• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Umum Penyalahguna Narkotika Menurut Hukum Islam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Tinjauan Umum Penyalahguna Narkotika Menurut Hukum Islam

jumlah dosis tertentu dapat mengakibatkan seseorang berhalusinasi, yaitu seolah-olah melihat suatu hal (benda) yang sebenarnya tidak ada (tidak nyata). Misalnya: datura, ketamine, kokain, LSD, PCP, dan canibas.

3) Adiksi ialah efek dari mengkonsumsi narkoba yang dapat menyebabkan seseorang kecanduan karena zat tertentu yang dikandungnya, dan dapat pula mengakibatkan seseorang cenderung bersifat pasif karena secara tidak langsung narkoba memutuskan syaraf-syaraf dalam otak. Misalnya: ganja, Heroin, dan putaw.

Islam tidak disebutkan secara langsung, dalam Al-Qur’an hanya menyebutkan istilah khamr. Hal ini dengan adanya teori ilmu ushul fiqh yaitu dimana apabila sesuatu hukum belum ditentukan status hukumnya, maka bisa disesuaikan melalui metode qiyas (analogi hukum).68

Adapun sabda Rasulullah Saw yang terkait pengharamkan khamr:

Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa'id] telah menceritakan kepada kami [Laits] dari [Yazid bin Abu Habib] dari ['Atha bin Abu Rabah] dari [Jabir bin Abdullah], bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda ketika penaklukan kota Makkah: "Sesnungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah melarang jual beli khamer, bangkai, daging babi serta jual beli arca." Ada seseorang yang bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda dengan minyak (lemak) yang terdapat dalam bangkai? Sebab lemak tersebut bisa digunakan untuk melumasi perahu, untuk meminyaki kulit dan menyalakan lampu?" Lalu beliau bersabda: "Tidak boleh, hal itu tetaplah haram." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melanjutkan

68 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 78.

sabdanya: "Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi, ketika Allah 'azza wajalla mengharamkan lemak bangkai, ternyata mereka tetap mengolahnya juga, kemudian mereka menjualnya dan hasil penjualannya mereka makan." Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abu Syaibah] dan [Ibnu Numair] keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami [Abu Usamah] dari [Abdul Hamid bin Ja'far] dari [Yazid bin Abi Habib] dari ['Atha] dari [Jabir] dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada hari penaklukan kota Makkah…." (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Mutsanna] telah menceritakan kepada kami [Ad Dlahak] -yaitu Abu 'Ashim- dari [Abdul Hamid] telah menceritakan kepadaku [Yazid bin Abu Habib] dia berkata, " ['Atha] pernah menulis sesuatu kepadaku bahwa dia pernah mendengar [Jabir bin Abdullah]

berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada waktu penaklukan kota Makkah …", seperti haditsnya Laits." (Hadits Muslim Nomor 2960)

Berdasarkan hadist tersebut telah jelas bahwa Islam bukan hanya melarang khamr, akan tetapi segala sesuatu yang dapat menghilangkan akal serta dapat memabukkan itu juga haram dan dilarang keras oleh agama Islam.

Tidak disebutkannya istilah narkotika dalam Al-Qur’an atau Al- Hadits bukan berarti Al-Quran merupakan kitab lama yang tidak dapat dijadikan sebagai pedoman di setiap zaman. Tidak adanya istilah narkotika dalam Al-Qur’an dan Hadist karena memang pada dasarnya sejarah memberikan bukti bahwa adanya narkoba baik yang berbentuk bubuk, benda padat, ataupun bentuk lainnya yang baru muncul sekitar abad ke-17 sedangkan Al-Qur’an sudah ada sejak 14 abad yang lalu. Adapun sumber hukum Islam selain Al-Qur’an dan Al-Hadits masih ada sumber hukum lain seperti qiyas, ijma dan sebagainya.

Adapun firman Allah Swt dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’ ayat 43 yang berbunyi:

Artinya: Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha tinggi, Mahabesar” (QS: An-Nisa: 34).69

69 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Syamil Cipta Media, Bandung, 2005, hlm. 85

78

A. Urgensi Penerapan Sanksi Tindakan Rehabilitasi terhadap Penyalahguna Narkotika

Dalam pandangan normatif yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, penyalahguna narkotika ataupun penyalahguna narkotika dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Padahal diketahui penyalahguna narkotika bagi diri sendiri maupun penyalahguna narkotika hanyalah korban atas perbuatannya sendiri. Hakikatnya penyalahguna narkotika adalah individu yang menggunakan dan menyalahgunakan narkotika untuk dirinya sendiri. Sehingga seharusnya penyalahguna narkotika di posisikan sebagai korban bukan sebagai pelaku perbuatan pidana yang akhirnya dijatuhi sanksi pidana. Dengan kata lain individu yang menyalahgunakan narkotika bagi diri sendiri dengan sendirinya akan menjadi korban dari penyalahgunaan narkotika tersebut. Kondisi tersebut dalam tipologi korban juga disebut sebagai self-victimizing victim yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.70 Atau, yang menurut Romli Atmasasmita sebagai keadaan dwi tunggal yaitu, hubungan korban dan pelaku adalah tunggal atau satu, dalam

70 C. Maya Indah S., Perlindungan Korban (Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi), Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2014, hlm. 36

pengertian bahwa pelaku adalah korban dan korban pemakai atau drug users.71

Penyalahguna narkotika telah di kriminalisasikan oleh norma hukum sebagai perbuatan pidana sehingga dengan sendirinya yang terjadi kemudian di dalam norma hukum maupun masyarakat umum melakukan labelling kepada penyalahguna narkotika sebagai kriminal yang kemudian ada kemungkinan akan menyebabkan penyalahguna narkotika tersebut membentuk kelompok atau pribadi yang eksklusif sehingga mengakibatkan bertambah sulitnya peranan masyarakat maupun pemerintah untuk menyembuhkan dan mengurangi dampak negatif penyalahgunaan narkotika.

Sebagaimana teori labeling dalam kriminologi yang mengkaji bahwa kejahatan bukanlah kualitas bagi perbuatan seseorang, melainkan merupakan akibat diterapkannya sanksi dan peraturan oleh orang lain kepada seorang pelanggar.72 Mengkriminalisasikan penyalahguna narkotika bagi diri sendiri juga akan bertentangan tujuan dari hukum pidana. Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang-perorangan (individu) atau hak- hak asasi manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dengan perimbangan yang serasi dari kejahatan/tindakan yang tercela di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak.73

71 Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Terhadap Korban Tindak Pidana, Jakarta:

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992, hlm. 22.

72 C. Maya Indah S. Op. cit., hlm. 62.

73 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Bandung:

Graha Ilmu, 2009, hlm. 130.

Tempat rehabilitasi sekarang terutama untuk rehabilitasi rawat inap sangat terbatas dengan kapasitas tempat tidur yang juga terbatas. Calon residen baru terus bertambah. Balai besar rehabilitasi yang dikelola oleh BNN diatur dalam lampiran peraturan Jaksa Republik Indonesia Nomor Per029/A/JA/12/2015 Tentang Rujukan Teknis Penanganan penyalahguna Narkotika dan Korban Penyelahgunaan Narkotika ke dalama Lembaga Rehabilitasi (Perja), yaitu lembaga rehabilitasi yang merupakan rujuakan bagi terdakwa penyalahguna narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika, adalah sebagai berikut:

1. Lido, Sukabumi; Badoka, Makassar; Tanah Merah; Kalimantan Timur; dan Loka, Batam;

2. Lembaga rehabilitasi yang telah ditetapkan oleh BNN, baik dalam rangka Pilot Project ataupun lembaga rehabilitasi yang diperuntukan untuk proses hukum; atau

3. Tempat-tempat rehabilitasi yang telah ditetapkan oleh BNN, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial

Penggunaan rehabilitasi dianggap lebih dapat membantu para korban penyalahgunaan narkotika daripada penjatuhan pidana penjara atau pidana kurungan. Penjatuhan rehabilitasi ini sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Menempatkan Pemakai Narkotika kedalam Panti Terapi dan Rehabilitasi yang menyatakan bahwa mereka sebagai tahanan kasus narkotika sesungguhnya orang yang sakit sehingga tindakan rehabilitasi hendaknya lebih tepat dijatuhkan, pemidanaan penjara

yang tidak mendukung dikhawatirkan malah mengakibatkan efek yang tidak baik terhadap mereka karena dapat semakin memperburuk kesehatan serta kondisi kejiwaan para penyalah guna narkotika tersebut.

Rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika adalah suatu proses pengobatan untuk membebaskan penyalahguna dari ketergantungan, dan masa menjalani rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Rehabilitasi terhadap penyalahguna Narkotika juga merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan penyalahguna narkotika ke dalam tertib sosial agar diatidak lagi melakukan penyalagunaan narkotika.

Adapun Bentuk-bentuk Rehabilitasi Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ada dua macam bentuk rehabilitasi, antara lain: 74

1. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan penyalahguna dari ketergantungan Narkotika. Rehabilitasi medis penyalahguna narkotika dilakukan di rumah sakit yang telah ditunjuk oleh Menteri. Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis penyalahguna narkotika setelah mendapat persetujuan menteri. Rehabilitasi medis ini memiliki beberapa ruang lingkup yang diantaranya sebagai berikut: Pemeriksaan fisik; Mengadakan diagnosa; Pengobatan dan

74 Muhammad fajrul Fallah, Reformulasi Penetapan Sanksi Rehabilitasi Bagi Pecandu Narkotika, Jurnal Legalitas, Vol 12 No 1, 2019, hlm, 25-48

pencegahan; Latihan penggunaan alat-alat bantu dan fungsi fisik tujuan rehabilitasi medis.

2. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas penyalahguna Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dikatakan bahwa: rehabilitasi sosial penyalahguna Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.

Penyalahguna narkotika merupakan korban sehingga wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal ini diperjelas dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala BNN Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka atau Terdakwa penyalahguna Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga, bahwa penyalahguna narkotika dan korban Penyalahgunaan Narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum sebagai tersangka atau terdakwa dalam penyalahgunaan narkotika, baik yang sedang menjalani proses penyidikan dan penuntutan serta persidangan di pengadilan diberikan pengobatan, perawatan dan pemulihan di lembaga rehabilitasi.75

Selain itu, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahguna Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

75 Tri Jata Ayu Pramesti,

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt560211ea73636/ta-ta-cara-pengajuan- permohonan-rehabilitasi-narkotika, diakses pada Tanggal 20 Agustus 2023

Pada SEMA tersebut, pendekatan yang digunakan adalah menggeser paradigma dan tindakan pada pengguna narkotika. Semula, pengguna narkotika diposisikan sebagai pelaku tindak pidana sehinggga di tonjolkan adalah efektivitas penegakan hukum. Namun sebaliknya paradigma tersebut coba diubah dengan memposisikan pengguna narkotika sebagai korban yang membutuhkan penanganan baik secara medis maupun sosial. Artinya, disahkanya SEMA tersebut secara tidak langsung menyatakan penggunaka narkotika sebagai korban dan sudah seharusnya mendapatkan rehabilitasi baik secara medis maupun rehabilitasi sosial. Berdasarkan Undang-undang dan SEMA tersebut maka tujuan dari rehabilitasi yaitu supaya pelaku penyalahgunaan narkotika tidak lagi mempunyai ketergantungan terhadap narkotika serta tidak menggunakannya kembali.76

Dalam setiap tahap rehabilitasi diperlukan pengawasan dan evaluasi secara terus menerus terhadap proses pemulihan seorang penyalahguna, penyalahguna dan korban narkotika. Konsep berupa kebijakan untuk merehabilitasi penyalahguna, penyalah guna dan korban narkotika tersebut secara hukum materil sudah sangat baik, pengaturan seorang penyalahguna, penyalahguna maupun korban narkotika jika didukung dengan memenuhi ataupun melengkapi segala kebutuhan untuk rehabilitas, maka rehabilitas tersebut akan berjalan dengan baik dan harapannya dapat menyembuhkan mereka yang direhab untuk kembali normal.

76 Sutarto, S. Penerapan Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial Terhadap Korban Peny-alahgunaan Narkotika Ditinjau Dari Teori Pemidanaan Relatif. Jurnal Penegakan Hukum Indonesia, Vol. 2, No. 1, 2021, hlm. 115–135

Pelaksanan rehabilitasi tentunya juga harus menyelaraskan pandangan yang sama antara penegak hukum, didukung dengan segala kebutuhan penyalahguna, penyalahguna dan korban narkotika, termasuk pemenuhan kebutuhan secara teknis, disediakannya anggaran yang memadai untuk transportasi setiap pemanggilan dan pemulangan terdakwa dalam menjalani proses hukum, Tim Asesmen Terpadu pada Kabupaten Daerah juga harus memaksimalkan atau turut berperan aktif, dan tersedianya tempat rehabilitas pada setiap daerah hingga cita-cita rehabiltasi dapat terpenuhi.

Dalam Undang-Undang Narkotika yang memeliki kewajiban untuk melaksanakan rehabilitasi hanyalah penyalahguna narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika (Pasal 54) tetapi kemudian terdapat frasa “dapat”

dalam (Pasal 103) tentang ketentuan penyalahguna narkotika sehingga penulis menyimpulkan terdapak konflik norma dalam kedua pasal tersebut.

Dengan adanya frasa "dapat" dalam menjatuhkan rehabilitasi memberikan kesan bahwa pembuat undang-undang masih memandang bahwa sanksi tindakan merupakan sanksi yang hanya bersifat komplementer (pelengkap) dari sanksi pidana. Sedangkan untuk penyalahguna narkotika bagi diri sendiri di jatuhi sanksi pidana penjara tetapi apabila kemudian penyalahguna narkotika bagi diri sendiri tersebut juga sebagai penyalahguna narkotika maka kemudian ada kewajibkan untuk rehabilitasi. Padahal diketahui fungsi rehabilitasi adalah untuk memulihkan kembali keadaan bagi orang yang menggunakan narkotika. Menurut penulis orang yang terganggu keadaannya dan memerlukan pemulihan kembali bukan hanya penyalahguna dan korban

penyalahgunaan narkotika tetapi juga individu sebagai penyalahguna narkotika bagi diri sendiri. Hal tersebut di karenakan setiap individu yang menyalahgunakan narkotika dapat dipastikan kesehatannya pasti terganggu, baik dikarenakan kesehatan psikisnya tenganngu atau penyakit yang dideritanya maupun penyakit sebagai dampak negatif penggunaan narkotika itu sendiri, meskipun penyalahguna narkotika bagi diri sendiri tersebut secara normatif tidak dikategorikan sebagai penyalahguna ataupun korban penyalahguna narkotika.

Permasalahan dalam Undang-Undang Narkotika tersebut akan menghalangi terwujudnya cita hukum sebagai ide dasar pembentukan norma hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat. Cita hukum akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam penyelanggaraan hukum (pembentukan, penemuan, penerapan hukum) dan perilaku hukum.77 Perumusan dan pemahaman cita hukum akan memudahkan penjabarannya kedalam berbagai perangkat aturan kewenangan dan aturan perilaku serta memudahkan terjaganya konsistensi dalam penyelanggaran hukum.78

Pembahasan diterapkannya double track system dalam Undang- Undang Narkotika harus didahului dangan gagasan atau ide dasar pemberlakuan sanksi pidana dan sanksi tindakan secara umum. Dilihat dari

77 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm. 181.

78 A. Hamid S. Attamimi, Fungsi Legislatif dalam Sistem Politik Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1995, hlm. 50.

latar belakang kemunculan double track system dapat disimpulkan bahwa ide dasar sistem tersebut adalah “kesetaraan” antara sanksi pidana dan sanksi tindakan.79

Pemidanaan yang diberikan guna memperbaiki sikap atau tingkah laku narapidana dengan melalui pembinaan untuk mencegah narapidana melakukan kejahatan yang sama. Apakah dengan menjatuhkan sanksi pidana kepada pengguna atau penyalahguna narkotika dapat memperbaiki sikap dan tingkah laku mereka supaya tidak mengulangi tindak pidana tersebut.

Berdasarkan tujuan dari pemidanaan utilitarian, maka dengan menjatuhkan saksi pidana kepada pengguna atau penyalahguna narkotika, maka mereka tidak mendapatkan manfaatnya namun menambah pengetahuan mereka tentang berbagai macam tindak pidana narkotika itu sendiri. Dalam hal ini, yang dibutuhkan oleh penyalahguna narkotika adalah mendapatkan rehabilitasi baik secara medis maupun sosial. Rehabilitasi sangat efektif untuk penyalahguna narkotika karena mereka sebagai penyalahguna narkotika membutuhkan penanganan yang komperhenshif guna melepaskan ketergantungan mereka dari narkotika.80

Penjatuhan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika mengacu pada pancasila sila ke-2 yang menegaskan adanya rasa kemanusiaan dengan prilaku adil dan beradab khususnya dalam kasus narkotika. Karena hukum sejatinya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan drajat

79 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System

& Implementasinya), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 24

80 Nunung Rahmania, Relevansi Antara Rehabilitasi Penyalahguna Narkotika Dengan Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia Yang Mengalami Kelebihan Kapasitas, Jurnal Risalah Kenotariatan, Volume 4, No. 1, Januari-Juni 2023, hlm 397-407

sehingga proses penanganan kasus penyalahgunaan narkotika akan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian rehabilitasi sebagai upaya dalam menjunjung tinggi nilai kemanusiaan sangat patut untuk dipertimbangkan khsusnya dalam penanganan pelaku penyalahguna narkotika.

Jika dikomparasikan adanya kesesuaian antara rehabilitasi dengan ajaran teori gabungan karena didalamnya sudah tersirat terkait pembedaan antara pemidanaan kejahatan berdasarkan pengguna dengan pengedar dan juga terdapat pembinaan bagi residen yang menjalani rehabilitasi. Dalam proses rehabilitas tentusaja memerlukan sumberdaya yang kompeten hal itu biasanya dilalui dengan adanya pelatihan serta pembinaan bagi para pembimbing residen yang sedang direhabilitasi.

B. Penegakan Hukum Terhadap Penyalahguna Narkotika di Indonesia dalam Kerangka Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan salah satu bentuk dari pemidanaan yang bertujuan sebagai pemulihan atau pengobatan. Rehabilitasi adalah bentuk sanksi tindakan yang tersebar di luar KUHP.81 Seperti contohnya terhadap kejahatan narkotika. Rehabilitasi dalam kejahatan narkotika dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu dimana terdiri dari tim dokter yaitu dokter dan psikolog, tim hukum yaitu dari unsur Kepolisian, Badan Narkotika Nasional, Kejaksaan dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang ditetapkan

81 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 194

berdasarkan surat keputusan kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.

Rehabilitasi dapat diajukan apabila Tim Asesmen Terpadu telah mengeluarkan rekomendasi bahwa seseorang pengguna tersebut apakah merangkap sebagai pengedar atau murni sebagai penyalahguna saja. Tim Asesmen Terpadu juga akan merekomendasi rencana rehabilitasinya.

Berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa penyalahguna narkotika dan penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Undang-Undang Narkotika tidak diatur secara tegas mengenai jangka waktu rehabilitasi yang diperlukan untuk para pelaku penyalahgunaan narkotika sehingga pihak pengelola hanya berpatokan pada Surat Edaran Mahkamah Agung dalam melakukan rehabilitasi.Butir 3 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan penyalahguna Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial menyatakan apabila hakim menjatuhkan sanksiberupa perintah untuk terdakwa melakukan rehabilitasi, tempat rehabilitasi yang ditunjuk harus tempat yang terdekat berkaitan dengan amar putusannya. Tempat-tempat yang dimaksud dalam SEMA tersebut adalah sebagai berikut :

a. Lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang dikelola dan atau dibina dan diawasi oleh Badan Narkotika Nasional

b. Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta

c. Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia)

d. Panti Rehabilitasi yang dikelola oleh Departemen Sosial RI dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPDT)

e. Tempat-tempat rujukan lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan atau Departemen Sosial.

SEMA 4 Tahun 2010 memuat panduan bagi penegak hukum terutama para hakim mengenai syarat-syarat pemidanaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 103 UU Narkotika huruf a dan b mengacu pada kewenangan ekstra bagi hakim untuk memutus vonis rehabilitasi. Secara gamblang SEMA 4 Tahun 2010 menyatakan bahwa penerapan Pasal 103 UU Narkotika dapat diterapkan apabila beberapa syarat telah terpenuhi, yaitu:82

1. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan;

2. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a di atas ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut:

a. Kelompok metamphetamine (sabu): 1 gram b. Kelompok MDMA (ekstasi): 2,4 gram = 8 butir c. Kelompok Heroin: 1,8 gram

d. Kelompok Kokain: 1,8 gram e. Kelompok Ganja: 5 gram

82 Muhamad Zaky Albana, Survei Persepsi Hakim Dalam Implementasi Hukuman Rehabilitasi, Kencana, Jakarta, 2021, hlm 86

f. Daun Koka: 5 gram g. Meskalin: 5 gram

h. Kelompok Psilosybin: 3 gram

i. Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide): 2 gram j. Kelompok PCP (phencyclidine): 3 gram

k. Kelompok Fentanil: 1 gram l. Kelompok Metadon: 0,5 gram m. Kelompok Morfin: 1,8 gram n. Kelompok Petidin: 0,96 gram o. Kelompok Kodein: 72 gram p. Kelompok Bufrenorfin: 32 mg

3. Surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan permintaan penyidik.

4. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim.

5. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

Sanksi yang diatur dalam UU Narkotika menganut double track system, yaitu berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan.83 Rehabilitasi merupakan salah satu bentuk sanksi tindakan. Dalam Pasal 103 UU Narkotika ditegaskan bahwa hakim dapat memutus atau menetapkan penyalahguna narkoba untuk menjalani pengobatan dan atau perawatan. Masa menjalani

83 Puteri Hikmawati, “Analisis Terhadap Sanksi … Op Cit hlm 329–350.

pengobatan dan atau perawatan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana. Hal ini selaras dengan salah satu tujuan dibentuknya UU Narkotika yakni untuk menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna narkotika. Namun demikian, berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa hakim cenderung menjatuhkan sanksi pidana penjara pada penyalahguna Narkotika. Akibatnya penyalahguna narkotika yang berada di lapas tidak diberi kesempatan untuk menjalani rehabilitasi, sehingga pelaksanaan rehabilitasi belum berjalan secara maksimal. Sampai saat ini program rehabilitasi narkotika di Lapas tidak berjalan optimal.84

Dasar pengaturan asesmen dalam melakukan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika ialah Pasal 4 huruf d, Pasal 54-58, Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2010 Tentang Penetapan Penyalahgunaan Dan Pencandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial serta Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik indonesia, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor: 01/PB/MA/III/2014, Nomor: 03 Tahun 2014, Nomor:

11/Tahun 2014, Nomor: 03 Tahun 2014, Nomor: PER-005/A/JA/03/2014, Nomor: 1 Tahun 2014, Nomor: PERBER/01/III/2014/BNN Tentang

84 Insan Firdaus, “Peranan pembimbing kemasyarakatan dalam upaya penanganan overcrowded pada lembaga pemasyarakatan” JIKH, Vol. 13,No. 3 (2019): 339-358