak pada asumsi dasarnya bahwa pidana itu merupakan imbalan negative terhadap tanggung jawab akan kesalahan. Karena orientasinya yang kebelakang inilah, pandangan retributif dikatakan bersifat backward looking dan pemindanaannya cenderung bersifat korektif dan represif.

Sementara pandangan utilitian melihat pidana itu dari segi manfaat atau kegunaannya. Dalam perspektif utilitarian, yang dilihat

(40)

justru adsalah situasi atau keadaan yang dingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Menurut pandangan ini pemidanaan harus mempnyai sifat prevensi, baik prevensi umum maupun prevensi khusus. Dalam pandangan utilitarian pidana yang dijatuhkan.

dimaksudkan untuk memperbaiki sikap dan perilaku pelaku tindak pidana agar tidak mengulang perbuatannya (prevensi khusus), di samping dimaksud juga untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa (prevensi umum).

Karena itu, pandangan utilitarian ini dianggap berorientasi ke depan (forward looking).

Selain dua pandangan tersebut juga timbul pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan gabungan antara pendangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemindanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan, keadilan tidak boleh diperoleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu sendiri dan pandangan retributive yang menyatakan bahwa keadilan dapat tercapai apabila tujuan yang teleological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuranukuran berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, misalnya, bahwa penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diperoleh pelaku tindak pidana.

(41)

Berikut ini disebutkan pula beberapa pendapat yang dikemukakan tentang fungsi/tujuan hukum pidana: Menurut Sudarto fungsi hukum pidana itu dapat dibedakan sebagai berikut:

a) Fungsi yang umum

Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh karena itu fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau untuk meyelenggarakan tata dalam masyarakat;

b) Fungsi yang khusus

Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya (Rechtguterschutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Dalam sanksi pidana itu terdapat suatu tragic (suatu yang menyedihkan) sehingga hukum pidana dikatakan sebagai

“mengiris dagingnya sendiri” atau sebagai “pedang bermata dua”, yang bermakna bahwa hukum pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan hukum (misalnya: nyawa, harta benda, kemerdekaan, kehormatan). Namun jika terjadi pelanggaran terhadap larangan dan perintahnya justru mengenakan perlukaan (menyakiti) kepentingan (benda) hukum si pelanggar. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat. Dalam hal ini perlu diingat pula, bahwa sebagai alat

(42)

social control fungsi hukum pidana adalah subsidair, artinya hukum pidana hendaknya baru diadakan (dipergunakan) apabila usaha-usaha lain kurang memadai.

Adami Chazawi menyebutkan bahwa, sebagai bagian dari hukum publik hukum pidana berfungsi:

a) Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau perbuatan- perbuatan yang menyerang atau memperkosa kepentingan hukum tersebut, kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam, yaitu:

1) Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila, dan lain sebagainya;

2) Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappelijke belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu-lintas di jalan raya, dan lain sebagainya;

3) Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya, dan sebagainya.

(43)

b) Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum dalam mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, dilakukan oleh negara dengan tindakantindakan yang sangat tidak menyenangkan, tindakan yang justru melanggar kepentingan hukum pribadi yang mendasar bagi pihak yang bersangkutan, misalnya dengan dilakukan penangkapan, penahanan, pemeriksaan sampai kepada penjatuhan sanksi pidana kepada pelakunya. Kekuasaan yang sangat besar ini, yaitu kekuasaan yang berupa hak untuk menjalankan pidana dengan menjatuhkan pidana yang menyerang kepentingan hukum manusia atau warganya ini hanya dimiliki oleh negara dan diatur di dalam hukum pidana itu sendiri terutama di dalam hukum acara pidana, agar negara dapat menjalankan fungsi menegakkan dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana dengan sebaik-baiknya.

c) Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.

Kekuasaan negara yang sangat besar dalam rangka menegakkan dan melindungi kepentingan hukum itu dapat membahayakan dan menjadi bumerang bagi warganya, negara bisa bertindak sewenang-wenang jika tidak diatur dan dibatasi sedemikian rupa, sehingga pengaturan hak dan kewajiban negara mutlak diperlukan.

(44)

Menurut Jan Remmelink hukum pidana (seharusnya) ditujukan untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Manusia satu persatu di masyarakat saling bergantung, kepentingan mereka dan relasi antar mereka ditentukan dan dilindungi oleh norma-norma.

Penjagaan tertib sosial ini untuk bagian terbesar sangat tergantung pada paksaan. Jika norma-norma tidak ditaati, akan muncul sanksi, kadangkala yang berbentuk informal, misalnya perlakuan acuh tak acuh dan kehilangan status atau penghargaan sosial. Namun jika menyangkut hal yang lebih penting, sanksi (hukum), melalui tertib hukum negara yang melengkapi penataan sosial, dihaluskan, diperkuat dan dikenakan kepada pelanggar norma tersebut. Ini semua tidak dikatakan dengan melupakan bahwa penjatuhan pidana dalam prakteknya masih juga merupakan sarana kekuasaan negara yang tertajam yang dapat dikenakan kepada pelanggar.

Menjadi jelas bahwa dalam pemahaman di atas hukum pidana bukan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, namun memiliki fungsi pelayanan ataupun fungsi sosial.

Menurut Van Bemmelen, hukum pidana itu membentuk norma- norma dan pengertian-pengertian yang diarahkan kepada tujuannya sendiri, yaitu menilai tingkah laku para pelaku yang dapat dipidana. Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu sama saja dengan bagian lain dari hukum, karena seluruh bagian hukum menentukan peraturan untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum. Akan tetapi dalam satu segi, hukum pidana menyimpang dari bagian hukum lainnya,

(45)

yaitu dalam hukum pidana dibicarakan soal penambahan penderitaan dengan sengaja dalam bentuk pidana, walaupun juga pidana itu mempunyai fungsi yang lain dari pada menambah penderitaan. Tujuan utama semua bagian hukum adalah menjaga ketertiban, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat, tanpa dengan sengaja menimbulkan penderitaan.21

Selanjutnya Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan ultimum remedium (obat terakhir). Sedapat mungkin dibatasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu sudah tidak cukup untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum pidana diterapkan. Ia menunjuk pidato Menteri Kehakiman Belanda Modderman yang antara lain menyatakan bahwa ancaman pidana itu harus tetap merupakan suatu ultimum remedium. Setiap ancaman pidana ada keberatannya, namun ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi selalu harus mempertimbangkan untung dan rugi ancaman pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat daripada penyakit.

Sementara itu HLA Hart mengatakan bahwa hukum pidana memiliki tugas utama untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan yang diakibatkan oleh setiap pelanggaran undang-undang. Menurut Hart hukum pidana itu tidak saja bertujuan untuk memperbaiki pelaku kejahatan agar tidak melakukan lagi kejahatan, tetapi juga untuk mencegah masyarakat

21 Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Materiil Bagian umum), Binacipta, Bandung, 1984, hlm. 99.

(46)

untuk melakukan kejahatan. Sedangkan Wilkins mengatakan bahwa tujuan utama hukum pidana adalah memperkecil kemungkinan pelaku kejahatan mengulangi perbuatannya.22

Dilihat dari tugas, fungsi, dan tujuan hukum pidana yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut, maka dapat dikatakan bahwa hukum pidana dengan sanksinya diharapkan dapat menanggulangi kejahatan. Hukum pidana diharapkan mampu mencegah terjadi kejahatan (prevention) baik oleh orang yang belum pernah melakukan kejahatan (tidak terjadi first offender) maupun oleh mereka yang sudah pernah melakukannya (tidak terjadi pengulangan kejahatan/residive), sehingga tercipta ketertiban (masyarakat terlindung dari kejahatan).

3. Penegakan Hukum

Penegakan hukum dalam bahasa Belanda disebut recht- stoepassing atau rechtshandhaving dan dalam bahasa Inggris disebut dengan law enforcement, meliputi pengertian yang bersifat makro dan mikro. Makna bersifat makro mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, sedangkan dalam pengertian mikro terbatas pada proses pemeriksaan di pengadilan termasuk proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pelaksanaan putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap.23 Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat

22 Bemmelen, Hukum Pidana I, Binacipta, Jakarta, 1984, h. 37.

23 Chaerudin dan Syaiful Ahmad Dinar, Strategi Pencegahan Dan Penegakan HukumTindak Pidana, Refika Editama, Bandung, 2008, hlm.87

(47)

atau kegunaan bagi masyarakat. Hukum tidak identik dengan keadilan.

Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.24 Abdul kadir Muhammad berpendapat bahwa “penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaanya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali”.25 Jimly Asshidiqie membagi dua pengertian penegakan hukum yaitu dalam arti sempit merupakan “kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara dan badan-badan peradilan. Sementara dalam arti luas merupakan kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh subjek hukum baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative disputes or conflict resolution)”.26

Machmud mengatakan bahwa “penegakan hukum berkaitan erat dengan ketaatan bagi pemakai dan pelaksana peraturan perundang- undangan, dalam hal ini baik masyarakat maupun penyelenggara negara

24 Hasaziduhu Moho, Penegakan Hukum di Indonesia Menurut Aspek Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan, Jurnal Warta Edisi: 59 Januari 2019, hlm.5

25 Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.115

26 Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara dan PilarPilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Konstitusi Press dan PT. Syaamil Cipta Media, Jakarta, 2006, hlm. 386.

(48)

yaitu penegak hukum”.27 Sementara Muladi mengatakan bahwa

“penegakan hukum diperlukan pula adanya unsur moral, adanya hubungan moral dengan penegakan hukum ini yang menentukan suatu keberhasilan atau ketidakberhasilan dalam penegakan hukum sebagaimana yang diharapkan oleh tujuan hukum.28 Lebih lanjut dalam “aspek moral dan etika dalam penegakan hukum pidana merupakan suatu hal yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana seharusnya merupakan proses penemuan akta, yang tidak memihak (impartial) dan penuh dengan resolusi atau pemecahan masalah yang harus dilakukan secara adil dan patut”.29

Penegakan hukum merupakan suatu bentuk layanan yang diberikan pemerintah dalam bidang hukum yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga negara penegak hukum, yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga permasyarakatan, termasuk ditambahkan dengan unsur penasehat hukum. Kemudian dalam kaitannya dengan hukum pidana, pada dasarnya hukum merupakan hukum yang memiliki sifat publik, dimana dalam hukum pidana terkandung aturan- aturan yang menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan disertai dengan ancaman pidana dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan dan penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat pada hakekatnya merupakan bagidan dari langkah penegakan hukum, sehingga dapat dipahami bahwa penegakan hukum pidana

27 Ibid, hlm. 386

28 Shahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, hlm.132.

29 Muladi, Hak Asasi Manusia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 4.

Referensi

Dokumen terkait

a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketentuan hukum tentang rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dan filosofi tujuan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika

Penyalahgunaan narkotika telah lama menjadi masalah serius diberbagai Negara. Pemidanaan penyalahguna narkotika dengan pidana penjara merupakan suatu penegakan hukum yang tidak

Pelaku Penyalahguna Narkotika yang selain untuk dipakai atau dikonsumsi oleh dirinya sendiri dia juga mengedarkan atau menjual kembali kepada pecandu lain tanpa hak atau melawan

Badan Narkotika Nasional (BNN) diberikan kewenangan pemerintah untuk melakukan penanganan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi,

04 Tahun 2010 diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 103 huruf a dan b Undang-Undang Narkotika, yang memberikan pedoman bagi hakim yang memeriksa perkara pecandu

terhadap pelaku kejahatan narkotika sangat tepat untuk membendung dan mengganjar pelaku kejahatan narkotika sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh Negara

Karena sebagai pengguna narkotika adalah korban yang mempunyai hak-hak yang harus dilindungi, seperti pada Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yang menyatakan “Pecandu