Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah terapan ini dengan judul penerapan MLC (Maritime Labour Convention) rule II pada kapal laut. Artikel ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan bagi taruna yang akan mengikuti latihan angkatan laut pada program Diploma III Politeknik Pelayaran Surabaya. Penelitian ini dilakukan karena ketertarikan peneliti terhadap permasalahan yang sering terlupakan dan tidak dianggap sebagai suatu permasalahan, padahal faktor yang sering diabaikan inilah yang menjadi salah satu faktor penghambat dalam mewujudkan keselarasan hak-hak pelaut. dengan standar yang baik dari sebuah kapal. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, menekankan dan menganalisis deskripsi pokok bahasan.
Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini, antara lain. Konsep implementasi MLC Manila 2006 merupakan konvensi yang diselenggarakan oleh International Labour Organization (ILO) pada tahun 2006 di Manila. Tujuan MLC 2006 adalah untuk menjamin perlindungan hak-hak pelaut di seluruh dunia dan memberikan pedoman standar bagi setiap negara dan pemilik kapal untuk menjamin lingkungan kerja yang nyaman bagi pelaut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk fokus mengetahui dan memahami penerapan MLC sehubungan dengan kondisi kerja dan dampaknya terhadap awak kapal karena perjanjian baru tentang hak-hak pelaut, yang berlaku untuk kapal internasional serta kapal harus terapan. berlayar di perairan Indonesia (domestik). Dengan diterapkannya MLC di suatu perusahaan maka pelaut mempunyai rasa aman terhadap kesejahteraannya di kapal dan di darat. Karena MLC diterapkan di semua perusahaan, maka perusahaan akan mempertimbangkan segala aspek yang harus dipatuhi perusahaan terkait hak-hak yang seharusnya diberikan kepada pelaut. . Implementasi Penerapan MLC (Maritime Labour Convention) regulasi II di kapal oleh Anak Agung Istri Sri Wahyuni,S.Sit.,M.
The implementation of the MLC (Maritime Labor Convention), particularly in terms of employment, is considered to be fairly well implemented on board ship under existing regulations and the use of the MLC has a major impact on the welfare of seafarers.
DAFTAR TABLE
PENDAHULUAN
- RUMUSAN MASALAH
- BATASAN MASALAH
- TUJUAN PENELITIAN
- MANFAAT PENELITIAN
- REVIEW PENELITIAN SEBELUMNYA
- LANDASAN TEORI
- KEDUDUKAN MLC DALAM DUNIA KEMARITIMAN
- STANDAR YANG DIBERLAKUKAN DALAM ATURAN MLC
- PENERAPAN EMPLOYMENT CONDITION SESUAI MLC ATURAN II
- KERANGKA PENELITIAN
Institut Maritim atau Namarin, Siswanto Rusdi mengatakan hingga saat ini belum ada standar mengenai pendapatan pelaut di Indonesia.Bahkan, untuk bisa bekerja di kapal, seorang pelaut harus memiliki minimal 13 hingga 16 sertifikat kemampuan, selain ijazah yang menyatakan bahwa ia lulusan Akademi Ilmu Kelautan “Gaji pelaut kita sangat tidak mencukupi. Oleh karena itu, analisa dan penerapan MLC (Maritime Labour Convention) di kapal harus diterapkan dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan pelaut melalui ketentuan yang dapat diterima secara global. Untuk mengetahui apakah penerapan Peraturan II MLC (Maritime Labour Convention) di kapal telah dilakukan dengan benar atau belum.
Berbagai peneliti telah meneliti penerapan MLC (Maritime Labour Convention) pada kapal tentang bagaimana penerapannya dan apakah berdampak terhadap kesejahteraan pelaut. Berikut ini peneliti sajikan salah satu penelitian orisinal yang berjudul ANALISIS KETERKAITAN IMPLEMENTASI MLC 2006 DENGAN KESEJAHTERAAN SEAGER yang diteliti oleh Aries Allolayuk, Welem Ada, Masrupah dan Endang yang dimuat di jurnal Venus PIP Makassar pada bulan September 2019 dengan hasil dari penelitian yang mengatakan bahwa tingkat kesejahteraan awak kapal yang bekerja di kapal tersebut masih kurang sejahtera untuk tingkat awak kapal, namun untuk tingkat perwira berada dalam kondisi sejahtera jika dipresentasikan 40% merupakan awak kapal yang berada dalam kondisi sejahtera. kurang sejahtera, sedangkan ada 30% yang sejahtera. Namun belum semua negara menerapkan konvensi ini seperti Indonesia, kapal-kapal berbendera Indonesia belum menerapkan MLC padahal konvensi ini akan memberikan banyak perlindungan bagi pelaut jika suatu negara sudah meratifikasi konvensi tersebut, negara pelaksana konvensi ini sudah secara resmi berkomitmen untuk melaksanakan semua kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi.
Setiap negara bendera mempunyai hak untuk menentukan sendiri bagaimana mematuhi MLC sehingga kondisinya akan bervariasi dari satu negara bendera ke negara bendera lainnya. Untuk bekerja pada malam hari dan di daerah berbahaya, pelaut harus berusia minimal 18 tahun.Kondisi kesehatan setiap pelaut harus memiliki sertifikat kesehatan yang diakui oleh negara tempat tinggalnya. Pelatihan kerja dan keselamatan diri harus diberikan kepada pelaut. Penempatan dan perekrutan pelaut harus mencakup sejumlah prosedur, dilengkapi dengan prosedur pengaduan, serta kompensasi atas kegagalan perekrutan.
Singkatnya, sebagai kontrak kerja, kontrak tersebut harus jelas, sah dan mengikat serta upah pelaut harus dibayar minimal setiap bulan dan harus disalurkan secara berkala kepada keluarga bila diperlukan, waktu istirahat harus diterapkan sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku. jam kerja maksimal 14 jam dalam seminggu sehari atau 72 jam seminggu atau jam istirahat minimal 10 jam sehari atau 77. Untuk aturan keempat membahas tentang pelayanan kesehatan di kapal atau di darat bagi pelaut yang memerlukan akses terhadap fasilitas kesehatan di kapal. papan tanpa biaya dan dengan kualitas pelayanan kesehatan yang sama seperti di darat. Pelaut harus dilindungi dari dampak finansial akibat penyakit, cedera atau kematian yang berkaitan dengan pekerjaan mereka.
Dalam aturan terakhir ini, Konvensi bertujuan untuk memastikan bahwa setiap Negara Anggota memenuhi tanggung jawabnya berdasarkan Konvensi ini sehubungan dengan kapal yang mengibarkan bendera Negara tersebut. Kontrak kerja pelaut Penerapan kontrak kerja pelaut harus bergantung pada kondisi kerja pelaut. Hal ini harus dirinci atau dirujuk dalam suatu perjanjian tertulis yang jelas, dapat diterima secara hukum dan konsisten dengan standar yang ditetapkan dalam Kode Etik. Kontrak kerja pelaut harus disetujui oleh pelaut dengan ketentuan yang memastikan bahwa pelaut mempunyai kesempatan untuk meninjau dan meminta ketentuan perjanjian dan bebas untuk menerimanya sebelum penandatanganan. praktek pelaut internasional Kontrak kerja harus dipahami sebagai kolektif. B.
Semua pelaut harus dibayar atas pekerjaan mereka secara teratur dan penuh sesuai dengan kontrak kerja mereka. Pelaut harus diberikan hukum pesisir untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan mereka serta memenuhi persyaratan operasional posisi mereka. e. Manning Level Penerapan manning level memastikan bahwa pelaut bekerja di kapal dengan awak yang cukup untuk pengoperasian kapal yang aman, efisien dan terjamin.
Peraturan kedua juga memuat standar mengenai upah pelaut, standar jam istirahat, hak cuti, standar repatriasi, kompensasi bagi awak kapal dan kapal yang hilang atau tenggelam, anak buah kapal dan anak buah kapal.
BAB III
METODE PENELITIAN
JENIS PENELITIAN
WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN 1. Waktu Penelitian
Sumber data terdiri dari data yang dikumpulkan dan digunakan dalam penyusunan penelitian ini. Data-data tersebut diperoleh penulis melalui observasi langsung dan wawancara. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah penulis memperoleh data primer dengan melakukan wawancara kolaboratif terhadap anak buah kapal atau awak kapal yang berada di atas kapal KM. Penulis memperoleh hasil wawancara atau percakapan dengan petugas dan awak kapal lainnya yang mengetahui lebih banyak tentang isu-isu terkait kondisi kerja berdasarkan MLC (Konvensi Buruh Maritim) 2006 di atas kapal.
Sumber data sekunder dalam penelitian ini penulis memperoleh data dokumentasi dan arsip resmi yang coba penulis kumpulkan sendiri, selain dari sumber yang diteliti. Data-data tersebut diperoleh dari buku-buku dan internet yang berkaitan dengan objek penelitian atau berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Serta dari informasi lain yang disampaikan selama penulis kuliah di Politeknik Transportasi Surabaya.
Mengingat latar belakang dan rumusan masalah yang penulis ajukan sebelumnya, maka diperlukan suatu observasi dalam penyusunan penelitian ini. Agar kita dapat memperoleh informasi yang benar, sehingga tujuan penulis dapat tercapai dan sesuai dengan judul yang penulis ambil. Observasi merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara observasi penulis disertai dengan catatan mengenai keadaan atau tingkah laku objek sasaran yang diamati di kapal, khususnya kondisi kerja dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan awak kapal.
Metode ini dilakukan dengan cara observasi langsung terhadap objek, dalam hal ini tujuan penulis melakukan observasi untuk memahami penerapan syarat-syarat kerja yang diatur menurut MLC di kapal dan pengaruh penerapan tersebut terhadap awak kapal. Teknik wawancara ini penulis gunakan untuk memperoleh data nyata tentang kapal dengan cara mewawancarai seluruh awak kapal. Metode wawancara ini sangat efektif untuk mendapatkan penjelasan yang lebih detail terhadap pertanyaan-pertanyaan atau banyak hal yang belum dipahami dalam kaitannya dengan permasalahan yang berkaitan dengan topik yang akan dibicarakan.
Tujuan utama wawancara adalah untuk mendapatkan informasi langsung mengenai subjek yang dituju dan untuk memperoleh data serta jawaban yang penulis tidak mengerti dan tidak mengetahui apa yang menjadi subjek penelitian ini. Dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam hal ini adalah semua dokumen yang berkaitan dengan keadaan di mana syarat-syarat kerja diterapkan dan dampak penerapannya terhadap kesejahteraan awak kapal di kapal.
TEKNIK ANALISIS DATA
Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2010) menyatakan kegiatan pengolahan dan analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi. Instrumen pengumpulan data adalah alat yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data sehingga kegiatan tersebut menjadi sistematis dan mudah dilakukannya. Instrumen sebagai alat dalam menggunakan metode pengumpulan data adalah alat yang dapat diwujudkan pada objek, misalnya angket, perangkat tes, pedoman wawancara, pedoman observasi, skala dan lain sebagainya.
Dengan instrumen akan diperoleh data-data yang merupakan bahan penting untuk menjawab permasalahan, menemukan sesuatu yang akan digunakan untuk mencapai tujuan. Reduksi data dapat diartikan sebagai upaya merangkum dan memilih pokok-pokok utama serta memusatkan perhatian pada data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Data yang ditemukan di lapangan sebenarnya bisa sangat beragam dan heterogen, sehingga perlu dilakukan pengklasifikasian dan pengorganisasian secara sistematis agar diperoleh data yang dibutuhkan.
Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah menampilkan atau menyajikan data, sehingga temuan dapat diuraikan secara utuh, komprehensif, sehingga bagian-bagian utamanya terlihat jelas untuk memudahkan penafsiran. Sugiyono (2010) menyatakan bahwa penyajian data dalam penelitian kualitatif dimungkinkan dengan uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Inferensi dalam penelitian kualitatif pada dasarnya masih bersifat tentatif, karena temuan data perlu diverifikasi dan divalidasi dengan menggunakan berbagai teknik.
DAFTAR PUSTAKA