PENERAPAN HUKUMAN MATI PADA PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tindak Pidana Narkotika Dosen Pengampu :
Dr. Rehnalemken Ginting, S.H.,M.H.
Disusun Oleh
Yaying Prabaswara E00019436 Wahyu Rida Setyani E00019423
PRODI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2021/201
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah penyalahgunaan narkotika di indonesia sampai saat ini sudah sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain karena letak Indonesia yang berada pada posisi di antara tiga benua serta kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengaruh globalisasi, dan arus transportasi yang sangat maju. Masyarakat indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya saat ini sedang dihadapkan pada persoalan maraknya pemakaian secara illegal bermacam-macam jenis narkotika dengan berbagai jenisnya. Kehawatiran ini semakin di pertajam akibat begitu merebaknya peredaran narkotika hingga sampai di lapisan masyarakat. Dari mulai orang tua, generasi muda, bahkan sampai di beberapa tempat hiburan.
Upaya pemerintah untuk memerangi penyalahgunaan narkotika tampak semakin serius. Hal ini disebabkan karena Indonesia d ikatakan telah mengalami darurat narkotika. Ini tentu beralasan karena h ampir setiap waktu jumlah orang yang meninggal akibat penyalahgunaan narkotika semakin tinggi. Korbannya bukan saja dari kalangan dewasa, namun juga remaja, bahkan anak-anak. Dalam undang-undang nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah dicantumkan berbagai macam sanksi pidana, baik pidana penjara, pidana denda, hingga pidana mati.
Hukuman mati adalah penjatuhan hukuman yang saat ini masih diperdebatkan oleh para ahli hukum dan kriminologi. Mereka yang mendukung hukuman mati, melihat hukuman mati sebagai alat penyelesaian untuk melindungi masyarakat. Ada yang pro dan ada pula yang kontra.
Mereka yang kontra atau melihat hukuman mati merupakan hukuman yang melanggar Hak Asasi Manusia, yaitu hak untuk hidup. Saat ini ada sebagian negara yang menghapuskan hukuman mati di dalam undang-undang pidananya.
Pada dasarnya, hukuman mati merupakan salah satu sanksi pidana yang masih berlaku di negara Indonesia. Ini artinya bahwa penerapan hukuman mati masih diperbolehkan khusus bagi tindak pidana tertentu, seperti pembunuhan berencana, terorisme, korupsi, termasuk kejahatan narkotika, sebagaimana terdapat dalam undang-undang yang berlaku (hukum positif) di Indonesia.1
Penerapan sanksi pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika tersebut nampaknya belum sepenuhnya memberi efek jera. Buktinya setiap tahun selalu ada peningkatkan jumlah kasus penyalahgunaan narkotika. Data tahun 2011 tercatat 36.589 tersangka, tahun 2012 tercatat 35.453 tersangka, dan tahun 2013 tercatat 43.767 tersangka. Adapun jenis narkotika yang paling banyak disalahgunakan adalah ganja, shabu, dan ektasi. Kurang lebih 40-50 pengguna meninggal setiap hari karena narkoba. Kerugian negara baik dalam bentuk peerekonomian maupun sosial ditengarai mencapai Rp.63 Trilyun per tahun.2
1 Nys. Arfa, Syofyan Nur dan Yulia Monita. 2020. Tinjauan Yuridis Penerapan Dan Pelaksanaan Hukuman Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pengedar Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jurnal Sains Sosio Humaniora. Volume 4 Nomor 2 Desember 2020. hlm 527
2 Sumber: Kepolisian Republik Indonesia, Maret 2014 dalam Jurnal P4GN
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan pendapat para ahli terkait dengan penerapan hukuman mati ?
2. Bagaimana kewenangan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dalam memutuskan kasus tindak pidana narkotika ? 3. Bagaimana penerapan hukuman mati terhadap pelaku
Tindak pidana pengedar narkotika berdasarkan Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ?
BAB II PEMBAHASAAN
A. Pandangan Para Ahli Terkait Dengan Penerapan Hukuman Mati Pendapat Pro terhadap hukuman mati :
a. Bichon Van Yssel Mode, yang menyetujui dengan adanya hukuman mati, mengatakan antara lain: “ancaman serta pelaksanaan hukuman mati itu harus ada dalam tiap-tiap negara dan masyrakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut kepatutan maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya”.3
b. Lamborso dan Garlofalo, berpendapat bahwa: Hukuman mati adalah alat yang mutlak yang harus melenyapkan individu-individu yang tidak mungkin diperbaiki lagi dengan perkataan lain hukuman mati adalah suatu upaya yang radikal untuk meniadakan orang yang tidak dapat diperbaiki lagi, dengan adanya hukuman mati ini maka hilanglah pula kewajiban-kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara yang demikian besar biayanya. Begitu juga hilanglah ketakutan-ketakutan kalau orang melarikan diri dari penjara dan membuat kejahatan lagi di lingkungan masyarakat”.
c. Prof. Oemar Seno Adji, S.H memiliki pandangan dan prinsip setuju untuk dilakukannya hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana yang sifatnya keras atau Extra Ordinary Crime seperti korupsi, narkotika, dan terorisme yang sudah jelas sangat berdampak buruk bagi peradaban kemanusiaan.
Pendapat Kontra terhadap hukuman mati:
a. Amnesi internasional menolak hukuman mati dalam keadaan apapun, dengan mengatakan hukuman mati adalah hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia
3 Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, (Jakarta: Aksara Baru), Tahun 1978, hlm. 11.
karena sudah bertentangan dan melanggar ketentuan hak mendasar dan tidak boleh dilanggar dalam keadaan apapun, yaitu hak untuk hidup.
b. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H mengemukakan pendapatnya bahwa keberatan yang terang yang dirasakan oleh umum terhadap hukuman mati tidak dapat diperbaiki lagi apabila kemudian terbukti bahwa putusan hakim yang menjatuhkan hukuman mati berdasarkan atas kekeliruan dan keterangan-keterangannya ternyata tidak benar.13 c. Dr. Adnan Buyung Nasution, S.H mengemukakan secara prinsipil
hukuman mati atu pidana mati haruslah dihapuskan dan sebagai penggantinya cukuplah sanksi pidana maksimum berupa hukuman seumur hidup. Hukuman ini pun djatuhkan dengan ketentuan bahwa setelah selang waktu tertentu, harus dapat dirubah menajdi hukuman penjara 20 tahun sehingga orang yang bersangkutan (terpidana) masih ada harapan untuk mendapatkan remisi hukuman dan akhirnya kembali ketengah-tengah masyarakat. Dengan demikian di satu pihak diharuskan sifat fatal dari pidana mati dan ketertiban masyarakat tetap terlindungi karena yang terpidana diasingkan, tetapi dilain pihak dibuka peluang bagi terpidana untuk dalam jangka waktu tertentu bertaubat dan memperbaiki dirinya dan menjadi warga neraga yang berguna bagi masyarakatnya.
B. Kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam Memutuskan Kasus Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, pengadilan dibagi menjadi dua jenis, yakni:
1. Pengadilan Negeri sebagai Pengadilan Tingkat Pertama
2. Pengadilan Tinggi sebagai Pengadilan Tingkat Banding.
Tugas dan wewenang Pengadilan Negeri tercantum dalam UU Nomor 2 Tahun 1986 Pasal 50, yang berbunyi:
"Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama."
Sedangkan tugas dan wewenang Pengadilan Tinggi tercantum dalam Pasal 51
1. Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding.
2. Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya
Berdasarkan bunyi UU tersebut, maka kewenangan Pengadilan Negeri dalam memutuskan kasus Tindak Pidana Narkotika ialah memeriksa, memutus serta menyelesaikan perkara Tindak Pidana Narkotika pada tingkat pertama sedangkam kewenangan Pengadilan Tinggi ialah mengadili Tindak Pidana Narkotika di tingkat banding.
C. Penerapan Hukuman Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pengedar Narkotika Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Pidana mati merupakan bagian dari jenis pidana yang berlaku berdasarkan hukum positif Indonesia. Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan cara merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang.
Pelaksanaan eksekusi terpidana mati haruslah dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang dijatuhkan padanya berkekuatan hukum tetap dan kepada si
terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan semua upaya hukum, seperti banding, kasasi, peninjauan kembali dan megajukan grasi kepada presiden. Pelaksaan eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui persetujuan presiden. Pidana mati saat ini dijalankan dengan cara menembak mati si terpidana. Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa (Kepala Kejaksaan Negeri) sebagai eksekutor dan secara teknis pelaksanaan dilakukan oleh regu tembak kepolisian.
Pidana mati pada dasarnya dan seharusnya dijadikan sebagai sarana penal yang terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) tidak dapat dilakukan pembinaan lagi dan dirasa sangat membahayakan kehidupan masyarakat luas bahkan negara.
Beberapa ketentuan terpenting dalam pelaksanaan pidana mati adalah:
1. Tiga kali 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan memberitahukan kepada terpidana dan apabila ada kehendak terpidana untuk mengemukakan sesuatu maka pesan tersebut diterima oleh jaksa;
2. Apabila terpidana sedang hamil harus ditunda pelaksanaannya hingga melahirkan;
3. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman di daerah hukum pengadilan hukum pengadilan tingkat I yang bersangkutan;
4. Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan bertanggungjawab mengenai peksanaannya;
5. Pelaksanaan pidana mati dilaksanakan oleh suatu regu penembak polisis di bawah pimpinan seorang perwira polisi;
6. Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan harus menghadiri pelaksanaan tersebut;
7. Pelaksanaan tidak boleh dimuka umum;
8. Penguburan jenazah diserahkan kepada keluarga;
9. Setelah selesai pelaksanaan pidana mati tersebut Jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara pelaksanaan pidana mati tersebut, yang kemudian salinan surat putusan tersebut harus dicantumkan ke dalam surat putusan pengadilan.
Ancaman pidana mati terhadap pengedar narkotika sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika pada Pasal 114 yang menentukan:
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 10. 000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima narkotika golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penerapan hukuman mati pada pelaku penyalahguna narkotika menuai pro dan kontra dikalangan para ahli, mereka yang pro mengatakan bahwa hukuman mati dilaksanakan agar memberikan efek jera. Ancaman pidana mati terhadap pengedar narkotika sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika pada Pasal 114. Tak sedikit pula para para ahli yang menentang hukuman mati dengan alasan hak asasi manusia.
Berdasarkan UU Nomor 2 tahun 1986 pasal 50 dan 51 maka kewenangan Pengadilan Negeri dalam memutuskan kasus Tindak Pidana Narkotika adalah memeriksa, memutus serta menyelesaikan perkara Tindak Pidana Narkotika pada tingkat pertama sedangkan kewenangan Pengadilan Tinggi adalah mengadili Tindak Pidana Narkotika di tingkat banding.
Pelaksanaan hukuman mati telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika pada Pasal 114. Pelaksaan eksekusi terpidana mati dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui persetujuan presiden. Pidana mati saat ini dijalankan dengan cara menembak mati si terpidana. Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa (Kepala Kejaksaan
Negeri) sebagai eksekutor dan secara teknis pelaksanaan dilakukan oleh regu tembak kepolisian.
DAFTAR PUSTAKA
Syamsul, H. dan Hasan, A. 2013. KONTROVERSI PENERAPAN PIDANA MATI TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOBA. Mataram: Fakultas Hukum Universitas Mataram.
Permaqi, Farhan. 2015. HUKUMAN MATI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ngadikun. Hidayatullah dan Iskandar Wibawa. KEDUDUKAN SANKSI PIDANA MATI PADA TINDAK PIDANA NARKOTIKA. Kudus: Fakultas Hukum Universitas Muria
Kudus.
Nys. Arfa, Syofyan Nur dan Yulia Monita. 2020. Tinjauan Yuridis Penerapan Dan
Pelaksanaan Hukuman Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pengedar Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
jambi:Fakultas Hukum, Universitas Jambi.
https://amp.kompas.com/skola/read/2021/03/16/133003069/pengadilan-negeri-tugas-fungsi- dan-wewenangnya (diakses pada 24 november 2021)