• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "TINJAUAN PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

499

TINJAUAN PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Doni Binsar1), Eddy Asnawi1), Bahrun Azmi1)

1)Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum (S2), Universitas Lancang Kuning Email: [email protected]

Abstract: As for the formulation of the problem, how is the review of the judge's decision in the case of narcotics crime based on Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics, and what is the ideal of the judge's decision in the case of narcotics crime based on law number 35 of 2009 concerning narcotics. The method used is normative legal research.

Based on the results of the study, it is known that the Review of Judges' Decisions in Narcotics Crime Cases that the application of the judge's decision only clashes with a sense of justice in which the perpetrators who bring narcotics in large quantities are only lightly punished. The criminal decision is not only a punishment but also the basis for re- socializing the convict so that it can be expected that he will not commit another crime in the future. The judge's decision must also state the reasons that the sentence imposed is in accordance with the nature of the act, the circumstances surrounding the act, and the personal circumstances of the accused.

Keywords: Decision, Judge, Narcotics

Abstrak: Adapun yang menjadi rumusan masalah adalah Bagaimanakah Tinjauan Putusan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dan Bagaimanakah Idealnya Terhadap Putusan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Metode yang dipergunakan adalah penelitian hukum normatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Tinjauan Putusan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika bahwa penerapan putusan hakim hanya berbenturan dengan rasa keadilan yang mana pelaku dengan membawa narkotika dalam jumlah besar hanya dihukum ringan. Keputusan pidana selain merupakan pemidanaan tetapi juga menjadi dasar untuk memasyarakatkan kembali si terpidana agar dapat diharapkan baginya untuk tidak melakukan kejahatan lagi di kemudian hari. Dalam putusan hakim harus disebutkan juga alasan bahwa pidana yang dijatuhkan adalah sesuai dengan sifat dari perbuatan, keadaan meliputi perbuatan itu, keadaan pribadi terdakwa.

Kata Kunci: Putusan, Hakim, Narkotika

(2)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

500 Pendahuluan

Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai berbagai peraturan yang mengatur warga negaranya. Indonesia sebagai negara hukum dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Amandemen ke- IV. Namun dengan perkembangan zaman dan didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan efektivitas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tersebut dalam membendung agresi peredaran gelap dan penyalahguna narkotika (tindak pidana narkotika) dipandang tidak sangat efektif karena perkembangan zaman dan dipandang lemah dimata hukum. Sehingga langkah selanjutnya yang diambil oleh pemerintah Indonesia adalah dengan meratifikasi Undang-undang Nomor 22 tahun 1997, hal ini merupakan penegasan dan penyempurnaan atas prinsip- prinsip dan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam pengaturan sebelumnya, sehingga menjadi sarana yang lebih efektif dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika. Sebagai konsekuensinya telah disahkan terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang baru sebagai pengganti undang-undang sebelumnya.

Undang-undang baru ini tentang narkotika mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang luas tersebut, selain didasarkan pada faktor kebutuhan akan perlunya peraturan perundang-undangan dalam mengatur masalah narkotika yang mesti disempurnakan, juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma dalam ketentuan hukum narkotika sebelumnya tidak memadai lagi sebagai sarana efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana narkotika.

Di dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan istilah delik materiil dengan delik formill, yang dimaksud dengan delik materiil ini adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana, oleh undang- undang dengan kata lain hanya disebutkan rumusan dari akibat perbuatan, misalnya pasal 338 KUHP tentang menghilangkan nyawa orang lain, yakni perbuatan yang dapat menyebabkan matinya orang lain. Sedangkan Rehabilitasi, menurut Pasal 1 angka 23 KUHAP adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau pengadilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Untuk menentukan bahwa terdakwa terbukti bersalah atau tidak, hakim harus berpedoman pada sistem pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan penyalahgunaan narkotika pada akhirnya akan bermuara pada persoalan bagaimana hakim dalam menjatuhkan putusan.

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang didapat adalah Bagaimanakah Tinjauan Putusan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika?. Bagaimanakah Idealnya Terhadap Putusan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ?

(3)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

501 Metode Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan penulis adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang berdasarkan pada kaidah hukum yang berlaku. Penelitian hukum normatif ini dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif hanya digunakan teknik studi documenter/studi kepustakaan, yaitu dengan metode melakukan pengumpulan data-data literature yang terdapat pada kajian kepustakaan yang nantinya akan dikorelasikan dengan permasalahan yang akan diteliti.

Dan juga wawancara secara nonstruktur yang berfungsi sebagai penunjang bukan sebagai alat untuk mendapatkan data primer. Data yang dikumpulkan dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif. Penarikan kesimpulan menggunakan logika berpikir deduktif, yaitu penalaran (hukum) yang berlaku umum pada kasus individual dan konkrit (persoalan hukum faktual yang konkrit) yang dihadapi.

Hasil dan Pembahasan

1. Tinjauan Putusan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Penerapan sanksi terhadap tindak pidana narkotika, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan hakim. Dengan demikian, penerapan sanksi ini diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap merebaknya perdagangan gelap serta peredaran narkotika. Dalam kenyataannya tidak membuat efek jera pelaku penyalahgunaan tersebut hal ini di sebabkan hakim dalam menajatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku penyalahgunaan Narkotika itu sendiri lebih ringan dari ancaman sanksi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Penyalahgunaan pemakaian narkotika yang berlebih-lebihan dan berulang- ulang akan menimbulkan rasa addiksi (ketergantungan) terhadap narkotika tersebut.

Gejala inilah yang menggambarkan mulainya narkotika itu sebagai saat yang mendatangkan ketagihan bagi seseorang namun akhirnya membuat seseorang itu pun tidak lagi ketagihan yang akibatnya dapat berpengaruh buruk terhadap susunan syaraf pusat bahkan menimbulkan kematian. Pelaku tindak pidana narkotika mendapatkan putusan hukuman yang berbeda-beda tergantung banyaknya jumlah narkotika yang diedarkan dan digunakan.

Putusan hakim terhadap pengedar narkotika Berdasarkan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika bahwa penerapan sanksi telah berjalan dengan maksimal sesuai Peraturan Perundang Undangan yang berlaku. Dalam pengambilan putusan hakim bersifat aktif, walaupun dalam klasifikasi berdasarkan peran dan kedudukan pelaku tersebut di atas hanya terdiri atas tiga bentuk penggolongan, namun dalam penerapannya dapat mengalami perkembangan sesuai dengan unsur-unsur pasal yang terpenuhi sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Narkotika digunakan untuk memudahkan dalam penyebutan bagi orang yang menggunakan narkotika dan untuk membedakan dengan penanam, produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika.

Peran dan kedudukan pelaku dalam suatu tindak pidana narkotika serta dampak yang dapat ditimbulkan dari peran dan kedudukannya tersebut, maka pelaku tindak pidana narkotika secara garis besar diklasifikasikan sebagai berikut sebagai pengguna, yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika untuk diri sendiri, sebagai pengedar, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menyalurkan atau menyerahkan narkotika baik untuk diperjualbelikan ataupun untuk pemindahtanganan kepada orang lain, dan sebagai produsen, yaitu orang atau koorporasi yang menyiapkan,

(4)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

502 mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk Narkotika. Bila pengguna narkotika dianggap pelaku kejahatan, maka yang menjadi pertanyaan kemudian adalah siapa yang menjadi korban dari kejahatan yang dilakukan oleh pengguna narkotika, karena dalam hukum pidana dikenal tidak ada kejahatan tanpa korban, beberapa literature bahwa yang menjadi korban karena dirinya sendiri (Crime without victims), dari persepektif tanggung jawab korban, Self-victimizing victims adalah mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.

Sebagaimana contoh kasus Putusan Nomor 258/Pid.Sus/2020/PN Dum bahwa Terdakwa Kadir Syahpri Yuda Als Young Bin Syafii Yahya (Alm) bahwa Terdakwa melakukan tindak pidana ”tanpa hak memiliki Narkotika Golongan I bukan tanaman”.

Hakim memberikan putusan terhadap Terdakwa Kadir Syahpri Yuda Als Young Bin Syafii Yahya (Alm), sebagai berikut : 1. Menyatakan Kadir Syahpri Yuda Als Young Bin Syafii Yahya (Alm) tersebut diatas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Primair Penuntut Umum; 2.

Membebaskan Terdakwa dari dakwaan Primair tersebut; 3. Menyatakan Terdakwa Kadir Syahpri Yuda Als Young Bin Syafii Yahya (Alm) tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”tanpa hak memiliki Narkotika Golongan I bukan tanaman” sebagaimana dalam dakwaan Subsidair Penuntut Umum; 4.

Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun 6 (enam) bulan dan denda Rp 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun; 5. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 6. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan; 7. Menetapkan barang bukti berupa: - Menetapkan 8 (delapan) paket yang dibungkus dengan plastik bening Narkotika jenis Shabu, - 1 (satu) unit Handphone Merk Strowberry warna Merah, - 1 (satu) buah kaca pirex, - 1 (satu) sendok terbuat dari pipet; - 1 (satu) catton bat; - 1 (satu) buah kotak plastik lonjong yang dilapisi lakban Hitam, - 1 (satu) buah kantong plastik warna Hitam; 1 (satu) kotak rokok kosong merk Mustika; Dirampas untuk dimusnahkan, 6. Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp5.000,- (lima ribu rupiah).

Penerapan putusan hakim terhadap pengedar narkotika Berdasarkan Undang- Undang Narkotika ialah penerapan sanksi belum berjalan dengan maksimal dikarenakan berbenturan dengan rasa keadilan, karena pelaku tindak pidana narkotika sering mengaku hanya sebagai korban dan merasa dijebak oleh narkotika. Menurut analisis penulis bahwa pelaku tindak pidana penyalahgunaan Narkotika mengenai penerapan putusan hakim terhadap pengedar narkotika ialah tidak sesuai yang diinginkan karena masyarakat tidak paham dengan peraturan atau undang-undang yang mengatur permasalahan narkotika ini dan peredaran Narkotika ini merupakan mata pencarian dikarenakan susahnya mencari lapangan pekerjaan saat ini.

Sebagai pengedar dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 114 Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang mana pada ayat 1 “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Ayat 2 “Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat

(5)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

503 (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.

Sedangkan produsen dikenakan ketentuan pidana berdasarkan Pasal 113 Undang- undang Nomor 35 tahun 2009 adalah “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”. Tindak pidana narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam undang-undang narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disanksikan lagi bahwa semua tindak pidana didalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan.

Praktik peradilan pidana pada putusan hakim sebelum pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan.

Sistem yaang dianut di Indonesia, pemeriksaan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Pidana yang dijatuhkan oleh hakim mempunyai dua tujuan yaitu pertama untuk menakut-nakuti orang lain, agar supaya mereka tidak melakukan kejahatan, dan kedua untuk memberikan pelajaran kepada si terhukum agar tidak melakukan kejahatan lagi. Secara yuridis hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tindak pidana tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP).

2. Idealnya Terhadap Putusan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Perbuatan Pidana atau tindak pidana penyalahgunaan Narkotika yang melanggar Pasal 111 Ayat (1) Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika merupakan suatu kejahatan. Tentang terjadinya kejahatan sudah banyak diidentifikasi orang, identifikasi tersebut mungkin di lakukan secara monodisipliner, multidisipliner atau interdisipliner. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga tidak ada kesepakatan yang bulat terhadapnya. Yang ada hanya kesepakatan bahwa kejahatan di sebabkan beberapa faktor yang berkaitan dan harus ditelaah secara menyeluruh bila hendak di cegah dan di atasi. Adanya kecendrungan menyatakan bahwa kejahatan terjadi karena tidak keserasian pada individu masing-masing, khususnya mengenai hubungan timbal balik factor-faktor ekspresif dengan kekuatan-kekuatan normatif. Kekuatan ekspresif mencakup faktor-faktor psikologis dan biologis. Kekuatan-kekuatan normative yang mencakup faktor keluarga atau kehidupan kekeluarga atau kehidupan kekeluargaan, agama dan faktor sosial kultur sebagai berikut yaitu faktor lingkungan dan faktor pendukung.

Kalaulah sebagai pengedar maka hakim akan memberikan hukuman sesuai dengan Pasal 111, 112, 113, 114 jo 132 adalah pasal sanksi pidana yang dapat

(6)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

504 diterapkan/dikenakan bagi pihak yang memiliki narkotika untuk mengedarkan, menjual atau pihak yang menjadi kurir (perantara). Sedangkan Pasal 127 adalah pasal yang dapat diterapkan/dikenakan bagi pihak yang memiliki narkotika sebagai penyalahguna atau pecandu. Adapun sanksi penjara pada Pasal 111, 112, 113, 114 adalah minimal 4 tahun dan maksimal hukuman mati. Sedangkan sanksi pada Pasal 127 adalah rehabilitasi atau maksimal penjara 4 tahun. Terdapat hukuman penjara yang cukup berbeda/signifikan antara pasal tersebut. Berbenturan dengan rasa keadilan karena putusan hakim juga harus dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana. Khususnya pelaku tindak pidana narkoba. Tetapi dalam peradilan, putusan hakim yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana narkoba terkesan ringan. Jarang hakim memidana terdakwa dengan batas maksimum hukuman yang ditentukan oleh Undang-Undang.

Dalam hal hakim menjatuhkan putusan, terhadap pelaku tindak pidana narkoba terutama pengedar, akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung kepada pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas. Terlebih-lebih apabila putusan itu dianggap tidak tepat atau adanya perbedaan penjatuhan pidana antara pelaku tindak pidana yang satu dengan pelaku tindak pidana yang lain. Apabila perbedaan putusannya mencolok, maka akan menimbulkan reaksi yang kontroversial dari berbagai pihak. Apabila terpidana itu membandingkannya dengan terpidana lain yang dijatuhi hukuman lebih ringan padahal tindak pidana yang dilakukan adalah sama, maka terpidana yang dijatuhi hukuman lebih berat akan menjadi korban ketidakadilan hukum sehingga terpidana tersebut tidak percaya dan tidak menghargai hukum.

Bentuk-bentuk sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika antara lain Tindak Pidana Orang Tua/Wali dari Pecandu Narkotika Narkotika yang Belum Cukup Umur (Pasal 128) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Korporasi (Pasal 130) Dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali. Korporasi dapat dijatuhi korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha dan/atau b.

pencabutan status badan hukum. Tindak pidana bagi Orang yang Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Narkotika (Pasal 131). Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Tindak Pidana terhadap Percobaan dan Permufakatan Jahat Melakukan Tindak Pidana Narkotika dan Prekursor (Pasal 132 Ayat 1), dipidana dengan pidana pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal- Pasal tersebut. Ayat 2, dipidana pidana penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga). Tindak Pidana bagi Menyuruh, Memberi, Membujuk, Memaksa dengan Kekerasan, Tipu Muslihat, Membujuk Anak (Pasal 133 Ayat 1, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Ayat 2, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Penerapan sanksi pidana terhadap tindak pidana narkortika tersebut, bertujuan untuk memberikan efektivitas dari peran serta masyarakat. Peran serta ini mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya dimana masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab untuk membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika.

(7)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

505 Simpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis antara lain Tinjauan Putusan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika bahwa penerapan putusan hakim hanya berbenturan dengan rasa keadilan yang mana pelaku dengan membawa narkotika dalam jumlah besar hanya dihukum ringan. Keputusan pidana selain merupakan pemidanaan tetapi juga menjadi dasar untuk memasyarakatkan kembali si terpidana agar dapat diharapkan baginya untuk tidak melakukan kejahatan lagi di kemudian hari sehingga bahaya terhadap masyarakat dapat dihindari. Dalam putusan hakim harus disebutkan juga alasan bahwa pidana yang dijatuhkan adalah sesuai dengan sifat dari perbuatan, keadaan meliputi perbuatan itu, keadaan pribadi terdakwa. Dengan demikian putusan pidana tersebut telah mencerminkan sifat futuristik dari pemidanaan.

Idealnya Terhadap Putusan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika bahwa di dalam Undang- Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, ada beberapa perubahan yang mendasar terutama pada semakin tingginya ancaman pidana baik pidana denda maupun pidana dendanya. Dalam hal pidana denda yang dijatuhkan begitu besar dalam jumlah, namun karena diberikan alternatif dengan dengan pengganti pidana penjara yang sangat ringan. Bahkan Hakim ada yang tidak menjatuhkan sama sekali pidana dendanya. Hal ini dapat dikatakan bahwa penjatuhan pidana penjara dan denda dalam tindak pidana narkotika tidak akan memberi pengaruh terhadap penurunan angka tindak pidana narkotika. Idealnya terhadap putusan hakim dalam perkara tindak pidana narkotika ini harusnya sanksi diberikan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Daftar Pustaka

[1] Bambang Sulistyo, S.H., dengan judul “Kebijakan Bimbingan Klien Narkoba Dalam Rangka Pencegahan Pengulangan Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus Di Balai Pemasyarakatan Pati)”, Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2012.

[2] Kadarmanta, 2010, Narkoba Pembunuh Bangsa, Jakarta: Forum Media Utama.

[3] Laili Furqoni, S.H., dengan judul “Sistem Pemidanaan Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Kejahatan Narkotika Anak The Sentencing System And Criminal Law Policy In Overcoming The Narcotics Crime On Children”, Program Pascasarjana Universitas Jember, 2009.

[4] Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkotika Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, Jakarta: Raja Grafindo.

[5] Muliadi, Lilik, Pemidanaan terhadap Pengedar dan Pengguna Narkoba, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 1 Nomor 2 Juli 2012.

[6] Nikodemus Niko, dengan judul “Fenomena Drugs Trafficking Di Wilayah Perbatasan Jagoi Babang Indonesia-Malaysia, Kalimantan Barat The Phenomenon Of Drugs Trafficking In The Border Region Indonesia-Malaysia Jagoi Babang, West Kalimantan”, Jurnal Sosiologi Nusantara Vol. 6, No. 1, Tahun 2020 Program Pascasarjana Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran.

[7] Petunjuk Teknis, 2008, Advokasi Bidang Pencegahan Penyalahgunaan

Narkoba Bagi Lembaga/Instansi Pemerintah.

(8)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

506

[8] Rina Dwi Haryanti, dengan judul “Efektivitas Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Dihubungkan Dengan Meningkatnya Penyalahgunaan Narkotika Di Wilayah Hukum Polres Boyolali”, Jurnal Bedah Hukum, Vol.4, No.1, April 2020.

[9] Ruby hardiati Jhony, 2020, Diktat Kuliah Hukum Pidana Khusus Tindak Pidana Narkotika, Purwokerto: Fakultas Hukum Unsoed.

[10] Syaiful Bakhri, 2011, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika Suatu Pendekatan Melalui Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Gramata Publishing.

[11] Taufik Makaro, Suhasril, 2003, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalian Indonesia.

[12] Victor Ziliwu, dengan judul “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pengguna Narkotika Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Polresta Medan”, Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2015.

[13] Wenny F Limbong, dkk., Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Dalam Upaya

Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Indonesia, Diponogoro Law

Journal, Vol. 5, No.5, Juli 2016.

Referensi

Dokumen terkait

33 Tuafik Makaro, 2015, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Bogor, halaman 16.. menimbulkan ketergantungan Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 35 tahun 2009